(Serial Delapan) SELAMAT NATAL, KIBTI!
Maria Kibti namanya, Kibti panggilannya.
Supel dan lembut perangainya. Cantik orangnya. Tapi bukan karena itu kalau
Timun mengucapkan selamat natal padanya. Kibti adalah satu-satunya karyawan
(seharusnya karyawati, dia kan perempuan!) yang beragama Nasrani. Timun
orangnya sok pluralis dan ia secara demonstratif mengucapkan selamat natal
kepada Kibti di depan Thoha, Umar, ibu Elsa, Noni, Sita, dan Titin yang waktu
itu sedang nonton infotainment (itu
hobi berat mereka yang hanya bisa dikalahkan oleh rasa lapar dan dahaga, atau
rasa kantuk yang menyiksa) di ruang guru.
"Selamat Natal, Kibti! Semoga Natal
ini bisa membawakan kebahagiaan lebih padamu tahun ini!", Timun
mengucapkan ini sambil membungkukan badan tanda penghormatan. Ia tidak menjabat
tangan Kibti karena bukan muhrimnya.
"Terimakasih, pak Timun!",
Kibti memanggil Timun dengan sebutan 'pak', karena ia merasa sebagai guru baru
yang baru bergabung dengan lembaga pendidikan dimana Timun bekerja.
"Dimana merayakannya?", tanya
Timun, sekedar basa-basi.
"Jakarta. Saya kan aslinya dari
Jakarta. Oh, ya, saya bawakan sedikit oleh-oleh khusus untuk pak Timun. Ini
dodol. Pak Timun pernah bilang pak Timun kan suka sekali dodol. Ini dodol
Betawi, asli lho. Cuma untuk pak Timun karena pak Timun seringkali membantu
saya selama menjalani 3 bulan pertama mengajar di sini!", Kibti
menyerahkan bungkusan rapi yang, tentu saja, isinya dodol. Masa terasi!
Kemudian setelah itu mereka asyik
mengobrol ngalor-ngidul, ngetan-ngulon, apa lagi?
---------------------------------------------------------------------------------------
Saat makan siang menjelang. Timun diajak
makan siang bersama oleh teman-teminya (lelaki dan perempuan). Mereka adalah
Titin, Joko (mereka katanya sedang pedekate
alias pendekatan), kemudian ibu Elsa, Hadijah, Thoha, dan tentu saja Umar
(Umar selalu ada karena ia salah seorang guru tetap bersama Timun dan ibu Elsa.
Jadi mereka seringkali saling bertemu satu sama lainnya). Mereka memilih makan
di restoran kecil sesuai dengan pendapatan guru yang juga kecil.
Sewaktu menunggu pesanan tiba, Thoha
angkat bicara. Biasa, tentang Timun punya gaya.
"Mun, mengapa kamu tadi mengucapkan
selamat natal sama si Kibti. Bukankah itu haram
hukumnya?", setengah menghardik.
"Siapa yang berani
mengharamkan?", Timun balik tanya sambil pura-pura keheranan.
"Ya, para ulama yang ngomong gitu.
Siapa lagi yang punya wewenang untuk membuat fatwa", jawab Thoha.
"Alhamdulillah. Syukurlah. Saya kira para Nabi yang melarang",
jawab Timun sekenanya, sambil menyedot teh botol yang sudah tadi mereka pesan.
Sampai habis.
"Bang! Teh botolnya lagi dong.
Bocor nih", Timun sedikit berteriak memesan minuman.
"Mun, apa kamu ini tidak takut
kualat. Mengapa kamu tidak ikut fatwa para ulama itu?", tanya Thoha.
"Gus Dur juga tidak ikut. Kalau Gus
Dur ikut, saya ikut. Ia kan juga ulama. Malah mungkin lebih pinteran dia dibanding ulama
lainnya", jawab Timun sekenanya (lagi!).
"Aku sih mengucapkan itu karena aku
turut bergembira atas kelahiran salah seorang utusan Tuhan, seorang Nabi yang
kita semua hormati, Nabi Isa 'Alayhi
Salaam. Kalau bergembira karena hari itu hari lahir dari utusan Tuhan,
mengapa pula itu harus diharamkan?", Timun sekali lagi menghabiskan teh
botolnya (haus amat nih orang!).
"Bang lagi, satu botol!",
teriaknya.
"Mun, hari lahirnya kan masih
misterius. Ada yang bilang tanggal 25 Desember itu hari kelahiran dewa
matahari. Jadi itu bukan hari kelahiran Nabi Isa. Itu sich kata orang", Thoha ngomong. Dan ia mencari selamat
dengan menisbahkan kata-katanya sebagai 'kata
orang' supaya kalau salah ia masih bisa berkelit, "Kan itu kata orang
bukan kata saya".
"Iya, Mun. Aku seringkali bingung
dengan kebiasaanmu itu yang kayaknya enggak ada habis-habisnya bikin
perkara", Umar ikut bicara. Juga yang lain menyalahkan Timun secara
aklamasi (ngeroyok nich ye!).
"Perkara hari kelahiran Nabi Isa
yang masih misterius kapan tepatnya, saya kira itu bukan masalah. Sama sekali
bukan masalah. Nabi kita sendiripun masih misterius hari kelahirannya. Ada
sebagian dari kita yang bilang 12 Rabi'ul
awwal. Sebagian lagi, sekelompok kecil, mengakui bahwa yang benar ialah
tanggal 17 Rabi'ul awwal. Lalu mana
yang benar? Entahlah. Kita tidak bisa menentukan bahwa 12 Rabi'ul awwal-lah yang benar hanya gara-gara lebih banyak orang
yang percaya--walau tanpa meneliti sendiri, hanya kata kiyai ketika mereka
mengaji--bahwa itu hari kelahiran Nabi", Timun berhenti sejenak untuk
sekedar menyedot teh botolnya yang entah mengapa perasaan sangat nikmat di
tenggorokannya. Mungkin hari panas di luar dan air dalam botol cukup dingin
untuk menetralisir panas dan teriknya cuaca sekitar.
Kemudian Timun melanjutkan, "Bisa
saja yang benar itu tanggal 17 bukan 12. Kebenaran kan bukan diukur dari
banyaknya orang yang percaya. Lagi pula kita tidak memiliki bukti berupa surat
kenal lahir, misalnya. Tahun kelahiran Nabi kita pun kan masih misterius. Tapi,
sekali lagi itu tidak penting. Karena yang jauh lebih penting dari itu ialah
mereka lahir dan membuat perubahan di dunia ini kearah yang jauh lebih baik.
Kecintaan kita terhadap Nabi jauh lebih penting daripada meributkan tanggal
kelahirannya", tandas Timun.
Pesanan telah datang. Untuk sementara
mereka asyik menggasak hidangan yang tersedia sesuai dengan pesanan mereka
masing-masing. Semua memuji rasanya. Semua gembira. Ini pertanda baik.
"Mun, kan mereka itu menganggap
Yesus sebagai Tuhan dan itu tentu saja perkataan kafir. Sesungguhnya telah kafirlah orang yang
mengatakan bahwa Allah itu ialah Isa putera Maryam", Umar berkata berapi-api
sambil menyitir penggalan ayat suci al-Qur'an (QS. Al-Maaidah: 17).
"Jadi kalau kamu mengucapkan
selamat berarti kamu menyetujui perkataan mereka itu. Dan kalau kamu menyetujui
perkataan mereka, maka kamu juga sudah menjadi kafir. Maka dari itu para ulama
mengharamkan kita untuk mengucapkan selamat hari natal", kata Umar dan
diiyakan oleh yang lainnya (sekali lagi mereka sangat kompak untuk hal
ini!). Tetapi, Timun tidak merasa sedang diadili . Ia malah asyik sendiri
dengan makanannya. Sungguh lezat, katanya.
"Mun, jawab dong", kata ibu
Elsa yang dari tadi memilih untuk berdiam diri sekarang ikut rembug menyumbang
suara.
"Bu, sebenarnya saya males menjawab
karena pernyataan tadi kan logikanya loncat-loncat. Capek mengejarnya. Habis
loncat-loncat sih", Timun sekarang sedang menghabiskan sisa-sisa makanan
yang ada di piringnya. Sementara itu piring-piring yang lain masih terisi
setengah. Dengan tersenyum ia ngomong ke mereka, "Saya mau nambah
nih".
"Dasar!", kata mereka serempak
sambil tersenyum sebal.
"Saya kan bisa mengucapkan selamat
natal tanpa harus mempercayai apa yang diyakini oleh umat Kristiani bahwa Yesus
itu anak Allah. Dan itu artinya saya tidak bisa dituduh kafir, kan?",
tanya Timun. Yang lain terdiam karena merasa ada kebenaran dalam ucapan Timun.
"Lalu mengapa pula saya mengucapkan
selamat natal itu tidak lain karena saya mengikuti al-Qur'an saja", kata
Timun. Ia sudah selesai dengan ritualnya: menyantap habis semua hidangan.
"Hah! Mana mungkin al-Qur'an
menyuruh kita untuk mengucapkan selamat natal?", sekarang Joko berteriak
terkejut. Karena ia terlalu keras ngomongnya, sebagian dari tamu lain ikut
menoleh kepada mereka. Untunglah restoran itu tidak begitu ramai hari itu.
Timun tidak terpengaruh sedikitpun oleh
teriakkan itu. Ia melanjutkan perkataannya, "Al-Qur'an bilang:
"Dan
kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari
aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali. Itulah Isa putera
Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan
tentang kebenarannya" (QS. Maryaam:
33--34)
Itu surat Maryam ayat tiga-tiga dan
tiga-empat. Kamu cek lagi kalau tak percaya. Disana dijelaskan 'kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku
pada hari aku dilahirkan' itu ucapan Nabi Isa. Ia juga Nabi kita. Nabi
yang kita semua hormati. Orang Islam harus beriman pada Nabi-Nabi yang diutus
olehNya, itu termasuk rukun iman kita. Kecintaan kita kepada Nabi-Nabi utusan
Tuhan itu sebagian dari iman. Dan tentu saja menuruti ucapan Nabi itu ialah
akhlak yang baik. Kata-kata seorang Nabi ialah kata-kata yang baik; ayat yang
saya bacakan tadi juga menyatakan bahwa perkataannya ialah perkataan yang
benar. Jadi mustahil Nabi mengajarkan kejelekan. Karena setiap Nabi mengajarkan
kebaikan maka perkataannya tentu saja jangan diabaikan; apalagi kata-katanya itu
disuratkan dalam al-Qur'an", Timun menghabiskan teh botolnya. Ia duduk
bersandar meluruskan perutnya supaya makanan yang ia santap tadi masuk lebih
dalam, memberikan ruang pada makanan lain yang akan ia pesan dan akan ia makan
kemudian..........................
"Mun, kan hari lahirnya masih
misterius?", sekarang giliran Titin menyela. Ia sepertinya tidak menyimak
penjelasan Timun sebelumnya atau memang ia sedikit 'telmi' (telat mikir).
"Kita merayakan maulid Nabi besar
Muhammad setiap 12 Rabi'ul awwal tanpa memperdebatkan lagi kepastian dari
tanggal itu karena itu memang tidak usah diperdebatkan. Yang penting kan
lahirnya, bukan tanggalnya. Yang penting kan keyakinan dan kecintaan kita kepadanya,
bukan kepastian akan kapan kelahirannya. Dan untuk orang yang sangat kita
cintai, tanggal kelahiran menjadi kehilangan arti. Kalau boleh, setiap hari
kita peringati maulid Nabi itu. Itu saking cintanya. Begitu juga umat
Kristiani. Mereka tidak peduli apa 25 Desember itu benar-benar hari lahir Yesus
atau bukan karena yang penting ia telah lahir dan memberikan kesejahteraan pada
manusia".
"Naaaaaaahh! Pesananku telah tiba!
Makananku telah datang!", kata Timun kegirangan. Yang lain menghentikan
pembicaraannya untuk sekedar memberikan Timun kesempatan untuk memuaskan nafsu
makannya.
Mereka semua sayang Timun walau Timun
sering membuat mereka kesal dan sebal.
"Everybody
loves Timun, hoooooooooraaaaayy!"
Comments