Karena kaum Ahlussunnah tidak bisa menolak keabsahan dari hadits al-Ghadir Khum, maka sebagian dari mereka mencari cara lain untuk mengesampingkan pentingnya hadits tersebut dengan menyimpangkan makna kata Maula yang ada dalam hadits tersebut.
Mereka menerjemahkan kata Maula itu dengan kata Teman. Jadi kalau kata Teman itu dimasukkan kedalam hadits tersebut, maka bunyi hadits itu menjadi:
“BARANGSIAPA YANG MENJADIKAN DIRIKU SEBAGAI ‘TEMAN’, MAKA ALI AKAN MENJADI ‘TEMAN’-NYA”
Padahal sebelumnya hadits itu berbunyi:
“BARANGSIAPA YANG MENJADIKAN DIRIKU SEBAGAI ‘PEMIMPIN’. MAKA ALI AKAN MENJADI ‘PEMIMPIN’-NYA”
Kebetulan kata MAULA itu bisa diterjemahkan sebagai PEMIMPIN maupun TEMAN.
Akan tetapi masalahnya ialah tidak ada seorangpun yang hadir di wadi Ghadir itu yang menangkap kata-kata Rasulullah itu dan mengartikan MAULA dengan kata TEMAN. Hassan Ibn Tsabit misalnya. Ia adalah seorang penyair yang bekerja pada Rasulullah. Ia menggubah sebuah syair atau puisi yang mengabadikan apa yang terjadi di Ghadir Khum pada waktu itu. Ia membacakan puisinya itu di depan khalayak yang hadir pada hari itu di Ghadir Khum.
FAQOLA LAHU QUM YAA ‘ALI FA INNANII
RODHIYTUKA MIN BA’DI IMAAMAN WA HADII
Rasulullah kemudian berkata kepada Ali:
“Berdirilah engkau, ya Ali! Karena aku ridho untuk menjadikanmu Imam dan Petunjuk bagi umat sepeninggalku!”
Umar bin Khattab yang juga hadir pada hari itu di tempat itu mendekat kepada Ali dan kemudian memberikan ucapan selamat kepada Ali seraya berkata:
“Selamat, selamat, ya putera Abu Thalib. Pagi ini engkau telah menjadi MAULA bagi setiap orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan.”
----------------------------------------------------------------------------------
LIHAT rujukan berikut ini :
- al-Khatib at-Tabrizi: Mishkatu ‘l-masabih, halaman 557
- Mir Khwand: Habibu ‘s-siyar, volume 1, pt 3, halaman 144
- at-Tabari: al-Wilayah, ar-Razi: at-Tafsiru ‘l-kabir, volume 12, halaman 49—50
- Ahmad: al-Musnad, volume 4, halaman 281
- Ibn Abi Shaybah: al-Musannah;
- Abu Ya’la: al-Musnad
- Ahmad ibn ‘Uqbah: al-Wilayah, dan masih banyak lagi (anda bisa juga lihat dalam kitab al-Ghadir tulisan dari al-Amini, volume 1, halaman 270—283 untuk referensi lebih lengkapnya)
-----------------------------------------------------------------------------------
Kembali kepada pembahasan tentang kata MAULA. Kalau seandainya kata MAULA itu diartikan dengan kata TEMAN maka akan timbul banyak sekali pertanyaan yang susah untuk dijawab seperti misalnya:
- Mengapa Umar mengucapkan “SELAMAT” kepada Ali karena Ali telah diangkat menjadi TEMAN bagi setiap kaum Muslimin sebagaimana kaum Muslimin telah menjadikan Rasulullah sebagai TEMAN?
- Apakah Ali telah menjadi MUSUH kaum Muslimin sehingga Rasulullah mengadakan upacara seperti itu yang disaksikan lebih dari seratus ribu orang di sebuah padang pasir yang terik bukan kepalang?
- Umar bin Khattab berkata: “Selamat, selamat, ya putera Abu Thalib. Pagi ini engkau telah menjadi MAULA bagi setiap orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan.” seolah-olah Ali sebelumnya bukanlah TEMAN bagi kaum Muslimin. Mengapa Umar berkata seperti itu kalau memang kata MAULA itu diartikan dengan kata TEMAN?
Imam Ali bin Abi Thalib sendiri pada suatu kesempatan menulis sebuah surat kepada Mu’awiyyah. Di dalam surat itu tertulis kata-kata:
“DAN RASULULLAH TELAH MEMBERIKU KEKUASAAN ATAS DIRI KALIAN PADA HARI GHADIR KHUM.”
(LIHAT: al-Amini: al-Ghadir, volume 1, halaman 340)
-----------------------------------------------------------------------------------
Dan masih banyak lagi para sahabat Rasulullah yang seringkali menggunakan kata MAULA dalam puisi-puisi yang mereka ciptakan untuk menggambarkan peristiwa Ghadir Khum dengan arti kata sebagai PEMIMPIN dan bukan sebagai TEMAN.
Banyak sekali para penafsir al-Qur’an, para ahli tata bahasa Arab, dan para ahli sastra Arab yang menerjemahkan kata MAULA dengan arti SESEORANG YANG DIBERIKAN KEKUASAAN. Sebagian kecil dari mereka itu saya akan tuliskan di bawah ini sebagai contoh. Dan anda bisa melihat rujukannya sekaligus sebagai daftar pustaka yang akan memperkuat hujjah kita:
- Ibn Abbas (dalam kitab TAFSIR, pada catatan pinggir dari ad-Durru ‘l-mantsur, volume 5, halaman 355)
- al-Kalbi (seperti dikutip dalam kitab AT-TAFSIRU ‘L-KABIR-nya ar-Razi, volume 29, halaman 227
- al-Alusi (dalam kitab RUHUL-IMANI, volume 27, halaman 178)
- al-Farra (Lihat ar-Razi, ibid; dan al-Alusi, ibid)
- Abu Ubaydah Mu’ammar ibn Muthanna al-Basri (Lihat ar-Razi, ibid; dan asy-Syarif al-Jurjani, SHARHUL-MAWAQIF, volume 3, halaman 271)
- al-Akhfash al-Ausath (dalam NIHAYATUL ‘UQUL)
- al-Bukhari (dalam AS-SAHIH, volume 7, halaman 240)
- Ibn Qutaybah (dalam AL-QURTAYN, volume 2, halaman 164)
- Abu ‘l-Abbas Tha’lab (dalam SHARHU ‘S-SAB’AH AL-MU’ALLAQAH dari Az-Zuzani)
- at-Tabari (dalam TAFSIR-nya, volume 9, halaman 117)
- al-Wahidi (dalam AL-WASIT)
- ats-Tsa’labi (dalam AL-KASHF WAL BAYAN)
- az-Zamakhshari (dalam AL-KASHSHAF, volume 2, halaman 435)
- al-Baydawi (dalam TAFSIR-nya, volume 2, halaman 497)
- an-Nasafi (dalam TAFSIR-nya, volume 4, halaman 229)
- al-Khazin al-Baghdadi (dalam TAFSIR-nya, volume 4, halaman 229)
- Muhibbud-Din Afandi (dalam TANZILUL-AYAT)
UNTUK LEBIH LENGKAPNYA BISA DILIHAT DALAM:
AL-GHADIR, tulisan Al-Amini, halaman 344—350
taken and translated from IMAMATE, an awesome work of Sayyid Saeed Akhtar Rizvi
Comments