(serial Timun Laut episode 14) TEMAN TIMUN, BARU KENALAN DI MESJID SALMAN (1)




(Serial Empatbelas) 

TEMAN TIMUN, BARU KENALAN DI MESJID SALMAN (1)



Ini peristiwa terjadi beberapa tahun lalu. Waktu itu malam cukup cerah. Sebagian awan tipis bergelayut di langit malam bertabur sedikit bintang di sana-sini. Rembulan absen; ia tertutup awan. Timun pamitan kepada kedua kakek-neneknya (ia waktu itu masih belum berkeluarga jadi tidak perlu pamitan pada istrinya karena memang ia masih belum punya--sekali lagi, pada waktu itu) untuk pergi sampai malam larut nanti. Neneknya bertanya:

"Mun, mengapa kamu pergi malam-malam? Mau kemana?", tanya neneknya keheranan.

"Mau cari angin, nek!", jawab Timun sekenanya tapi masih dalam nada yang sopan seperti biasanya.

"Loh, bukannya kamu tadi masuk angin?", tanya nenek Timun keheranan.

"Iya, sih. Tapi angin yang tadi masuk bukan angin yang sedang saya cari", "Permisi nek, kek", dan Timun pun pergi dengan motornya meningglkan kakek-neneknya memikirkan jawaban Timun yang seringkali membuat mereka berpikir.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Gedung Dapenpos Bandung, itulah tempat dimana Timun harus bertemu dengan temannya, Ali al-Hadi. Timun dijanjikan akan diberi beberapa buah buku oleh temannya itu; teman yang baru beberapa minggu ia kenal. Ia kenal Hadi--begitu ia minta dipanggil oleh Timun pada waktu itu--ketika mereka bertemu di suatu mesjid untuk shalat.

Mesjid yang dimaksud ialah mesjid Salman yang terkenal itu, jadi tidak usah diperkenalkan lagi kepada anda karena memang mesjid itu terkenal he.........he........he........ Pada saat itu Timun sedang berada di koridor sebelah kiri dari mesjid itu. Ia tidak menunaikan shalat di dalam mesjid karena di dalam banyak orang berkelompok membentuk kelompok-kelompok kecil shalat berjamaah. Timun memilih shalat sendiri di luar. Bukan karena ia anti berjamaah--masa berjamaah saja anti! Timun kan orangnya sangat toleran terhadap perbedaan. Kalau urusan berjamaah saja sih ia sama sekali tidak keberatan. Timun memilih shalat sendiri di luar hanya karena ia ingin menyendiri menghadap Tuhan secara lebih pribadi. Ia ingin menyapa Tuhan dengan penuh hormat dan cinta. Itu biasanya tidak bisa Timun rasakan kalau Timun sedang shalat berjamaah.

Itu alasan yang pertama. Sedangkan alasan yang kedua ialah kalau Timun memilih untuk bergabung dengan salah satu kelompok dari beberapa kelompok kecil itu, Timun merasa tidak sampai hati karena siapa tahu kelompok lain yang tidak dipilih oleh Timun akan merasa sedih dan gundah gulana karena kehadiran Timun sebenarnya bisa menambah jumlah ma'mun untuk memeriahkan suasana.

Pada saat di mesjid itulah Timun melihat seorang lelaki seusia dengan dirinya sedang sibuk berdialog dengan Tuhan dalam shalatnya yang khusyu. Dialah lelaki yang kelak Timun kenal dengan sebutan Hadi. Pada waktu itu, Timun melihat ada yang aneh dari cara shalat Hadi walaupun sepintas lalu orang tidak melihat keanehan itu. Sebetulnya, mana ada orang yang shalat dianggap aneh kalau ia shalat di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kecuali kalau orang itu melakukan gerakan yang tidak lazim dalam shalat seperti misalnya ruku'nya kebelakang mirip orang senam atau gerakan lainnya yang dianggap bukan gerakan standar dalam shalat seperti tertawa terbahak-bahak atau berdiri dengan kepala di bawah!

Nah, si Hadi ini melakukan shalat seperti biasanya tapi ada gerakan yang dirasa Timun agak ganjil karena Timun baru melihat hal itu untuk yang pertama kalinya langsung di depan mata. Hadi tetap ruku'nya ke depan seperti kita semua, jadi tidak ada yang aneh dalam ruku'nya. Yang aneh ialah ketika ia berdiri. Ketika berdiri, ia tidak menyedekapkan kedua tangannya di dada atau sekitar dada atau di perut. Ia malah tidak bersedekap sama sekali. Ia meluruskan kedua tangannya di kedua sisi tubuhnya. Kedua tangannya tergantung di kedua sisi--kanan dan kiri. Timun segera sadar; orang yang ditemuinya itu mungkin memiliki kelainan, paling tidak dalam shalatnya. Timun bisa melihat shalat orang itu secara keseluruhan karena ia telah selesai di mesjid itu dan ia hendak pergi meninggalkan mesjid itu sampai akhirnya ia batalkan niatnya gara-gara melihat orang itu.

Setelah selesai shalat dan memanjatkan do'a yang tampaknya khusyu sekali ia lakukan, sesekali kelihatan orang itu seperti sesegukan menahan tangis. Timun heran jaman gini masih ada orang yang berdo'a sambil menangis karena biasanya di sekeliling dia, di kantornya, di kompleks perumahannya, di pengajian yang diikutinya dimana ada acara berdo'a di akhir acara, tampak sekali setiap orang berusaha supaya kelihatan khusyu. Itu masih mending. Yang lain ada yang meng-amin-kan do'a-do'a yang dibacakan oleh seorang ustadz sambil cengar-cengir seakan yang ia dengar bukan do'a, melainkan lelucon jenaka dari surga.

Orang ini lain sekali. Ia kelihatan ikhlas sekali. Atau mungkin ia berusaha supaya kelihatan ikhlas dan ia berhasil memerankan itu hingga Timun pun--yang suka dan sering berpura-pura--ikut-ikutan tertipu karenanya.

"Assalamu'alaykum", salam Timun pada orang itu yang pada saat itu sudah selesai berdo'a dan bersiap-siap meninggalkan mesjid. Kedua matanya masih tampak basah, walau sedikit, karena ia telah menyeka keduanya dengan lengan bajunya yang putih.

"Eh, wa'alaykum salam", balasnya terkejut. Ia tersenyum, sedikit heran melihat ada orang asing yang menegurnya karena biasanya di mesjid di kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta misalnya jarang sekali orang bertegur sapa sesama Muslim lainnya ketika mereka telah selesai shalat. Seakan-akan mesjid itu hanya dijadikan tempat persinggahan do'a-do'a mereka saja dan bukan tempat untuk memperluas pergaulan sesama kaum Muslimin lainnya; atau bukan tempat untuk mempererat tali silaturrahmi dalam nuansa Islami.

"Boleh bertanya sesuatu enggak. Itupun kalau anda tidak sedang dalam keadaan tergesa", kata Timun meminta secara diplomatis.

"Oh, boleh, boleh. Lagipula saya sedang santai kok. Hari ini saya tidak kerja, sedang ngambil cuti. Oh, ya mas siapa namanya?", kata orang itu.

"Timun Laut. Jangan tertawa ya! Nama saya aneh memang", jawab Timun.

"He........he.........he.......nggak, nggak. Oh ya nama saya Ali al-Hadi. Panggil saja Hadi dan saya memanggil anda dengan Timun? Anda tidak keberatan?", Hadi memperkenalkan dirinya dan menjabat tangan Timun dengan erat seolah-olah pertanda akan eratnya pertemanan mereka kelak.

"Tentu saja tidak. Kita kayaknya sebaya dan memanggil nama kayaknya malah membuat kita lebih akrab", "Oh, ya, tadi saya lihat anda shalat, sebelumnya ma'af sekali takut kalau ini akan menyinggung anda, tapi saya tidak punya cara lain selain bertanya. Tadi saya lihat anda shalat, kok kayaknya beda dengan orang-orang lainnya?", Timun agak tergagap bertanya jadi kalimat yang ia buat agak tidak beraturan.

"Oh, itu. Itu karena mungkin saya mengambil madzhab fikih yang berbeda. Anda pastinya tahu (dan Timun memang tahu!) bahwa di dunia Islam itu ada banyak sekali madzhab-madzhab fikih yang berbeda-beda jadi kalau saya shalatnya dianggap lain mungkin karena anda mengikuti madzhab yang berbeda dengan yang saya ikuti", kata Hadi.

"Madzhab apa yang anda ikuti?", tanya Timun (dan ini yang Timun tidak tahu!). Kelihatan sekali Timun sangat ingin tahu tentang madzhab orang ini.

"Ahlul-Bayt. Bisa juga disebut dengan Ja'fari"

"Anda orang syi'ah, ya?", kata Timun menuduh. Timun bertambah semangat karena baru sekarang ini ia bisa melihat orang dari madzhab yang serius dibahas oleh dirinya dengan teman-temannya. Dan baru kali ini juga ia melihat orang syi'ah shalat. Di hadapannya lagi!

"Ya, betul", "Apa yang anda tahu tentang madzhab syi'ah ini?", tanya Hadi sambil mengajak duduk kepada Timun. Mereka sekarang duduk di beranda mesjid yang cukup dingin karena mesjid itu dikelilingi pohon-pohon yang rindang lagi cukup lebat daunnya.

"Ah, tidak banyak dan saya kira tidak perlu didiskusikan karena saya takut apa yang saya ketahui tentang madzhab anda ini malah salah informasi. Karena saya yakin informasi terbaik tentang suatu kaum harus didapatkan dari kaum tersebut, bukan dari orang-orang yang ada di luar kaum itu yang jelas-jelas kurang mengetahui atau tidak tahu sama sekali tentang kaum tersebut", Timun mengelak sambil berdiplomasi. Ia tidak mau menyebutkan apa saja yang ia ketahui tentang madzhab Syi'ah karena ia takut salah ucap dan menyinggung orang yang ada di depannya.

"Betul itu", kata Hadi, menegaskan.

"Bisa dibayangkan bahwa kita mengetahui hal-hal tentang kaum tersebut dari orang-orang yang membenci mereka. Pasti informasi yang sampai pada kita penuh dengan dusta dan fitnah belaka", kata Hadi kelihatan sekali gurat nada keprihatinan dari ucapannya. Mungkin Hadi sering melihat kaum Muslimin di sekitarnya berdusta dan saling memfitnah agar kaum Muslimin yang berbeda keyakinan dengan mereka tidak mendapatkan tempat di khalayak dan tidak disukai orang banyak.

"Kamu sering mendapatkan perlakuan buruk dari orang lain yang tidak semadzhab dengan dirimu", sergap Timun.

"Oh, ya sering. Sering sekali malah. Bahkan sewaktu saya masih bukan seorang pemeluk Ahlul Bayt; bukan seorang Syi'ah", lanjut Hadi.

"Kok bisa? Apa yang terjadi? Siapa yang telah memperlakukan kamu dengan tidak baik?", Timun mengernyitkan dahi. Ia sekarang duduk lebih mendekat agar semua informasi yang dikeluarkan dari mulut teman barunya itu tidak lewat begitu saja ditiup angin yang berhembus kencang di pelataran mesjid Salman sejak tadi.

"Waktu itu aku sepertinya sama dengan orang-orang kebanyakan, shalatnya sama, lain-lainnya sama. Waktu itu aku shalat di sebuah mesjid yang jema'ahnya banyak sekali orang-orang tua", "Aku masuk ke mesjid dengan bergegas karena imam shalat sudah mengucapkan takbir untuk memulai shalatnya. Waktu itu aku bergabung langsung dengan orang-orang lainnya. Aku berdiri dan di sebelahku ada seorang kakek--yang juga baru masuk barisan akan memulai shalatnya. Aku sendiri langsung bertakbir dan menyedekapkan kedua tanganku".

"Lalu?", tanya Timun sambil mengira-ngira apanya yang aneh.

"Lalu, kakek yang berdiri di sebelahku itu memukul pundak saya dengan keras sambil bicara dalam bahasa Sunda 'Usholi heula siah', maksudnya ia meminta saya untuk membaca niat shalat dan di-zahar-kan atau dibaca keras. Saya tidak terbiasa membaca niat shalat karena waktu itu saya berpendapat itu bukan bagian dari shalat. Kemudian saya batalkan shalat saya dan saya tinggalkan kakek itu. Saya pindah ke shaf yang lain. Saya mengulangi takbir dan kemudian bersedekap. Eh, si kakek tadi mengejar saya dan kembali memukul saya dan berkata 'usholi heula siah' . Saya batalkan lagi shalat saya dan bergerak lagi mencari barisan shalat lainnya. Si kakek tadi urung mengejar dan akhirnya saya bisa shalat sampai selesai. Sepanjang saya shalat, saya ingat terus si kakek tadi dan saya yakin si kakek tadipun ingat pada saya. Saya yakin shalat kami berdua tidak khusyu".

"He........he....", Timun tertawa tertahan membayangkan kawan barunya itu dikejar kakek-kakek yang mengejarnya dengan terengah-engah.

"Kalau itu terjadi sekarang, apa yang akan kamu lakukan", tanya Timun kemudian. Sudah beberapa menit menjelang ia ber-aku-kamu dengan teman barunya itu. Mereka kelihatan mulai akrab satu sama lain.

"Sepertinya, saya akan menuruti perintah si kakek itu. Dan saya akan men-zahar-kan bacaan niat itu", jawab Hadi penuh kepastian.

"Walau misalnya kamu berpendapat bahwa membaca niat itu bukan wajib bukan pula sunnah?'

"Ya", tandasnya, "Aku akan mengikuti perintah si kakek itu bukan karena takut; bukan pula karena aku tidak memiliki pendirian fikih yang mantap; tapi karena aku menjalankan sesuatu yang wajib', kata Hadi.

"Apanya yang wajib?", sergah Timun keheranan.

"Memelihara persaudaraan antar kaum Muslimin, itu wajib hukumnya. Biarlah kami berbeda pendapat tapi kami harus memelihara persaudaraan ini karena itu lebih baik. Mun, kamu pasti tahu karena kelihatannya kamu sangat cerdas (Hadi sudah memanggil Timun dengan sebutan kamu, pertanda ia juga sekarang merasa lebih dekat dan akrab). Pada waktu itu ada dua wajib bertemu: yang satu ialah mengikuti rukun shalat (yang dimaksud oleh Hadi di sini ialah rukun shalat yang tata caranya seperti yang ia praktekan karena mengikuti rukun shalat seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saaw. itu wajib adanya karena kalau tidak mengikuti cara Rasulullah saaw. dalam melakukan shalat, maka kepada siapa lagi kita harus mencontoh? Rasulullah saaw. bersabda: shalatlah sebagaimana aku shalat. Menurut Hadi pada waktu itu membaca niat itu tidak wajib karena tidak dicontohkan oleh Rasulullah saaw; jadi apabila ia mengikuti tata cara shalat yang tanpa membaca niat itu maka ia telah mengikuti cara Rasulullah saaw. dan itu wajib hukumnya) dan yang kedua ialah memelihara persaudaraan antara sesama kaum Muslimin. Apabila ada dua wajib bertemu, maka kita bisa memilih salah satunya untuk dikerjakan apabila memang mengerjakan keduanya pada saat yang bersamaan tidak memungkinkan".

"Teman saya yang kuliah di al-Azhar Mesir bilang di sana ada kuliah sore hingga malam dan mereka melewatkan shalat Maghrib untuk nantinya dijama' dengan 'Isya. Mereka bilang menuntut ilmu itu wajib hukumnya; shalat Maghrib juga wajib hukumnya. Tapi shalat Maghrib bisa dijama' sementara menuntut ilmu tidak. Nah, mereka tetap bisa melakukan keduanya yaitu menuntut ilmu dan shalat Maghrib tanpa harus mempertentangkan keduanya", Hadi menjelaskan panjang lebar.  Timun tampaknya terpesona dengan uraian ini; jarang sekali Timun terpesona oleh ustadz-ustadz yang dikenalnya (paling satu dua saja yang bisa membuatnya terdiam dan akhirnya ia ikuti diam-diam). Tapi orang ini (mungkin dia juga seorang ustadz; ustadz yang cerdas dan rendah hati) telah menjelaskan sesuatu yang belum pernah didengarnya sebelumnya. Terdengar indah seperti dari manaaaaaaaaa gitu.

"Kalau aku meminta kamu untuk shalat di belakangku dan aku menjadi Imam; kemudian aku memintamu juga untuk shalat seperti cara aku shalat, kira-kira kamu akan menuruti apa yang aku perintahkan atau tidak?", tanya Timun penasaran.

"Tentu saja kalau itu memang baik bagi kita berdua. Kalau itu akan menjamin keutuhan persaudaraan kita sebagai Muslimin, aku akan melakukannya dan biarlah diriku jadi taruhannya", Hadi kelihatan pasti. Ia tidak sedang berdiplomasi; juga tidak sedang menipu diri.

"Allah kan sudah menyuruh kita untuk mengembalikan segala sesuatunya pada Dia dan pada RasulNya kalau ada perbedaan pendapat antara kita", lanjut Hadi sambil ia mengutip ayat suci al-Qur'an surat ke-4 ayat ke-59.

"Bukankah itu artinya kita harus mengembalikannya pada al-Qur'an dan as-Sunnah?", tanya Timun keheranan. Timun hapal ayat itu dan hapal juga tafsir dari ayat itu maka dari itu Timun keheranan dengan adanya tafsiran yang kira-kira sedikit berbeda dari ayat dan surat yang sama. Walaupun Timun tahu bahwa banyak sekali juru tafsir al-Qur'an yang menafsirkan secara berbeda-beda untuk ayat yang sama.

"Justru kalau itu yang dimaksud maka kita akan bertengkar terus, lagi dan lagi, tiada akhir. Maksud kamu ingin mengakhiri pertikaian malahan akan menemui jalan buntu. Pertikaian itu akan terus berlanjut kalau kamu menerjemahkan al-Qur'annya seperti itu".

"Lalu bagaimana?", Timun tambah keheranan. Halaman mesjid mulai sepi walau masih ada yang shalat dan berdo'a serta mengaji di sana-sini. Ada juga yang sedang sibuk menyelesaikan tugas kuliahan. Ada juga yang sibuk bercengkrama dengan topik aneka rupa.

"Begini", kata Hadi sambil mengambil posisi agak tegak dengan menggeserkan kedua kakinya. Ia sekarang melipat kedua kakinya kedalam, kebelakang, dan ia duduk di atas kedua kakinya. Posisinya sekarang tegak dan kelihatan lebih berwibawa dibanding posisi yang sebelumnya. Sebelumnya ia duduk bersandar pada tiang mesjid dengan kaki kiri menggeletak di lantai dan satu kakinya lagi, kaki kanan, membentuk sebuah tiang. Dan ia duduk sambil memeluk kaki kanannya.

Hadi kemudian melanjutkan pembicaraannya:

"Kalau kita mengembalikan setiap pertengkaran atau setiap perbedaan pendapat dalam agama antara kita itu dengan mengutip al-Qur'an dan Hadits Nabi, Insya Allah kita akan terus bertikai karena masing-masing kita akan menerjemahkan keduanya; menafsirkan keduanya; menyimpulkan keduanya sesuai dengan kemampuan dan kapasitas intelektual yang kita punya. Belum lagi ada konflik kepentingan dan batasan sekat-sekat madzhab. Belum lagi ada keterbatasan penguasaan bahasa Arab. Belum lagi ada kesimpang-siuran akan penetapan shahih-tidaknya suatu hadits. Belum lagi ada perbedaan dalam membaca al-Qur'an karena ada ayat-ayat tertentu yang apabila dibaca lain maka artinya akan lain. Belum lagi penentuan tanda baca dalam al-Qur'an. Belum lagi mempertimbangkan asbabun nuzul dari ayat-ayat itu. Belum lagi adanya nasakh dan mansukh,  dan lain-lain, dan lain-lain yang masih banyak sekali. Kesemuanya itulah yang membuat perbedaan diantara kita. Jadi alih-alih mempersatukan tali persaudaraan malah kita akan memperlebar jurang pemisah antara kita lebih lebar lagi", Hadi berhenti sejenak membiarkan pembicaraannya mengendap agar bisa meresap kedalam hati Timun. Ia membiarkan Timun mencerna apa yang dikatakannya.

"Jadi maksudmu kalau aku mengutip sebuah ayat atau hadits maka kamu belum tentu setuju dengan penafsiranku dan belum tentu sepakat akan keshahihan hadits yang aku bawa, begitu?", tanya Timun.

"Tepat. Kamu memang cerdas sekali, Mun. Kalau orang lain pasti harus diterangkan berkali-kali", tandas Hadi. Karuan saja ini membuat hati Timun sumringah; akan tetapi itu cuma sesaat karena ia kembali bingung dan kemudian bertanya:

"Kalau begitu bagaimana kamu menafsirkan ayat tadi yang menyuruh kita untuk mengembalikan semua perbedaan itu kepada Allah dan RasulNya? Terus bagaimana caranya supaya kita semua ini bisa rukun selalu dan tidak bertikai satu sama lain? Apa ada ayat lainnya yang bisa membuat kita rukun dan damai seperti nama agama kita ini, Islam, yang artinya damai?", Timun bertanya seperti memuntahkan peluru dan itu membuat Hadi tersenyum dan memegang perutnya entah sakit atau entah mual; atau entah kenapa.

"Kita insya Allah akan bertemu dengan Allah dan RasulNya nanti. Kita akan dipertemukan dengan keduanya nanti. Dan ketika kita bertemu kita akan mengambil mereka sebagai hakim pemutus perkara diantara kita. "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah itu kepada Allah dan RasulNya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” 
(Catatan: Biasanya ayat ini sudah diberi tambahan yang ditulis di dalam kurung yang menandakan bahwa bagian yang ada di dalam kurung itu bukan bagian dari al-Qur'an melainkan itu sebuah penafsiran saja dari si penerjemah al-Qur'an. Sebaiknya kata dalam kurung itu dihapus saja agar ia tidak dianggap sebagai bagian dari al-Qur'an--terutama oleh orang-orang awam seperti penulis. Kalau itu terjadi, berarti orang-orang yang sudah berani menambahkan atau memberikan penjelasan itu akan dianggap sebagai orang-orang yang sudah meniru kebiasaan kaum Yahudi dan Nasrani yang suka menambah-nambah dan mengurangi apa yang sudah difirmankan oleh Allah. Na'udzubillah. Sebaiknya penafsiran itu ditulis di bagian yang terpisah supaya orang tidak tersesat karenanya--penulis)

Hadi mengutip ayat al-Qur'an kemudian ia melanjutkan, "Jadi kalau kita berselisih faham dalam masalah agama, kita harus kembalikan perselisihan itu kepada Allah dan Rasulullah. Jangan menghakimi dan menghukumi orang lain yang berbeda faham dengan kita. Hormati mereka, sayangi mereka, perlakukan mereka sebagaimana kamu memperlakukan manusia. Jangan hina mereka; jangan ejek mereka hanya karena mereka berbeda. Jangan sisihkan mereka dalam pergaulan; jangan menganggap mereka seolah-olah penyakit menular yang susah dicari obatnya. Kalau kamu takut atau risih atau jengah atau merasa terancam atau merasa resah dengan kehadiran mereka yang berbeda dari dirimu, itu berarti dirimu itu merasa rendah diri, tidak percaya diri dan merasa lemah".

"Apabila kita merasa resah dan gundah kemudian marah terhadap mereka yang memiliki keyakinan berbeda dengan kita, maka itu artinya kita sendiri kurang percaya diri terhadap apa yang kita yakini. Kalau kita merasa memiliki keyakinan yang benar; kalau kita merasa sudah berada dalam agama yang benar, maka kita tidak perlu lagi merasa khawatir akan apapun juga", Hadi melanjutkan.

Hadi menyitir lagi sebuah ayat suci, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

"Kalau kita melihat ayat suci yang sudah saya bacakan tadi, jelaslah yang paling baik diantara kita ialah orang yang paling bertakwa; dan salah satu dari tanda orang takwa itu ialah mengikuti apa yang telah digariskan dalam kitab suci. Dan kitab suci bilang kita harus saling kenal mengenal walaupun banyak sekali perbedaan diantara kita. Saling kenal mengenal itu bukan saling ejek dan cela; bukan saling serang dan berbunuh-bunuhan. Saling kenal itu diantaranya ialah membiarkan orang lain dalam perbedaan dan menghormati perbedaan itu sebagai suatu suratan", Hadi melanjutkan lagi sambil menyimpulkan.

"Allah sangat kuat dan perkasa untuk membuat kita semua menjadi umat yang satu dan al-Qur'an juga bilang seperti itu. Akan tetapi Allah malah menciptakan kita berbeda-beda. Kalau kita tidak menghormati perbedaan itu dan saling memusnahkan diantara kita. Kiamatlah sudah", Hadi menutup penjelasannya yang panjang lebar.

Timun sadar temannya yang satu ini illmunya luas dan tampaknya sangat bijaksana. Timun tidak merasa takut ataupun was-was dengan temannya yang satu ini, walaupun nantinya Timun datang ke tempat Hadi mengaji dan belajar ilmu agama. Apabila nanti Timun kesana, Timun yakin sekali dirinya tidak akan dilecehkan dan dianggap aneh dan hina, karena ia yakin bahwa Hadi, temannya itu, akan memiliki teman-teman yang lain yang seumpama dengan dirinya. Teman yang menghormati manusia apa adanya.

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta