(bagian 2) BAGAIMANA ABU BAKAR SAMPAI MENJADI KHALIFAH


Abu Bakar akhirnya menjadi khalifah. Nasi telah menjadi bubur. Sejarah tak bisa direka-ulang. Yang terjadi sudah terjadi dan meninggalkan bekas luka yang dalam di tubuh umat Islam. Luka yang tak mungkin tersembuhkan. Lalu bagaimana ini bisa terjadi? Berikut ulasannya.

1. Sudah menjadi kebiasaan di masyarakat Arab pada waktu itu apabila seseorang telah diangkat menjadi pemimpin walaupun itu diangkat oleh sekelompok kecil orang, maka orang-orang yang tidak boleh menentangnya walaupun ia tidak setuju dengan orang itu. Orang-orang yang ada di sekitarnya diharuskan untuk membai’atnya tanpa basa-basi dan tanpa banyak omong lagi. Kebiasaan ini diketahui benar oleh Abbas bin Abdul Muthalib (paman Nabi). Dan ia pada suatu ketika berkata kepada Ali: “Ulurkanlah tanganmu supaya aku bisa membai’at dirimu………karena begitu ini telah terjadi maka tidak ada seorangpun yang bisa mengambilnya darimu.”

Dan kebiasaan inilah yang menyebabkan Sa’ad bin Ubaydah bergegas membujuk-bujuk kaum Anshar agar segera mengambil kekhalifahan itu sebelum orang lain mengambil itu lebih dulu.

Dan kebiasaan yang sama inilah yang menyebabkan seseorang memberitahu Umar agar cepat-cepat bergegas menuju Saqifah dengan kata-kata “sebelum segala sesuatunya terlambat dan segala yang sudah diputuskan tak mungkin bisa diubah lagi.” Dan karena kebiasaan atau adat istiadat ini pula maka setiap orang menerima Abu Bakar menjadi seorang khalifah…………nasi sudah menjadi bubur…………masyarakat kota Madinah akhirnya terpaksa mengikuti orang-orang untuk berbai’at kepada Abu Bakar.

2. Ali tahu benar akan kebiasaan masyarakat Arab ini. Mungkin ada yang bertanya: “Kalau tahu akan kebiasaan masyarakat Arab itu seperti itu mengapa Ali tidak mau memberikan tangannya untuk dibai’at oleh Abbas seraya berkata kepadanya, ‘Adakah orang lain selain aku yang kira-kira akan dibai’at oleh orang-orang?’” (seolah-olah Imam Ali ingin menegaskan bahwa hak khilafah itu tidak lain melainkan untuk dirinya sehingga tidak ada kepentingannya untuk membai’at dirinya karena memang sudah mafhum setiap orang telah mengetahui adanya pelantikan di Ghadir Khum—red)

(Lihat Ibn Qutaybah: al-Imamah wa ‘s-siyasah, vol. 1, halaman 4; lihat juga al-Mawardi: al-Ahkamu ‘s-sultaniyyah, halaman 7)

Imam Ali tahu benar bahwa khilafah itu bukanlah hak umat untuk diperebutkan oleh mereka. Imam Ali tahu bahwa khilafah itu bukan ditunjuk oleh rakyat dan dari rakyat. Imam Ali tahu benar bahwa khilafah itu adalah tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh Allah dan bukan diberikan oleh umat. Karena Imam Ali telah diangkat oleh Allah melalui Nabi dan diberikan tugas Imamah (kepemimpinan) (dalam beberapa kesempatan dan puncaknya di Ghadir Khum—red), maka beliau melihat tidak perlu adanya ketergesaan untuk meminta bai’at dari umat. Imam Ali tidak mau menciptakan kesan bahwa Imamah itu datangnya dari umat sehingga ia harus menghiba pada umat untuk meminta bai’at. Apabila umat datang kepada Imam Ali dan memberikan bai’atnya atas pengangkatan beliau di Ghadir Khum, maka itu baik dan bermanfaat bagi orang yang memberikan bai’at kepada Imam Ali itu. Sementara apabila mereka tidak memberikan bai’at kepada Imam Ali, maka kerugian ada di pihak orang yang tidak memberikan bai’at itu.

3. Sekarang kita lihat lagi apa yang terjadi di Saqifah. Selama masa hidup Rasulullah, mesjid selalu menjadi pusat aktifitas kaum Muslimin. Di mesjidlah semua keputusan yang penting dibuat seperti keputusan untuk melangsungkan peperangan dan gencatan senjata atau keputusan untuk damai; juga acara lainnya seperti penyambutan perwakilan negara lain, khutbah-khutbah dan ceramah dan juga tidak lupa keputusan hukum semuanya dibuat dan dilangsungkan di tempat ini. Oleh karena itu, tidak heran ketika umat mengetahui bahwa Rasulullah sudah meninggal dunia, maka seluruh umat Islam berkumpul di mesjid.

Lalu mengapa ada sekelompok kecil orang di pimpin oleh Sa’ad bin Ubadah berkumpul di Saqifah—sebuah tempat terpencil sekitar 4,5km jauhnya dari kota Medinah—padahal tempat itu terkenal dengan reputasinya yang sama sekali tidak baik? Bukankah itu mudah sekali ditebak? Mereka itu mau mengakali jabatan khalifah tanpa sepengetahuan orang-orang. Mereka ingin mendudukan Sa’ad bin Ubadah.

Bukankah kalau mereka itu berniat baik, mereka akan datang ke mesjid dan mendeklarasikan khilafah bagi Sa’ad bin Ubadah? Mengapa mereka memilih tempat terpencil untuk tujuan itu? Tidak ada penjelasan lain yang masuk akal selain karena mereka takut tidak bisa mewujudkan mimpinya itu apabila niat mereka diutarakan di mesjid nabi. Mereka tahu bahwa Imam Ali lebih berhak untuk jabatan ini selain karena kekerabatan yang amat dekat dengan Nabi juga karena Nabi pernah mengangkatnya di Ghadir Khum.

4. Ketika Umar dan Abu Bakar mengetahui akan adanya pertemuan rahasia ini, mereka berdua sedang berada di mesjid. Demi mengetahui itu mereka segera meninggalkan mesjid dan bergabung dengan pertemua itu. Pertanyaan yang timbul ialah: “Mengapa Umar dan Abu Bakar tidak memberitahu orang-orang tentang pertemuan rahasia itu? Mengapa Umar dan Abu Bakar disertai dengan orang yang memberitahu mereka yaitu Abu Ubaydah bertiga beranjak dari mesjid secara hati-hati dan meninggalkan mesjid secara diam-diam? Apakah mereka melakukan itu karena mereka takut ketahuan? Apakah mereka kabur diam-diam dari tempat itu karena mereka melihat ada Ali dan keluarga Bani Hasyim (yang jauh lebih berhak terhadap kekhalifahan—red) ada di mesjid dan Abu Bakar serta Umar tidak ingin keluarga Bani Hasyim tahu tentang rencana jahat mereka? Mereka tampaknya takut kalau Ali tahu akan pertemuan di Saqifah dan kemudian ia juga ikut pergi ke sana maka Abu Bakar dan Umar tidak akan bisa menjalankan rencananya untuk merebut kekhalifahan. Mereka tidak akan berhasil mendapatkan khilafah apabila Ali ada di sana.

5. Ketika Abu Bakar menggembar-gemborkan keutamaan kelompok Muhajirin sebagai kelompok yang paling dekat kekerabatannya kepada Rasulullah, apakah ia tidak tahu bahwa ada orang-orang yang kekerabatannya dengan Rasulullah sangatlah dekat dibandingkan dengan kekerabatan dirinya? Apakah Abu Bakar tidak tahu bahwa ada orang-orang yang memiliki klaim kekhalifahan yang jauh lebih kuat ketimbang dirinya karena orang-orang itu berasal dari keluarga suci Rasulullah? Orang-orang yang masih memiliki hubungan darah dengan Rasulullah?

Tidaklah salah kalau Ali bin Abi Thalib segera bersabda:
“Mereka telah berhujjah dengan pohonnya tapi mereka melupakan buahnya” (Lihat: Ar-Radi: Nahjul Balaghah, Edisi Subhi as-Salih, terbitan Beirut, halaman 98)

Apabila kita cukup memiliki akal sehat, maka kita akan segera melihat bahwa peristiwa pengangkatan Abu Bakar itu sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai “pemilihan umum yang adil, jujur dan bersih” dengan alasan sebagai berikut:

1. Para pemilih (seharusnya seluruh kaum Muslimin yang bertebaran di seluruh jazirah Arab atau paling tidak seluruh Muslim di kota Madinah) sama sekali tidak tahu akan adanya pemilihan. Mereka tidak tahu kapan dan dimana akan diadakan pemilihan itu.

2. Para bakal calonnya pun bahkan tidak tahu apa yang bakalan terjadi di Saqifah. Tidak ada calon yang benar-benar calon karena sebelumnya mereka tidak pernah dijadikan calon. Masing-masing orang yang hadir mendambakan posisi khalifah itu untuk diri mereka sendiri. 
Sehubungan dengan dua poin di atas, Imam Ali bersabda:

Kalau memang benar engkau telah mendapatkan kekuasaan dengan cara musyawarah bersama kaum Muslimin untuk mencapai mufakat

Lalu bagaimana itu bisa terjadi kalau yang engkau ajak musyawarah itu tak ada di tempat

Dan kalau engkau mengalahkan lawanmu dengan menunjukkan betapa dekatnya engkau dengan Rasulullah bagai kerabat

Lalu mengapa engkau lupakan orang yang lebih berhak dan kepadanya Rasulullah hubunganya lebih erat dan dekat

(Lihat: Ar-Radi: Nahjul Balaghah, Edisi Subhi as-Salih, terbitan Beirut, Kata-kata mutiara no. 190, [halaman 502—503] Kata-kata Imam Ali bin Abi Thalib telah dikutip oleh ash-Sharif ar-Radi dan dituliskan sebagai kata-kata mutiara no. 190 yang bunyinya sebagai berikut: “Betapa anehnya? Apakah khilafah itu turun melalui hubungan sahabat Rasulullah dan bukan melalui hubungan sahabat Rasullah ditambah dengan hubungan keluarga Rasulullah?” Cukup mengejutkan apabila kita lihat dalam edisi Subhi as-Salih dan edisi Muhammad Abduh (Beirut, 1973) kata-kata “dan bukan melalui hubungan sahabat Rasullah” Apabila anda ingin mendapatkan kalimat yang penuh dan lengkap anda bisa lihat versi kata-kata mutiara ini secara utuh dalam Sharh yang ditulis oleh Ibn Abi ‘l-Hadid (Cairo, 1959), volume 18, halaman 416)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dengan tegas dan penuh keyakinan kita bisa katakan bahwa “pemilihan umum” yang terjadi di Saqifah itu bukanlah pemilihan umum yang sah, jujur, adil, dan bisa dipertanggungjawabkan. Alasannya sederhana saja: banyak sekali sahabat Rasulullah yang ternama yang tidak sama sekali tidak tahu tentang pemilihan di Saqifah ini. Jadi jangankan hadir, tahu saja mereka tidak. Para sahabat ternama seperti Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdul Muthalib, Utsma bin Affan, Thalhah bin Ubaydillah, Zubayr bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqash, Ammar bin Yasir, Miqdad, Abdurrahman bin Auf, sama sekali tidak pernah diberitahu apalagi diundang.

Satu-satunya argumentasi yang bisa digunakan untuk mendukung keabsahan pengangkatan Abu Bakar itu ialah: “Apapun yang terjadi di Saqifah—karena Abu Bakar telah terpilih menjadi khalifah (dengan menggunakan cara atau adat istiadat yang berlaku di dalam masyarakat suku Arab—jadi bukan dengan cara-cara Islami) dan menggenggam kekuasaan penuh di tangannya, maka ia dianggap sebagai khalifah secara konstitusional”

Dalam bahasa sederhana bisa kita katakan bahwa Abu Bakar itu dianggap sebagai khalifah yang sah hanya karena ia telah berhasil menggunakan kekuatannya. Ia berhasil karena ia telah berhasil memaksakan kehendaknya. Kaum Muslimin di seluruh dunia dan di seluruh jaman diajarkan dan didoktrin untuk mengagungkan peristiwa ini (sebagian kaum Muslimin menjadikannya contoh untuk menggambarkan betapa demokratisnya umat Islam ketika memilih pemimpinnya walaupun sejarah tidak bisa dibohongi bahwa yang terjadi sama sekali tidak demokratis—red). Kaum Muslimin didoktrin untuk memahami bahwa yang paling penting itu ialah  “kekuatan”. Sekali anda memiliki kekuatan dan berhasil duduk di kursi kekuasaan, maka segala sesuatu sudah dianggap benar. Anda akan menjadi khalifah yang “sah”  atau “konstitusional” walaupun usaha untuk meraih kekuasaan itu sama sekali tidak konstitusional.

Untuk menutup tulisan ini, kami akan ketengahkan sebuah komentar dari Umar bin Khattab yang pada hakikatnya merupakan orang yang paling berjasa atas “terpilihnya” Abu Bakar. Umar-lah perancang atau perekayasa politik yang berhasil mengangkat Abu Bakar menjadi khalifah. Umar berkata dalam sebuah khutbahnya ketika waktu itu ia sudah menjadi seorang khalifah:

“Aku diberitahu oleh seseorang bahwa ada seseorang yang berkata: ‘Kalau Umar mati, aku akan berbai’at pada si fulan atau si fulan.’ Aku harap tidak ada orang yang sesat seperti itu dengan mengira bahwa karena pemilihan Abu Bakar itu adalah sesuatu yang tidak bisa diduga-duga, maka ia juga boleh melakukan hal yang sama. Tentu saja, terplilihnya Abu Bakar itu betul-betul tak terduga, akan tetapi Allah telah menyelamatkan kita dari keburukannya. Sekarang apabila ada orang yang berniat untuk melakukan hal yang sama (baca: hal yang sama seperti yang Umar lakukan) maka aku tidak akan segan-segan untuk memotong lehernya”

Sekian.

translated from "IMAMATE" (a work of the late Sayyid Saeed Akhtar Rizvi) 
Soon coming: “Bagaimana Umar bisa menjadi khalifah”

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta