(bagian 1) BAGAIMANA ABU BAKAR SAMPAI MENJADI KHALIFAH

Menurut kaum Ahlu Sunnah Wal Jama’ah atau Sunni, empat khalifah pertama itu disebut dengan al-khulafa’u rasyidin (atau pemimpin yang diberi petunjuk). Sekarang kita akan tinjau bagaimana keempat khalifah itu bisa sampai menjadi pemimpin umat Islam. Pada kesempatan ini, saya hanya akan membatasi pada khalifah pertama saja yaitu Abu Bakar.

Segera setelah wafatnya Rasulullah, kaum Muslimin dari kelompok Anshar berkumpul di Saqifah (balairung atau tempat pertemuan berupa beranda beratap) milik dari Banu Sa’idah. Menurut penulis kitab Ghiyathu ‘l-lugha’t (lihat Ghiyatu’d-din: Ghiyathu’l-lughat, halaman 228) tempat yang dikenal dengan nama Saqifah itu ialah sebuah tempat yang digunakan oleh orang-orang Arab untuk berkumpul merencanakan suatu perbuatan jahat. Jadi tempat ini seringkali dipakai oleh para penjahat seperti perampok gurun untuk berkumpul merencanakan kejahatan yang akan mereka lakukan.

Ke tempat inilah Sa’id bin Ubadah, yang saat itu sedang sakit, dibawa dengan menggunakan tandu. Sa’ad duduk di tandu itu dibebat dengan selimut untuk menutupi dirinya yang sedang sakit. Ia dibawa ke tempat itu untuk dipilih menjadi khalifah. Sa’ad sesampainya di tempat itu langsung berpidato dimana dalam pidatonya ia mengemukakan keutamaan-keutamaan yang dimiliki oleh kaum Anshar (sebagai penolong Nabi dan orang-orang yang berhijrah bersama Nabi). Dengan dasar keutamaan-keutamaan yang dimiliki kaum Anshar itulah maka Sa’ad merasa kaumnya berhak untuk mendapatkan hak kepemimpinan sebelum orang lain mengambil hak itu terlebih dahulu. Beberapa orang dari kaum Anshar yang ada di tempat itu setuju dengan pidato Sa’ad dan mereka ingin agar Sa’ad menjadi khalifah atau pemimpin setelah Nabi. Akan tetapi di tengah-tengah mereka ada beberapa orang yang melontarkan sebuah pertanyaan: “Apa yang harus kita katakan nantinya kepada kaum Muhajirin (emigran dari Mekah) dari Qurays apabila mereka menentang kesepakatan kita ini dan kemudian mereka mengajukan hak mereka atas kepemimpinan ini?”

Sekelompok dari mereka berkata: “Kita katakan saja pada mereka: ‘Kita angkat saja masing-masing satu orang pemimpin dari masing-masing kelompok; satu dari kita dan satu dari mereka”

Sa’ad tampak tidak setuju dan kemudian berkata, “Itu malah menunjukkan kelemahan kita”

Seseorang memberitahu Umar bin Khattab tentang pertemuan kaum Anshar di Saqifah ini: “Apabila anda menginginkan kepemimpinan ini, maka anda harus cepat-cepat berangkat ke Saqifah sebelum segala sesuatunya terlambat dan nanti segala sesuatunya menjadi lebih sulit bagi anda untuk mengubah apa-apa yang sudah diputuskan di sana.”

Ketika mendengar berita ini, dengan segera Umar bersama Abu Bakar bergegas menuju Saqifah. Mereka berdua ditemani oleh satu orang lainnya lagi yang bernama ABu Ubaydah bin al-Jarrah.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
KITA BISA TEMUI KISAH DI ATAS DALAM:

1. At-Tabari: At-Tarikh, vol. 4, halaman 1820

2. Ibnu ‘l-Athir: Al-Kamil, edisi C.J Tornberg, Leiden, 1897, vol. 2, halaman 325ff

3. Ibnu Qutaybah: Al-Imamah wa ‘s-siyasah, Cairo, 387/1967, vol. 1, halaman 18ff
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

KITA LANJUTKAN LAGI KISAH DI ATAS

At-Tabari, Ibnu ‘l-Athir, dan Ibnu Qutaybah serta para sejarawan lainnya melaporkan sejarah di atas dengan menulis sebagai berikut………….

Ketika sampai di Saqifah, Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaydah tidak bisa duduk karena tiba-tiba Tsabit bin Qays berdiri dari duduknya dan mulai menyebut-nyebutkan keutamaan-keutamaan dari kaum Anshar dan menyarankan agar kekhalifahan itu hendaknya diberikan kepada seseorang yang berasal dari kaum Anshar. Mengenang peristiwa itu , Umar bin Khattab pernah diriwayatkan berkata: “Ketika pembicara dari kaum Anshar (baca: Tsabit bin Qays) itu selesai berbicara, aku hendak menimpali pembicaraannya karena aku memiliki beberapa hal penting yang hendak aku sampaikan, akan tetapi Abu Bakar menyuruhku untuk diam. Oleh karena itu, aku tetap diam tidak berbicara sepatah katapun. Abu Bakar memiliki kemampuan berbicara yang lebih baik daripadaku dan ia memiliki ilmu pengetahuan yang lebih daripadaku. Abu Bakar kemudian berkata dan isi pembicaraannya persis seperti yang sedang kupikirkan kala itu dan Abu Bakar bisa melakukannya dengan jauh lebih baik daripada yang bisa aku lakukan.”

Menurut kitab Rawdatu ‘s-Safa, Abu Bakar berbicara kepada orang-orang yang hadir di Saqifah seperti berikut ini: “Wahai saudaraku dari kaum Anshar! Kami mengenali dan mengakui keutamaan dan keunggulan yang dimiliki oleh kalian. Kami juga tidak pernah melupakan perjuangan kalian dan bantuan kalian untuk menegakkan agama Islam ini. Akan tetapi kemuliaan dan keutamaan bangsa Qurays di seluruh masyarakat Arab tidak pernah dimiliki oleh bangsa selainnya, dan masyarakat Arab tidak akan patuh dan setia kecuali kepada bangsa Qurays.” (Lihat: Mir Khwand: Rawdatu ‘s-safa, vol 2, halaman 221)

Di dalam kitab as-Sirah al-Halabiyyah, kalimat di atas itu ada tambahannya:
“Mau diakui atau tidak, sudah menjadi sebuah fakta yang tak terbantahkan bahwa kaum Muhajirun adalah orang-orang pertama yang memeluk Islam. Rasulullah sendiri sebagai penyebar Islam berasal dari kaum Qurays. Dan kami ini adalah karib kerabat dari Rasulullah………….dan oleh karena itu kami adalah orang-orang yang pantas untuk mendapatkan jabatan khalifah itu……….adalah jauh lebih baik apabila kekhalifahan itu ada bersama kami dan bagi anda jabatan menteri atau pembantu khalifah. Kami tidak akan bertindak kecuali kami sudah berembuk dahulu dengan kalian.” (Lihat: al-Halabi: as-Sirah, vol. 3, halaman 357)

Setelah itu perbincangan makin serius dan memanas, dan ketika makin memanas Umar bin Khattab berteriak: “Demi Allah, aku akan membunuh siapa saja yang menentang kami sekarang.” Seseorang dari kaum Anshar bernama Al-Hubab ibn al-Mundhir ibn Zayd menantang Umar sambil berkata: “Demi Allah, kami tidak akan membolehkan siapapun menjadi khalifah untuk mengatur kehidupan kami. Seorang pemimpin harus dipilih dari pihak kalian untuk kalian dan satu orang dari kami untuk kami.” Abu Bakar kemudian menukas: “Tidak, ini tidak boleh terjadi; sudah menjadi hak kami untuk menjadi khalifah dan hak kalian untuk menjadi pembantu khalifah.” Al-Hubab berkata: “Wahai kaum Anshar! Jangan mau kalian patuh kepada apa-apa yang mereka bicarakan. Tetaplah pada pendirian kalian………Demi Allah, apabila ada orang yang menentangku hari ini, maka aku akan memotong hidungnya dengan pedangku.” Umar kemudian membalas: “Demi Allah, ada khalifah ganda itu tidak diperbolehkan dalam masyarakat. Tidak boleh ada dua raja di dalam wilayah yang sama, dan orang-orang Arab tidak akan setuju dengan kepemimpinan kalian karena Rasulullah tidak berasal dari kaum kalian”.

At-Tabari dan Ibn ‘l-Athir keduanya berkata menyatakan bahwa pertikaian diantara kaum Muhajirin (yang hanya diwakili oleh Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaydah) dan kaum Anshar yang juga hanya diwakili beberapa orang itu berlangsung lebih lama dari yang dilaporkan dalam kitab sejarah. Saling berbalas kata dilontarkan oleh kedua belah pihak baik itu Umar bin Khattab maupun Al-Hubab mengenai khilafah yang diperebutkan kedua belah pihak. Umar bin Khattab mengutuk al-Hubab: “Semoga Allah membunuhmu.” Al-Hubab menjawab: “Semoga Allah membunuhmu.”

Umar kemudian bergerak cepat melintasi ruangan dan berdiri di dekat kepala Sa’ad bin Ubadah yang sedang terbaring di tandunya. Umar berkata kepada Sa’ad: “Kami akan mematahkan setiap tulang rusukmu.” Sa’ad marah mendengar ancaman Umar itu kemudian ia menjambak janggut Umar. Umar berteriak kesakitan dan berkata: “Awas saja kalau berani. Kalau ada satu helai janggut saja yang jatuh dari janggutku, maka kamu tidak bakalan selamat.” Kemudian Abu Bakar meminta Umar agar Umar mau bersabar dan tidak bertindak gegabah. Kemudian Umar diam dan berpaling dari Sa’ad yang berkata: “Demi Allah, sekiranya aku punya kekuatan yang cukup untuk berdiri, maka engkau akan mendengar raungan singa yang mengaum di setiap sudut kota Madinah dan itu akan membuatmu ketakutan dan bersembunyi di sebuah lubang. Demi Allah, kamu akan aku kembalikan kepada kaum dimana kamu itu cuma seorang pengikut saja dan bukanlah seorang pemimpin.”

Ibnu Qutaybah mengatakan bahwa ketika Bashir ibn Sa’ad (pemimpin suku Aus) menyaksikan kaum Anshar bersatu di belakang Sa’ad bin Ubadah (pemimpin suku Khazraj), Bashir ibn Sa’ad merasa iri hati dan kemudian ia berdiri dan menyatakan bahwa ia akan mendukung klaim kekhalifahan yang diajukan oleh kaum Muhajirin.

Di tengah-tengah hiruk pikuk dan pertengkaran yang belum ada penyelesaiannya ini, tiba-tiba Umar berkata kepada Abu Bakar: “Ulurkanlah tanganmu supaya aku bisa berbai’at kepadamu.” Abu Bakar berkata: “Tidak! Ulurkanlah tanganmu supaya aku bisa berbai’at kepadamu karena kamu itu lebih kuat dariku dan lebih cocok untuk khilafah ini.”

Umar bin Khattab meraih tangan dari Abu Bakar dan kemudian ia menyatakan bai’at kesetiaan kepadanya seraya berkata, “Kekuatanku itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan keutamaan dan senioritas yang anda miliki. Dan apabila anda melihat ada nilainya kekuatan yang aku miliki itu, maka kekuatanku itu ditambah dengan keutamaan dan senioritasmu itu maka akan membuat kekhalifahan berjalan mulus.”

Bashir ibn Sa’ad kemudian mengikuti Umar membai’at Abu Bakar. Kaum Khazraj berteriak kepadanya. Kaum Khazraj menuduh bahwa Bashir ibn Sa’ad itu membai’at Abu Bakar karena ia iri dengan Sa’ad ibn Ubaydah. Bashir ibn Sa’ad menginginkan kekhalifahan akan tetapi kaum Anshar lebih memilih Sa’ad bin Ubaydah sebagai khalifah ketimbang dirinya. Kemudian suku Aus (salah satu suku dari kelompok Anshar selain Khazraj—suku saingannya) berunding diantara mereka. Mereka berpendapat bahwa apabila Sa’ad ibn Ubaydah (dari suku Khazraj) menjadi khalifah hari itu, maka suku Khazraj akan merasa besar kepala dan akan merasa lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan suku Aus (sesama kelompok Anshar), dan pada akhirnya tidak ada satu orangpun dari suku Aus yang akan mendapatkan kemuliaan yang sama seperti yang dimiliki nantinya oleh suku Khazraj. Oleh karena itu setelah dipikir-pikir mereka berbai’at kepada Abu Bakar untuk menjegal ambisi dari suku Khazraj.

Seseorang dari suku Khazraj kemudian marah dan mencabut pedangnya akan tetapi tindakan gegabahnya itu digagalkan oleh orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Ketika orang-orang yang sangat ambisius dan haus kekuasaan itu saling memperebutkan jabatan khalifah, Ali dan keluarganya dan para sahabatnya sedang sibuk memandikan jenazah junjungan sekalian alam, Muhammad al-Mustafa, yang telah kembali kepada Allah, kekasihnya. Pemulasaraan jenazah itu berlangsung khidmat dan penuh rasa haru. Berbeda sekali dengan keadaan di Saqifah yang penuh amarah dan hawa nafsu. Ketika pemulasaraan jenazah selesai……….selesai pula pertikaian di Saqifah dan Abu Bakar telah menjadi khalifah secara fait accompli (yang terjadi sudahlah terjadi, nasi sudah menjadi bubur).

Ibnu Qutaybah menulis: “Ketika Abu Bakar telah mengambil kekhalifahan, Ali diseret oleh para pengawal Abu Bakar. Sepanjang jalan Ali berkata, ‘Aku ini hamba Allah dan aku saudara dari Rasulullah.’ Kemudian Ali disuruh untuk berbai’at kepada Abu Bakar secara paksa. Ali berkata: ‘Aku lebih memiliki hak terhadap kekhalifahan ini daripada siapa saja diantaramu. Aku tidak akan berbai’at kepada anda. Malah seharusnya andalah yang berbai’at kepadaku. Anda meminta orang-orang Anshar untuk memberikan bai’atnya kepadamu dengan alasan bahwa anda memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah. Anda telah merampas hak khilafah dari tangan kami, Ahlul Bayt. Bukankah anda telah mengatakan kepada kaum Anshar bahwa anda lebih memiliki hak kekhalifahan dibandingkan dengan mereka karena anda merasa bahwa anda lebih memiliki hubungan kekerabatan daripada mereka. Oleh karena itu, mereka terpaksa menyerahkan kekhalifahan itu kepada anda dan akhirnya mau berbai’at kepada anda. Bukankah begitu? Oleh karena itu, dengan alasan yang sama seperti yang anda ajukan kepada kaum Anshar, aku mengajukan hal yang sama kepada anda. Hubunganku dengan Rasulullah (ketika aku hidup dan ketika beliau wafat) adalah jauh lebih dekat daripada hubungan anda dengan Rasulullah. Apabila anda setia dengan pendapat anda sendiri, maka sebaiknya anda berbuat adil; kalau anda tidak mau melakukanya, maka dengan sepengetahuan anda sendiri anda telah terjatuh kedalam perbuatan tirani’”

‘Umar berkata: ‘Kalau kamu tidak mau berbai’at, kamu tidak akan kami lepaskan. Ali berteriak: ‘Perahlah susunya sebanyak mungkin, hai Umar. Karena sapinya ada di tanganmu. Peliharalah ia hingga kuat karena ia nantinya akan membalas budimu esok lusa. ‘Umar, aku tidak akan patuh terhadap perintahmu; aku takkan berbai’at kepadanya.’

Akhirnya Abu Bakar berkata, ‘Hai, Ali! apabila engkau tidak mau memberikan bai’atmu kepadaku, maka aku tidak akan memaksakan itu kepadamu.”

translated from “Imamate” (a work of Sayyid Saeed Akhtar Rizvi)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN:

1. “Pemilihan” yang dikatakan demokratis itu ternyata tidak demokratis sama sekali karena quorum tidak tercapai. Keluarga paling besar dan paling berpengaruh di jazirah Arab yaitu keluarga Bani Hasyiim dan keluarga Bani Umayyah tidak hadir di tempat dan tidak pernah diberitahu apalagi diundang.

2. Kelompok yang hadir sama sekali tidak mewakili semua atau bahwa sebagian kaum yang ada di jazirah Arabia. Kelompok Khazraj dan Aus (dari golongan Anshar) hanya diwakili beberapa gelintir elit politiknya saja. Kelompok Muhajirin malah “diwakili” oleh tiga orang saja (menurut laporan sejarah di atas).

3. Perwakilan 3 orang dari Muhajirin tidak pernah dikonsultasikan kepada pihak Bani Hasyim yang merupakan kerabat paling dekat dari Rasulullah karena Rasulullah berasal dari suku itu.

4. “Pemilihan” yang ada ialah pertentangan, pertikaian dan adu mulut; jauh benar dengan pemilihan yang terencana dimana para pemilih dengan sadar memilih calonnya. Para calonnya secara sadar berkampanye dan membujuk orang agar memilih dirinya. Ini yang terjadi malah mengejutkan. Abu Bakar sendiri ingin memilih Umar sedangkan Umar menolak dan balas memilih Abu Bakar. Abu Bakar terpilih dengan secara tak sengaja karena ada perpecahan di kalangan kaum Anshar (antara Khazraj dan Aus). Kalau saja kaum Anshar satu suara, maka khalifah pertama mungkin dari mereka. 

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta