SERIAL GHADIR KHUM 9 (Arti kata “MAULA” dalam konteks kalimat pada hadits al-Ghadir Khum)

Melanjutkan pembicaraan kita tentang arti kata MAULA pada pembahasan yang lalu (Lihat: SERIAL GHADIR KHUM 8 (Arti kata “MAULA” pada hadits al-Ghadir Khum)), sekarang kita akan telaah kata MAULA itu dalam konteks kalimatnya.

Mari kita teliti arti kata yang mana yang bisa kita simpulkan dari sebuah hadits apabila kata yang sama itu memiliki arti yang  berbeda-beda. Arti yang manakah yang akan kita ambil apabila sebuah kata itu memiliki lebih dari satu arti dengan konteks kalimat yang berbeda.

Apabila sebuah kata itu memiliki lebih dari satu makna, maka untuk melihat arti konotasi yang sebenarnya itu kita harus membuat sebuah asosiasi (qarinah) dan melihat konteks kalimat dimana kata itu digunakan. Ada petunjuk-petunjuk yang sangat kuat dalam hadits ini yang menggiring kita kepada satu pemahaman yang sama tentang arti kata MAULA yang hanya bisa diterjemahkan dengan padanan kata PEMIMPIN. Berikut adalah petunjuk-petunjuk yang bisa kita pakai:
PERTAMA: PERTANYAAN YANG DILEMPARKAN OLEH RASULULLAH SEBELUM DEKLARASI PENGANGKATAN ALI BIN ABI THALIB MENJADI IMAM KAUM MUSLIMIN. Rasulullah bertanya: “Alastu Awliya bikum min anfusikum? “Bukankah aku ini memiliki kuasa terhadap diri kalian daripada kalian terhadap diri kalian?” Ketika yang hadir menjawab, “Ya! Tentu saja”, kemudian Rasulullah melanjutkan: “Man kuntu mawlahu fahadza ‘Ali mawlahu”, “Barangsiapa yang menjadikan diriku sebagai penguasanya (maula), maka Ali adalah penguasanya (maula)!” Tanpa bisa diragukan lagi bahwa arti kata dari MAULA pada kalimat sebelumnya, memiliki kaitan yang erat dengan arti kata MAULA pada kalimat berikutnya. Kata kuasa dengan kata penguasa itu ada kaitan yang erat sekali. Pertanyaan Rasulullah yang mendahului pernyataan Rasulullah itu ada kaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan. Ada paling tidak 64 orang pakar hadits dari kalangan Ahlussunnah yang telah mengutip PERTANYAAN RASULULLAH yang mendahului PERNYATAANNYA, diantara mereka ada Ahmad Ibn Hanbal, Ibn Majah, an-Nasai, dan Tirmidzi (LIHAT: al-Amini, al-Ghadir, halaman 370—371) 
KEDUA: “DO’A YANG DIPANJATKAN OLEH RASULULLAH TEPAT SETELAH PENGANGKATAN IMAM ALI BIN ABI THALIB. “Allahumma waali man walaahu; ‘aadin man ‘aadahu; wanshuru man sharahu; wakhdhul man khadhalahu” “Ya, Allah! Cintailah dia yang mencintai ‘Ali; dan jadikanlah musuhmu yang menjadikan ‘Ali musuhnya; dan tolonglah dia yang menolong ‘Ali dan tinggalkanlah dia yang meninggalkan ‘Ali!” Do’a ini menunjukkan bahwa ‘Ali, pada hari itu, diberikan sebuah TANGGUNG JAWAB YANG SANGAT BERAT sehingga apabila tanggung jawab itu dilaksanakan akan membuat orang-orang memusuhinya (dan tanggung jawab yang dimaksud ialah tanggung jawab ketika ia menjadi seorang PEMIMPIN dan bukan seorang TEMAN—lihat diskusi sebelumnya). Lihat lagi do’a Rasulullah di atas. Dalam do’a itu jelas Rasulullah menyiratkan bahwa ketika ‘Ali melaksanakan tanggung jawab itu. ‘Ali membutuhkan para penolong atau pembantu atau pengikut. Apakah penolong, pembantu, atau pengikut itu diperlukan dalam sebuah PERTEMANAN? 
KETIGA: SEBELUM DEKLARASI GHADIR KHUM PADA HARI YANG BERSEJARAH ITU, RASULULLAH BERKATA: “TAMPAKNYA JELAS SEKALI AKU AKAN DIPANGGIL (OLEH ALLAH) DAN AKU AKAN MENJAWAB PANGGILAN ITU” Pernyataan itu jelas sekali menunjukkan bahwa Rasulullah memberitakan akan wafatnya sendiri dan beliau sedang merencanakan sesuatu sepeninggalnya agar umatnya tidak cerai berai sepeninggalnya. Rasulullah jelas sekali membuat rencana penunjukkan pemimpin sepeninggalnya untuk mengurus kaum Muslimin. Jadi sangat tidak masuk akal apabila ia mengumumkan Ali sebagai TEMAN kaum Muslimin padahal konteks sejarah menunjukkan bahwa Rasulullah mengucapkan kalimat-kalimat itu berbarengan dengan berita tentang wafatnya yang akan datang segera. 
KEEMPAT: PARA SAHABAT MENGUCAPKAN SELAMAT KEPADA ‘ALI DAN MENGEKSPRESIKAN KEBAHAGIAANNYA. Lihat pembahasan yang dulu ketika para sahabat mengucapkan selamat kepada ‘Ali termasuk Umar bin Khattab sekalipun. Apakah ucapan itu diberikan kepada orang yang dijadikan seorang TEMAN? Yang pantas diberi ucapan selamat ialah penunjukkan ‘Ali sebagai pemimpin daripada sebagai teman. 
KELIMA: KESEMPATAN, TEMPAT DAN WAKTU DARI TERJADINYA KEJADIAN ITU. Bayangkan Rasulullah menangguhkan perjalanan pulangnya di sebuah gurun tandus yang panas menyengat di tengah hari bolong. Bayangkan Rasulullah menunggu dulu para sahabat yang ketinggalan agar menyusul dan sahabat yang telah berangkat lebih dulu agar kembali supaya semuanya bisa bergabung di Ghadir Khum. Bayangkan seluruh sahabat yang berhaji pada waktu itu yang jumlahnya sekitar 100,000 orang semuanya bergabung untuk menyaksikan peristiwa akbar itu. Mereka terpanggang panasnya gurun Arabia pada siang hari; duduk di tempat yang penuh dengan tumbuhan berduri dan pasirnya menyengat bagai api. Mereka kemudian membuat mimbar untuk Nabi dengan menumpuk-numpuk pelana unta agar nantinya Rasulullah bisa berkhutbah di sana dengan disaksikan seratus ribu pasang mata hingga tempat terjauh darinya. 
Rasulullah kemudian memberikan khutbah terakhirnya di sana. Patutkah Rasulullah (dengan mempertimbangkan kesempatan, tempat, dan waktu yang sedemikian ekstrimnya) mengumpulkan para sahabat hanya untuk mengucapkan kalimat: “Barangsiapa yang menganggapku sebagai TEMAN; maka jadikanlah Ali sebagai TEMANNYA”. Pesan ini sungguh terlalu sepele dibandingkan dengan kondisi ekstrim yang dijadikan tempat dan waktu bersejarah yang disaksikan seratus ribu orang!!!!! 
Kalau Rasulullah ingin agar orang-orang mencintai Ali dan menganggap Ali sebagai TEMANNYA, maka Rasulullah tidak akan mengumpulkan orang-orang sedemikian banyak di suatu tempat. Malahan orang-orang akan bertanya-tanya: Ada apakah gerangan dengan Ali karena menurut mereka pribadi adalah pribadi tanpa cela jadi hanya orang-orang jahatlah yang membencinya dan tidak mau berteman dengannya. 
Kalau misalnya saja ada percekcokan antara Ali dengan beberapa sahabat tertentu (seperti yang dikhayalkan oleh saudara kita dari Ahlussunnah) yang oleh karenanya (menurut mereka) Ali harus didamaikan dengan para sahabat yang bersitegang dengannya, maka Rasulullah tidak akan mengumpulkan para sahabat sedemikian banyak yang hampir semuanya tidak punya masalah dengan Ali. Cukup Rasulullah mengumpulkan saja orang-orang yang bersitegang itu dan itu jauh lebih baik dan lebih bijak karena tidak menularkan masalah itu ke semua orang yang tidak mengetahui masalahnya. Karena sumbernya itu hanya khayalan, maka tidak mudah untuk mempertahankannya. 
Mustahil Rasulullah mengumpulkan sedemikian banyak sahabat untuk mengucapkan kalimat: “BARANGSIAPA YANG MENGANGGAPKU SEBAGAI TEMAN, MAKA JADIKANLAH ALI SEBAGAI TEMANNYA”. Ini terlalu musykil dan mengada-ada. 
Adalah pantas dan layak Rasulullah mengumpulkan sedemikian banyak sahabat untuk membuat deklarasi bersejarah sambil mengucapkan kalimat: “BARANGSIAPA YANG MENGANGGAPKU SEBAGAI PEMIMPIN, MAKA JADIKANLAH ALI SEBAGAI PEMIMPINNYA”. Ini masuk akal dan sangat pas dengan konteks sejarah dan semua laporan berupa hadits mendukung dan selaras dengannya.

taken and translated from “IMAMATE”, an awesome empirical work of the late Sayyid Saeed Akhtar Rizvi, may Allah be pleased with him.

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta