(serial Timun Laut episode 13) BAHKAN IBLIS PUN LEBIH BAIK

 

(Serial Tigabelas) BAHKAN IBLIS PUN LEBIH BAIK

Timun punya kelompok pengajian kecil. Kecil jumlah pesertanya; kecil  kegiatan yang diselenggarakannya; dan kecil pula sepak terjangnya. Tapi kelompok pengajian mereka memiliki nama yang keren: Dynamic Group Islamic Studies (disingkat dengan "D-gis"/ baca:dijis). Aneh juga, mengapa setiap kali kita menyebut nama keren maka itu artinya bahwa nama itu diambil dari bahasa asing terutama Inggris. Kalau ada seorang ibu bertanya pada seorang ibu lainnya: "Bu, putera ibu yang baru lahir ini akan diberi-nama siapa?", lantas si ibu  yang kedua menjawab kepada si ibu pertama yang memberi pertanyaan, "Oh, namanya Anthony Claudio". Si ibu pertama tadi sambil memonyongkan mulutnya berkata, "Wuuuiih, keren sekali namanya!". Ia penuh kekaguman mendengar nama itu seakan-akan nama itu baru didengarnya; atau seakan-akan nama itu diambil dari nama seorang suci.

Timun tidak habis pikir. Mungkin ini hasil dari penjajahan bangsa asing terhadap bangsa kita yang kurun waktu lamanya kemungkinan besar bisa tercatat dalam buku Guiness Book of World Records. 350 tahun ditambah 3 tahun setengah!!! Kita bisa tercatat bangsa yang paling lama dijajah bangsa lain. Tentu saja bukan prestasi yang perlu dibanggakan! Penjajahan ini mungkin terlalu lama hingga mengubah susunan DNA bangsa Indonesia hingga akhirnya kita (tidak peduli tua atau muda) merasa rendah diri dan hina di hadapan bangsa lain sehingga nama seperti Joko, Wawan, Sulastri, Enung, Yanto, Dudung, Cecep, dan Rukmini dianggap rendah dan tidak bisa dibanggakan dibandingkan dengan nama-nama seperti Robert, Michael, Gerry, Bernadette, Becky, Franky, dan Seymour.

Nah, kelompok pengajian ini hanya berisi tujuh orang peserta;  paling tidak untuk sementara. Namun jumlah ini tetap saja tidak mengalami kemajuan, meski pengajian mereka sudah berjalan 6 bulan. Mungkin karena ini kelompok pengajian. Coba kalau ini kelompok arisan, pasti banyak yang ikutan. Tapi kelompok ini tetap rajin mengadakan pertemuan yang dilakukan di mushola kecil mereka setiap hari Jum'at pagi mulai jam 9 sampai jam 11.

Seperti Jum'at itu misalnya. Mereka Timun, ibu Elsa, Titin, Hadijah, Karim, Umar al-Faruq, dan sahabat karib Timun, Nono semuanya sedang duduk melingkar tampak serius menyelenggarakan pengajian yang lebih tepat disebut dengan diskusi karena tidak ada yang jelas-jelas amat siapa yang menjadi penceramah atau pendengar. Terkadang yang menjadi pendengar tiba-tiba saja  menjadi penceramah atau sebaliknya. Ya, bebaslah. Namanya juga kelompok pengajian kecil. Kalu dikelola secara kaku dengan peran masing-masing yang kaku juga, jadinya malah terlalu formal dan membosankan.

Saat ini Timun sedang mengambil alih pembicaraan. Sebenarnya bukan giliran Timun sekarang. Ini gilirannya Umar yang pada waktu itu sedang berbicara tentang siksa kubur--topik favoritnya. Tapi Timun entah mengapa tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Gara-garanya karena ia bertanya pada hadirin, "Ada yang mau dengerin cerita?". Setiap yang hadir menyatakan persetujuannya. Mungkin telah bosan dengan ceramah Umar tentang siksa kubur.

Timun kemudian meneruskan.

"Ini menyambung pembicaraan Umar tentang siksa kubur. Ceritanya begini, pada suatu malam yang sunyi, dua malaikat datang ke sebuah kuburan yang masih baru karena baru tadi pagi kuburan ini dihuni. Setelah berbasa-basi dengan si penghuni kubur, kedua malaikat itu bertanya yang lebih serius setelah sebelumnya kedua malaikat itu mencoba bercanda sekedar menenangkan si penghuni kubur agar nantinya ia bisa menjawab pertanyaan yang diberikan dengan tenang dan lancar. Kan repot kalau si penghuni kubur itu tidak bisa menjawab pertanyaan. Mungkin saja ia tidak bisa menjawab bukan karena ia tidak tahu jawabannya, tapi karena ia merasa takut ada di tempat gelap dan sepi seperti ini dan ia tidak memiliki pengalaman sebelumnya untuk bertemu malaikat dan menjawab segala pertanyaan dasyhat yang akan diberikannya", Timun berhenti sejenak menarik nafas kemudian melanjutkan ceritanya.

"Walhasil, setelah kelihatan tenang si penghuni kubur itu kedua malaikat itupun mulai memberikan pertanyaan-pertanyaan yang lebih berat dan serius dengan mimik muka yang juga lebih serius. Salah satu dari malaikat itu bertanya, "man robbuka?"("siapa Tuhanmu?). Si penghuni kubur—yang ketika masih hidup ia memiliki profesi sebagai seorang ustadz yang ternama—tersenyum karena pertanyaan itu sudah ia tebak sebelumnya. Ia juga sudah pernah memberikan kisi-kisi pertanyaan dan jawaban seperti itu yang harus dihapal oleh para santrinya. Dengan tegas ia mau menjawab 'Allah'. Tapi yang terjadi ternyata di luar dugaan dirinya. Ia tidak bisa mengucapkan kata 'Allah' sebagai gantinya mulutnya mengeluarkan kalimat, "Aku, akulah tuhan diriku sendiri", "Aku, akulah tuhan bagi orang lain". Dirinya merasa aneh sekaligus menyesal karena di saat-saat genting seperti ini ia tidak bisa memberikan jawaban yang sudah pernah ia hapal di luar kepala" (mungkin seharusnya di dalam kepala karena kalau di luar kepala dengan mudah bisa hilang ditiup angin dan mungkin itulah yang terjadi!).

"Apa katamu?", salah satu dari malaikat itu dengan murka melotot kepada si ustadz tadi.

"Aku, akulah Tuhan diriku sendiri!", kemudian Timun melanjutkan ceritanya, "Hatinya memberontak karena ia tidak ingin mengucapkan kalimat itu tapi apa lacur hendak dikata kalimat itulah yang meluncur sempurna dari mulutnya yang sekarang berbusa dan mengeluarkan bau tak terhingga", Timun bercerita sambil tidak lupa menggunakan gerak-gerik bahasa tubuh yang pas hingga teman-temannya mendengarkan dengan seksama. Kalau ada orang melihat mereka seperti itu, pastilah ia akan tertawa—minimal tersenyum. Bagaimana tidak! Pemandangan yang terlihat mirip seorang guru TK yang sedang bercerita sambil berdiri kepada anak-anak TK yang duduk-duduk di lantai sambil kedua matanya memandang penuh takjub dan mulutnya ternganga.

"Memangnya mengapa si ustadz itu seperti itu. Menurutku tidak mungkin seorang ustadz akan mendapatkan masalah dalam menjawab pertanyaan elementer seperti itu", kilah Umar seakan hendak mewakili teman Timun yang lain.

"Ya, benar kata Umar tadi, kayaknya sih kalau memang tidak ada hal-hal yang lain, tidak mungkin seorang ustadz salah dalam menjawab pertanyaan itu", Titin dan Karim mendukung.

"Dengarkanlah kelanjutan dari cerita ini", kata Timun. "Ustadz tadi menangis keras karena ia sadar dengan jawaban yang ia berikan walaupun itu bertentangan dengan keinginannya tetap ia akan mendapatkan pahala berupa siksa yang tidak terbayangkan. Ia siap-siap menantikan dera cambuk sang malaikat yang  menanyainya tadi. Tapi sebelum itu terjadi si ustadz bertanya kepada salah satu malaikat itu, 'Wahai, para malaikat Tuhan yang baik, mengapa aku tidak bisa menjawab dengan baik? Mengapa jawabanku tidak sama dengan yang aku hapalkan ketika masih hidup di dunia?', si ustadz tadi mengeluarkan rentetan pertanyaan itu dengan nada bergetar dan wajah pucat pasi. 'Memangnya kamu tidak menyadari hal ini?', tanya salah satu dari malaikat itu. 'Tidak, malah aku bingung karena perasaan ibadahku sudah pol semua: shalatku khusyu baik wajib maupun sunnat; puasa kujalankan penuh baik wajib maupun sunnat; hajiku beberapa kali, pula umrahku; aku shalat malam sampai bengkak kedua kakiku. Tapi mengapa aku dibuatNya tidak bisa menjawab pertanyaan yang sederhana seperti itu?', ustadz itu sekarang menangis meraung-raung. Ia tidak bisa menangis berguling-guling karena liang lahat dimana ia berbaring sangat sempit menghimpit".

"Kau memang mengerjakan itu semua. Tapi kau lupa kau juga suka memfitnah; kau juga suka menyerang orang lain yang tidak seakidah; kau juga suka menyombongkan agamamu dengan merendahkan dan menghina agama lain, kau tidak lupa itu kan"

"Nanti dulu, nanti dulu", sergah Umar menyela kelihatan tidak setuju.

"Menghina agama lain katamu? Kalau seandainya agama yang ia hina itu misalnya agama sesat, apa dosa dia. Toh itukan agama sesat dan Allahpun pasti melaknat orang-orang yang menganut agama-agama sesat", yang lain mengangguk setuju. Setuju pada Umar bukan pada Timun.

"Sesat? Sesat menurut siapa? Apa kriteria kesesatan itu?", tanya Timun kalem tapi sedikit naik tensinya.

"Ya, sesat menurut al-Qur'an dan as-Sunnah; sesat menurut Allah", kata Umar.

"Jadi bukan sesat menurut manusia?", tanya Timun.

"Bukan. Manusia sama sekali tidak boleh sesat menyesatkan sesamanya. Itu hak prerogatif Allah", tandas Umar.

"Syukurlah. Alhamdulillah", Timun lega.

"Maksudmu?", sergah Umar.

"Maksudku kalau menentukan seseorang itu sesat atau tidak itu hak prerogatif  Allah, maka hanya Allah-lah yang berhak untuk menghukumi orang-orang yang sesat itu. Karena kalau manusia yang melakukannya, maka apa haknya? Dari siapa wewenang itu berasal? Maka dari itu, Rasulullah dulu tidak pernah memaksa orang untuk memeluk agama Islam karena Allah sendirilah nanti yang akan menghukuminya kalau tidak ikut Nabi", jawab Timun, dan itu membuat Umar terdiam tak berkutik.

Umar sebenarnya ingin juga menyela dan mengatakan bahwa 'manusiapun boleh menghukumi orang-orang sesat', tapi ia urung mengatakan hal itu karena ia yakin nanti Timun akan bertanya 'apa dalilnya?', 'mana riwayat yang membolehkan kita menghukumi orang-orang sesat?'. Jadi Umar terpaksa diam saja meski ia tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Timun. Dalam beberapa kesempatan memang Timun dan Umar seringkali berseberangan dalam hampir segala hal terutama dalam masalah agama. Umar merasa Timun lawan yang paling tangguh yang ia temui. Umar selalu menang debat masalah keagamaan dengan orang lain kecuali ketika ia berhadapan dengan Timun.

Mungkin ini juga ada dasarnya. Sebenarnya Umar dibesarkan dalam naungan kesantrian yang kental dan ia juga lulusan dari sebuah perguruan tinggi ke-Islaman. Seharusnya itu membuat dirinya menjadi lebih terbuka kepada perbedaan karena dari lembaga pendidikan Islam biasanya kita mendapatkan ilmu tentang perbedaan madzhab dan agama yang menjadikan kita lebih kenal dengan aliran-aliran dan agama-agama yang beraneka warna. Umar banyak sekali membaca buku; Timun juga. Umar banyak sekali membaca buku tentang Islam; Timun juga. Umar sering membaca buku-buku agama dari madzhab tertentu dengan penulis-penulis tertentu  dan diterbitkan oleh penerbit-penerbit tertentu. Umar juga menghadiri pengajian dari ulama dan ustadz yang itu-itu; sedangkan Timun membaca buku agama dari banyak madzhab bahkan dari agama lainnya juga ia rela mendengarkan ulama-ulama lain yang berbeda pendirian dengan dirinya. Tingkah laku itulah yang membuat Umar terkurung dalam bingkai afiliasi agama yang anti toleransi dan anti sosial. Perbedaan selalu diartikan pertentangan dan permusuhan. Sedangkan Timun relatif lebih sadar dan lebih apresiatif terhadap perbedaan yang ada di depan hidungnya.

Timun pernah bilang, "Ali bin Abi Thalib pernah bilang, 'ambilah ilmu itu walaupun itu keluar dari mulut seorang munafik'. Jadi aku akan membaca buku agama manapun tanpa melihat dari aliran mana ia berasal. Kalau aku tertarik dengan apa yang dibahas maka aku akan membacanya. Akan tetapi aku tidak memaksakan diri untuk membaca buku tertentu kalau itu memang tidak menarik bagiku. Dengan itu aku memperoleh ilmu berlebih dibandingkan kamu", kata Timun pada suatu kesempatan ketika ia terpaksa harus sedikit menyombongkan diri.

"Kamu sombong, Mun", kata Umar. Dijawab oleh Timun sambil tersenyum, "Ketika seekor elang bilang, 'aku bisa terbang cepat dan aku susah diimbangi oleh burung manapun ketika terbang', pada saat itu Elang itu bukan sedang menyombongkan diri melainkan ia sedang menggambarkan keadaan dirinya. Ketika sekuntum mawar yang sedang merekah di taman berkata, 'aku ini mawar yang indah; warnaku menarik hati sang kumbang; keharumanku mengundang kupu-kupu berterbangan untuk sekedar mencium keharumanku yang wanginya meliputi seluruh taman', ia juga tidak sedang bersombong diri. Ia hanya sekedar memberitakan keadaan dirinya. Ketika aku, Timun, mengatakan ilmuku lebih daripada ilmumu (sambil menunjuk kepada Umar) aku hanya mengatakan yang sejujurnya; dan itu sama sekali bukan kesombongan. He.........he........he..........."

Kembali ke Timun:

"Kita tidak boleh menghukum orang-orang yang menurut kita sesat hanya karena mereka memiliki keyakinan yang berbeda dengan kita, kecuali kalau mereka melakukan suatu tindak kejahatan; dan itupun hukuman yang dijatuhkan atas kejahatan yang ia lakukan bukan karena kesesatan mereka. Anda bisa bayangkan seorang Nasrani bilang, 'orang Yahudi itu sesat karena mereka tidak mengakui Yesus Kristus dan karena merekalah Yesus ditangkap dan disalib'. Kemudian orang Yahudi bilang, 'orang-orang Islam itu sesat karena mengikuti Muhammad yang kerjanya menyalin kitab-kitab kuno dari kami dan dari orang-orang Kristen'. Kemudian orang-orang Islam berkata, 'orang-orang Budha itu sesat karena mereka tidak memiliki Tuhan. Mereka bingung siapa yang harus disembah'. Terus orang-orang Budha bilang, 'justeru orang-orang Hindu itu yang sesat. Tapi kami tidak tahu sesatnya dimana'. Nah, kebayang enggak? Setiap orang memberi label sesat kepada orang lain dengan definisi kesesatan yang hanya disepakati oleh dirinya sendiri. Ini tidak beres".

"Bisa dibayangkan kalau mereka selain melabeli orang lain sesat juga menghukumi orang itu karena mereka telah 'sesat'. Saya yakin tidak ada lagi manusia yang hidup tenteram dan bahagia di dunia ini. Karena setiap orang akan memandang curiga orang lain. Karena setiap orang akan memusuhi orang lain. Karena setiap orang akan memandang orang lain sebagai sesat dan tidak layak untuk menempati surga. Kalau itu terjadi, maka itu akhir dari kemanusiaan itu sendiri. Manusia baru disebut manusia ketika mereka berbeda satu sama lainnya. Mengapa? Karena manusia memang dilahirkan berbeda. Siapa yang telah membuat mereka berbeda? Jawabnya ialah Allah sendiri. Kalian lihat saja dalam al-Qur'an. Ada ayat yang berbunyi begini:

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat: 13)

"Lalu karena kita dilahirkan berbeda, maka kita harus menghormati perbedaan itu. Kalau kita ini manusia, maka kita harus merasa terpanggil dengan ayat tadi karena ayat tadi memanggil manusia dan bukan selainnya. Kita diciptakan berbeda dan harus saling kenal mengenal. Siapa saja yang tidak melakukan itu berarti dia itu bukan manusia. Bisa saja monyet atau kambing; yang jelas bukan manusia karena ayat itu dengan jelas memanggil manusia bukan selainnya".

"Tapi, Mun kalau mereka sesat dan kita merasa resah lalu menghukumi mereka misalnya dengan membuat fatwa atau mengirimkan mereka ke penjara, lalu apa salah kita?", tanya Umar setelah beberapa saat berpikir memikirkan penjelasan Timun yang panjang lebar.

"Kita kan disuruh untuk saling kenal mengenal bukan untuk saling menghukumi atau mengirimkan orang yang berbeda dengan kita itu ke penjara. Apa itu kurang jelas?", sergah Timun.

"Kalau kita resah, gimana?! Kalau kita takut mereka akan menularkan kesesatan kepada kita, gimana?!", kata seseorang, enggak begitu jelas Titin atau Hadijah karena mereka berdua memiliki suara yang nyaris sama; sama-sama melengking membuat kepala pusing karena gendang telinga kita bisa bergetar lebih cepat dengan frekwensi suara tinggi seperti itu.

"Mengapa harus takut? Justeru kalau kamu takut, itu artinya kamu belum yakin dengan agamamu. Kamu khawatir akan agamamu karena kamu tidak yakin agamamu bisa melindungi dirimu dari kesesatan. Orang yang imannya kuat tidak akan merasa resah dengan orang-orang yang berbeda keyakinan dengannya".

"Tapi kalau kita yakin dengan keyakinan yang kita miliki, kita tidak boleh sombong dan menganggap orang lain sesat. Mengapa? Karena itu pekerjaan Iblis. Kalau pekerjaan Iblis kita lakukan juga, nanti Iblis protes karena ia tidak punya pekerjaan. Habis pekerjaannya sudah diambil manusia", tandas Timun setengah bercanda untuk sekedar menenteramkan suasana yang mulai memanas.

"Bagaima mungkin itu pekerjaan Iblis?", ucap Umar, protes.

"Karena cuma Iblis yang senantiasa berbangga hati dan sombong dengan dirinya sendiri. Dulu Iblis itu adalah makhluk yang sudah berbakti pada Allah selama 6000 tahun lamanya. Entah tahun dunia, atau tahun surga. Tapi itu tidak penting. Yang harus kita lihat ialah ukuran waktunya yang 6000 tahun itu. Nah, dulu Iblis itu dikenal sebagai makhluk yang paling taat beribadat hingga memiliki kedudukan yang sangat tinggi lagi mulia; lebih tinggi dan lebih mulia daripada makhluk lainnya. Sampai pada suatu saat Allah akan menguji dia dengan menciptakan manusia yang dibuat dari bahan yang hina. Iblis merasa bahan pembuat dirinya lebih mulia. Lagi pula makhluk yang diciptakan belakangan ini--yaitu manusia--belum pernah berbakti kepada Allah sekejap pun karena mana mungkin ia bisa berbakti, diciptakanpun baru-baru ini saja. Lalu Allah menganugerahi kemuliaan kepadanya. Itu pangkat tertinggi bagi makhluk yang baru tercipta. Iblis murka dan ia menanggap Allah pilih kasih. Ia bilang , 'aku lebih mulia daripadanya; aku diciptakan dari api sedangkan ia dari tanah'. Allah kemudian menjawab, 'pergilah kau Iblis karena surga ini bukan tempat bagi makhluk yang sombong dan jumawa'. Nah! (Timun paling sering mengatakan NAH! Sekedar untuk mengagetkan orang-orang) Sekarang kita ini manusia, apa ada diantara kita yang telah berbakti kepada Allah selama 6000 tahun?"

Yang hadir menjawab serempak (hampir serempak), "Tidak!"

Ibu Elsa menyela, "Sepertinya tidak ada manusia yang pernah mengabdi selama itu".

"Nah (sekali lagi!), kita manusia tidak pernah ada yang selama itu berbakti, tapi kita sombongnya setengah mati. Kesombongan kita telah menusuk kedalam dasar bumi dan menyundul langit yang tinggi. Kita senantiasa berkata bahwa kita ini orang-orang benar dan shaleh sementara orang lain yang memiliki keyakinan lain kita sebut sebagai orang sesat dan tidak layak masuk surga. Kita benar-benar lebih sombong daripada Iblis. Jangan heran kalau ustadz tadi duhukum oleh Allah karena dia sudah berprilaku berlebihan. Selama hidupnya ia suka menyerbu orang yang berkeyakinan lain; merusak tempat ibadahnya; menyerbu dan membakar pesantrennya; meludahi orang-orangnya; menertawakan cara ibadahnya; membid'ahkan prilakunya; dan kemudian memaksa institusi keagamaan tertentu untuk mengeluarkan fatwa; fatwa yang membenarkan perbuatan mereka, yang sama sikapnya dengan ustadz itu, untuk menghakimi dan menghukumi sambil menghilangkan sisi kemanusiaan lawannya".

"Iblis saya kira lebih baik daripada dia. Bagaimana tidak, Iblis sudah beribadah sangat lama dan memiliki kedudukan yang sangat tinggi di sisi Tuhannya, tapi gara-gara kesombongan yang sama ia terusir dari surga. Bandingkan dengan ustadz kita tadi, yang lama ibadahnya mungkin masih bisa dihitung dengan jari. Lalu ia melakukan kesombongan dan bersikap tinggi hati yang sama seperti yang dilakukan Iblis tadi. Malah mungkin lebih karena kesombongannya itu menyerang orang yang lebih banyak sedangkan kesombongan Iblis hanya untuk menyerang satu orang saja yaitu Nabi Adam".

"Saya yakin surga akan berpaling darinya karena tak sudi dihuni olehnya, oleh orang sombong. Ia telah menjadi Tuhan untuk dirinya sendiri. Ia telah bermain Tuhan dan Tuhan tak suka itu. Iblis yang telah menjadi kekasihNya pun terusir dari surga karena kesombongan sebiji sawi dan dilakukan hanya satu kali. Apalagi kita yang berlaku sombong terhadap orang lain dengan merasa lebih tinggi; dan kita jadikan itu kebiasaan sehari-hari, berkali-kali", Timun berkata berapi-api; semua diam; semua diam; semua diam; ruangan sepi.

Wallahu 'alam

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta