BAGAIMANA UMAR MENJADI KHALIFAH (kisah tentang sebuah surat sakti)

Mayoritas saudara kita dari kalangan Ahlu Sunnah (Sunni) meyakini bahwa yang terjadi di Saqifah itu ialah sebuah perwujudan dari semangat demokratis dalam Islam (walaupun dengan keheranan kita harus bertanya: Sejak kapan Islam mengenal demokrasi? Bukankah demokrasi itu berasal dari luar Islam?—red). Dengan pandangan seperti itu maka sudah sewajarnya apabila kita mengharapkan bahwa “PEMILIHAN DEMOKRATIS”  (lengkap dengan segenap artinya dan atribut yang di sandangnya dalam konteks “pemilihan” di Saqifah) itu akan berlanjut untuk dijadikan dasar pemilihan khalifah berikutnya. Bukankah wajar apabila sebuah sistem itu akan dilanjutkan untuk dijadikan dasar dari suatu peristiwa yang sama? Bukankah wajar apabila sebuah aturan pemilihan pemimpin itu sama dari satu pemilihan pemimpin ke pemilihan pemimpin yang lain.

سنة من قد أرسلنا قبلك من رسلنا ولا تجد لسنتنا تحويلا

“(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan Kami itu” (QS. Al-Israa: 77)

Ketetapan atau aturan Allah itu senantiasa tetap dan tidak berubah. Aturan untuk “pemilihan” khalifah sebagai penerus kepemimpinan Rasulullah pun seharusnya tidak berubah. Aturannya harus tetap karena ia berasal dari Tuhan yang sama untuk menggantikan Rasul yang sama pula. Ketentuan pemilihan khalifah itu seharusnya sama dari satu khalifah ke khalifah yang lainnya. Kalau pemilihan Abu Bakar itu dianggap “demokratis” karena dianggap mencerminkan “semangat demokratis”, maka sudah sewajarnya kalau kita menginginkan hal yang sama terjadi untuk pemilihan khalifah berikutnya setelah khalifah Abu Bakar selesai menjabat. Ingat! Ketetapan Allah itu tidak berubah. Apalagi ini menyangkut sesuatu yang teramat penting dalam kehidupan manusia yaitu menentukan calon pemimpin dan memilihnya untuk dijadikan panutan dan suri teladan sebagai perwujudan sempurna dari nilai-nilai keIslaman seperti yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah Al-Mustafa, junjungan sekalian alam. Akan tetapi keingingan tetaplah keinginan. Rupanya elit politik jaman dulu pun seringkali suka bermain. Bermain dan berjudi untuk memperebutkan kepemimpinan dan kekuasaan. Lihatlah buktinya dalam sejarah berikut ini.

Abu Bakar merasa berhutang budi pada Umar bin Khattab. Umarlah yang telah menjadikannya khalifah dan untuk itu Abu Bakar ingin menjadikan dia menjadi khalifah berikutnya. Hitung-hitung membalas hutang budi yang cukup tinggi dari Umar bin Khattab sahabatnya yang sejati. Abu Bakar tahu betul kalau kaum Muslimin disuruh atau diberikan kesempatan untuk memilih pemimpin, mereka tidak akan mau memilih Umar bin Khattab. Umar bin Khattab takkan mungkin mendapatkan kesempatan menjadi pemimpin kaum Muslimin. Mengapa? Karena sepengetahuan kaum Muslimin waktu itu, Umar dikenal sebagai orang yang “fadzhun ghaliidzhul qalbi” atau “kasar dan hatinya keras”. Oleh karena itu, Abu Bakar berniat untuk memilih langsung pengganti dirinya. Ia ingin memilih Umar secara langsung tanpa melibatkan kaum Muslimin. Ini jelas bertentangan dengan cara pengangkatan dirinya dulu ketika menjadi khalifah.

Sejarawan Sunni, At-Tabari menulis: “Abu Bakar memanggil Utsman bin Affan (waktu itu Abu Bakar sedang menjelang sakaratul maut). Abu Bakar memanggilnya untuk menuliskan sebuah “SURAT PERINTAH”. Abu Bakar mendiktekan surat itu kepada Utsman bin Affan:

‘Dengan Nama Allah yang maha pengasih dan penyayang. Ini surat perintah dari Abdullah ibn Abi Qahafah (Abu Bakar—red) kepada seluruh kaum Muslimin. Dengan ini……….(kemudian Abu Bakar pingsan). Utsman kemudian menambahkan kata-kata sebagai berikut: ‘saya menunjuk Umar bin Khattab sebagai penerusku untuk memimpin kalian.’

“Kemudian Abu Bakar kembali siuman dan menyuruh Utsman bin Affan untuk membacakan surat perintah itu kepadanya. Utsman membacanya kemudian Abu Bakar bertakbir: Allahu Akbar!, dan kelihatan ia senang sekali sambil berujar, ‘Aku kira anda ini takut kalau orang-orang tidak setuju dan bertengkar satu sama lain apabila aku meninggal lebih dulu (belum sampai mendiktekan surat itu).’ Utsman menjawab, ‘Betul. Memang demikian  adanya.’ Abu Bakar kemudian berkata, ‘Semoga Allah memberikan balasan atas budi baikmu atas Islam dan kaum Muslimin.’ (lihat: at-Tabari: at-Tarikh, halaman 2138—2139). Dengan itu selesailah surat perintah itu dan Abu Bakar memerintahkan agar surat itu dibacakan di hadapan kaum Muslimin.
Ibn Abi ‘l-Hadid al-Mu’tazili menuliskan sebagai berikut: “Ketika Abu Bakar kembali siuman dari pingsannya dan si penulis surat itu membacakan apa yang telah ia tuliskan dan Abu Bakar mendengar nama “Umar” dibacakan maka Abu Bakar bertanya kepada si penulis surat itu, “Bagaimana anda sampai menuliskan nama ini?” Si penulis surat menjawab, “Anda tidak mungkin melupakan nama ini.” Abu Bakar menjawab, “Anda benar.” (lihat: Ibn Abi ‘l-Hadid al-Mu’tazili: Sharh, volume 1, halaman 163—165).

Tidak lama setelah itu, Abu Bakar meninggal.

Umar mendapatkan tampuk kekhalifahan dengan sepucuk surat perintah pengangkatan tersebut di atas. Mau tidak mau ingatan kaum Muslimin kembali kepada sebuah kejadian (Ibnu Abbas malah menamakan kejadian ini sebagai sebuah tragedi, yaitu TRAGEDI HARI KAMIS). Kejadian ini atau tragedi ini terjadi kira-kira tiga atau lima hari sebelum Rasulullah wafat.
Dalam Sahih Muslim diriwayatkan oleh Ibnu Abbas sebagai berikut:

“Tiga hari sebelum Rasulullah wafat, Umar bin Khattab dan para sahabat lainnya datang menemui Nabi di pembaringannya. Rasulullah berkata, ‘Sekarang akan aku tuliskan sesuatu untuk kalian berupa surat wasiat agar kalian tidak tersesat sepeninggalku.’ Umar berkata dengan keras, ‘Rasulullah sedang mengigau; cukuplah Kitabullah di samping kita.’ Pernyataan Umar yang tidak sopan ini mengundang kegaduhan di antara orang-orang yang hadir di kamar Nabi itu. Mereka bertengkar satu sama lainnya. Sebagian sahabat yang setia berkata bahwa apa-apa yang dikatakan dan diperintahkan oleh Nabi itu harus didengar dan dipatuhi agar nanti Rasulullah bisa menuliskan apapun yang hendak beliau tuliskan untuk kebaikan umat. Sebagian lain memihak Umar dan tidak memberikan kesempatan pada Rasulullah untuk menuliskan surat wasiat. Ketegangan memuncak dan kemarahan terdengar di sana-sini akhirnya Rasulullah berkata, “Pergilah kalian semua dan menjauhlah dariku”

(Kejadian di atas anda bisa lihat dalam
1.  Muslim: as-Shahih (“Kitabu ‘l-Wasiyyah”, Babu’t-tarki ‘lwasiyyah), volume 5, halaman 75—76

2. al-Bukhari: as-Shahih, (Cairo, 1958), volume 1, (“Kitabu ‘l-‘Ilm”), halaman 38—39; volume 4, halaman 85; volume 6, halaman 11—12; volume 7 (“Kitabu ‘t-Tib”), halaman 155—156; volume 9, (“Kitabu ‘l I’tisam bi ‘l-Kitab wa ‘s-Sunnah”), halaman 137. Menarik untuk diketahui di sini ialah bahwa Bukhari menyatakan kalimat “Rasulullah sedang mengigau” akan tetapi ia menghapuskan nama orang yang mengatakan kalimat yang amat tidak sopan untuk Rasulullah itu. Akan tetapi lucunya ialah ketika Bukhari mengubah kalimat itu supaya lebih sopan lagi, ia menuliskan nama Umar secara jelas dan tegas sebagai orang yang mengucapkan kalimat tersebut. Rupanya Bukhari ingin melindungi Umar atas ketidak sopanan yang telah ia perbuat kepada Rasulullah.

3. Ibn Sa’d: at-Tabaqat, volume 2, halaman 242, 324f, 336, 368

4. Ahmad ibn Hanbal: al-Musnad, volume 1, halaman 232, 239, 324f, 336, 355.)

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kita lihat kembali peristiwa dimana Abu Bakar mendiktekan surat yang kurang lebih mirip dengan keadaan dimana Rasulullah terbaring sakit dan hendak menuliskan surat wasiat. Abu Bakar yang tidak memiliki kema’shuman (artinya sangat mungkin melakukan kesalahan dan dosa karena tidak diberikan perlindungan dari Allah dari dosa) mendiktekan surat wasiat pengangkatan dengan kondisi kesehatan yang sangat parah. Malahan ia sempat pingsan ketika mendiktekan surat itu kepada Utsman sebelum ia sempat menyebutkan siapa penerus kepemimpinan berikutnya. Akan tetapi meskipun demikian Umar tidak pernah mengatakan bahwa ABU BAKAR ITU MENGINGAU atau dikuasai sakitnya.

Tidak ada satu orangpun yang bisa memastikan apa yang hendak dituliskan oleh Rasulullah itu. Akan tetapi kalimat yang beliau pergunakan memberi kita sedikit gagasan akan apa yang sebenarnya beliau hendak tuliskan waktu itu. Dalam beberapa kesempatan Rasulullah pernah bersabda:

“Wahai manusia! Sesungguhnya, akan aku tinggalkan bersama kalian dua hal yang sangat berharga yaitu Kitabullah dan Keturunanku, Ahlul Baytku. Berpegang teguhlah kepada keduanya kuat-kuat, sehingga engkau takkan pernah sesat selamanya”

Ketika Rasulullah menggunakan kata-kata yang sama 5 hari sebelum wafatnya (yaitu kata-kata: “………akan aku tuliskan untuk kalian sebuah wasiat yang apabila kalian berpegang teguh padanya maka kalian takkan sesat selamanya sepeninggalku”), maka dengan mudah kita menebak dan  menyimpulkan apa yang sebenarnya Rasulullah ingin tuliskan. Rasulullah ingin menuliskan agar kita berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Ahlul Baytnya. Umar tahu akan hal ini. Oleh karena itu ia berkata, “Cukuplah Kitabullah di samping kita.” Umar tidak ingin berpegang teguh kepada Ahlul Bayt seperti yang hendak diwasiatkan oleh Rasulullah kepada kita.

Mungkin memang Umar telah menduga hal ini dari semula bahwa Rasulullah hendak mewasiatkan agar kita berpegang teguh kepada Kitabullah dan Ahlul Baytnya. Itu tampak dari klaim dirinya ketika ia berujar: “Cukuplah Kitabullah di samping kita.” Ia ingin memberitahu Rasulullah secara langsung bahwa ia tidak akan berpegang teguh kepada Ats-Tsaqalayn (Dua hal yang sangat berharga). Satu saja cukup bagi Umar……….dan ia telah memilih Kitabullah saja.

Umar sendiri di kelak kemudian hari mengaku kepada Abdullah bin Abbas:

“Aku tahu sekali bahwa ia (Rasulullah), dalam sakitnya,  ingin menyebutkan namanya (nama Ali), oleh karena itu saya cepat-cepat mencegahnya.”
(lihat: Ibn Abi ‘l-Hadid: Sharh, volume 12, halaman 21 (mengutip dari Tarikh Baghdad  yang tditulis oleh al-Khatib al-Baghdadi)

Mungkin dengan alasan bahwa “Rasulullah telah mengigau” (seperti yang disebutkan oleh Umar), sudah cukup bagi Umar untuk menolak wasiat itu walaupun misalnya Rasulullah telah berhasil menuliskan wasiat itu. Umar dan para begundalnya akan berkata “karena wasiat itu ditulis dalam keadaan mengigau maka wasiat itu kehilangan validitasnya.”




taken and translated from IMAMATE a scientific work of The Late Sayyid Saeed Akhtar Rizvi (May His Holy Soul Rest in Peace)

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta