(serial Timun Laut episode 15) TEMAN TIMUN, BARU KENALAN DI MESJID SALMAN (2)




(Serial Limabelas) 

TEMAN TIMUN, BARU KENALAN DI MESJID SALMAN (2)


Hari gini masih juga belum pluralis?!

Masih di gedung Dapenpos; masih beberapa tahun yang silam; masih melanjutkan cerita yang tertunda yaitu masih tentang menunggu sahabatnya Timun: Ali al-Hadi.

Ia, Hadi, yang menjanjikan beberapa buku tentang tarikh dan ilmu kalam yang belakang ini sangat menarik perhatian Timun, akhirnya datang juga. Hadi dari kejauhan sudah terlihat tersenyum ramah--senyuman yang selalu mengingatkan Timun pada sahabatnya yang lain, Nono.

"Sepertinya ia bisa menjadi Nono kedua dalam hidupku", pikir Timun. "Memiliki teman seperti itu selain menyejukkan juga menguntungkan, sering membawa kita kepada kebaikan dan kemashlahatan", Timun makin dewasa dalam hal memilih teman.

"Assalamu'alaykum", Hadi menyapa. Timun mengulurkan tangannya dan ditolak oleh Hadi karena Hadi lebih memilih untuk memeluk Timun dengan erat. Terasa sekali sepertinya mereka telah berteman lama sekali. Jarang-jarang Timun langsung nyetel dengan teman baru karena biasanya ia selalu pasang jarak sampai ia merasa tentram dan yakin bahwa teman yang dikenalnya itu teman yang akan membawa kebaikan. Sekali lagi memang Timun terlalu pilih-memilih dalam berteman. Ia banyak mengenal dan dikenal orang akan tetapi untuk urusan yang namanya sahabat atau teman dekat, Timun lebih memilih untuk memiliki sedikit teman, daripada memiliki banyak teman yang hanya memberikan beban dan kesusahan. Itu prinsip Timun.

"Wa'alaykum salaam", jawab Timun.

Timun melihat temannya kelihatan berwibawa dengan pakaian serba hitamnya. Ia tidak sendirian berpakaian hitam seperti itu. Orang lain yang juga hadir di tempat itu juga kebanyakan (hampir semuanya malah! Atau lebih baik dikatakan semuanya saja supaya tidak susah!) berpakaian hitam-hitam pertanda bahwa mereka sedang berkabung. Berkabung? Memangnya siapa yang meninggal?

Laki-laki dan perempuan, tua dan muda, semuanya berpakaian hitam. Banyak diantara mereka yang mencoba sebisanya untuk tidak terlalu banyak tersenyum apalagi tertawa. Suasana dibuat sedemikian rupa sehingga suasana berduka tercipta dan terasa. Ada sebuah banner terlihat dan terbaca: Peringatan Syahadah Imam Husein, 10 Muharram (Timun lupa tahun Hijriahnya). Semua mereka akan memperingati kesyahidan Imam Husein cucu baginda Nabi Muhammad yang gugur menjemput kesyahidan di padang Karbala (sebuah tempat di Irak sana) pada tahun 61H.

Beliau dipenggal kepalanya; diinjak-injak kuda badannya; dan kemudian diarak kepalanya dari Karbala di Irak ke Damaskus di Syiria dalam suatu parade yang membuat bulu kuduk berdiri. Bagaimana tidak, ada kurang lebih 70 kepala yang diperlakukan sama. Dipancangkan di atas tombak dan diarak sepanjang jalan jadi tontonan. Ini cerita lama; cerita yang seringkali dilupakan kaum Muslimin sedunia. Untung saja Timun suka membaca, jadi cerita inipun tak terlewat dari perhatiannya.

Malam itu, Timun pun ikut berkabung mesti tidak memakai pakaian serba hitam. Ia turut bergabung dengan sahabatnya yang dikenal beberapa minggu lewat lamanya. Sahabat yang walau memiliki keyakinan berbeda dengan dirinya tetap memperlakukan Timun sebagai orang istimewa.

"Mun, kamu mau ikut shalat Maghrib dulu?", "Berjamaah, yuk?", ajak Hadi.

"Ayo", kata Timun singkat karena ia masih saja terpukau dengan lautan manusia berpakaian hitam.

Singkat cerita sekarang Timun dan Hadi sedang berdiri menghadap kiblat dan bermakmum pada seseorang yang juga mengenakan pakaian hitam. Timun dihanyutkan oleh alunan suara Imam membacakan surah al-Faatihah. Padahal surahnya sama saja dengan yang dibacakan oleh imam-imam yang lain yang pernah ia shalat di belakangnya, akan tetapi sekarang terasa lain. Bukan bacaannya mungkin, tapi suasana lain yang ada di sekelilingnya. Setelah imam selesai membaca al-Faatihah, Timun menyambungnya dengan sahutan "Aaaaaaaaaaammmmiiiiiiiiiiiiiinnn" yang cukup keras. Ia kaget sendiri karena hanya dia saja yang melakukan itu sementara yang lain tidak membaca "amin", baik itu secara perlahan atau dengan penuh kekuatan. Selesai shalat ia meminta ma'af pada temannya karena siapa tahu teriakan "amin" darinya itu membuat shalat orang-orang terganggu.

"Ah, biasa saja. Itu kan hanya perbedaan fikih belaka. Tidak usah diperdebatkan", Hadi tersenyum dengan bijaknya. Ia mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam tasnya yang sedari tadi ia bawa. Bungkusan yang dikeluarkan cukup besar dan ternyata di dalamnya ada buku-buku. Paling tidak jumlahnya ada 8 atau 9 buah--secara sepintas Timun menghitung.

"Ini semuanya untuk kamu hitung-hitung sebagai pengikat persahabatan kita", kata Hadi.

"Waah. Aku tidak tahu bagaimana membalasnya. Aku nanti traktir kamu saja ya?", Hadi tidak menjawab karena ia tiba-tiba menyela, "Mun, sepertinya acaranya akan segera dimulai, ma'af saya harus segera masuk. Saya ingin duduk di depan supaya bisa melihat setiap kejadian di panggung dengan jelas".

"Kalau saya ikut gimana, boleh nggak? Apa harus menjadi pengikut ahlul-bayt dulu untuk mengikuti acara ini?", tanya Timun setengah memohon.

"Oh, boleh, boleh, boleh-boleh saja. Ini acara tidak eksklusif kok. Setiap orang yang mengaku mencintai Nabi dan keluarga Nabi boleh ikut. Tanpa dipungut bayaran kok?", canda Hadi sambil tersenyum.

"Kamu bisa pinjami saya golok atau pedang?", tanya Timun.

"Lho, untuk apa?", Hadi terkejut bukan main.

"Kalau tidak salah kita nantinya akan melukai diri sendiri sebagai tanda berduka atas kesyahidan Imam Husein. Jadi kita harus mempersenjatai  diri kita dengan benda-benda tajam. Bukan begitu?", tanya Timun serius.

"Kalau gitu saya tidak bisa minjemi sampeyan golok atau senjata tajam lainnya. Saya pasti akan menggunakannya. Gimana kalau clurit. Saya punya dan tajaaaaaaaam sekali. Sekali sentuh minimal keluar darah segelas. Gimana? Mau pinjem?", tanya Hadi dengan muka yang kelihatan lebih serius. Timun terpaksa menelan ludah ngeri membayangkan lehernya dikalungi clurit dan digesek-gesek dengan benda tajam itu. Meskipun itu harus dilakukannya sendiri.

"Kalau begitu saya tidak akan ikut, ah. Ngeri", tandas Timun dengan wajah pucat pasi.

"Ha......ha.......ha......ha......", Hadi tidak kuat lagi menahan tawa yang sebenarnya sedari tadi ia tahan. "Mun yang namanya peringatan Asy-Syura itu tidak ada yang namanya sabet-sabetan pedang atau clurit segala. Darimana kamu memperoleh informasi seperti itu?", Hadi bertanya setelah terlebih dahulu menghentikan tawanya karena mengganggu orang-orang yang hendak berziarah.

"Lho, bukannya memang begitu. Saya sendiri menyaksikan di televisi orang-orang melukai diri sampai berdarah-darah ketika ia memperingati hari Asy-Syura".  

"Itu tradisi, bukan bagian dari fikih kami. Lagi pula itu kebanyakan dilakukan oleh orang-orang Irak sana, walau ada juga di beberapa negara lainnya. Mereka melakukan hal itu mengikuti tradisi nenek moyangnya. Ketika itu orang-orang Kufah merasa menyesal karena mereka tidak ikut dengan rombongan Imam Husein yang hampir semuanya terbunuh di Karbala. Mereka menyesal karena telah menipu pemimpin mereka. Mereka sudah mengirimkan surat sebanyak kurang lebih 100,000 buah yang isinya tanda kesetiaan mereka terhadap Imam Husein dan mereka menolak Khalifah Yazid bin Mu'awiyyah. Akan tetapi mereka surut kebelakang demi melihat pasukan Yazid yang berjumlah 30,000 orang sementara pasukan Imam Husein hanya 72 orang lebih sedikit. Pertempuran yang tak seimbang terjadi dan mereka menyesal tidak ikut ambil bagian menyongsong kesyahidan bersama cucu Nabi. Ketika cucu Nabi sudah gugur mereka baru menangis menyesal. Sebagian dari mereka menjambak rambut sendiri, memukul-mukul dada, dan melukai diri dengan senjata sebagai tanda penyesalan karena tidak ikut bergabung dengan cucu Nabi dalam kesyahidan. Ada juga teori lain yang menyebutkan itu pengaruh dari agama lain", Urai Hadi.

"Jadi itu tradisi? Dan bukan bagian dari syari'at agama?"

"Tentu saja bukan. Akan tetapi walau itu tradisi sebagian orang masih merasa tidak atau kurang lengkap apabila mereka tidak melakukannya. Imam Khomeini telah mengeluarkan larangan untuk hal ini akan tetapi masih ada saja orang yang tetap melakukannya. Begitu juga para ulama kami yang lain. Tapi mereka semua tidak melakukan pelarangan itu dengan pemaksaan. Mereka melakukannya secara perlahan dan hati-hati, karena ini menyangkut keyakinan orang. Yang sudah menjadi tradisi kan susah untuk dibasmi apalagi itu telah menjadi suatu keyakinan dalam hati. Kamu pernah melihat filem Children of Heaven, Mun?", Timun mengangguk.

"Nah, di filem itu ada sekilas adegan tentang peringatan Asy-Syura dan kamu tidak melihat mereka melakukan itu kan? Mereka tidak melukai diri mereka sendiri. Mereka memperingati 10 Muharram dengan duduk-duduk di mesjid sambil mendengarkan pembacaan Maqtal Husein (kisah tentang pembunuhan terhadap Imam Husein cucu Nabi yang dibantai oleh para pengikut nabinya sendiri. Diantara mereka yang membantai keluarga Nabi, ada juga turut serta--melemparkan panah ke pasukan Imam Husein—Umar  bin Sa'ad anak dari sahabat Nabi terkenal yaitu Sa'ad bin Abi Waqash) yang dibacakan, biasanya dengan nada sedih. Sama sekali tidak ada bacok-bacokan. Tidak ada darah tertumpah. Nah, nanti di sini juga sama, tida ada darah tertumpah, kecuali kalau kamu sendiri yang mau". "Masih perlu clurit nggak?", canda Hadi.

"He..........he..........he..........", mereka berdua tergelak. Timun menggandeng temannya masuk ke ruangan yang agak temaram (atau memang sengaja dibuat temaram? Mungkin untuk menciptakan suasana duka.)

Sepanjang peringatan itu berlangsung, kepala Timun menoleh ke sana kemari mencoba untuk melihat apapun yang dapat ia lihat. Kedua matanya ia sapukan ke seluruh penjuru seakan-akan tengah merekam semua kejadian yang tengah berlangsung di sana. Diam-diam Timun merasa menyesal tidak membawa video kamera milik saudara sepupunya (tepatnya meminjam dan kemudian membawa kalau memang diijinkan dan diberi pinjam). Kalau saja ia membawanya maka ia akan dokumentasikan semua kejadian yang berlangsung di depan matanya seperti beberapa orang yang memang sengaja membawa video camera sendiri.

Acara demi acara tergelar di hadapan Timun yang menyimaknya secara seksama. Ada adegan pertempuran yang diperankan oleh para aktor dan aktris panggung dari sebuah teater ternama. Mereka membacakan puisi dengan iringan belasan drum yang ditabuh membahana membuat Timun merasa bahwa ia sedang berada di medan pertempuran dan bukan di sebuah gedung serbaguna.

Tanah Karbala, O, Tanah Karbala
O, Tanah dimana dua pasukan bertikai berhadapan
O, Yang satu beserta kebenaran, yang lain berkubang dalam kesesatan

Pasukan Karbala, O, Pasukan Karbala
O, Pasukan setan menyerang terjang, pasukan kebenaran tegar bertahan
O, Pertempuran sengit dan mencekam tak lagi dapat terhindarkan

Cerita Karbala, O, Cerita Karbala
O, Cerita nestapa yang luput dari pendengaran
O, Telinga  kaum Muslimin seolah rapat sempurna tersumbatkan


Lembah Karbala, O, Lembah Karbala
O, Lembah Al-Tufuf dimana keluarga Nabi terabaikan
O, Di sana mereka merana, dibantai, dan disia-siakan

Pertolongan Karbala, O, Pertolongan Karbala
O, Pertolongan yang tulus telah pupus tak terberikan
O, Keluarga Rasulullah akhirnya terkepung dan tersudutkan

Keluarga Karbala, O, Keluarga Karbala
O, Keluarga yang malang dari nabimu yang dicampakkan
O, Mereka kehausan, kelaparan, kesepian dalam ancaman penindasan

Tangisan Karbala, O, Tangisan Karbala
O, Tangisan cucu Al-Mustafa parau dan perih, terdengar sedu sedan
O, Ajakannya ke Islam yang benar tak seorangpun yang menghiraukan

Anak-anak Karbala, O, Anak-anak Karbala
O, Anak-anak Al-Hashem satu persatu tumbang berjatuhan
O, Dalam kubangan darah, tubuh mereka menggelepar tercincang berserakan

Tenda Karbala, O, Tenda Karbala
O, Tenda yang terbakar jeritan menyayat hati dan pedihnya tangisan
O, Tenda yang menyaksikan para ayah dan suami dibinasakan

Darah Karbala, O Darah Karbala
O, Darah segar nan suci yang tersemburkan
O, Dari tubuh lusuh tanpa kepala, oh, sangat mengerikan

Tragedi Karbala, O, Tragedi Karbala
O, Istri dan anak-anak menangis kuat tak tertahankan
O, Kejadian di pelupuk mata terlalu kejam dan menyakitkan

Mayat Karbala, O, Mayat Karbala
O, Mayat 72 orang syahid dengan senyum bangga dan penuh kemenangan
O, Mereka menyambut semangat hadirnya kesyahidan



Acara menuju puncaknya. Seseorang (kemudian ia segera mengenalinya. Ia salah seorang cendikiawan muslim terkenal di Indonesia. Namanya juga terkenal, jadi tidak usah lagi disebut namanya!) membacakan kisah pembunuhan Imam Husein dengan nada rendah menyentuh setiap relung kalbu. Karena Timun sudah pernah membaca kisah itu sebelumnya, maka ia bisa menghayati pembacaan cerita itu dan mengikutinya kata demi kata. Timun merasa aneh. Tidak pernah ia merasakan kepedihan yang sedemikian dalam. Ia larut dalam perasaan haru.

Sampai ke suatu cerita di mana Imam Husein membawa puteranya yang masih bayi yang sedang menangis kehausan. Imam Husein meminta gencatan senjata barang sebentar untuk sekedar mengambil air bagi bayinya yang kehausan itu. Tapi jawabannya ialah sebuah anak panah yang ditujukan pada bayi tersebut hingga meninggal di pelukan Imam Husein seketika. Bayi itu tidak bisa menuntaskan tangisnya. Tangisnya tersekat di tenggorokan yang digorok sebuah panah yang dilontarkan manusia yang tidak berprikemanusiaan.

Air mata Timun yang tadi ditahannya sekarang tercurah juga, deras keluar. Ia tidak peduli lagi dengan temannya yang duduk di sampingnya. Ia tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya yang baru malam itu ia lihat wajah-wajahnya. Ia tidak peduli lagi dengan dunia sekitar yang tampaknya juga turut berduka cita untuk kematian tragis keluarga Nabi seorang demi seorang. Ia menangis tersedu-sedu seakan-akan ia melihat bayi itu berlumuran darah karena lehernya ditembus anak panah.

Sebagian dari cerita itu berlanjut dan tidak lagi jelas didengar Timun karena Timun asyik sendiri dengan tangisnya yang tidak pernah ia menangis sedemikian deras seperti itu. Sampai akhirnya di puncak cerita dimana Imam Husein diserbu anak panah dari segala penjuru. Imam Husein masih sanggup membalas serangan itu dan ia menyeruak ke tengah medan pertempuran menewaskan ratusan prajurit dengan pedangnya. Sampai ia kehabisan tenaga dan darah. Ia terjerembab lemah karena selain lelah ia menahan lapar dan haus yang menyiksa, menghentikan sisa-sisa keperkasaannya yang sudah terlebih dahulu dilemahkan lapar dan dahaga. Tubuhnya jatuh dan seseorang mengusulkan untuk menyembelih kepalanya. Seseorang menawarkan diri untuk menyembelih leher Imam Husein dari depan akan tetapi ternyata pedangnya sama sekali tidak bisa melukai leher Imam Husein itu. Seseorang berkata: "Mana mungkin kalian bisa melukai leher itu di bagian depannya; karena bagian itu seringkali diciumi oleh Nabi sewaktu ia masih bayi. Balikanlah tubuhnya. Sembelihlah dari belakang lehernya".

Orang itu menurut. Dan tidak lama lepaslah sudah kepala suci itu dari tubuhnya.

Jeritan membahana di gedung Dapenpos itu:

"Waa, Husainaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhh",

"Waa, gharibaaaaaaaaaaaaahhhhhhhh",

"Waa, syahiidaaaaaaaaaahhhhh".

Tangis tercurah lebih deras. Timun membayangkan seolah-olah jenazah Imam Husein cucu Nabi ada di hadapannya dalam keadaan tak berkepala dan badan ringsek diinjak-injak seratus kuda.

Tubuh sucinya penuh debu dan seribu luka.

Ia tidak sanggup lagi membayangkan itu semua. Tubuh Timun lunglai tak bertenaga. Lemah dan lemas semua........................................................

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Acara selesai. Timun tidak mengeluarkan kata-kata bahkan tidak mengeluarkan bunyi apapun. Temannya pun demikian. Hadi kelihatan lusuh dan terguncang. Timun membayangkan temannya yang pasti sudah sangat sering mengikuti acara yang sama seperti ini. Tapi mengapa tetap saja ia bersedih seperti itu? Seolah-olah ia seperti dirinya yang baru pertama kali ikut rombongan takziyyah ini.

"Nggak ada acara bacok-bacokan kan?", Hadi berusaha menghibur temannya ini dengan pertanyaan tadi. Sambil berusaha tersenyum.

"Nggak", jawab Timun pendek. Ia tidak bisa tersenyum juga tidak berusaha untuk tersenyum. Ia tampaknya masih terguncang dengan kejadian yang baru saja ia alami. Ia sekarang bisa memahami orang-orang Kufah yang mencurahkan darahnya sendiri dengan pedang-pedangnya. Pantas saja mereka melakukannya. Aku saja yang baru mendengarkan cerita ini dibacakan orang (walau sudah pernah membacanya) bisa merasakan kedukaan yang sangat dalam. Apatah lagi orang-orang Kufah yang bukan saja mendengarkan peristiwa itu, tapi juga turut melihat 72 kepala yang berlumuran darah, ditusuk tombak dan diarak dalam suatu parade. Parade yang sengaja dibuat, diikuti, dan dimeriahkan oleh mereka yang mengaku sebagai pengikut Nabi.

Timun menyeka air matanya yang juga masih tertumpah. Ia berusaha untuk tidak lagi menangis karena acara memang sudah selesai. Tapi ia tidak sanggup. Mungkin sisi kemanusiaannya terguncang. Kematian dari seorang cucu dari seorang Nabi--yang ia seringkali dambakan setiap waktu untuk bertemu dan bertatap muka dengannya--mendorongnya untuk memaknai lebih kejadian ini. Bahu Timun ditepuk-tepuk oleh sahabatnya yang juga sekarang turut lagi larut dan mencurahkan air matanya demi melihat Timun dalam keadaan lunglai seperti itu.

------------------------------------------------------------------------------------------------------

 Keesokan harinya……………….

Timun bangun dari tidurnya dengan kedua matanya sembab. Neneknya khawatir kalau cucu kesayangannya mendapatkan musibah misalnya dipecat dari pekerjaannya atau yang lebih serius dari itu. Tapi karena Timun tidak bercerita apapun, kakek-neneknya tidak berani mengusik Timun. "Biar saja", terdengar kakeknya Timun berbisik kepada neneknya Timun. Timun mandi setelah itu ia berganti pakaian dan pamitan. Ia mau menemui Hadi di pekarangan mesjid Salman di mana mereka berjumpa untuk pertama kalinya.

"Mun, sudah baikan", sapa Hadi sesampainya Timun di sana, di koridor sebelah timur mesjid itu. Di sekeliling banyak juga terlihat beberapa kelompok mahasiswa yang sibuk sendiri-sendiri atau dalam kelompoknya. Ada yang sedang menunaikan shalat (mungkin sekali shalat Dhuha); ada yang berdiskusi; ada yang termenung sendirian (mungkin sedang menunggu orang? Atau memang dia memiliki hobi aneh: merenung sendirian!).

"Sudah", Timun menjawab pendek. Hadi sangat memahami mengapa Timun masih menjawab pendek-pendek seperti itu. Ia juga pernah mengalami hal yang sama; dan mungkin ini juga terus menerus terulang setiap selesai mengikuti acara yang sama, memperingati syahadah Imam Husein.

Sekarang mereka berdua duduk-duduk di lantai mesjid yang sejuk. Ngobrol ngalor-ngidul. Keduanya memang sedang libur. Hadi yang libur. Karena hari Jum'at dan Sabtu ia libur. Sedangkan Timun meliburkan dirinya hari itu karena merasa kurang cukup "Pede" untuk datang ke kantornya dan mengajar di hadapan murid-muridnya dengan kedua matanya yang sembab seperti itu. "Apa kata dunia?"

"Had, banyak sekali teman-temanku yang merasa aneh dengan perayaan Asy-Syura yang dilakukan oleh orang-orang, terutama peringatan yang harus mengalirkan banyak darah seperti yang mereka baca dalam majalah atau mereka lihat dalam televisi. Mereka bilang itu sebagai suatu bentuk kesesatan yang nyata dan itu hanya dilakukan oleh orang-orang sesat. Karena hanya orang-orang sesat yang suka menenggelamkan diri dalam kebinasaan. Tanggapanmu gimana?", Timun duduk di koridor mesjid sambil memeluk kedua kakinya. Sengaja, untuk sekedar menahan angin agar tidak langsung menubruk dadanya. Angin bertiup cukup kencang sampai masuk pelataran mesjid yang paling dalam.

"Biarin aja. Gitu aja kok repot", sambut Hadi (sambil tersenyum menyeringai) menirukan logat Gus Dur yang waktu itu baru saja populer. Ia duduk bersandar ke dinding mesjid.

"Tapi ngomong-ngomong tentang tradisi", lanjut Hadi, "Ada tradisi yang aneh yang dilakukan oleh kaum Muslimin di Indonesia. Pada bulan Muharram atau tepatnya pada tanggal 1 Syuro, misalnya, ada sekelompok orang di Jawa Tengah, kalau tidak salah, mengarak kerbau tertentu di sepanjang jalan dalam sebuah parade. Kerbau itu sangat dihormati masyarakat setempat. Apabila kerbau itu berhenti di sebuah tempat tertentu di jalan, maka orang-orang berebutan menanti siapa tahu kerbau itu buang kotoran. Dan apabila itu yang terjadi maka orang-orang akan berebut memperebutkan kotoran itu. Ada yang membawanya kedalam panci; ada yang memasukkannya kedalam saku baju; ada yang memasukkannya ke dalam kantong plastik yang sengaja mereka bawa dari rumah, bahkan, katanya, ada yang memasukkan langsung ke mulut untuk dimakan! Katanya mereka melakukan itu semua untuk mendapatkan keberkahan dari sang kerbau", Timun sudah tahu cerita itu dan ia memilih untuk berdian diri sambil menantikan penjelasan selanjutnya dari Hadi.

"Kebanyakan dari orang yang melakukan itu mestinya beragama Islam karena tradisi itu juga dikait-kaitkan dengan Islam. Dan seperti yang kita tahu, Islam yang ada di Indonesia itu hampir seluruhnya bercorak Sunni. Lalu, setelah melihat itu bolehkah saya menyebutkan bahwa orang-orang Sunni itu sesat karena mereka adalah para pemakan kotoran kerbau? Innalillah!Masya Allah! Tidak, tidak mungkin itu aku lakukan sahabatku!", Hadi kelihatan sekali ia sangat bersungguh-sungguh dengan pernyataannya itu.

"Aku tidak mungkin menghakimi dan menghukumi orang-orang Sunni itu sebagai orang-orang sesat hanya karena aku melihat bahwa sebagian kecil dari mereka, sebagian sangat kecil, yang melakukan hal itu", Hadi berhenti sejenak.

"Demi Allah yang jiwaku ada ditanganNya! Aku tidak mungkin tega mengatakan itu pada kalian. Itukan hanya tradisi. Dan aku yakin kalian bakal menolak mentah-mentah bahwa itu bagian dari agama kalian. Dan aku juga sangat yakin bahwa kamu, Mun, tidak akan pernah melakukan hal itu", tegas Hadi sambil menepuk-nepuk bahu sahabatnya, Timun yang mengangguk-angguk tanda setuju.

"Akan halnya dengan orang-orang yang melakukan itu. Aku tidak akan permasalahkan. Aku tidak akan mengatakan bahwa mereka itu sesat. Biarlah Allah yang menentukan itu, bukan aku. Aku akan tetap menghormati mereka sebagai manusia. Aku juga yakin bahwa mereka memiliki alasan yang kuat untuk melakukan hal itu. Mereka memiliki alasan yang kita tidak tahu, apa itu". Timun mengangguk lagi, Hadi berhenti sejenak, lagi.

"Yang penting bagi kita ialah memperbaiki diri sendiri. Karena siapa tahu dengan terlalu sibuk memperhatikan amalan orang lain, kita malah melupakan amalan sendiri. Kita sibuk menghitung dosa orang lain; lupa bahwa dosa sendiri makin bertumpuk setiap hari. Jangan pedulikan orang yang berbeda denga kita. Karena kita ini dikenali sebagai kita karena orang lain berbeda dengan kita. Kita bakalan tidak ada dan tidak ada artinya kalau tidak ada orang lain yang berbeda dengan kita", Hadi berfilsafat yang membuat Timun makin kagum pada kawannya yang Syi'ah ini.

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta