(serial Timun Laut episode 1) TIMUN NAMANYA, KALEM ORANGNYA



(Serial Satu) TIMUN LAUT NAMANYA, KALEM ORANGNYA!


Aneh memang anak yang satu ini. Namanya tidak lazim; seperti nama jenis buah-buahan atau sayuran. Orang tuanya mungkin harus diberitahu bahwa gara-gara nama itulah ia sering ditertawakan orang atau paling tidak ditanya orang (ini yang paling sering terjadi!). Tapi Timun tidak hirau. Ketika orang-orang bertanya kepada dirinya tentang namanya yang aneh itu, ia berkelit bahwa nama itu nama yang sangat eksotik. Gabungan antara kesegaran buah dan dinamika alam. Segarnya buah Timun dan gelora semangat samudera yang diwakili kata LAUT. Lalu mengapa namanya tidak Timun Samudera saja supaya lebih gagah? “Ah, itu terlalu aneh”,  kata Timun sambil ngeloyor pergi.

Timun berperawakan sedang: tinggi 160cm dan berat dirahasiakan. Tapi kalau melihat perawakannya kita bisa menyebutkan bahwa ia seorang pendekar (pendek dan kekar). Wajahnya kelimis terawat dan ia tidak memanjangkan janggutnya. Bukan ia tidak mau. Ia sebenarnya ingin meniru sunnah Nabi memanjangkan janggutnya kalau bisa sampai dada. Tapi janggut yang ditunggu tak pernah tumbuh subur; hanya satu dua saja rambut yang keluar dan itu sangat mengganggu karena ia kelihatan seperti teman Scooby Doo, si Shaggy. Jadi ia urung memanjangkan janggutnya. Ia lebih memilih untuk memanjangkan akalnya. Dan itu membuat Timun lebih cerdas daripada teman-temannya. Atau paling tidak itulah perasaan Timun (ge-er sekali!).

Timun usianya tiga-lima dengan istri satu (saja!) dan anak dua. Timun diusianya yang sebenarnya cukup matang ini masih suka berkelakuan seperti anak kecil. Mungkin karena ia anak semata wayang di keluarganya; tidak bersaudara dan bersaudari. Meskipun kedua ayah-ibunya sudah lama meninggal (keduanya meninggal di tanah suci sewaktu beribadah haji dan waktu itu Timun masih berusia sebelas), itu tidak berdampak terlalu banyak dalam perkembangan kepribadian Timun yang seharusnya bisa lebih dewasa. Timun semenjak kecil tidak tinggal bersama kedua orang tuanya. Ia lebih sering tinggal dan dibesarkan oleh kakek-neneknya dari pihak ibu (dari pihak ayah belum pernah bertemu karena sudah meninggal sebelum ayahnya berjumpa dengan ibunya). Ia tinggal bersama kedua kakek-neneknya yang seringkali memperlakukan dia bagai raja. Segala keinginannya dipenuhi termasuk yang aneh-aneh seperti memberi dia ijin untuk naik ke atap rumah tiap malam hari, mulai jam 9 malam hingga larut malam asal tidak sampai ketiduran saja!




Kebiasaan itu dilakukan Timun ketika masih SD hingga SMA. Ia senang duduk--bahkan berbaring--di atas atap rumahnya melihat cakrawala yang gelap ditaburi bintang kelap-kelip, besar-kecil, indah sekali. Ia sebenarnya bukan tipe orang melankolis sejati. Melainkan ia seorang penikmat dan pengamat (sebenarnya istilah ini terlalu berat) astronomi. Ia suka melihat bintang di langit malam; yang paling ia nanti ialah adanya sekelebatan atau dua kelebatan meteor yang melintas cepat bak kilat dari satu noktah tak terlihat, ke noktah lainnya yang juga tak terlihat. Ia bisa mendapati 3 sampai 5 kali penampakan meteor hanya dalam semalam! Menurut bacaan yang ia baca entah darimana dan dimana, Bumi kita ini katanya dihujani meteor, pecahan asteroid, dan benda-benda langit sampah luar angkasa lainnya sekitar satu juta kali dalam sedetik!!!!! Hebat tidak, tuh?!

Kebayang kalau Bumi kita ini tidak terlindungi oleh atmosfir yang walau tipis--tidak setebal di Venus--tetap bisa melindungi kita dari serbuan benda langit tiap detiknya. Tuhan memang maha-pelindung! Lihatlah bulan yang bopeng-bopeng penuh lubang menganga yang besar. Beberapa mall megah lengkap dengan para pengunjungnya bisa masuk kesitu. Kebayang betapa besar meteorit-meteorit yang jatuh menimpa permukaannya!!! Bayangkan lagi kalau itu terjadi di Bumi kita yang indah sentosa ini. Timun yakin mungkin lagu-lagu seperti Rayuan Pulau Kelapa atau Tanah Airku Indonesia, semuanya akan kehilangan makna. Malah mungkin sekali lagu-lagu indah seperti itu tidak akan pernah dibuat orang. Kehidupan yang runtut raut di Bumi ini takkan mungkin ada. Hari-hari di Bumi akan dilalui penuh kecemasan dan kengerian karena setiap detik benda-benda langit akan jatuh tanpa permisi di permukaan Bumi mana saja tanpa kecuali. Kiamat tiap hari!!!!!!



Kembali ke Timun. Kita tinggalkan meteor dan kiamat sejenak (atau selamanya saja, karena cerita kita ini tidak hendak membahas tentang meteor dan hari kiamat!).

Timun orangnya simpel dan suka berpakaian simpel. Kesukaannya ialah memakai rompi wartawan atau rompi tukang mancing (orang menyebutnya begitu) dengan banyak saku. Kalau bisa jumlah sakunya enam atau lebih. Ia menggabungkan rompi itu dengan apa saja yang ia pakai--kecuali kalau ia sedang memakai kemeja batik. Timun memiliki koleksi rompi setengah lusin yang biasa ia pakai setiap hari berganti-ganti dengan catatan pada hari Minggu ia terpaksa memakai rompi yang telah ia kenakan pada hari-hari lain.

Rompi itu multifungsi. Timun mengenakannya setiap hari ia mengajar. Di setiap saku rompinya pasti saja ada barang-barang yang memang ia perlukan. Saku kiri atas ada HP-nya stand by. Saku kanan atas kunci motor matik-nya. Sementara keempat saku bawahnya dihuni uang lembaran, recehan, pensil, pulpen, gunting, kertas-kertas (juga karcis parkir; ini kadang jadi masalah karena Timun secara tidak sadar cukup sering membuang karcis parkir yang seharusnya ia jaga karena kalau tidak ia harus membayar denda). Dengan keenam sakunya yang dipenuhi barang-barang yang memang ia perlukan, Timun merasa tertolong karena ia tidak usah terlalu sering mengetuk pintu kelas sebelah untuk meminjam barang-barang kecil yang sebenarnya bisa dibawanya sendiri.



Pada hari raya, rompi itu juga cukup berguna. Keenam sakunya dipenuhi amplop-amplop berisi uang untuk ia bagikan kesanak-saudara dan handai tolan. Mengapa perlu enam saku? Karena itu untuk membagi amplop-amplop itu kedalam kelompok-kelompok yang didasarkan atas hubungan kekerabatan. Saku kanan atas, misalnya, itu untuk saudara seibu-seayah. Sedangkan saku kiri atas untuk keluarga dari pihak isteri. Sementara saku-saku yang di bawah untuk saudara cukup dekat dan cukup jauh. Rompi yang sama kurang lebih memiliki fungsi yang sama ketika Timun memakainya ke pesta perkawinan orang (yaa orang dong, masa monyet!). Satu saku untuk menyimpan amplop berisi uang yang akan diberikan kepada kedua mempelai (biasanya sih tidak pernah nyampe karena keburu diciduk oleh pihak orang tua). Sementara saku-saku lainnya untuk menyimpan makanan yang ia dapati di pesta hajatan. Hampir semua ia masukkan kecuali sup dan es buah.

Sekarang tentang pekerjaan dan karir Timun. Timun adalah seorang guru bahasa Inggris di kursus bahasa Inggris yang besar dan sangat terkenal; jadi saya tidak usah memperkenalkan lagi kursus bahasa Inggris itu karena saking terkenalnya. Cukup kamu tebak saja sendiri; pasti enggak bakalan salah soalnya memang kursusnya ternama, sich. Ia juga memiliki kerja sambilan di sela-sela kesibukannya seperti menulis artikel untuk dimuat di koran atau ia tuliskan di blog-nya; ia juga menerjemahkan buku karya orang kemudian ia tawarkan kepada penerbit untuk diterbitkan dan ia mendapatkan uang lelah dari usahanya itu. Timun biasanya menerjemahkan buku-buku keagamaan. Itu membuat dirinya lebih mengenal baik agamanya sendiri maupun agama orang lain. 

Jadi guru di kelas menjadikan dirinya memiliki kebebasan yang lumayan luar biasa. Ia bisa menjadi bos bagi dirinya sendiri. Ia bekerja sendiri untuk kemudian ia nilai sendiri hasil kerjanya. Toh atasannya tidak pernah masuk kelas untuk melihat bagaimana ia bekerja. Jadi ia nilai sendiri saja. Beres. Sedangkan kerja sambilan yaitu menulis dan menerjemahkan adalah ekspresi jelas dari pilihan hidup yang telah ia ambil: ekspresi kreatifitas dan kebebasan.

Banyak guru lain yang menyayangkan bakat dirinya yang tidak seratus persen tersalurkan. Oh, ya. Sebelum terlambat saya harus menekankan bahwa anak ini memang penuh bakat. Memasak ia jago. Bermain sulap ia jago. Bercerita ia jago. Saking jagonya ia lebih dikenal sebagai seorang tukang dongeng oleh muridnya daripada seorang guru bahasa Inggris. Berjoget ia pula jago. Paling tidak itu kata orang yang sering melihatnya meliak-liukkan tubuhnya mengikuti suara musik entah itu gendang, rebana, atau dentingan piano; atau sekedar suara orang batuk-batuk. Ia memiliki bakat alam untuk memahami dan menikmati musik dan lagu yang ia wujudkan dalam gerak tubuh gemulai walau tetap menjaga kodratinya sebagai seorang lelaki sejati. 

Kembali ke masalah nama. Timun sering mengelak apabila ada orang yang mengusik namanya. Shakespeare said, "What's in a name?""Apa artinya sebuah nama?". Tapi kalau lucu dan bikin orang penasaran, gimana yah?

"Mun, kenapa sih namamu bukannya Timur Laut?", kata Joko teman karibnya yang jarang bertemu dengannya karena Joko hanya guru paruh waktu. Ia hanya mengambil kelas di hari Sabtu saja. Lain hari ia bekerja di tempat lain, di luar kota. 

"Aku enggak bisa ngucapin huruf 'R'. Tapi aku cukup jago untuk ngucapin huruf 'N'?", celetuk Timun seenaknya.

"Ah. Kamu ini. Ada-ada saja."

"Habis memang itu tidak penting bagiku."

Timun itu sayang istri. Nama istrinya Yuli; kecil orangnya, imut-imut perawakannya. Ia manjakan istrinya bagai ratu. Kadang istrinya merasa malu dan risih; karena Timun senantiasa mencurahkan rasa sayangnya itu secara berlebih. Timun juga sayang banget kepada kedua anaknya: Akbar tertua berusia tujuh tahun kelas satu esde; dan Reza kedua berusia tiga tahun, memiliki energi yang meluap minta ampun. Keduanya disayang dan dicinta Timun tanpa dibeda-bedakan. Setiap hari adalah curahan cinta pada keduanya. Timun sering mengibaratkan mereka seperti qurrota'ayun (kedua biji mata) sama seperti Nabi Muhammad yang mengibaratkan kedua cucu terkasihnya: Hasan dan Husein.

Timun adalah Timun. Ia kalem dan menghanyutkan. Mungkin ada benarnya nama itu bisa mengandung do'a. Apa buktinya? Yaa, Timun itu. Ia kalem dan supel seperti timun atau ketimun. Maksudnya? Buah ketimun itu segar dan menyehatkan. Banyak orang suka. Bisa digolongkan buah dan bisa juga sayur. Cocok dengan nasi juga roti. Bisa dimakan setelah dimasak atau dimakan mentah. Jadi, orang yang namanya Timun itu pandai bergaul, jujur, dan gemar menabung (yang terakhir masih bisa diperdebatkan. Timun orangnya suka nraktir orang. Mana mau dia hemat kalau untuk urusan membuat orang lain senang).

Timun adalah Timun. Ia kalem dan menghanyutkan. Menghanyutkan seperti nama keduanya; Laut.

Laut itu dalam; sedalam hati Timun yang susah ditebak. Timun orangnya suka sekali tersenyum; dan senyuman itulah yang membuat ia sulit ditebak. Apabila ia masuk kantor, di ruangan guru, ia menyapu seluruh penjuru ruangan dengan senyumnya yang misterius. Bagaimana tidak. Orang yang melihat Timun tersenyum susah menebak: apakah ia sedang mencoba beramah tamah dengan yang diberi senyum; atau apakah ia sedang mengejek secara diam-diam. Senyuman Timun juga seringkali disalah-artikan terutama oleh kaum hawa. Mereka merasa gede rasa dan salah tingkah menyangka Timun punya hati atau memendam rasa pada mereka. Tapi itu dulu ketika Timun masih belum berkeluarga.

Laut itu misterius. Timun seringkali juga diperhatikan orang, ditengarai ia sedang merenung sendirian. Sebetulnya ini bukan sesuatu yang aneh. Timun seringkali merenung sendiri seperti itu. Ia merenung di kamar tidur. Ia merenung di kamar mandi; ia merenung di jalan raya di atas motor matiknya yang sedang berjalan. Ini yang bahaya! Karena Timun seringkali melamunkan sesuatu dan pikirannya diliputi oleh yang dilamunkannya itu, begitu larut dalam lamunannya itu hingga sering ia terkaget-kaget ketika sadar bahwa ia sudah sampai di suatu tempat bersama motornya. Ia bingung mengapa sudah sampai ke situ. Ia tidak ingat bahwa ia telah melewati berbagai tempat sebelum ia tiba di sana. 

Apa sebenarnya yang ada dalam pikiran Timun itu hingga sebegitu larutnya ia dengan apa yang sedang dipikirkannya? Entahlah, ia sering melakukan dialog di dalam kepalanya. Apabila kita lihat apa saja yang ia keluarkan dari mulutnya, mungkin kita bisa menebak apa saja yang ada dalam benaknya (atau apa yang ada dalam perutnya! Ih, jijik!). Timun seringkali berbicara tentang agama dan hubungannya dengan kemiskinan, rakyat tertindas baik secara ekonomis, politis, maupun rasis. Terakhir ini, Timun seringkali membela orang-orang yang disangka atau dituduh sesat oleh orang-orang lain baik secara perseorangan maupun secara keroyokan. Ia tidak suka itu. Ia tidak suka melihat orang diperlakukan seenaknya hanya karena ia berbeda dari yang lain. Ia tidak suka melihat orang-orang yang berkeyakinan berbeda disisihkan dalam pergaulan, dicemooh kanan-kiri, diperlakukan tidak adil dan semena-mena. Bukankah Tuhan sudah mengamanatkan kepada kita bahwa kita tidak boleh memperlakukan orang-orang dengan tidak adil hanya karena kita membenci orang-orang tersebut? Apalagi kebencian itu datang hanya dari suatu perbedaan. Bukankah perbedaan itu sendiri pada hakikatnya bukanlah sebuah dosa? Tuhan berfirman dalam kitabnya yang tidak ada saingannya:

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" 
(QS. Al-Maaidah: 8)

Timun sering menangis dalam kesendiriannya. Pada suatu ketika di malam hari ketika istrinya sedang tidur terlelap dan ia masih terjaga, dan ia sedang menyaksikan berita malam di televisi, ia menangis sewaktu melihat beberapa buah bis (dalam tayangan berita TV itu) melaju dengan kecepatan cukup tinggi meninggalkan suatu tempat yang biasanya digunakan oleh kaum muslimin golongan tertentu sebagai markas atau sebagai tempat menimba ilmu dan para santrinya bermukim (pesantren). Dalam bis-bis itu ada wanita dan anak-anak yang menangis dan berteriak ketakutan. Bis-bis itu meninggalkan pesantren dan asrama yang diduga sering dijadikan tempat untuk menyebarkan aliran sesat. Bis-bis itu dilempari oleh orang-orang yang mengepung pesantren itu di kanan-kiri. Dengan wajah gagah, garang, dan penuh amarah, orang-orang itu sebagian meneriakkan takbir.


ALLAHU AKBAR! ALLAHU AKBAR! ALLAHU AKBAR!

Mereka melakukannya sambil terus menerus melempari bis-bis berisi para wanita dan anak-anak yang menangis dan menjerit-jerit tersebut. Para aparat keamanan tiada daya. Sebagian dari mereka hanya berdiri seolah tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Sebagian lagi berhasil mencegah supaya tidak banyak lagi darah yang mungkin tertumpah dari mereka yang keluar dari tempat itu.

Mengapa mereka melemparkan kerikil dan batu?
Bukankah musim haji telah berlalu?
Tidak cukupkah mereka berjumrah di dekat kota Mekkah?
Mengapa pula mesti melempari bis-bis itu dengan luapan amarah?

Timun tidak habis pikir. Misalkan saja orang-orang yang ada dalam bis itu sesat semua. Misalkan saja mereka itu sesat. Sekali lagi, misalkan saja mereka itu sesat. Apakah melempari bis berisi wanita dan anak-anak itu bukan termasuk perbuatan sesat? Apakah itu termasuk akhlak yang baik dan diajarkan Islam? Tentu saja tidak! Islam itu mengajarkan kedamaian baik bagi orang kafir apalagi pada orang beriman. Islam itu rahmat bagi sekalian alam. Keberadaan Islam mestinya bisa menentramkan bukannya mencekamkan.

Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk melempari bis berisi wanita dan anak-anak meskipun misalnya wanita dan anak-anak itu adalah istri-istri dan putera-puteri dari orang-orang sesat. 

Tidak!
Itu tidak adil!

Itu jahat! 

Itu dzalim!


Apa kata Nabi kita apabila melihat umatnya melempari bis berisi anak dan wanita? Nabi kita yang sangat santun; nabi kita yang sangat penuh kasih sayangnya akan tentu berpaling dan tidak mau mengakui mereka yang melempari bis-bis itu sebagai umatnya. Meskipun mereka meneriakkan takbir yang membahana membelah angkasa!


Wallahu 'alam

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta