APA KATA RASULULLAH TENTANG MU’AWIYYAH (dan pengkhianatan Mu’awiyyah terhadap cucu Rasulullah)

 

APA KATA RASULULLAH TENTANG MU’AWIYYAH

Berikut ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Sahih-nya:

“Rasulullah (saw) pada suatu hari menyuruh Ibnu Abbas untuk mengundangnya (Mu’awiyyah) agar datang ke rumah Rasulullah untuk menuliskan sesuatu untuknya. Ibnu Abbas menemukan Mu’awiyyah sedang makan dengan lahapnya (Mu’awiyyah tidak bisa memenuhi undangan Nabi). Rasulullah kemudian mengirimnya (Ibnu Abbas) sekali lagi kepada Mu’awiyyah, dan Ibnu Abbas sekali lagi melihatnya masih dalam keadaan makan. Kejadian ini berulang hingga tiga kali hingga Rasulullah berkata:

“Semoga Allah tidak pernah mengenyangkan perutnya”
(Lihat: Muslim, Shahih, volume 5, halaman 462 dalam Kitab Keramah-tamahan, Kedermawanan, dan Sopan Santun; dalam sebuah bab tentang seseorang yang pernah dikutuk oleh Rasulullah (edisi Dar al-Sha’b) seperti yang dikutip oleh al-Nawawi dalam Sharh-nya)



Juga dalam Shahih Muslim ada tulisan berikut: “Rasulullah berkata:

‘………adapun Mu’awiyyah, ia itu seorang pengangguran dan seorang pemalas’
(Lihat: Al-Bukhari, Shahih, volume 3, halaman 693)

Dalam Musnad-nya Imam Ahmad, Rasulullah diriwayatkan pernah berkata seperti berikut ini tntang Mu’awiyyah dan ‘Amr bi Ash:

“Ya Allah! Lemparkanlah mereka kedalam permusuhan sesegera mungkin, dan masukkanlah mereka kedalam api neraka,”. Masih ada beberapa lagi riwayat yang menggambarkan Mu’awiyyah (yang kerapkali disebut sebagai “Amirul Mukminin” atau “Pemimpin Orang-orang Yang Beriman” oleh sebagian kaum Muslimin yang memujanya). Mu’awiyyah adalah anak dari seorang ibu yang berani memakan jantung Sayyidina Hamzah pada peperangan Uhud. Mu’awiyyah menutup hidupnya dengan mengangkat anaknya Yazid bin Mu’awiyyah seorang pemuda yang memiliki sifat hedonis—suka berpoya-poya, bermabuk-mabukan dan melakukan perzinahan—sebagai khalifah bagi kaum Muslimin. Sungguh pemimpin yang sangat tidak bijak karena merelakan umat untuk dipimpin oleh makhluk terburuk yang pernah lahir ke dunia ini. Yazid waktu itu baru berusia 20 tahun ketika ia menjabat menjadi khalifah. Pengangkatan Yazid itu merupakan pelanggaran atas kesepakatan yang telah dijalin oleh Mu’awiyyah bersama dengan Imam Hasan (as). Selengkapnya perjanjian damai antara Imam Hasan (as) dan Mu’awiyyah itu adalah sebagai berikut.

PERJANJIAN DAMAI DAN SYAHIDNYA IMAM HASAN (AS)

Setelah kesyahidan Imam Ali (as) (karena dibacok oleh Ibnu Muljam ketika sedang shalat Shubuh), Imam Hasan (as) naik ke atas mimbar dan orang-orang Kufah pada waktu itu memberikan bai’at kesetiannya kepada Imam Hasan (as) sebagai khalifah pengganti ayahnya; dan orang-orang Kufah menginginkan Imam Hasan (as) menjadi pemimpin umat Islam secara keseluruhan hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Akan tetapi hal ini ternyata hanya berlangsung hingga enam bulan saja.

Ketika kabar tentang syahidnya Imam Ali (as) itu sampai ke Syiria, Mu’awiyyah memimpin pasukan yang besar sekali dan berangkat menuju Kufah (pusat pemerintahan Islam pada waktu itu karena Imam Ali memindahkan pusat pemerintahannya dari Madinah ke Kufah karena Imam Ali selalu dirongrong kekuasaannya oleh para sahabat senior dari Rasulullah—red). Mu’awiyyah menyerbu Kufah untuk merampas khilafah dari Imam Hasan (as). Imam Hasan dipaksa untuk menyerah kepada Mu’awiyyah. Demi melihat keadaan genting yang bisa menyebabkan pertempuran yang besar sekali dan melibatkan seluruh umat Islam, maka Imam Hasan (as) tidak punya pilihan lain selain berdamai dengan Mu’awiyyah demi melindungi kaum Muslimin dari perang saudara yang besar. Imam Hasan (as) tidak ingin darah kaum Muslimin tertumpahkan hanya karena mereka saling membunuh satu sama lain karena keduanya ingin memperebutkan kursi kekhalifahan. Imam Hasan (as) tidak seperti para pemimpin Arab saat ini yang lebih memilih untuk bertahan dan mengorbankan rakyatnya untuk kekuasaannya. Imam Hasan (as) mencintai rakyatnya dan ia tidak mau darah umat tertumpah gara-gara ia mempertahankan kekuasaan yang tidak ada apa-apanya di hadapan Imam.

Selain itu Imam Hasan melihat ada bibit perpecahan di kalangan tentaranya sendiri yang sudah berhasil disuap oleh mata-mata Mu’awiyyah. Ditambah dengan kondisi politis yang tidak stabil di Irak (dan Kufah terletak di Irak!); ditambah lagi dengan ancaman dari negara lain—Kekaisaran Romawi sedang mengintai dan melihat peluang yang matang untuk menyerbu umat Islam. Jadi seandainya perang itu terjadi antara Imam Hasan (as) dan Mu’awiyyah, maka kemungkinan besar yang akan keluarg menjadi pemenang justeru kekuatan di luar Islam yaitu kekaisaran Romawi karena siapa saja yang menang perang akan berkurang kekuatannya setelah peperangan berakhir dan kekaisaran Romawi akan dengan mudah menyerang dan melumpuhkan umat Islam.

Imam Hasan langsung memilih opsi untuk melakukan perjanjian damai untuk melepaskan umat Islam dari ancaman bahaya yang jauh lebih besar lagi. Perjanjian damai yang disepakati dengan Mu’awiyyah adalah sebagai berikut:
  1. Imam Hasan harus menyerahkan kekhalifahan dan urusan umat Islam kepada Mu’awiyyah dengan syarat bahwa Mu’awiyyah harus mengurus dan mengatur umat dengan berdasarkan Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
  2. Kursi khilafah—apabila Mu’awiyyah meninggal lebih dulu—harus segera dan langsung diserahkan kepada Imam Hasan (as). Apabila ada sesuatu yang terjadi kepada Imam Hasan, maka kursi khilafah akan diserahkan kepada adiknya, Imam Husein (as).
  3. Semua kutukan dan laknat terhadap Imam Ali harus dihentikan baik itu yang dilakukan di mimbar-mimbar maupun yang dilakukan di tempat lainnya.
  4. Uang sebanyak 5 juta dirham yang ada di baytul mal di Kufah sepenuhnya akan dijaga dan diawasi oleh Imam Hasan (as) dan Mu’awiyyah harus mengirimkan sebanyak 1 juta dirham tiap tahun untuk pajak khiraj kepada Imam Hasan (as) yang akan disalurkan langsung kepada keluarga-keluarga yang ditinggalkan oleh para syuhada pada perang Unta dan perang Siffin yang bertempur di pihak Imam Ali.
  5. Mu’awiyyah harus bersumpah untuk tidak mengganggu umat manusia dari kalangan manapun tanpa memandang ras, suku, dan agama. Mu’awiyyah tidak boleh mengejar-ngejar mereka; menyakiti mereka dan ia harus bersumpah akan melaksanakan seluruh isi perjanjian ini dan berjanji untuk menjadikan umat manusia sebagai saksinya.
Akan tetapi kemudian yang terjadi benar-benar menyesakkan dada. Imam Hasan (as) syahid terbunuh pada tahun 50H (670 masehi). Imam Hasan (as) meninggal dibunuh dengan racun yang dibubuhkan oleh isterinya sendiri yang bernama Ju’dah binti Al-Ash’ath ibn Qays. Isteri Imam Hasan ini berasal dari keluarga yang memiliki kehidupan dan keyakinan yang berbeda dengan kehidupan dan keyakinan yang dimiliki oleh keluarga atau keturunan Imam Ali (as). Mu’awiyyah menyuruh Ju’dah untuk memberikan racun kepada makanan yang akan dimakan oleh Imam Hasan (as) dengan terlebih dahulu mengirimkan uang sebanyak 100,000 dirham dan sebuah janji kepadanya bahwa sepeninggal Imam Hasan (as), Ju’dah akan dinikahkan kepada puteranya Mu’awiyyah yaitu Yazid bin Mu’awiyyah.

Mu’awiyyah tertawa kegirangan di istananya demi mendengar kematian Imam Hasan (as). Ia merasa telah mengangkat duri dalam daging yang mengganggu kehidupannya siang dan malam. Dengan itu maka impiannya yaitu mengangkat anaknya, Yazid, seorang pemuda mesum, akan segera menjadi kenyataan. Tinggal satu orang lagi yang masih mengganggu pikirannya. Ia adalah Imam Husein (as).
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta