(serial Timun Laut episode 3) JIHAD KOK KABUR?


(Serial Tiga) JIHAD KOK KABUR?


Kejadiannya beberapa tahun lewat. Hari yang terik karena matahari panas memanggang walau ia bersembunyi di balik awan yang bergelayut berwarna putih dan abu muda. Timun memacu kendaraannya sampai melewati jalan Gardujati melewati SMAN 4, almamaternya dulu. Ketika melewati sebuah jalan yang sangat terkenal sebagai tempat bercokolnya praktek prostitusi, Timun dikejutkan oleh serombongan orang yang berlarian dikejar oleh serombongan lain yang jumlahnya tidak sebanyak yang dikejar. Yang mengejar berteriak-teriak dengan teriakan keras dan dalam bahasa yang tidak pantas. Mereka mengejar orang-orang berpakaian serba putih dan bersenjatakan tongkat. Serba seragam seperti yang memang ada yang mengatur dan mendanai. Sebagian dari mereka yang berpakaian putih itu memiliki janggut yang panjang meski masih jarang-jarang--belum begitu lebat kelihatannya. Janggut mereka melambai-lambai kesana kemari ketika mereka berlari dengan wajah pucat pasi.

Mereka lari tanpa melihat kanan-kiri, bertemparasan kesana kemari. Sebagian menubruk mobil yang sedang diparkir; sebagian menghindari kendaraan di kanan-kiri dengan berlari zig-zag. Hampir saja Timun kehilangan keseimbangannya dan terjatuh dari motor kalau saja ia tidak keburu berhenti dahulu membiarkan orang-orang tadi menyelesaikan persoalannya sendiri. Nafas Timun memburu. Jarang-jarang ia melihat orang tawuran dalam jumlah lumayan. Satu kelompok melakukan jumrah—melemparkan batu dan minimal kerikil—ke arah lawannya yang sudah mereka sejajarkan dengan syetan. Sebelum keadaan mereda, cepat-cepat Timun minggat dari sana. Ia takut menjadi bagian dari target lemparan atau paling tidak ketiban sial mendapatkan lontaran batu yang sebenarnya bukan untuk dirinya! 

Timun memacu motor matiknya menuju kantor tempat dimana ia bekerja. Ketika Timun sampai di kantornya ia memarkirkan sepeda motor bututnya itu dan menguncinya dengan kunci ganda.

"Hai, Mun", seseorang memanggil dirinya. Timun menoleh. Kurang lebih 50 meter dari dirinya, berdiri temannya Umar. Nama lengkapnya Umar al-Faruq. Sunda asli. Ia diberi-nama seperti itu karena ayahnya sangat mengidolakan Umar bin Khattab, sahabat Rasulullah itu. Ia berperawakan sedang; bercambang dan berjanggut tipis. Ia bilang itu sebagai sunnah Nabi. Perkara itu sunnah Nabi entah iya entah tidak; soalnya wajah Abu Jahal-pun kemungkinan besar penuh pula dengan rambut sesuai dengan mode pada saat itu. Bedanya mungkin yang satu (yang dimiliki Nabi) terawat sedangkan yang satunya lagi (you know whose) tidak terawat. Tapi biarlah permasalahan janggut-menjanggut itu kita pasrahkan pada ulama yang lebih berkompeten dalam urusan janggut. Lagipula, itu kan silang pendapat atau masalah furu'iyyah saja.

"Hai, Mun. Ngajar siang?", tanya Umar sambil juga memarkirkan kendaraannya, motor BMW (Bebek Merah Warnanya).

"Nggak. Aku habis mengunjungi nenekku. Biasa .......... tiap Rabu aku jenguk dia untuk sekedar melepas rindu dan membelikan dia makanan kesukaannya".

Umar tidak tertarik untuk bertanya apa makanan kesukaan nenek Timun karena itu mungkin tidak perlu, lagi pula ia takut nanti Timun nanya: "Kamu memangnya mau ngasih juga ke nenekku?". Itu kan gawat jadinya.

Setibanya mereka di ruang guru, mereka melepas jaket dan pelindung dada. Lalu Umar mengambil segelas air dingin untuk dirinya--bukan untuk Timun. Sedangkan Timun mengambil sari buah dalam karton yang ia simpan tempo hari di dalam kulkas yang ada di ruangan guru--masih dalam keadaan tertutup dan tersegel rapi. Keduanya merasakan dahaga yang cukup menyiksa soalnya di luar hari panas. Ruangan guru terasa senyap dan sepi karena baru mereka berdua yang datang. Jam menunjukkan pukul 12. Waktu makan siang; pasti orang-orang baru datang sejam kemudian. AC bertiup lembut. Suhu ruangan cocok untuk melamun.

"Mun, kamu kok melamun? Ada apa? Punya masalah? Nenekmu sakit?", tanya Umar penuh kepedulian demi melihat Timun memandang kosong keluar lewat jendela dari ruangan guru. Timun masih terpaku menikmati tetes demi tetes sari buah instan buatan pabrik; dingin dan segar. "Mun, ..........Mun, kesambet ya?".

"Oh, apa? Apa?", jawab Timun gelagapan.

"Apa yang sedang kamu pikirkan?", tanya Umar khawatir.

"Oh, itu tadi aku lihat orang-orang saling mengejar satu sama lain", sari buah yang dihirup Timun habis. Timun sekarang menghirup udara ruangan kantor yang juga sama dinginnya, dalam-dalam. 

"Dimana?"

"Tadi waktu aku lewat ke jalan Gardujati. Di sana aku lihat ada sekelompok orang bersenjata apa adanya, ada juga yang bertangan kosong mengejar-ngejar orang-orang berpakaian putih-putih bersorban", kata Timun sambil menghampiri tong sampah di penjuru ruangan untuk melemparkan karton bekas sari buah itu.

"Hah, iya gitu? Masa?", Umar tak percaya.

"Iya. Mereka kayaknya kesal melihat orang-orang berpakaian putih itu; sepertinya sih mereka itu orang-orang yang ingin menutup tempat prostitusi di sana atau juga mungkin mereka sekedar berdemo saja di sana, entahlah. Tadi sempat aku berhenti dulu dan nanya ke orang-orang di sana. Sepertinya orang-orang yang mengejar itu selain suruhan orang-orang yang punya tempat prostitusi, juga termasuk warga yang ada di sana yang mendapatkan pencaharian dari tempat prostitusi itu", jelas Timun.

"Wah kalau aku ada di tempat, aku akan gabung dengan yang berpakaian putih itu karena menutup tempat itu pasti bagian dari jihad", imbuh Umar penuh semangat jihad. "Lalu yang kau herankan atau yang membuatmu melamun itu apa, Mun? Kan biasa saja kalau ada penutupan tempat prostitusi itu pasti ada friksi, ada yang setuju ada juga yang tidak. Biasa itu", sela Umar.

"Bukan itu. Aku tahu mereka yang berpakaian putih itu pasti mengira dirinya sedang berjihad menegakkan amar ma'ruf nahi munkar tapi yang mengherankan aku ialah ….. mengapa mereka lari?"

"Ya mungkin karena yang mengejar lebih banyak", kata Umar.

"Tapi bukankah balasan jihad itu ialah surga apabila mereka mati di sana dikeroyok massa? Lagipula setahuku lari dari medan jihad itu perbuatan nista dan termasuk dosa besar. Kalau benar mereka berjihad seharusnya mereka tidak lari; seharusnya mereka bergeming dan melawan", Timun terlihat keheranan begitu pula Umar. Timun heran karena melihat polah laku orang-orang berpakaian putih dan bersorban itu; sedangkan Umar keheranan dengan penjelasan Timun. Selama ini Umar belum pernah mendengar orang mempermasalahkan jihad itu dari sudut pandang yang lain. Sekarang ia mendengarkannya; malah dari temannya lagi yang hanya seorang guru, yang bukan ustadz apalagi seorang ulama yang 'alim.

"Orang-orang yang sejenis dengan mereka--mungkin juga sekelompok dengan mereka--sering datang mengobrak-abrik kios-kios kecil yang menjual minuman keras. Mengapa mereka melakukan itu, sedangkan para pedagang di kios-kios itu hanya menjual minuman keras? Mengapa mereka melakukan itu sedangkan mereka hanya menjual eceran saja. Mengapa orang-orang itu tidak mendatangi saja pabrik yang memproduksi dan menjual minuman keras itu yang biasa menjual dalam partai besar karena dari sanalah para penjual minuman keras itu mendapatkan barang dagangannya?", tanya Timun lagi. 

Umar tentu saja makin bingung karena selama ini ia tidak pernah mempermasalahkan hal ini malahan ia sangat mendukung langkah-langkah orang-orang berpakaian putih dan bersorban itu. Dan diam-diam Umar malah sangat mengagumi mereka dan punya keinginan untuk turut bergabung dengan mereka. Toh cambang sudah punya; janggut apalagi, karena sudah dua tahun Umar tidak bercukur menjadikan ia satu-satunya orang muda berpenampilan dewasa (atau tua sebelum waktunya!) di kantor tempat dirinya bekerja. 

Timun melanjutkan (paling susah menghentikan Timun kalau ia lagi bicara serius, jadi dengerin aja. Biarkan ia capek. Nanti juga ia berhenti sendiri!):

"Mereka kayaknya punya rasa takut yang akut kalau berhadapan dengan lawan yang lebih kuat. Kalau abang-abang pemilik kios kan tidak bersenjata lagi pula ia sendirian saja. Kalau ia diserang di jalan tidak ada satu orangpun yang peduli dan membela dia. Sedangkan kalau pabrik minuman keras itu kan dijaga orang, banyak lagi. Jadi mereka takut. Tapi aneh juga, jihad kok takut? Kalau benar mereka berjihad seharusnya mereka tidak takut apalagi kabur. Jihad kok kabur?", "Beraninya kok dengan yang lemah dan kecil!". "Kalau mereka itu takut dan tidak sanggup, seharusnya mereka tidak melakukan itu. Lapor saja pada polisi, toh ini kan negara hukum; jadi jangan main hakin sendiri dong. Hormati hukum", kata Timun berapi-api. Umar terdiam sekaligus juga terkejut dan heran mengapa Timun mendadak ngomong berapi-api. Dari mana asal api yang sedang membakar semangat Timun itu?

"Lalu harus bagaimana mereka? Apa mereka harus diam saja melihat maksiat merajalela? Lapor polisi kan percuma. Banyak dari polisi itu kawan mereka juga. Mereka mendapatkan upeti karena tidak mengutak-atik tempat maksiat dimana mereka berdiam dan bekerja. Malah seringkali mereka pasang badan kalau ada yang mau mengusik tempat-tempat maksiat itu. Mereka mendadak menjadi preman berseragam", kata Umar sambil menghabiskan air putihnya yang ia tadi ambil dari dispenser. 

"Kalau begitu, masalahnya ialah polisi tadi. Seharusnya rombongan orang berpakaian putih itu datang ke markas polisi untuk mendorong bapak-bapak polisi itu agar berprilaku jujur dan menutup tempat-tempat maksiat itu. Itu kan lebih jelas; lebih demokratis; lebih menjunjung tinggi hukum. Karena berdemo itu dilindungi hukum, karena itu bagian dari cara orang menyampaikan pendapat. Sedangkan menghancurkan milik orang lain itu melawan hukum dan bisa ditindak atas nama hukum yang berlaku". Wuuuiiih hebat juga Timun ini. Mendadak ia berkicau seperti seorang pengacara yang sedang membela kliennya yang berdasi, berpenghasilan tinggi, hasil korupsi sana-sini. 

"Wah, aku enggak tahu itu", imbuh Umar. Dalam dirinya ia mengaku bahwa apa yang diucapkan Timun ada benarnya atau malah kemungkinan benar semua. Selama ini Umar ingin bergabung dengan kelompok itu akan tetapi setelah mendengarkan penjelasan Timun ia mendadak berpikir ulang seribu kali (kayaknya ini kebanyakan; dua kali ajah!).

"Jadi seharusnya mereka itu berdemo saja? Membuat gerakan moral begitu?", tanya Umar.

"Tepat. Buatlah agar orang-orang lain memiliki gagasan yang sama. Buatlah orang lain merasa bahwa sudah saatnya mereka melindungi generasi muda kita dari keterpurukan moral yang lebih dalam. Sudah banyak orang muda yang terjerumus ke lembah prostitusi. Sudah terlalu banyak remaja kita yang menengak arak dan menjadikannya minuman pelepas dahaga. Cukup sudah", Timun terengah karena ngomong tanpa sempat bernafas sejenak mengambil oksigen segar untuk dijejalkannya kedalam paru-paru. Paru-paru Timun, bukan paru-paru Umar.

"Seandainya mereka melakukan itu, yaitu berdemo. Aku juga akan ikut dengan mereka. Itu juga jihad dalam bentuk lain. Apabila para polisi itu marah dan menembak mereka dan kemudian mereka mati, Insya Allah, itu juga syahid dan orangnya pasti masuk surga", lanjut Timun. 

"Lalu untuk mereka yang ada di tempat prostitusi itu, berilah mereka bimbingan bukannya menjadikan mereka musuh yang harus dibasmi. Seringkali mereka itu korban dari keadaan ekonomi yang kian mencekik dan bukan dari keinginan mereka sebenarnya", Timun terus neroscos tak terbendung. 

"Seharusnya orang-orang bersorban dan berjanggut tadi--saya terpaksa memanggil mereka seperti itu karena saya tidak tahu darimana asal kelompok mereka--membuat lembaga-lembaga bantuan sosial untuk membantu para PSK itu berdiri dan merasa percaya diri. Sebagian dari mereka mungkin tidak bisa beranjak dari lebah dosa itu karena merasa rendah diri, tidak mampu, tidak percaya diri dan juga tidak percaya dunia luar yang bisa menerima mereka apa adanya apabila mereka mau bertobat dan keluar dari lembah nista itu".

"Tapi itu kan butuh waktu", kata Umar.

"Ya, memang. Dan bersabar itu juga perintah Tuhan, bukan", Timun menutup dakwahnya dengan mengatakan itu sambil berdiri dari tempat duduknya menggulung kedua lengan bajunya hingga siku. 

"Yuk, ah. Kita berjihad!", kata Timun sambil berlalu pergi meninggalkan Umar yang masih duduk dalam kebingungan. 

"Hah, sekarang!?", tanya Umar keheranan.

"Iya, yah", Umar tersipu sambil mengelus janggutnya. Kemudian ia bangkit dan beranjak dari tempat duduknya, mengikuti Timun untuk menunaikan shalat.

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta