(Serial Enam) SHALAT
DILARANG? APA KATA DUNIA?
Thoha sedang melakukan shalat Asar di
sebelah Karim--keduanya teman-teman Timun. Mereka berdua terlambat shalat
karena harus memeriksa hasil ujian kenaikan tingkat. Sekarang memang sedang
waktunya Promotion Test atau
test untuk kenaikan tingkat ke tingkat di atasnya. Tesnya diawali tes tertulis
atau Written Test dan setelah
selesai tes, para guru pengawas tes harus memeriksa hasilnya agar cepat-cepat
bisa diumumkan siapa yang lulus (passed)
dan siapa yang tidak lulus (passed away! He….he…he…).
Sehabis shalat, Thoha meneruskan dengan
shalat 2 raka'at, sementara temannya--Karim, meneruskan dengan dzikir standar
yang dilakukannya dengan kecepatan tinggi. Setelah itu ia pergi meninggalkan
tempat shalat karena ada orang lain yang sedang berdiri di belakang mereka mau
menunaikan shalat--maklum tempat shalatnya sangat sempit hanya cukup untuk dua
orang saja. Tempat shalat itu bersebelahan dengan ruang guru; keduanya hanya
dibatasi dengan lemari locker guru.
Jadi kalau ruangan guru sedang penuh-penuhnya, yang sedang shalat akan mendengar
semua pembicaraan guru-guru tersebut termasuk gossip-gossip yang tidak bermutu!
Karim sedang mengenakan
sepatunya--sebelah-sebelah dimulai dari yang kanan--ketika ia melihat Thoha
selesai dari shalatnya. "Thoha, tadi shalat apa yang kamu lakukan?", "Perasaan
saya, tidak ada shalat lagi deh setelah
Asar!".
"Ya, memang tidak ada lagi shalat
setelah Asar; ba'da Asar itu tidak ada, yang ada
itu ialah qabla Asar", Umar
yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan itu menegaskan dan mendukung apa yang
dikatakan oleh Karim.
"Ah! Kata siapa itu? Aku dengar
sendiri dari ustadzku. Ia bilang shalat sunnah dua raka'at itu tidak pernah
ditinggalkan oleh Rasulullah bahkan sampai beliau meninggal", timpal
Thoha.
"Tidak benar itu! Malah Rasulullah
melarang umatnya agar tidak shalat du'a raka'at setelah Asar", Umar
berkata meninggi.
"Tidak mungkin itu. Masa Rasulullah
berkata lain-lain pada sahabatnya. Kalau itu yang terjadi maka akan ada
ketidak-pastian hukum", Thoha selesai mengenakan sepatu; ia sekarang
menuju lemari kabinet, mengambil mug
dan menuangkan air dingin dari dispenser. Mungkin ia ingin menenangkan diri
dengan se-mug air dingin. Itu diikuti juga oleh kedua temannya; sama-sama
menuangkan air dingin.
Empat meter dari tempat mereka
berselisih pendapat, sedari tadi Timun sibuk dengan laptop-nya
menyelesaikan proyek pribadinya. Sebenarnya Timun mendengar apa yang
diperdebatkan oleh teman-temannya itu, tapi ia lebih memilih diam dan tidak
ikut campur. Toh itu bukan urusannya; kecuali kalau nanti apabila mereka melibatkan
dirinya. Sementara itu beberapa guru (hampir semua ibu-ibu) sibuk menyaksikan
acara yang sangat tidak layak tonton dan tidak layak tayang yaitu acara infotainment. Acara yang isinya
pertengkaran dan perceraian orang-orang ternama (juga yang tidak begitu
ternama!), yang dipanasi-panasi oleh para reporter tv dan para kuli tinta.
"Saya kira juga begitu. Tidak
mungkin Rasulullah menyampaikan dua macam hukum yang berbeda untuk kasus yang
sama; apalagi ini bertentangan satu sama lainnya. Masa Rasulullah melarang
sekaligus menyuruh orang untuk melakukan suatu perbuatan yang sama?", kata
Umar sambil meminum air dingin dari dispenser yang tadi ia ambil bersama-sama
dengan Thoha.
"Jadi kesimpulanmu?", tanya
Karim penasaran, juga sambil minum air yang sama tapi dari mug yang berbeda
tentu saja.
"Pasti ada satu yang benar dan yang
lainnya salah. Seharusnya kamu lihat lagi dalam hadits, apa benar Nabi
membolehkan kita shalat dua raka'at setelah Asar. Jangan-jangan kamu ngarang saja karena tidak mau disalahkan
dan ditegur orang", tuduh Umar. Ia mengambil air dingin lagi, satu mug penuh lagi. Haus benar ini orang!
"Shalat dua raka'at setelah Asar
itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah sepanjang umur hidupnya dan itu saya
baca sendiri dalam hadits. Saya tidak mendengar dari orang lain; saya baca
sendiri", Umar melanjutkan dan kemudian menghabiskan minumanya dari mug
kedua. Ia sekarang duduk di sebelah Timun yang masih asyik
dengan laptop-nya.
"Ustadz saya yang bilang dan ia
juga menyebutkan haditsnya. Itu shahih. Tapi saya tidak tahu, atau mungkin
tahu, tapi mungkin lupa", kata Thoha gelagapan. Ia sekarang agak ragu,
juga siapa tahu memang ia salah mendengar dari ustadznya atau ustadznya yang
salah mengutip. Ustadz juga manusia, pasti ada saatnya ia alfa.
"Mun, kalau
menurutmu gimana?", tanya Umar iseng.
"Hah? Apa?", tanya Timun
pura-pura tidak tahu apa yang sedang mereka bincangkan.
"Itu. Siapa yang benar diantara
kami. Apa kamu mendukung Thoha atau Karim dan saya", tanya Umar.
"Saya dukung semua. Kalian kan
teman saya semuanya. Buat apa mendukung yang satu dan kemudian mengecewakan
yang lain. He........he..........he.......he......", Timun
meninggalkan laptop-nya sejenak untuk menghampiri lemari kabinet dan
mengeluarkan mug dari dalamnya.
Kemudian ia berjalan menuju lemari locker-nya yang ada di seberang lemari
kabinet. Ia berjalan melintas ruangan. Ia mengambil teh hijau dan
dicelup-celupkannya ke dalam mug yang
berisi air panas dari dispenser. Harum daun teh hijau menerbitkan selera minum
Timun.Wuih segarnya!
"Yang bener dong, Mun. Masa
didukung semua. Sebagai seorang Muslim pasti kamu akan memilih yang benar,
bukan memilih yang salah. Sebagai seorang Muslim yang baik seharusnya kan
memberikan kejelasan bukan kebimbangan", Umar mendesak (ngomong-ngomong,
gaya Umar berbicara sekarang mirip-mirip gaya Timun. Mungkin karena terlalu
lama mendengarkan Timun ngomong. Atau diam-diam memang Umar mengagumi Timun!).
"OK. OK. Tapi kamu nanti menyesal
telah bertanya pada saya", kata Timun sambil tersenyum dikulum. Penuh
misteri, seperti biasanya.
"Ah itu sih terlalu sering kamu
lakukan setiap aku punya pendapat atau pendirian pasti kamu ada di posisi
berseberangan dengan aku", sergah Umar.
"Enggak juga. Buktinya sekarang aku
mendukungmu", jawab Timun kalem sambil menghirup udara dari mug-nya yang
berisi teh hijau panas. Ia minum sedikit demi sedikit. Aliran air panas
mengalir dari tenggorokannya ke perut; terasa sekali, apalagi udara di dalam
ber-AC di pasang pada suhu terendah. Aneh juga mengapa teman-temannya meminum
air dingin padahal udara di dalam ruangan itu sendiri sudah sangat dingin.
"Begini, bagaimana kalau jawabannya
menunggu besok saja. Besok aku bawakan kitab hadits. Nanti kita lihat dimana
posisi kita. OK? Lagipula dengan adanya kitab hadits di hadapan kita, kita bisa
mendapatkan bukti tertulis. Kita tidak semata-mata berbicara tanpa bukti;
berbicara asal bicara. Bagaimana? Setuju?", Timun menyarankan dan
tampaknya teman-temannya setuju dengan pendapat Timun.
------------------------------------------
Keesokan harinya……………..
Timun, tepat seperti janjinya kemarin
hari, ia membawa sebuah kitab hadits yang tebal setebal kamus yang biasanya ia
bawa ke kelas untuk menakut-nakuti murid. Tidak! Ia tidak pernah melemparkan
kamus itu kepada murid. Itu bukan tabiatnya. Sewaktu Timun ditanya, "Mun,
kamu pernah melemparkan pensil atau penghapus kepada muridmu kalau kamu lagi
marah?", kata salah seorang temannya.
"Nggak. Itu bukan gaya saya. Kan
masih ada kursi dan meja", kata Timun sambil mengembangkan senyum.
Di buku hadits yang dibawa Timun itu
tertulis Ringkasan Shahih Al-Bukhari dengan kata pengantar oleh ulama
terkenal yaitu al-mukarram K.H. Moh. Ilyas Ruchiyat yang waktu beliau
menuliskan kata pengantar itu ia masih menjabat sebagai Rais Aam PBNU. Di ruang
guru, Timun memperlihatkan buku hadits itu. Guru-guru yang lain berkerumun
melingkar seperti anak-anak mengelilingi mainan baru. Mereka hanya berempat.
Guru-guru lainnya sedang istirahat. Jadi mereka punya keleluasaan waktu dan
tempat, untuk berdiskusi atau berdebat!
"Nah, sekarang aku ingin memastikan
bahwa Karim memang benar bahwa ada hadits yang menyebutkan bahwa shalat dua
raka'at setelah Asar itu tidak boleh. Lihat ini, hadits no. 361" kata
Timun sambil menunjukkan sebuah hadits di dalam buku hadits itu.
"Lihat di sini disebutkan bahwa
Mu'awiyyah mengatakan, 'Anda
mengerjakan shalat yang tidak pernah kulihat Rasulullah mengerjakannya
ketika kami masih bersama dan telah pasti Nabi Saw. melarangnya, yaitu
shalat dua raka'at setelah shalat Asar. {1: 561--S.A} (lihat kitab
tersebut di atas pada halaman 154: Ringkasan Shahih Al-Bukhari, disusun
oleh Imam Az-Zabidi--pakar hadits abad XV--diterbitkan oleh MIZAN, cetakan
keempat Februari 2000)."
"Nah, atas dasar inilah maka saya
mendukung Karim, teman kita ini", kata Timun sambil menunjuk temannya.
Karim karuan saja merasa senang atas penjelasan Timun ini. Ia merasa puas dan
tentram karena selama ini yang diyakininya berdasarkan fakta yang jelas dan
bisa dipercaya".
"Mun, katanya kamu juga mendukung
saya. Apa dasar dari dukunganmu itu. Apa kamu hanya main-main saja atau kamu
memang mendukung saya karena saya teman kamu saja dan tidak ada alasan lain
selain itu?", Thoha meminta penjelasan dari Timun.
"Tenang. Tenang saja, jangan
khawatir. Untuk kamu ada hadits yang lain dalam kitab yang sama. Ini dia. Coba
lihat dengan teliti", kata Timun dengan tenangnya sambil menunjukan buku
hadits yang sama tanpa membuka halaman yang lain karena halaman 154 yang tadi
ia tunjukan bersebelahan dengan halaman 155 yang sekarang menjadi perhatiannya.
"Lihat ini. Ini hadits malah datang
dari orang yang sangat dekat dengan dirinya. Ini hadits datangnya dari 'Aisyah,
salah satu dari istri-istri Rasulullah. Dan malah di kitab ini kita mempunyai dua
hadits tentang hal yang sama. Lihat ini, hadits no. 362 dan 363", jelas
Timun sambil menunjuk pada hadits no. 362 dan 363 dalam buku hadits itu.
"Coba kita lihat hadits yang lebih
pendek ini--hadits yang panjang sama maknanya, jadi kita lihat saja yang lebih
pendek dulu", Timun meletakkan jari telunjuknya di hadits itu.
"Di sini 'Aisyah, istri Nabi,
berkata, "Rasulullah Saw. tidak
pernah meninggalkan (shalat) dua raka'at sebelum shalat Subuh dan (shalat dua
raka'at) setelah Asar, baik secara diam-diam maupun terang-terangan. {1:
564--S.A.}. Nah, sekarang lihat lagi hadits yang satunya lagi. Ini nih yang
nomor 362. Di sini disebutkan bahwa 'Aisyah
istri Rasulullah berkata, "Demi Allah yang telah mewafatkan Nabi
Muhammad Saw. Nabi Saw. tidak pernah meninggalkan (Shalat dua raka'at)
setelah shalat Asar sampai ia menemui Allah (wafat) dan Nabi Saw. tidak
menemui Allah (wafat) hingga telah menjadi berat baginya untuk mengerjakan
shalat sambil berdiri, maka Nabi Saw. mengerjakan sebagian besar shalatnya sambil
duduk (yang dimaksudkan 'Aisyah r.a. adalah mengerjakan shalat dua raka'at
setelah shalat Asar). Nabi Saw. biasa mengerjakannya di rumah dan tidak pernah
mengerjakannya di masjid agar tidak memberatkan umatnya karena Nabi Saw.
mencintai apa yang mudah bagi mereka {1: 564--S.A.}".
"Tuh, betul kan? Jadi jelas saya
tidak asal dukung he........he......he.......he.." Timun tertawa kecil
kemudian meneruskan pembicaraannya. "Saya betul-betul mendukung kamu,
wahai temanku Thoha. Saya mendukung kamu itu karena memang ada alasan yang
sangat jelas dan tidak mengada-ada. Sekarang bagaimana? Ada pertanyaan
lain?", Timun tersenyum lebar pada ketiga temannya. Ia merasa puas karena
ia telah mendukung semua temannya tanpa membuat mereka merasa sakit hati atau
tersinggung satu sama lainnya.
Tapi, tampaknya Thoha bukannya gembira,
ia malah bingung. Karena kalau dia dan temannya benar, maka siapa yang salah.
Pendapat dia dan temannya sangat berbeda dan bertentangan secara tegas dan
jelas satu sama lainnya. Sekarang Timun menjelaskan bahwa keduanya benar dan ia
menjelaskannya dengan penjelasan yang selain masuk akal juga didukung oleh buku
hadits yang sama!!!!!!!!!!!!!
Umar bertanya kebingungan, "Mun,
kalau kamu mendukung keduanya, maka itu sangat membingungkan. Kan dua-duanya
sangat bertentangan".
"Memang iya", jawab Timun
kalem, "Lalu?"
"Lalu apa yang harus dilakukan oleh
Thoha atau Karim?", Umar berkata sambil menghela nafas panjang kelihatan
setengah putus asa.
"Mereka telah memilih, kan?",
"Jadi apa lagi yang harus dibuat bingung?", lanjut Timun.
"Lalu siapa yang benar?",
tanya mereka bertiga serempak (kayak sinetron saja!)
"Ya, semuanya", jawab Timun
sekenanya. Tiga orang temannya kelihatan seperti hendak protes.
"OK. OK. Akan saya jelaskan mengapa
saya mendukung kalian semua. Pertama, kalian sendiri lihat semua pendapat
didukung oleh hadits yang kuat. Jadi tidak ada alasan bagi saya untuk tidak
mendukung kalian. Masa saya tidak mendukung orang yang mengamalkan amalan yang
berdasarkan dalil yang jelas dan kuat. Itu satu".
"Yang kedua, hadits yang kalian
gunakan itu adalah hadits dari Bukhari, bukan yang lain, dan seperti yang kita
ketahui semuanya, kitab Bukhari dianggap paling shahih setelah al-Qur'an--yaa
paling tidak menurut kita. Apabila kita mengambil darinya kita mendapatkan
kepastian hukum. Bukan begitu?", mereka mengangguk. "Dengan itu,
alasan apa yang kuat bagi saya untuk tidak mendukung kalian?", semua
terdiam hening. Ruangan guru yang ber-AC juga hening. (Ya, iya lah masa
berteriak!)
"Ketiga, hadits kalian itu semuanya
terdapat dalam kitab yang sama; kitab yang shahih pula. Masa saya tidak
mendukung kalian, padahal kalian mengambil dari kitab yang sama. Atas dasar apa
saya mendukung yang satu dan menentang yang lain. Saya kan belum gila",
Timun setengah bercanda.
"Keempat, kalau kedua hadits itu
bertentangan satu sama lainnya padahal ia dalam kitab yang sama, maka kita
ambil saja yang satu dan hormati yang lainnya karena ada kemungkinan orang lain
akan mengambil yang kita tidak ambil itu. Kita pasti memiliki alasan mengapa
kita memilih hadits A dan tidak yang B. Begitu juga orang lain; pasti ia
memiliki alasan yang kuat untuk memilih B dan tidak yang A. Karena itu mereka
harus saling menghormati satu sama lainnya. Nah, karena ada dua orang yang
saling menghormati, yaitu kalian ini (sambil menunjuk kepada Karim dan Thoha),
maka saya sebagai orang yang ketiga, tinggal mendukung keduanya. Beres, kan?
Masa saya tidak mendukung kalian yang sudah saling menghormati satu sama lain
dan tidak mempertentangkan pendapat masing-masing", kata Timun sekarang
setengah bercanda, setengah menyindir teman-temannya bertiga.
"Kelima, dan ini mungkin yang
paling penting. Saya mendukung kalian semua karena saya yakin, saya sedang
mendukung orang yang sedang beribadah--apapun itu bentuknya. Orang yang
beribadah harus didukung bukan ditentang. Akan halnya tentang hadits yang
bertentangan meski itu ada dalam satu kitab yang sama hendaknya itu jangan terlalu
kita risaukan. Untuk apa? Kita kan tidak memiliki kemampuan dan ilmu yang cukup
untuk meneliti kedua hadits itu kan?", Timun berkata sambil menepuk-nepuk
pundak Karim--di kanannya--dan pundak Thoha--di kirinya.
"Kita memerlukan perangkat keilmuan
yang banyak sekali untuk sekedar memiliki kemampuan untuk menentukan apakah
suatu hadits itu shahih atau tidak. Lagi pula mengapa kita lakukan itu lagi?
Toh Bukhari sudah melakukannya untuk kita. Perkara, misalnya, Bukhari membuat
kesalahan, sekali lagi, misalnya dengan mencantumkan dua hadits yang isinya
saling bertentangan satu sama lainnya itu, hendaknya kita ma'afkan. Namanya
juga manusia pasti ada alfa-nya.
Bukhari sekalipun. Yang penting kita berdo'a dahulu untuk memilih hadits mana
yang akan kita amalkan dari keduanya. Kemudian setelah menentukan pilihan, kita
amalkan sepenuh hati. Dan jangan lupa untuk menghormati orang yang menentukan
pilihan yang berbeda dengan yang kita pilih. Itu kita lakukan untuk
kemashlahatan bersama. Tidak semua perkara itu harus diputuskan di dunia ini.
Banyak sekali kasus yang tidak selesai sampai tuntas. Ada koruptor yang keburu
mati tanpa sempat diadili; ada pembuat sekaligus pemasok narkoba yang masih
bisa lenggang kangkung bebas karena dibebaskan oknum kejaksaan; ada penjahat
perang yang tetap mendapatkan penghormatan dari orang-orang, dan lain-lain, dan
itu juga termasuk perkara-perkara keagamaan yang sering kita pertentangkan.
Nanti kita bisa mengadukan hal ini kepada Allah di depan junjunan kita Nabi
besar Muhammad al-Mustofa".
"Tidak semua perkara di dunia ini
mesti diselesaikan sekarang juga. Untuk perkara kita ini. Sekali lagi, adukan
saja nanti pada Allah dan Rasulullah. Apabila itu kalian lakukan maka kalian
memang telah beriman kepada hari kemudian. Di hari kemudianlah ada yang namanya
hari penghakiman.
"Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri diantara kamu. Kemudian jikan kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya" (QS.
An-Nisaa: 59)
"Jadi kalau kalian masih tidak puas
dan ingin penyelesaian dari urusan kalian, tahanlah dulu. Berbaik-baiklah satu
sama lain selama kita masih hidup di dunia ini. Saya kira itu jauh lebih
menjamin kedamaian. Kalau kalian berpendapat bahwa menegakkan dan menjalankan
hukum syari'at itu wajib dan kalian merasa harus melaksanakannya, sekali lagi,
karena itu wajib maka yakinlah dan percayalah bahwa menghindari pertengkaran
dan mempererat tali persaudaraan itu juga wajib hukumnya".
Wallahu'alam.
Comments