(serial Timun Laut episode 9) SU'UDZHAN ITU BOLEH KOK!



(Serial Sembilan) SU'UDZHAN ITU BOLEH KOK!


Supriyatna atau Nono duduk bersama Timun. Bukan pemandangan baru itu. Mereka seringkali duduk berdua bercengkrama seperti itu sejak dulu. Mereka memang sobat lama sejak kuliah sampai sekarang mereka bekerja di tempat yang sama. Mereka ibarat gula dengan manisnya; es dengan dinginnya; api dengan panasnya; garam dan asinnya; apalagi ya? Pokoknya mereka memang best-friend lah, luar dalam. Sedari tadi mereka duduk sambil menikmati hidangan ayam bakar dan lalap dengan sambelnya yang pedasnya na'udzubillah. Timun melihat sekeliling untuk memastikan bahwa rasa pedas itu memang dirasakan oleh semua pihak yang sedang sama-sama melahap santapan lezat yang sama. Bukan apa-apa, Timun sekedar ingin rasa pedas yang menyengat itu ditanggung bersama-sama dengan yang lainnya, dengan begitu rasa pedas itu menjadi lebih ringan dirasa di lidah (Iya gitu? Ya, enggak tahu lah; mungkin cuma Timun yang berpendapat seperti itu).

"Mun, ingat enggak waktu dulu kamu memalsukan transkrip nilai?", tanya Nono tiba-tiba. "Itu tuh, transkrip nilai untuk mata kuliah kita sewaktu kita kuliah dulu", kata Nono di sela-sela suara kecipak lidah menikmati makan siang favorit mereka.

"Oh, iya ya. Kapan itu terjadi? Sepertinya sudah lama sekali", Timun mengingat-ingat sambil melihat keluar lewat jendela.

"Ya, kira-kira 12 tahunan", Nono menatap jauh kedepan. Kebetulan restaurant tempat mereka makan itu letaknya di pinggir bukit dan pemandangan ke depan bisa sangat jauh mencapai sisi-sisi tebing di seberangnya. Pemandangannya tidak begitu indah karena di dasar bukit banyak sekali perkampungan kumuh yang lebih baik tidak dilihat sama sekali karena akan menyesakkan dada dan membuat orang bisa kehilangan selera. Bagaimana tidak, ketika mereka menyantap hidangan lezat, mungkin orang-orang yang tinggal di bawah sana sedang kesulitan untuk mencari sesuap nasi bersama teman nasinya. Kalau dibayangkan terlalu lama bisa menghilangkan selera makan yang sedang berkobar-kobar diantara mereka berdua. Pandangan Nono menerawang ke masa lalu, ia memiliki lamunannya sendiri. Ia tersenyum di kulum membayangkan dan mengingat-ingat tingkah polah mereka kala kuliah dulu.

Waktu itu (kira-kira semester ganjil, yang jelas kelakukan Timun memang sedang ganjil-ganjilnya; jadi itu kayaknya memang semester ganjil) Timun sedang mengetik sebuah proyek rahasia. Lidahnya terjulur keluar ketika ia mengayunkan jari-jarinya untuk mengetik di mesin tik (waktu itu Timun sama sekali belum berkenalan dengan yang namanya komputer. Jangankan berkenalan, bendanya saja belum ia sentuh atau lihat). Timun sedang mengetik transkrip nilai. Ia ketik: STRUCTURE III kemudian jauh di sebelahnya ditik huruf A--yang berarti nilainya untuk mata kuliah itu ialah A. Kemudian SPEAKING III juga dengan nilai A di sebelahnya. Dilanjutkan dengan LISTENING III juga dengan nilai A; TELAAH BUKU TEKS SMA juga A; PSIKOLOGI PENDIDIKAN A juga; semuanya A. Setelah selesai ia memandang puas pada kertas hasil ketikannya disaksikan oleh temannya Nono dengan keheranan. Ia kemudian mengetik satu lembar lagi, kali ini untuk rekannya, Nono. Semuanya diberi nilai A kecuali satu mata kuliah (entah apa itu karena itu tidak penting sama sekali karena toh semua nilai itu palsu semua). Masih dengan wajah penuh kepuasan ia mengajak Nono untuk pergi ke tukang fotokopi di FPIPS, IKIP Bandung, karena memang mereka kuliah di sana (bukan di FPIPS melainkan di FPBS, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni).

Sepanjang perjalanan ke tukang fotokopi, Timun menjelaskan apa yang akan ia lakukan dengan transkrip nilai palsu itu. Nono cekikikan sambil menyetujui rencana gemilang itu. Timun dan Nono memfotokopi transkrip nilai itu hingga puluhan lembar. Setelah itu mereka meminta tukang fotokopi itu memotong-motong hasil kopiannya supaya mereka tidak usah memotongnya lagi. Hasil kopiannya luar biasa sekali; tampak seperti transkrip nilai yang asli kemudian difotokopi. Jadi keduanya sama sekali tidak kelihatan berbeda. Yang berbeda tentu saja hanya nilainya dan derajat keasliannya. Masih cekikikan keduanya kemudian berjalan beriringan. Dari FPIPS mereka menuju gedung Pentagon (nama sebuah gedung di IKIP Bandung pada waktu itu; jadi bukan nama gedung di Amerika. Sebetulnya seharusnya gedung itu dinamai Heksagon karena sisinya ada 6 bukannya 5. Tapi mungkin kurang keren; jadilah gedung itu dinamai dengan nama: gedung Pentagon). Mereka duduk-duduk di depan gedung itu tidak lama, hanya satu menit saja, untuk kemudian mereka meninggalkan dua helai fotokopian mereka. Setelah itu mereka menuju tempat lain kembali ke FPIPS dan juga mereka melakukan hal yang sama: meninggalkan dua helai fotokopian. Setelah itu mereka menuju gedung FPOK dan melakukan hal yang sama dilanjutkan dengan perpustakaan umum IKIP Bandung, kemudian halaman belakang mesjid Al-Furqon; koridor mesjid yang waktu itu lebih asri kelihatannya dengan suasana jauh lebih sejuk; kemudian di UKDM (Unit Kegiatan Dakwah Mahasiswa) dan di berbagai tempat lainnya seperti di FPMIPA, FPTK, dan di beberapa kantin yang ada di dalam kampus hingga semua hasil fotokopiannya habis laris manis. Setelah itu mereka melepas lelah sambil makan baso di PLO (Penangkis Lapar Orang) di jalan Panorama, di depan kampus mereka.

Dua hari berselang, ketika mereka duduk-duduk di depan fakultas FPBS, mereka dikejutkan oleh kedatangan dua orang yang mengaku dari FPMIPA (Fakultas Pendidikan Matematika dan IPA). Mereka menanyakan nama keduanya. Keruan saja Timun dan Nono segera tanggap bahwa kejailan mereka sudah memakan korban. Dua orang dari FPMIPA itu menyerahkan 2 helai fotokopian dan mereka takjub memandang Timun dan Nono bergiliran. Mereka mungkin kagum melihat dua orang yang memiliki nilai mata kuliah yang sangat sempurna. Setelah mereka berpamitan (Timun dan Nono tak lupa menyampaikan ucapan terimakasih kepada mereka karena telah mengembalikan fotokopian itu), Timun dan Nono tergelak terbahak-bahak masih dengan membayangkan kedua wajah yang penuh dengan kekaguman itu. Selang sehari ada lagi yang menyerahkan hasil fotokopian itu; disusul yang lainnya dari fakultas lain. Keisengan mereka itu sangat mereka nikmati selama beberapa hari karena setiap kali mereka berjalan berkeliling di kampus IKIP Bandung, ada saja orang yang melihat mereka sambil berbisik-bisik dan diantara mereka wajahnya ada yang menunjukan rasa kagum dan iri sekaligus. Sementara itu Timun dan Nono memasang wajah kalem dan jaga image; karuan saja orang tambah kagum kepada mereka berdua. Entahlah apa jadinya kalau mereka tahu telah dikerjai oleh kedua orang itu secara mentah-mentah.

"Haaaaa...........ha.........ha......ha", Timun dan Nono  menyeka air mata yang membasahi keduanya membayangkan betapa polos wajah orang-orang yang mengembalikan fotokopian itu. Mereka berhenti tertawa sejenak setelah mereka melihat ke sekeliling dimana orang-orang merasa terganggu dengan tawa mereka. Masa mereka tertawa tatkala orang lain masih merasakan pedasnya sambel tadi.

"No, bukan aku saja sih yang suka jail tapi kamu juga kan?", kata Timun selepas tawa yang melanda mereka.

"Iya gitu? Kok aku enggak ingat! Seingatku cuma kau yang suka jail di kampus kita. Yang lain kan ketularan kamu; kamu biangnya".

"Nggak, ah. Nggak bener itu. Kamu juga kan pernah jail. Inget nggak waktu itu kita sedang shalat Jum'at di Negla--sebuah tempat di jalan Sersan Bajuri, Cihideung, Bandung--. Kamu duduk di sebelah kananku dan di sebelah kananmu itu ada seorang kakek-kakek. Inget nggak?"

"Haaa.........ha...........ha...........ha.......", tawa Nono meledak. Orang-orang di sekitar tambah terganggu sampai-sampai Nono harus menangguhkan tawanya dan kurang berhasil.

"Oh itu, iya, ya aku ingat sekarang ha.........ha.........ha........", tawa Nono berlanjut karena teringat kembali akan kejailan yang pernah ia lakukan semasa kuliah dulu. Ngomong-ngomong, diam-diam sebenarnya Nono sudah menyadari itu tidak baik dan ia merasa sedikit menyesal dan berharap hal yang sama ia tidak lakukan lagi.

"Ya, waktu itu aku ingat ada kotak infak yang diedarkan. Masih inget kan kotak infaknya sama sekali tidak berbentuk kotak melainkan bundar. Kotaknya dari kaleng bekas biskuit. Di dalamnya ada sepotong busa tipis untuk meredam dentingan uang logam seratusan dan limapuluhan (waktu itu uang limapuluhan paling populer untuk dimasukkan kedalam kotak amal mesjid karena itu merupakan recehan terkecil yang ada pada waktu itu) ketika mendarat  mencapai dasarnya. Ketika itu kan kotak infak itu sampai kepadaku dan aku menyampaikannya kepadamu dengan digeserkan. Kamu kemudian menyampaikan kaleng itu ke kakek-kakek di sebelahmu dengan mengangkatnya. Tapi kamu mengangkat kaleng itu seolah-olah kaleng itu isinya banyak sekali dan bobotnya berat sekali. Kamu letakkan kaleng itu di lantai dan kakek itu mengambil kaleng itu. Tapi karena si kakek itu tahu bahwa kaleng itu berat kelihatannya, maka ia gunakan tenaganya. Lalu ha.......ha.........ha.......", mereka berdua tertawa lagi.

"Si kakek tadi, si kakek tadi, terhuyung ke belakang karena menyangka kaleng itu berat dan ia terlanjur mengerahkan tenaganya sekuatnya. Ha......ha........ha.........ha......uang logam yang ada di dalamnya menghantam sisi kaleng di semua sisinya. Riuh sekali suaranya. Si kakek tadi dituding sebagai penyebab kegaduhan ha........ha.........ha......", sekarang tawa itu juga dinikmati oleh orang di sekeliling Timun dan Nono, karena orang-orang itu tampaknya berhasil menangkap kelucuan yang ada. Mereka tidak tertawa melainkan pura-pura sibuk dengan makanannya. Hanya kelihatan jelas sekali sebagian dari mereka seperti menahan sesuatu; bahu mereka bergerak-gerak; di sana-sini terdengar suara tawa tertahan. Mereka malu ketahuan kalau mereka sedang tertawa; sungguh banyak sekali orang yang suka berpura-pura.

"Eh, ngomong-ngomong sebenarnya ada hikmah di balik kejailan kita itu", kata Nono sambil tidak lepas senyum. Wajahnya tampak lucu meskipun di kesehariannya orang mengenal dia sebagai orang yang tawadhu dan alim serta bijaksana.

"Ah, kamu ini. Mana mungkin ada pelajaran yang dapat kita ambil dari kejailan kita. Itu kan hanya kejailan yang tidak ada manfaatnya malah bagi kita sekalipun", sela Timun sambil mengambil suapan entah untuk ke berapa kali karena tadinya nasi yang ada di piring Timun masih berupa gunung sekarang seperti danau besar di tengahnya.

"Ada. Pasti ada. Malah kan kamu sendiri pernah bilang bahwa orang-orang yang beriman itu selalu mendapatkan pelajaran dari setiap peristiwa yang menimpanya. Masih ingat kan?", Nono mengambil suapannya dengan pelan, ia memasukkan ke mulut juga dengan pelan, dan mengunyah dengan pelan. Itu memang gayanya.

"Iya. Saya masih ingat. Tapi pelajaran apa yang dapat kita dapatkan dari kejailan kita", lanjut Timun tetap dalam kebingungannya di sela-sela waktu ia mengunyah makanannya. Matanya berair dan peluh mengucur deras di dahinya yang luas.

"Kamu lihat orang-orang dengan mudahnya menjadi korban kita. Mereka tidak tahu bahwa kita sedang mengerjai mereka. Korban-korban kita itu hampir semuanya orang baik-baik---orang-orang yang tidak berdosa. Mereka menjadi korban kita karena mereka berbaik sangka terhadap kita. Sebagian dari mereka menyangka bahwa kita memang mahasiswa-mahasiswa yang cerdas oleh karena  itu nilainya semuanya A. Mereka tidak pernah berpikir sedikitpun bahwa mereka sedang kita kerjai", Nono menerangkan. Sejenak ia mengambil nafas untuk menelan makanan yang tadi ia kunyah selagi ia sibuk berbicara.

"Si kakek yang saya kerjai pun sama. Ia tidak berpikir bahwa saya sedang berpura-pura dan ingin melakukan suatu tipu daya. Ia mengira bahwa yang duduk di sebelahnya ialah mahasiswa shaleh yang sedang khusyu mendengarkan khutbah. Tidak tahunya yang di sebelahnya sedang merencanakan suatu tipu daya sekedar untuk menciptakan suasana jenaka di tengah-tengah khutbah Jum'at. Mereka semua tertipu karena mereka terlalu melihat apa yang terlihat. Apa yang tampak. Apa yang bisa diindera oleh kedua mata dan telinga mereka. Seandainya mereka melakukan penyelidikan sederhana dengan bertanya terlebih dahulu tentang prestasi belajar kita kepada teman-teman sekelas kita. Niscaya mereka akan melihat bahwa yang tertera di kertas kopian itu kelihatan mencurigakan. Apabila si kakek itu mengambil kaleng itu dengan menggesernya di lantai terlebih dahulu untuk menguji seberapa berat kaleng itu, ia tidak akan termakan oleh tenaganya sendiri yang sudah terlanjur ia kerahkan", ketika mengucapkan kalimat yang terakhir Nono tidak bisa menutup dirinya untuk tidak tertawa kembali meskipun sekarang tawanya tidak sekeras dan selama tadi.

"Jadi kita harus waspada terhadap segala sesuatu yang  ada di sekitar kita dong?", Timun bertanya untuk sekedar mendapatkan kejelasan.

"Iya", "Dengan kata lain memelihara rasa buruk sangka atau su'udzhan itu, dalam kadarnya yang tepat boleh-boleh saja", tandas Nono.

"Kebayang enggak kita sedang berhadapan dengan musuh. Musuh kita mendatangi kita dengan pedang terhunus. Nah, pada saat itu kita tidak boleh sedikitpun mengembangkan rasa husnudzhan kita. Kita jangan berbaik sangka dan berkata dalam hati bahwa orang ini datang pada kita mungkin untuk memberikan pedang itu pada kita atau mungkin ia mau meminjam batu asahan atau batu gerinda untuk menajamkan pedangnya terlebih dahulu sebelum ia bertempur dengan kita. Jangan! Sekali lagi jangan berbaik sangka kalau keadaan seperti itu", lanjut Nono.

"Kamu pasti sering membaca berita di koran atau melihat di televisi dimana korban kejahatan itu menyatakan bahwa dirinya jadi korban karena tidak menyangka bahwa orang yang datang ke rumahnya dengan penuh santun menawarkan barang dagangan sebenarnya salah seorang perampok yang diberi tugas untuk memata-matai target operasi mereka. Orang ini seringkali menyamar menjadi seorang salesman (bisa juga salesgirl) yang sedang diberi tugas untuk memasarkan produknya dengan harga murah dan dengan bonus melimpah. Karuan saja tuan rumah tidak curiga sedikitpun dan mengira dirinya sedang ketiban durian runtuh karena mendapatkan produk harga murah yang belum tentu bisa didapatkan di tempat lain. Sampai akhirnya tuan rumah harus menderita kerugian yang tiada tara karena ada orang yang menyatroni rumahnya dan mengambil semua barang berharga dengan atau tanpa ijin dari si empunya".

"Jadi, berburuk sangka, sekali lagi dalam kadarnya yang tepat", kata Nono sambil menggaris bawahi pernyataannya sendiri, "itu baik-baik saja adanya. Dengan buruk sangka kita bisa menghindarkan diri dari penipuan, pencopetan, dan kejahatan lainnya. Dengan buruk sangka kita juga akan tetap waspada siapa tahu ada orang-orang yang juga ingin menjaili kita", Nono menutup wejangannya dengan senyuman lebar.

Timun juga. Ia malah senyum lebih lebar lagi karena selama ini memang Timun itu orangnya susah untuk dijaili orang lain. Itu kata teman-temannya. Justru teman-temannyalah yang sering menjadi bulan-bulanan Timun. Jadi, mungkin Timun sudah lama sebenarnya memelihara rasa buruk sangka terhadap teman-temannya. Itulah yang menyelamatkan dia selama ini.


Wallahu'alam.

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta