(serial Timun Laut episode 12) BATU AJAIB PONARI





"Eh Thoha tolong keraskan sedikit suara televisinya", kata Joko. Ia tadi sekelebatan melihat berita yang menarik perhatiannya: berita tentang munculnya dukun cilik. Selama beberapa hari ini memang berita mengenai "Ponari si dukun cilik" mewarnai seluruh media masa di tanah air yang memang selalu latah memberitakan berita yang sama kalau berita itu sangat menarik perhatian masyarakat. Thoha yang kebetulan sedang berdiri di dekat televisi yang letaknya sekitar lima belas senti dari water dispenser mengeraskan suara televisi itu. Ia juga tertarik pada berita yang sama. Sambil mengaduk-aduk kopi di dalam mug-nya, kedua matanya tertuju pada seorang anak kecil yang sedang mencelup-celupkan sebuah batu kecil sekepalan tangan berwarna sedikit kekuningan. Menurut berita, katanya, batu itu ajaib. Mungkin karena batu itu didapatkan juga secara ajaib; jadilah ia batu ajaib. Batu itu dipercaya bisa menyembuhkan berbagai penyakit baik yang kasat mata maupun yang tidak, semuanya bisa disembuhkan--namanya juga batu ajaib yaaa............. wajar saja kalau kemampuan menyembuhkannya juga ajaib. 

"Wah, payah. Ini orang-orang sudah pada sesat semua", kata Umar yang juga sedang menyaksikan berita yang sama. Selain dirinya dan Thoha serta Timun, juga ada tiga orang lainnya yang sedang menyaksikan berita yang sama melahap makan siang yang kebetulan menunya sama--rendang, perkedel kentang, dan beberapa jumput sayuran yang sudah tidak kelihatan lagi mirip sayuran karena warnanya berubah menjadi coklat kehitaman, bukannya segar kehijauan. Mereka pesan nasi bungkus itu dari warung nasi yang sama dengan harga yang sama. Kompak.


"Iya, ya. Masa batu seperti itu dianggap ajaib dan bisa menyembuhkan", kata Joko. "Batu seperti itu khan bisa saja ditemukan di pekarangan kita", ia menambahkan.

"Memangnya batu ajaib itu bentuknya harus bagaimana?", tanya Timun sambil memasukkan nasi sekepalan ke mulutnya. Joko tidak menjawab. Ia tidak mau menjawab. Mungkin ia memang tidak tahu batu ajaib itu harus seperti apa bentuknya, atau mungkin ia tidak mau berbantah-bantahan dengan Timun yang biasanya memiliki ide aneh dan pandangan aneh tentang segala sesuatu; apalagi yang sedang jadi bahan perbincangan itu memang pada dasarnya sesuatu yang aneh. Tambah aneh lagi nantinya pandangan Timun tentang hal itu.

Umar-lah yang menjawab, "Yaa, yang namanya batu ajaib itu tidak ada sama sekali. Yang ajaib hanyalah Allah semata. Percaya kepada sesuatupun yang selain Allah, tidak berdasar sama sekali. Itu termasuk perbuatan musyrik dan orang yang melakukannya termasuk para penghuni neraka jahanam dan kekal di dalamnya. Allah tidak akan mengampuni dosa perbuatan musyrik dari seseorang tapi akan mengampuni yang selainnya, itupun kalau ia mau bertobat". Umar tampak puas dengan ucapannya. Sementara itu Joko, Thoha, Maria (ia tidak ingin terlibat dalam pembicaraan ini karena ia satu-satunya orang beragama non-Islam yang ada di ruangan itu), ibu Elsa, dan Hadijah tampak manggut-manggut mengiyakan pernyataan Umar dengan bahasa tubuhnya. Hanya Timun yang tidak manggut-manggut. Mungkin ia tidak mau kelihatan seperti burung perkutut milik tetangganya yang suka manggut-manggut di pagi hari. Timun tetap asyik dengan makanannya sambil sesekali mengambil teh botolnya untuk sekedar menghirup teh dingin agar bisa melepaskan dirinya dari perasaan pedas yang melanda lidah dan seluruh rongga mulutnya.


Umar melanjutkan, "Sungguh ironis sekali bukan? Lihat saja mereka yang hadir itu kebanyakan orang-orang miskin dan tidak berpendidikan tinggi. Sudah miskin dan bodoh di dunia, nanti malah menderita di akhirat; itu khan namanya celaka dunia-akhirat. Saya kira umat Islam tidak boleh seperti itu. Pantas saja kalau Allah akan mengadzab orang-orang yang seperti itu karena kemusyrikan itu khan pangkal kebodohan". Entah darimana Umar mendapatkan semboyan seperti itu. Mungkin ia membuat-buatnya sendiri agar kelihatan seperti kalimat yang disitir dari sebuah sumber yang terpercaya.



Timun sekarang beranjak dari duduknya dan ia ngeloyor  pergi keluar untuk mencuci kedua tangannya dari sisa-sisa makanan. Umar menatap kepergian Timun sambil di dalam hatinya ia berharap Timun mau memberikan tanggapan atas pernyataannya itu. Umar ingin tahu apakah Timun punya pandangan lain akan hal ini atau siapa tahu Timun mungkin kali ini bersepakat dengan dirinya tapi Timun mungkin tidak mau mengakui karena merasa malu. Umar merasa gembira kali ini. Ia merasakan aroma kemenangan meliputi seluruh ruangan dadanya; dan berkesimpulan bahwa Timun kali ini tidak memiliki gagasan apapun tentang hal ini. Buktinya ia tidak mau berkomentar barang sedikitpun.

Tapi Umar harus menahan kegembiraan itu karena Timun ternyata tidak mau berkomentar karena ia tidak diminta untuk melakukannya. Setelah selesai mencuci kedua tangannya ia kembali ke ruangan guru untuk menyelesaikan tugasnya menulis untuk blog yang baru dibuatnya beberapa hari yang lalu. Blog itu ia buat untuk mencurahkan segenap pemikirannya agar bisa dibaca orang, diikuti orang, atau dibantah orang--Timun juga mengharapkan ini karena ia senang ada orang yang bisa dijadikannya teman diskusi. Diskusi itu bisa mencerahkan pemikiran. Otak Timun dipakai terus sehingga mudah-mudahan bisa lebih encer daripada otak-otak lainnya yang hanya dijejali informasi yang tidak penting seperti nama para artis lengkap dengan permasalahan hidupnya; para penyanyi dengan hits-hits mereka; lirik-lirik lagu baik barat maupun melayu dan lain-lain. Informasi yang apabila Timun tidak tahu, Timun tidak merasa rugi karenanya.
 
Timun segera mengutak-atik laptop-nya. Ia memasuki dunia maya untuk meneruskan pekerjaannya yaitu menulis di blog-nya. Ia mempunyai sebuah pikiran yang harus cepat-cepat ia tuangkan dalam bentuk tulisan karena kalau tidak idenya itu akan menguap cepat seperti sebongkah es batu di padang pasir--meskipun solid dan keras tapi dengan cepat meleleh ditempa panasnya gurun yang tidak mengenal kawan maupun lawan. Sementara itu teman-teman yang lainnya meneruskan perbincangan mereka tentang sesatnya orang-orang yang berobat pada seorang dukun cilik yang kelihatan polos tak berdosa.

Mereka sibuk; Timun-pun sibuk. Semua sibuk dengan pikiran dan kegiatannya masing-masing.

"Tuh lihat sebagian dari mereka memperebutkan air yang tumpah ruah ke tanah. Iiiih, menjijikan sekali. Apa kata orang kalau melihat hal seperti itu", Ibu Elsa bergidik ngeri melihat pemandangan yang menurutnya tidak lazim itu.

"Iya, yah. Mereka bodoh sekali. Mana mungkin air yang kotor, sudah kena tanah lagi, bisa memberikan kesembuhan pada orang-orang sakit. Apa mereka tidak pernah berpikir", tambah Hadijah. Ia masih sibuk mengunyah daging rendangnya. Ia memang paling telat kalau makan. Terkadang ia menghabiskan waktu yang hampir sama dengan satu episode sinetron picisan di televisi kita untuk sekedar menghabiskan nasi bungkus yang sudah terlebih dahulu jatahnya dikurangi karena Hadijah sering memesan nasinya setengah saja untuk harga yang sama dengan nasi bungkus yang nasinya penuh seperti yang dipesan Timun dan teman-teman lelaki lainnya.


"Mungkin mereka tidak bodoh. Mungkin mereka hanya memiliki cara pandang yang lain dari yang kita miliki. Itu saja", Timun terpaksa ikut nimbrung. Dari tadi ia menahan diri dan ternyata tidak bisa terlalu lama karena ia merasa teman-temannya sudah terlalu jauh melangkah. Itu menurut Timun, tentu saja.

"Bagaimana mungkin mereka tidak bodoh, Mun? Kamu ini ada-ada saja. Kamu lihat saja sendiri. Sudah jelas mereka memperebutkan air kotor untuk obat. Bahkan air bersih yang mereka miliki itu walau telah dicelup batu itu beberapa kalipun saya yakin tidak akan memberikan efek apapun. Saya tidak percaya batu itu bisa menyembuhkan penyakit", kata Umar sedikit keras. Ia, seperti halnya Timun, sudah menyelesaikan makan siangnya. Ia sekarang sedang makan colenak (makanan khas Bandung yang terbuat dari tape singkong yang dibakar kemudian dipotong-potong diberi saus dari gula merah yang dicairkan yang sudah dicampur dengan kelapa parut. Selain itu untuk menambah rasa legitnya seringkali ditaburkan pula kacang tanah goreng yang sudah ditumbuk tidak terlalu halus. Kalau kurang manis ditambah lagi dengan susu kental manis barang satu atau dua tetes di atasnya.) yang tadi ia pesan lewat koperasi kantornya. Cuci mulut, katanya. (Cuci mulut, apa masih lapar?).

"Enggak. Saya cuma teringat apa yang dulu pernah terjadi sewaktu Rasulullah masih bersama kita semua. Ketika itu Rasulullah sedang berwudlu. Sehabis berwudlu, air sisa bekas Rasulullah itu diperebutkan banyak orang. Yang tidak kebagian menempelkan tubuhnya kepada orang yang sudah membasahi dirinya dengan bekas air wudlu nabi itu demi untuk mendapatkan basahnya air bekas wudlu Nabi. Nabi menyaksikan mereka dan tersenyum. Nabi tidak pernah melarang mereka melakukan itu semua. Nabi membiarkan perbuatan mereka seakan-akan memang ia menyetujui perbuatan itu, karena kalau ia tidak setuju ia akan langsung mengatakan ketidak-setujuannya pada hari itu juga atau di hari yang lainnya. Nabi tidak pernah memarahi mereka dan mengatai mereka sebagai orang-orang musyrik. Saya yakin Nabi tidak mengatai mereka musyrik karena perbuatan memperebutkan air bekas wudlu itu bukan perbuatan musyrik. Perbuatan musyrik itu menyembah Tuhan lain selain Allah. Mereka hanya berebut air dan bukan menyembah Tuhan lain selain Allah. Makanya Nabi tidak marah kepada mereka. Dan kejadian di sekitar Ponari, bocah ajaib itu, mengingatkan saya pada hadits itu", Timun menutup pembicaraannya yang cukup panjang.

"Mengapa mereka memperebutkan air itu. Seperti kurang kerjaan saja!", Umar menyela, kelihatan sekali kalau ia tidak setuju.

"Lho, bukannya kamu tahu itu! Kamu khan dibesarkan dalam naungan pendidikan yang cukup mendalam? Kamu tahu, itu bukanlah perbuatan sia-sia. Itu bukan pekerjaan orang-orang yang kurang kerjaan. Kamu tahu sendiri khan, itu bagian dari tabarruk. Mereka ber-tabarruk kepada Rasulullah lewat apa-apa yang pernah disentuh oleh Nabi. Kita bisa ber-tabarruk juga kepada orang-orang yang telah berjumpa dengan Nabi dan lain-lain, dan lain-lain. Itu semua mereka lakukan untuk mendapatkan keberkahan dari Allah", Timun menutup penjelasannya. Ia menyapukan pandangannya ke setiap penjuru ruangan guru. Ia memastikan bahwa setiap orang telah selesai dengan makan siangnya. Maria dan Hadijah mulai melihat-lihat buku teks untuk melihat pelajaran apa yang harus mereka berikan pada jam pelajaran berikutnya sambil sesekali matanya melihat ke arah televisi yang sekarang sudah berganti program ke program infotainment siang. Yang berkerumun di sekitar Timun hanya Umar, Thoha, dan Ibu Elsa saja. Oh, ya Joko juga, walau ia tampak tidak seserius yang lainnya. Yang lain tidak begitu peduli dengan topik pembicaraan yang sedang mereka bahas.



"Itu khan sama saja dengan perbuatan musyrik, Mun", sela Ibu Elsa. "Karena mereka memiliki anggapan bahwa ada kekuatan selain Allah yang bisa memberikan mereka sesuatu seperti keberkahan misalnya".

"Kalau itu perbuatan musyrik, maka orang yang pertamakali akan melarang mereka berbuat seperti itu ialah Rasulullah sendiri. Ini khan tidak. Malah sebaliknya. Beliau membiarkan dan tidak melarang sama sekali. Malah perbuatan seperti itu ada namanya dalam Islam yaitu tabarruk seperti yang sudah saya sebutkan tadi", balas Timun. "Lagipula, Rasulullah itu hanya menyetujui perbuatan yang baik yang harus dilakukan oleh umatnya. Jangankan itu, Rasulullah malah pernah bersabda, 'Seandainya kalian beriman pada hari akhir hendaklah berkata dengan perkataan yang baik. Kalau tidak bisa lebih baik diam'. Kalau kita berkata harus berkata yang baik-baik saja dan kalauu tidak bisa maka berdiam diri itu lebih baik, nah, itu artinya ialahRasulullah tidak suka umatnya melakukan perbuatan yang sia-sia. Kalau perbuatan berebut air bekas wudlu itu perbuatan sia-sia, maka Rasulullah akan melarangnya karena beliau tidak suka umatnya melakukan suatu perbuatan yang tidak ada artinya--yang tidak punya makna; yang tidak memberikan manfaat bagi pelakunya. Jadi kalau Rasulullah itu membiarkan perbuatan para sahabatnya berebut air bekas wudlu Rasulullah, maka itu adalah perbuatan yang baik, perbuatan yang bermakna, perbuatan yang memberikan manfaat bagi para pelakunya", lanjut Timun.

"Apa baiknya? Apa manfaatnya? Apa pula artinya? Menurut saya sih itu tetap saja perbuatan yang sia-sia dan tidak memiliki arti sama sekali. Apa bedanya itu dengan perbuatan takhayul yang seringkali dilakukan oleh orang-orang di jaman jahiliyyah", Umar menukas dengan ketus.

"Kalau itu kesimpulanmu, berarti kamu beranggapan bahwa Rasulullah senang dengan perbuatan yang sia-sia karena ketika Rasulullah melihat orang-orang berebutan mengambil air bekas wudlunya, beliau tersenyum dan membiarkannya. Demi Allah, itu kesimpulan yang berbahaya dan keliru. Itu sama saja dengan mengatakan bahwa Rasulullah diutus ke dunia ini hanya untuk main-main saja. Sedangkan yang kita ketahui ialah Rasulullah itu diutus untuk menyempurnakan akhlak umat manusia. Dan perbuatan sia-sia dan main-main itu jelas bukan akhlak yang baik karena itu artinya kita melakukan sesuatu yang tidak ada gunanya; membuang-buang waktu secara percuma. Jelas sekali Rasulullah tidak mungkin diutus untuk itu", Umar terdiam. Timun masih melanjutkan pembicaraannya dengan berapi-api. Ia merasa sedikit emosionil--itu sering terjadi pada diri Timun apabila kehormatan Nabinya ia rasakan sedang terusik. Ia akan bela habis-habisan kehormatan Nabinya itu sampai titik darah penghabisan (ini beneran, Timun tidak pernah main-main untuk yang satu ini).

"Kalau kamu masih bingung apa artinya; apa manfaatnya; apa baiknya bagi kita perbuatan itu maka saya akan katakan di sini. Pertama, saya akan sebutkan lagi bahwa nama perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat Nabi itu ialah tabarruk. Itu cara kita untuk mendapatkan keberkahan dari sesuatu yang ada hubungannya dengan orang-orang suci dan shaleh atau para wali Allah. Beberapa tempat di permukaan bumi ini memang memiliki serta memancarkan keberkahan dan kebaikan. Apabila kita shalat di tempat itu, mengunjungi tempat itu dan berdo'a di tempat itu, atau sekedar mengunjunginya saja dengan segenap kepercayaan bahwa tempat itu mengandung keberkahan, maka kita akan mendapatkan keberkahan dari tempat itu. Memiliki kepercayaan seperti itu bukan musyrik melainkan mukmin", Timun berhenti sejenak.

"Memangnya ada tempat seperti itu, Mun", kata Thoha yang sedari tadi lebih banyak diam dan menikmati kopi instannya yang entah sejak kapan ia buat.

"Ada dan banyak. Masjidil Haram salah satunya. Tempat itu mengandung keberkahan tingkat tinggi. Kalau kita shalat di dalamnya satu raka'at kita akan dihitung shalat seratus ribu kali lebih banyak dan lebih baik. Itu kata Nabi bukan kata saya. Juga mesjid Nabawi di Madinah yang di dalamnya ada makam Rasulullah. Tempat itu penuh keberkahan dan mendatangkan kebaikan bagi orang yang menziarahinya. Tempat dimana jasad orang yang paling kita cintai melebihi kecintaan kita pada diri sendiri ada di dalamnya. Tolong jangan katakan tempat itu sama saja dengan tempat yang lain. Tolong!!", sekali lagi raut wajah Timun sangat bersungguh-sungguh. Entahlah Timun seringkali memiliki perasaan emosionil yang meluap-luap ketika ia berbicara tentang Rasulullah dan keluarganya. Matanya sering berkaca-kaca menahan perasaan hati yang sepertinya berat sekali. Timun tahu, dulu ia tidak begitu. Tapi sejak perjumpaannya dan pertemanannya dengan Hadi (lihat cerita Teman Baru Kenalan di Mesjid Salman) yang masih ia pertahankan sampai saat ini, Timun mendapatkan pencerahan yang lebih dari lumayan.


"Kalau kalian masih perlu beberapa contoh lagi, akan saya berikan. Salah satunya ialah Maqam Ibrahim yang terletak dekat bangunan Ka'bah. Dulu, konon katanya, itu adalah tempat dimana Nabi Ibrahim berdiri ketika menyaksikan pembangunan Ka'bah pertama kalinya. Tempat itu sekarang menjadi tempat yang sangat sakral dan orang-orang berebutan untuk mendapatkan kesempatan berdiri di tempat itu untuk memanjatkan do'a. Mereka ingin berdiri di sana karena dulu Nabi Ibrahim yang mereka cintai pernah berdiri di sana. Gua Hira tempat Rasulullah dulu ber-khalwat dijadikan tempat untuk berziarah dan orang-orang sangat ingin mengunjungi tempat itu bukan untuk sekedar berdarmawisata melainkan untuk menyerap keberkahan dari tempat itu. Tempat yang pernah dihuni oleh orang yang sangat mereka dambakan untuk bertemu. Tempat yang hampir setiap jengkal tanahnya pernah dipijak oleh kaki-kaki suci Rasulullah. Dengan ber-tabarruk di tempat itu, kita sebenarnya sedang berusaha untuk mendapatkan keberkahan dari Allah. Kecintaan kita pada utusan Allah adalah bentuk lain dari kecintaan kita pada Allah", Timun menyudahi ceramahnya yang panjang lebar.

"Tapi itu khan perbuatan para sahabat terhadap Nabi dan Rasul. Mereka melakukan itu karena yakin bahwa Rasulullah itu orang yang memiliki karomah atau mukjizat tertentu sedangkan kalau kita meyakini orang lain--sembarang orang saja--maka itu lain jadinya. Itu musyrik namanya", Joko ikut buka suara. Ia sebenarnya paling jarang berbicara. Ia hanya ikut bicara kalau ia ingin dan kita tidak tahu dan tidak bisa memastikan kapan ia ingin bicara.

"Iya. Lagi pula kita khan sekarang sedang membicarakan sebuah batu yang dipercaya mengandung kekuatan bukan sedang membicarakan tempat yang mengandung berkah. Apa hubungannya?", Ibu Elsa menimpali. Ia sekarang sedang mengunyah permen penyegar tenggorokan sekaligus untuk menyembuhkan radang tenggorokan yang selama dua hari ini ia derita.

"Tidak benar bahwa yang memiliki karomah itu hanya para Nabi. Beberapa dari manusia juga mendapatkan hal seperti itu. Beberapa orang dari kita terpilih oleh Allah untuk diamanati kekuatan seperti itu. Tentu saja orang-orang yang terpilih itu haruslah orang-orang yang memang suka mendekatkan diri kepada Allah. Karena faktor kedekatan dengan-Nya-lah maka orang-orang itu menjadi orang-orang terpilih. Mereka diberikan karomah sebagai bukti adanya Allah. Bisa kalian bayangkan kalau mereka sedang berdakwah kepada orang-orang yang tidak percaya kepada adanya Allah kemudian mereka meminta bukti bahwa Tuhan itu ada. Mereka mungkin akan berkata, 'Kalau memang Tuhan itu ada dan kamu adalah salah satu orang yang merasa terpanggil untuk menyampaikan ajaran dan perintahnya, coba buktikan bahwa kamu punya kekuatan tertentu. Kamu khan bilang Tuhan itu Maha Kuasa Kuat, kalau memang kamu itu dekat denganNya dan merasa menjadi utusanNya, maka tunjukkanlah kepada kami sebuah keajaiban'. Nah, bisa kalian bayangkan kalau orang itu tidak bisa memenuhi kehendak mereka. Pasti mereka akan tertawa dan tidak akan percaya pada orang itu", Timun berhenti sejenak.

"Mun, bagaimana kalau ia memang pada akhirnya benar-benar tidak bisa menunjukkan kekuatan itu", Ibu Elsa mencari kepastian dan penegasan.

"Itu dia. Bisa kita bayangkan kalau itu memang benar-benar terjadi. Makin banyak orang yang tidak percaya bahwa Tuhan itu ada. Kepada para Nabi dan Rasul saja yang sering menunjukkan mukjizatnya orang-orang itu masih banyak yang tidak percaya apalagi kepada orang-orang biasa seperti kita. Maka dari itu, saya percaya bahwa beberapa dari kita mungkin saja diberikan atau karomah atau mukjizat apapun itu namanya tanpa membeda-bedakan keduanya karena produk dan output-nya sama. Anak seperti Ponario itu mungkin saja diberikan diberikan kelebihan oleh Allah dan sepertinya memang begitu. Kak Seto yang pernah mengunjunginya saja pernah bilang memang anak itu tidak seperti anak lain seusianya. Ponario itu anak indigo. Anak indigo itu adalah sebutan untuk anak-anak yang memiliki kemampuan khusus yang dibawanya sejak lahir. Dan saya yakin Allah Maha Pencipta untuk membuat anak seperti itu".

"Selanjutnya tentang mukjizat. Mukjizat itu salah satu alat dari para utusan Tuhan untuk menegaskan bahwa dirinya memang diutus Tuhan. Fungsi lainnya ialah untuk membuktikan bahwa Tuhan itu ada. Yang bukan fungsi dari suatu mukjizat itu ialah memaksa atau menjadikan orang-orang percaya kepada Tuhan. Itu sama sekali bukan fungsi dari suatu mukjizat. Allah ingin orang-orang percaya kepada diriNya itu atas dasar suka rela dan bukan pemaksaan meskipun Tuhan sangat Maha Kuasa untuk membuat itu terjadi. Mukjizat itu bisa berupa sebuah tongkat seperti yang dimiliki Nabi Musa; atau seekor unta seperti yang diberikan kepada Nabi Shaleh; atau sebuah kitab seperti yang diamanahkan kepada Nabi dan junjungan kita Muhammad al-Mustafa. Mukjizat bisa juga berupa kekuatan-kekuatan seperti kekuatan fisik dan mental. Ali bin Abi Thalib itu bukan nabi tapi ia diberkahi dengan fisik yang prima. Ia sanggup mendobrak pintu gerbang dari sebuah benteng pada peperangan Khaybar. Setelah pertempuran berakhir dengan kemenangan di pihak kaum Muslimin, orang-orang mencoba untuk mengangkat pintu gerbang itu supaya bisa dipasangkan lagi pada tempatnya. Dan itu pintu gerbang itu hanya bisa diangkat setelah ada sekitar 40 orang yang mengangkatnya bersama-sama. Mukjizat itu bisa juga berupa sebuah pedang seperti pedang Zulfikar yang diberikan Jibril kepada Ali bin Abi Thalib. Pedang yang dengannya Islam itu tegak. Entah berapa puluh begundal Qurays yang musyrik sudah tewas di ujung pedang itu", Timun menegaskan.

"Aku masih kurang yakin akan apa-apa yang kamu bicarakan, Mun", sela Umar.

"Bukankah memang kamu selalu begitu setiap aku memberikan penjelasan?", tanya Timun.

"Nggak juga sich, tapi memang seringkali aku perhatikan pendapat-pendapat kamu itu senantiasa bertentangan dengan pendapat umum. Pendapatmu itu tidak umum. Tapi di sisi lain pendapatmu itu susah pula dibantah. Atau mungkin karena aku tidak tahu bagaimana cara membantahmu walau aku dibesarkan lewat pendidikan agama mulai sejak kecil sampai sekarang. Aku belum pernah melihat ustadz-ustadzku berhujjah seperti kamu. Kalau kamu mengemukakan pendapat seolah-olah pendapat itu datang dari tempat yang jauh dan asing walau kelihatan jelas masuk akal. Ngomong-ngomong, saya ingin mendapatkan penjelasan lain yang lebih kuat dan sukar terbantahkan", Umar duduk di kursi dekat Timun--tepatnya di kursi kosong antara Timun dan Ibu Elsa. Sementara Joko dan Thoha dari tadi sudah duduk di kursi yang berseberangan dengan Timun dan Ibu Elsa. Keempatnya dipisahkan oleh meja panjang yang besar yang ditempatkan ditengah-tengah ruang guru.

"Maksudmu apa, wahai sahabatku Umar?", Timun menempuk pundak Umar.

"Begini, aku akan sangat berterima-kasih kepada kamu kalau bisa menunjukkan satu saja ayat al-Qur'an yang menunjukkan bahwa kita boleh ber-tabarruk dengan benda mati. Itupun kalau ada, sih?", Umar merasa yakin bahwa tidak ayat seperti itu. Keyakinan yang dibenamkan lewat pendidikan agama yang diberikan oleh para ustadznya terlalu dalam untuk bisa terkikis oleh ocehan Timun yang terkadang sekenanya walau kedengaran sangat masuk akal.

"Apa yang akan kamu lakukan kalau saya benar-benar bisa membuktikan bahwa ada ayat al-Qur'an yang menyinggung tentang bolehnya kita ber-tabarruk lewat benda mati?", tanya Timun seperempat menantang, seperempat menguji, seperempat lagi didasari oleh rasa ingin tahu Timun apa yang akan dilakukan oleh temannya itu. Seperempat lagi? Hanya Timun dan Tuhan yang tahu.

"Kalau kau bisa memberiku satu ayat al-Qur'an saja yang berkenaan dengan itu, maka aku akan mempertimbangkan seluruh keyakinanku dan aku akan melihat keyakinan orang lain sebagai sebuah kemungkinan yang bisa jadi nanti akan aku pilih kalau memang itu terbukti benar dan lebih baik dari keyakinanku selama ini", Umar menyatakan keputusan hatinya.

"Baik kalau begitu. Tapi saya tidak ingin memaksa kamu untuk mengikuti apa yang saya ikuti. Saya memberikan kebebasan yang sebesar-besarnya kepadamu untuk mengikuti apapun yang kamu rasa baik dan benar. Nah, tentang ayat yang kamu minta itu ialah ini. Ini surat Yusuf ayat 93 dan 96. Diceritakan bahwa ayahnya Nabi Yusuf (as.) yaitu Nabi Ya'qub (as.) menderita kebutaan sepeninggal anaknya—yaitu Yusuf ketika masih kecil. Nabi Ya'qub mengalami kebutaan karena menangis siang dan malam meratapi kehilangan anaknya yang paling dicintainya itu sampai beliau matanya mengalami kebutaan. Cerita tentang kehilangan Nabi Yusuf itu pasti kamu sudah tahu semuanya jadi saya tidak usah menceritakannya lagi. Pendek kata Nabi Yusuf memerintahkan seseorang untuk membawakan baju gamis miliknya itu untuk diberikan kepada ayahnya. Dalam al-Qur'an dituliskan sebagai berikut:

"Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia ke wajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku" (QS. Yusuf: 93)

"Tatkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diletakkannya baju gamis itu ke wajah Yaqub, lalu kembalilah dia dapat melihat. Berkata Yaqub: "Tidakkah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya". (QS. Yusuf: 96)

Dengan melihat kedua ayat itu sudah jelaslah bahwa bertabarruk menggunakan benda-benda yang dimiliki oleh orang yang kita cintai apalagi orang itu ialah seorang Nabi atau seorang suci sungguh boleh dan sudah  menjadi sunnah para Nabi. Kita lihat tadi di ayat yang saya bacakan bahwa ketika Nabi Yaqub meletakkan baju gamis Nabi Yusuf ke wajahnya, maka beliau bisa melihat lagi. Sungguh ajaib benar! Baju yang hanya benda mati; baju yang sama sekali tidak mengandung obat; baju yang biasanya berfungsi untuk menutupi tubuh dan aurat tiba-tiba menjadi obat mujarab bagi orang yang mengalami kebutaan! Sekali lagi mencari keberkahan dari benda mati yang dimiliki oleh orang tertentu itu bukan merupakan kelakuan atau perbuatan syirik. Mana mungkin para Nabi yang sudah sangat mengenal tauhid tiba-tiba menjadi orang-orang musyrik? Sekali lagi, mana mungkin?", Timun tampak bersemangat di akhir pembicaraannya. Sementara itu Umar terlihat termenung, juga Ibu Elsa, Thoha dan Joko. Sementara Hadijah dan Maria tampak asik sendiri menekuni siaran infotainment (selalu!)

"Selain air wudlu, Nabi Muhammad juga membagi-bagikan rambutnya untuk para sahabatnya hingga mereka bisa ber-tabarrukmelalui rambut itu. Salman al-Farisi menyelipkan rambut itu di penutup kepalanya sedangkan yang lain menyimpannya. Dalam bab "Khataman Nubuwwah", Bukhari--pengumpul hadits yang kamu sering bangga-banggakan itu--menukil dari Sa'ab bin Yazid yang berkata: 'Bibiku membawaku kepada Nabi dan ia berkata: "Keponakan saya dalam keadaan sakit". Maka setelah itu beliau mengambil air wudlu dan memohonkan berkah untuk saya, dan saya meminum bekas air wudlunya" (lihat Shahih Bukhari, jilid III, halaman 255).

"Ahmad bin Hanbal--pendiri madzhab Hambali--ketika sedang menimba ilmu dari gurunya yaitu Imam Syafi'i, beliau membawa baju gamis milik Imam Syafi'i dan merendamnya di dalam bak mandi. Ia berwudlu dari air itu dan meminum air itu untuk mendapatkan keberkahan. Kita di Indonesia seringkali membawa air putih atau air mineral kepada seorang ustadz yang ilmunya serta kepribadiannya kita kagumi. Kita meminta ustadz itu untuk mendo'akan kita  dan air yang telah diberi do'a itu kita bawa ke rumah. Kita kemudian meminum air itu atau memakai air itu untuk keperluan mandi kita atau wudlu kita. Itu semua contoh yang terjadi pada kaum Muslimin yang mengamalkan praktek tabarruk yang ada dalam Islam sejak dulu kala. Bahkan ada sejak sebelum lahirnya Rasulullah seperti yang kita lihat tadi dalam al-Qur'an ketika Nabi Ya'qub ber-tabarruk dengan baju gamis anaknya untuk kesembuhan kedua matanya", Timun memberikan tambahan yang melimpah kali ini.

"Lalu apa pendapatmu tentang Ponari si dukun cilik itu", sekarang Joko yang bertanya.

"Well, mungkin saja Ponari itu kiriman dari Tuhan untuk menolong orang-orang miskin yang terpinggirkan. Orang-orang miskin itu tidak memiliki cukup biaya untuk berobat. Ada juga orang-orang kaya yang sudah kehilangan harapan karena dokter-dokter yang mereka kunjungi tidak bisa memberikan solusi yang baik untuk penyakit mereka. Orang-orang miskin dan orang-orang yang putus asa itu berdo'a siang dan malam agar mereka diberikan kesembuhan. Kita tahu do'a orang-orang miskin tertindas dan orang-orang teraniaya itu sangat mujarab. Dan Allah menjawab do'a-do'a yang dipanjatkan lewat suara-suara serak orang-orang miskin itu dengan mengirimkan Ponari", Timun berhenti sejenak.

"Tapi mengapa Ponari itu dikecilkan dan sering diremehkan orang. Kalau benar ia seseorang yang dipilih oleh Allah untuk menyembuhkan dan memberikan keberkahan mengapa ia seringkali dilecehkan orang mulai dari rakyat biasa hingga para pemilik media masa. Mengapa ia dianggap sebagai penipu, walau tidak secara langsung diucapkan orang?", sekali lagi Joko bertanya.

"Jangankan Ponari yang anak kecil dari desa kecil, bahkan Nabi besar Muhammad pun dulu dikecilkan, dilecehkan, disangka penipu, dikira penyihir, dianggap pendusta, tuh kurang apa lagi? Jadi wajar saja kalau Ponari hanya dilirik sebelah mata saja. Orang-orang yang merasa dirinya pintar mencoba meneliti kandungan batu ajaib milik Ponari dan kemudian mereka berkesimpulan bahwa batu itu bukan batu ajaib yang bisa menyembuhkan orang karena kandungan kimiawi yang ada pada batu itu sama saja dengan batu lainnya. Ini sungguh perbuatan bodoh", kata Timun agak keras.

"Bodoh bagaimana, mereka khan orang-orang pintar dari kalangan akademisi?", kata Umar menimpali.

"Mereka bodoh karena menguji yang metafisik dengan cara dan alat yang fisik. Mereka menguji keajaiban yang tentu saja tidak kasat mata dengan alat uji laboratorium yang hanya mengindera sesuatu yang kasat mata atau indera. Mereka mengira bahwa kandungan kimiawi yang ada di dalam batu itulah yang menyebabkan kesembuhan dan ketika mereka mengujinya di laboratorium mereka kecewa karena tidak menemukan apa-apa di dalamnya. Tapi kemudian mereka dengan pongah menyebutkan bahwa batu ajaib Ponari itu sama sekali tidak ajaib. Bisakah mereka menjelaskan kandungan kimiawi apakah yang bisa membuat sebuah tongkat berubah menjadi ular? Bisakah mereka menjelaskan obat apa yang ditaburkan oleh Yusuf ke baju gamisnya sehingga baju gamis itu bisa menyembuhkan kebutaan? Bisakah mereka menjelaskan unsur-unsur kimiawi apa yang membuat tongkat Musa bisa membelah lautan? Bisakah mereka menjelaskan kandungan ludah Nabi yang bisa menyembuhkan mata Ali yang sedang sakit pada peperangan Khaybar? Bisakah mereka menguji keajaiban di bawah lensa obyektif sebuah mikroskop atau sebuah alat spektograf? Bisakah?

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta