(bagian dua) IMAM JALALUDDIN AS-SUYUTHI TENTANG PERISTIWA KARBALA (oleh KH Jalaluddin Rakhmat)


IMAM JALALUDDIN AS-SUYUTHI DAN PERISTIWA KARBALA

Saya membuka kitab Tarikh Al-Khulafa, ditulis oleh al-hafidz Jalaluddin as-Suyuthi. Saya tidak menemukan rujukan yang dimaksud oleh Syahrudin Elfikri (lihat bagian satu). Kitab yang disebutkannya tidak saya temukan pada Maktabah Ahlil Bayt. Tetapi bila Elfikri menisbatkan rujukan itu pada Jalaluddin As-Suyuthi, sekarang mari kita cek peristiwa Karbala sebagaimana yang ditulis oleh Jalaluddin As-Suyuthi. Apa betul menurut as-Suyuthi bahwa Yazid bukan pembunuh Imam Husain. Saya bacakan langsung dari sumber aslinya:

“Maka Yazid kemudian menulis surat kepada gubernurnya di Irak, yaitu Ubaidillah bin Ziyad untuk membunuh Imam Husain. Lalu dia kirimkan pasukan yang terdiri dari 4000 prajurit yang dipimpin oleh Umar bin Saad bin Abi Waqash (putera dari sahabat Nabi Saad bin Abi Waqash—red). Maka kemudian penduduk Kufah mengkhianati Imam Husain sebagaimana mereka telah lakukan terhadap ayahnya (yaitu Imam Ali). Dan setelah senjata-senjata dihunuskan, Imam Husain mengajak mereka kepada keadaan semula. Dan mereka semua menolak dan bersikeras ingin membunuhnya. Lalu terbunuhlah Imam, dan kepalanya dibawa di dalam sebuah wadah, sampai di hadapan Ibnu Ziyad.”

Perhatikan ucapan Jalaluddin as-Suyuthi setelah itu, “Maka laknat Allah, bagi pembunuhnya, bagi Ibnu Ziyad beserta dia, dan laknat Allah juga bagi Yazid.” (semua kutipan As-Suyuthi diambil Tarikh al-Khulafa, halaman 193, terbitan Darul Kutub al-Islamiyyah, Beirut).

Apabila kita membaca Republika kita dapat pesan bahwa Jalaluddin As-Suyuthi tidak percaya bahwa Yazid memerintahkan pembunuhan Imam Husain. Karena menurut Elfikri, Abu Mikhnaf adalah satu-satunya orang yang meriwayatkan bahwa Yazid adalah pembunuh Imam Husain. Dan Abu Mikhnaf itu adalah pembohong besar. Saya tidak menemukan ucapan-ucapan dalam kitab bahwa Abu Mikhnaf itu adalah pembohong besar kecuali dalam harian Republika. Yang saya temukan dari as-Suyuthi justeru adalah bahwa as-Suyuthi melukiskan peristiwa Karbala dengan sangat dramatis sebagai berikut:

“Terbunuhnya beliau itu ialah di Karbala, dan dalam kisah terbunuhnya itu, ada peristiwa yang panjang, yang hati ini tidak akan sanggup untuk menanggungnya, hati ini tidak akan sanggup untuk mengenangnya. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.” Kemudian ia bercerita pada waktu terbunuhnya Imam Husain: “Matahari itu memudar selama tujuh hari terus menerus, dan langit menguning, kemudian gemintang di malam hari seperti bertubrukan satu sama lain. Dan terbunuhnya itu pada hari Asyura, dan matahari pun mengalami gerhana, dan ufuk-ufuk langit memerah enam bulan terus menerus setelah peristiwa tersebut, dan ada satu bagian kemerah-merahan di langit yang tidak hilang sesudah itu, yang tidak pernah kelihatan sebelumnya. Pada hari itu, tidaklah dibalikkan bebatuan di Baitul Muqaddas kecuali orang-orang melihat di bawahnya darah kental mengalir.” Dan diceritakan oleh beberapa ahli tarikh, bahwa pada hari itu juga terjadi hujan merah.

Di internet saya pernah menemukan sebuah fotokopi scanning sebuah dokumen dari perpustakaan di London, yang kebetulan sama dengan tanggal 10 Muharram 60H. Penulis dokumen ini melingkari sebuah berita di situ bahwa pada tanggal yang sama di London pun terjadi hujan berair merah, seperti hujan darah.

Di sisi lain, di internet ada juga ceramah Dr. Zakir Naik. Dia memberikan ceramah dalam bahasa Inggris . Ketika dia mengucapkan nama Yazid, dia menyebut “May Allah be pleased with him.” Ceramahnya itu mendapatkan reaksi bantahan dan penolakan keras dari para ulama, bahkan ulama-ulama Ahlu Sunnah. Dia pun menambahkan gelaran Sayyidina kepada Yazid dan ia mendapatkan banyak kecaman. Dia mengatakan bahwa Yazid bukanlah pembunuh Imam Husain, bahwa yang bersalah ialah Imam Husain sendiri karena ia ingin merebut kekuasaan yang sah. (lihatlah “Mufti besar Saudi mengatakan cucu Nabi sesat”. Yang membuat penasaran redaksi ialah apakah Dr. Zakir Naik menganggap perbuatan ‘Aisyah sama juga salah karena ia telah memerangi khalifah yang haq yaitu Imam Ali as—pen). Dia berpendapat bahwa kita tidak boleh melaknat Yazid. Bahkan menurutnya Imam al-Ghazali sekalipun tidak melaknat Yazid. Katanya, kita dilarang untuk melaknat Yazid karena ia adalah salah seorang amirul mukminin, dan banyak lagi alasan lainnya.

Dalam telaah kita, kita temukan bahwa as-Suyuthi pun melaknat Yazid. As-Suyuthi ialah ulama besar Ahlus Sunnah, dari madzhab Syafi’i . Semua orang NU di Indonesia—dengan syarat ia Kyai—pasti mengenal nama Jalaluddin as-Suyuthi. Ayah saya dulu seorang Kyai, dan dia ngaji di pesantren, belajar tafsir, namanya tafsir Jalalain. Salah seorang penulisnya ialah Jalaluddin as-Suyuthi. As-Suyuthi adalah ulama besar Ahlus Sunnah dan dai melaknat Yazid. Dia melaknat pembunuh Imam Husain, melaknat Ubaydillah bin Ziyad, dan melaknat Yazid sekaligus.

DHOGO’IN FI SHUDUURI AQWAAMIN

Agak menyimpang dari pembicaraan sebelumnya tapi mungkin berkaitan. Saya ingin memberikan komentar pada selebaran yang dibagikan di Masjid Istiqamah Bandung pada ibadah shalat Jum’at yang lalu. Di sana disebarkan pada jamaah selebaran dengan judul “Kebencian dan Kebohongan Jalaluddin Rakhmat, terhadap Ummul Mukminin ‘Aisyah ra, Imam Bukhari, dan Imam Muslim.” (Rupanya selebaran itu berasal dari Makassar, tertanggal 29 Ramadhab 1429H barangkali hitung-hitung ibadah menutup Ramadhan—Red).

Menurut para sosiologi, ketika seseorang melihat sebuah peristiwa, ia selalu berusaha memberik makna: untuk apa peristiwa itu, mengapa, dan sebagainya. Kita akan mencari hubungannya dengan peristiwa lainnya yang berkaitan dengan peristiwa itu. Kita akan menemukan bahwa sebuah cerita itu saling berhubungan alam kehidupan ini. Sewaktu membaca selebaran ini saya juga tidak paham apa yang dia maksud. Untuk apa sebetulnya Masjid Istiqamah membagi-bagikan ini? Lalu saya berpikir, mungkin, karena sebentar lagi ada acara Asyura. Dan pasti yang memiliki lakonn dalam acara ini ialah Jalaluddin Rakhmat. Dia pasti akan bercerita tentang Karbala, dan dampak dari peristiwa Karbala adalah banyaknya orang yang akan terpengaruh (dan terperangah—red) dengan cerita ini. Saya menduga, sekitar 20% pengunjung ialah orang yang tidak bermadzhab Ahlul Bayt. Orang yang datang ingin mendengar. Kemungkinan besar orang-orang seperti itu akan mempercayai cerita Jalaluddin Rakhmat. Apalagi, karena—menurut selebaran itu—Jalaluddin Rakhmat memiliki keahlian dalam komunikasi. Disebutkan di dalamnya bahwa cara untuk menangkis serangan tersebut ialah menyiapkan suatu benteng dalam hati untuk ditanamkan dalam benak bahwa Jalaluddin Rakhmat itu ialah seorang pembohong besar.

Dahulu pada suatu ketika, Rasulullah Saw berjalan di luar kota Madinah bersama Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan Imam Ali as. Di luar benteng Madinah itu, ada taman-taman yang asri. Imam Ali berkata kepada Nabi, “Ya, Rasulullah. Betapa indahnya kebun-kebun ini.” Rasulullah Saw menjawab, “Sesungguhnya tamanmu di surga jauh lebih indah dari ini.” Beberapa saat kemudian kata Anas bin Malik, Rasulullah Saw meletakkan kepalanya di bahu Imam Ali. Menurut riwayat Imam Ali: Rasulullah meletakkan dahinya di bahuku, kemudian beliau terus menerus menangis, makin lama makin keras. Kemudian Rasulullah Saw memberikan isyarat terhadap jatuhnya Imam Ali, dan orang-orang bertanya kepada Rasulullah: “Mengapa kau menangis, ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Aku sedih, aku menangis, karena kebencian yang ada pada hati kabilah-kabilah itu, dhogo’in fi shuduuri aqwaamin, terhadap kamu hai Ali. Yang tidak mereka tampakkan. Kecuali setelah aku meninggalkan dunia ini.” Jadi Rasulullah meramalkan bahwa suatu saat bakal ada orang yang menampakkan kebenciannya kepada Imam Ali, setelah Rasulullah meninggal dunia. Dan kebencian itu tidak memiliki dasar apa-apa. Bukan benci karena pribadi Imam Ali, karena tidak akan ada seorangpun yang menemukan dalam Imam Ali, suatu kepribadian yang membuat seseorang benci kepadanya.

Murtadha Muthahari pernah menulis tentang gaya tolak dan gaya tarik (quwwatun jaadzibah wa daafi’ah) Imam Ali. Seseorang tidak akan menemukan sesuatu yang membuat mereka benci terhadap Imam Ali. Saya hampir-hampir mengatakan “ini kebencian kolektif”. Rasulullah Saw menyebutnya: “rasa benci pada hati kaum-kaum tersebut terhadapmu”. Dan rasa benci itu bukan disebabkan oleh pribadi Imam Ali. Ketika Ibn Muljam dihadapkann kepada Imam Ali dan Imam Ali dalam keadaan kepala terbaring  bersimbah darah dan wajahnya memutih, Imam Ali melihat Ibnu Muljam terikat. Imam Ali meminta agar ikatan Ibnu Muljam itu dilonggarkan. Imam Ali bertanya padanya: Aku ini pemimpin seperti apakah menurut kamu? Apakah pernah aku menyakiti hatimu? Apakah pernah aku merugikanmu? Bukankah aku dahulukanmu daripada yang lain? Aku sudah tahu bahwa kamu akan menjadi pembunuhku………. tapi aku biarkan kamu. Apa sebetulnya dalam diriku sehingga kau melakukan apa yang kau lakukan kepadaku?
Ibn Muljam tak dapat menjawab. Memang tidak ada alasan untuk membenci Imam Ali. Itu hanya karena sebuah ideologi yang diterapkan terus menerus. Sehingga menyebabkan orang membenci Imam Ali, bukan karena apa-apa, tanpa sebab yang jelas. Dan apa yang terjadi pada Imam Ali, terjadi juga pada Imam Husein. Di padang Karbala, Imam Husein berkata:

“Siapa yang mengenal aku pasti ia mengenal ayahku. Siapa yang tidak mengenaliku, mari aku sebutkan. Siapakah orang yang pertamakali shalat di belakang Rasululllah? Ayahku atau ayahmu?”

Mereka semua tak mampu menjawab, namun mereka tetap ingin membunuh Imam Husein. Itulah kedengkian yang tersembunyi dalam hati, yang baru mereka tampakkan sepeninggal Rasulullah Saw.

Lihatlah apa yang terjadi pada Imam Khomeini. Mengapa ada orang yang tidak mengenal Imam Khomeini namun sangat membencinya. Padahal Imam Khomeini tidak pernah merugikan dia. Imam tidak pernah mengancam kepentingan dia …………….tapi ada orang yang membencinya secara luar biasa.  Facebook saya juga dikotori oleh orang-orang seperti itu, padahala saya sudah berusaha untuk me-remove orang-orang ini, namun mereka muncul kembali dengan nama-nama yang baru. Terpaksa saya harus menerima terus makian-makian terhadap Imam Khomeini. Mereka menggambarkan Imam Khomeini sebagai makhluk paling jahat di dunia. Mengapa mereka melakukan hal tersebut? Tidak jelas. Itu karena kedengkian dalam hati mereka. Dan ini berlaku terhadap semua pengikut Ahlul Bayt.

Bila saudara mencintai Ahlul Bayt, saudara akan tiba-tiba dibenci oleh orang-orang di sekitar saudara. Mereka membenci saudara tanpa alasan yang jelas. Dan jawabannya ialah karena kebencian kolektif itu. Karena itu saya tidak lagi risau terhadap ungkapan-ungkapan kebencian seperti itu. Itu harus kita terima sebagai kenyataan yang ada di tengah-tengah kita. Akan terus ada ungkapan-ungkapan kedengkian, bahkan mungkin ungkapan-ungkapan kekerasan yang diarahkan terhadap kita. Dimulai dengan kekerasan secara verbal, sampai kekerasan fisikal. Mereka sama sekali tidak menggunakan argumentasi. Seseorang yang menumpahkan kebencian terhadap Ahlul Bayt, akan kehilangan cahaya wajah mereka, sedangkan bagi yang mengungkapkan kecintaan mereka terhadap Ahlul Bayt akan memperoleh cahaya di wajah mereka.

Sepanjang sejarah para pengikut Ahlul Bayt selalu dihadapkan kepada kebencian dan kekerasan dalam hidup mereka karena kedengkian orang-orang dalam hatinya. Namun meskipun begitu, kita harus tetap bersikap baik seperti Imam Ali terhadap Ibnu Muljam. Jangan melawan kekerasan dengan kekerasan. Kalau bisa kita ma’afkan. Kita tebarkan ampunan. Seperti kata Imam Ali kepada Imam Hasan tentang Ibnu Muljam: “Jika aku mati, kalian dapat melakukan qishash terhadap dia. Tapi jangan ganggu keluarganya. Jangan melakukan mutilasi, karena Rasulullah melarangnya. Berilah dia pakaian seperti yang kamu pakai.” Imam Hasan bertanya: “Ya, Abah………sampai dalam keadaanmu saat ini kau masih menganjurkan hal yang baik kepada pembunuhmu?” Lalu Imam Ali meminta minuman susu. Konon minuman itu adalah minuman terakhirnya. Imam Ali meneguk sebagian minuman itu, dan menyerahkan sisanya seraya berkata: “Berikan minuman ini kepada Abdurrahman Ibnu Muljam.”

Maka si pembunuh itu beroleh berkah dari cawan suci Amirul Mukminin.

Inilah pelajaran betapa di saat terakhir sekaliun, Imam Ali tidak pernah mengurangi kasih sayangnya kepada sesama manusia bahkan kepada orang yang berbuat keji terhadapnya.

(disampaikan pada peringatan Majlis Duka Husaini, DPW Ijabi Jawab Barat, 7 Muharram 1432H. 7 Muharram adalah saat ketika Imam Husein dan kafilah keluarga Nabi mulai kelaparan dan kehausan, ditahan dari sungai Furat (EFRAT)  oleh ribuan pasukan. Terhatur terima kasih bagi saudara Alfan Arrasuli yang telah mentranskripnya dalam semalam. Labbayka ya Husain!)

dikutip langsung dari Al-Tanwir (edisi no 304, Edisi: 16 Desember 2010/10Muharram 1432H)

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta