(serial Timun Laut episode 11) MEMAKNAI "X"



(Serial Sebelas) MEMAKNAI "X"


Timun mendekati anak yang sedang sibuk dengan soal ujian itu. Ia sedari tadi mengamati anak itu. Sebenarnya ia menyebut anak itu dengan sebutan “anak” bukan karena ia masih kanak-kanak. Melainkan karena posisinya sebagai guru yang melihat anak itu sebagai anak, yaitu anak didik.

Anak didiknya itu sudah mahasiswa; berjenggot dan bercambang lagi. Ia seorang mahasiswa dari perguruan tinggi ternama yang telah melahirkan orang-orang ternama pula. Karena saking ternamanya saya tidak usah menyebutkan namanya. Yang jelas perguruan tinggi itu ialah perguruan tinggi negeri yang ada di kota Bandung. Sepertinya setiap orang tahu. Tapi paling tidak, anda tidak tahu dari jurusan apa dia--tidak usah pula mengira-ngira kayak kurang kerjaan aja.

Ngomong-ngomong soal mencontek, Timun memiliki pendirian bahwa selain itu merugikan diri sendiri, karena kita akan diremehkan oleh kawan maupun lawan, juga merugikan tempat kita menimba ilmu. Kita telah mencemarkan tempat dimana guru-guru kita telah bersusah payah menjadikan diri-diri kita anak cerdas (dan juga jujur!). Ketika kita mencontek predikat kita sebagai siswa atau mahasiswa dari suatu lembaga pendidikan, yang terlanjur melekat pada diri kita, turut tercemar juga. Dan di tempat dimana Timun mengajar, siswa-siswinya berasal dari segala lapisan masyarakat. Ada mahasiswa, ada SMA. Ada Esempe dan ada juga Esde. Ada anak-anak kecil dan ada juga dewasa besar. Kalau ia berasal dari suatu sekolah tertentu dan ia ketahuan mencontek di tempat Timun mengajar, pasti nama sekolah tempat anak itu belajar juga ikut dipertanyakan dan diperbincangkan. Walau kemungkinan besar yang salah si anak itu dan bukannya tempat dimana ia belajar dan diajar. Lagipula mana ada sekolah yang memberikan ilmu keterampilan mencontek kepada para siswanya!

Anak itu terlihat sedang resah tapi ia juga kelihatan cengar-cengir (resah kok cengar-cengir?). Sekali dua terlihat ia berbisik ke temannya atau melirik dengan penjuru matanya ke arah kanan--karena di arah sebelah kiri ada tembok karena kebetulan ia duduk di pojok. Sesekali juga ia melihat wajah Timun untuk memastikan bahwa Timun tidak menaruh curiga padanya dan tidak peduli dengan apa yang dilakukan olehnya.

Timun tersenyum dalam hati, "Dasar amatir!". Yang namanya sedang mencontek bagaimanapun canggihnya teknik yang digunakan tetap saja ketahuan secara terang benderang. Apalagi ini dilakukan di dalam kelas yang jumlah siswanya hanya ada dua belas orang sementara ukuran kelasnya hanya 7 X 6 meter saja. Karuan saja dengan jelas wajah setiap siswa terlihat terutama mereka yang kelihatan gelisah dan seringkali melihat (dengan perasaan gundah) wajah guru yang sedang ada di depan kelas. Guru yang baru mengajarpun dengan jelas bisa membedakan mana yang sedang berbuat culas mencari kesempatan dalam kesempitan, dan mana yang serius dan tabah dalam menjawab semua soal ujian.

Itu jelas, sejelas matahari pagi di pagi yang cerah di musim kemarau.

Timun menghampiri anak itu dan tanpa basa-basi ia mengeluarkan spidol merah yang besar--spidol yang biasa digunakan untuk menulis di whiteboard. Ia kemudian menorehkan huruf "X" yang cukup besar di kertas ujian si anak itu. Si anak itu terpana; mulutnya terbuka membentuk gua. Sementara Timun kembali lagi ke tempat duduknya tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Di sana-sini, di sekeliling anak itu terdengar bisik-bisik:

"Kena lu", kata seorang anak di sebelahnya.

"Nggak bakalan lulus lu, dijamin!", kata seorang anak lagi, tidak jauh dari anak kedua.

"Wah, gawat. Serius. Serius, euy!", yang terakhir diucapkan dalam logat Sunda yang kental entah siapa yang berujar.

Sementara itu di pojok ruangan (entah mengapa orang yang suka mencontek selalu mengambil posisi di pojok ruangan, kan itu kan tempatnya setan!), si anak tadi sekarang berubah pucat pasi. Ia tidak mau lagi melihat dan menengok ke sana kemari. Wajahnya lurus kedepan seperti memakai kacamata kuda. Pada saat yang sama jantungnya berdegup kencang; sambil membayangkan serentetan peristiwa buruk lainnya yang akan menyusul kemudian. Ia mati kutu!

Timun tersenyum penuh kemenangan. Senyum Timun itu sebenarnya senyuman si anak itu tadi yang sekarang telah terampas dan berpindah tempat. Sekarang giliran si anak itu tadi yang tidak tersenyum sama sekali.

Timun sebenarnya iseng saja menuliskan huruf "X" itu. Ia sama sekali tidak bermaksud untuk memotong nilai si anak yang ketahuan nyontek itu, karena itu memang tidak pernah atau belum pernah dijadikan peraturan di lembaga pendidikan tempat ia mengajar. Ia benar-benar iseng. Sekali lagi ia benar-benar iseng. Titik. Ia hanya ingin melihat seberapa jauh huruf "X" itu bisa mengubah prilaku seseorang. Ternyata hasilnya dasyhat man! Huruf "X" itu bisa membuat seorang anak tukang contek berhenti dari kegiatan menconteknya. Dan anak-anak lainnya pun tidak berani mengambil resiko karena takut huruf yang sama akan dibubuhkan oleh guru yang sedang mengawasi mereka dalam ujian itu. Kelas mendadak sepi dan Timun tidak usah memberikan lagi peringatan "Jangan mencontek!" yang diucapkan keras dan menggelegar diwibawa-wibawakan supaya anak-anak tidak mencontek. Ia tidak usah mengeluarkan tenaga terlalu banyak.

Timun kembali tersenyum membayangkan betapa hebat huruf yang ia buat tadi, padahal ia tidak memberikan makna lebih terhadap huruf itu. Tapi kan si anak tadi tidak tahu. Si anak tadi memberikan makna terlalu berat dan terlalu berlebihan pada huruf "X" itu. Ia sudah membayangkan bahwa setelah ujian itu selesai, ia tidak mungkin lagi naik ke level berikutnya karena nilainya akan dipotong. Dipotong oleh huruf "X" tadi. Atau bahkan huruf "X" itu akan menghapus semua amal-amalan yang telah ia lakukan di kertas jawaban tadi. Dengan kata lain nilainya dianggap nol, nihil. Si anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya karena mau tidak mau harus membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

"Sir, I've finished! May I ask you a question?", Timun tersentak karena si anak tukang contek itu bahasa Inggrisnya bagus (ngapain juga nyontek kalau ia punya bahasa Inggris yang baik, ya?).

"Sure", jawab Timun.

"What's the meaning ot 'X' on my paper?", tanya si anak itu meminta penjelasan.

"Well, you know what I mean with the 'X'", Timun masih dengan senyumannya yang kalem.

"Can I have a make-up test sir, please!", kasihan ia wajahnya memelas sekali ketika mengucapkan kalimat ini (tapi salah dia sih, mengapa pula mencontek!)

"No, you can't. The make-up test is merely designed for those who cannot follow the test on the provided schedules"

"Well, boy, that's life. You can't change the history, can't you?", masih dengan senyum dikulum yang tentu saja kelihatan menyebalkan bagi si anak tadi.

Sisa hari terasa berat bagi si anak tadi dan selesai ujian ia pamit dengan wajah tertunduk lesu; wajah yang pertama dan terakhir dilihat oleh Timun karena ia tidak lagi nongol untuk ujian berikutnya yaitu ujian lisan (di tempat Timun mengajar ada dua ujian: Tes Tertulis/Written TestOral Test). Ia akhirnya memang tidak muncul di Tes Lisan. Namun, namanya dilihat Timun sudah tertera di daftar para peserta ujian yang akan mengambil ujian susulan untuk Tes Lisan atau Oral Test. Rupanya ia jeri dan kapok bersua dengan Timun--orang yang telah membubuhkan huruf "X" di atas kertas jawaban miliknya.

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta