(Serial Sahabat Nabi 2) Apa kata para ulama Ahlussunnah dan apa kata Al-Qur’an tentang sahabat Nabi?



1. Apakah Hadits Nabi menyiratkan tentang kemuliaan dan keadilan para sahabat?

Beberapa ulama mencoba untuk membela dan mempertahankan pendapat mereka tentang kemuliaan dan keadilan para sahabat dengan menyebutkan beberapa “hadits” yang kira-kira bisa dipakai oleh mereka untuk tujuan itu. Diantara dari hadits-hadits yang mereka pakai ialah sebagai berikut:
  • Diceritakan bahwa Rasulullah pernah berkata: “Tidak ada satu orangpun yang pernah ikut dengan peperangan Badar atau yang ikut perjanjian Hudaibiyyah yang akan masuk neraka”
  • Juga pernah diceritakan bahwa Rasulullah pernah berkata: “Tidak ada satu orangpun dari mereka yang ikut berbai’at di bawah pohon (terjadi ketika perjanjian Hudaibiyyah) yang akan masuk neraka.”  (lihat: Abd-Bir, halaman 4)
Kedua hadits itu sekali lagi malah menunjukkan bahwa tidak semua sahabat itu mendapatkan kemuliaan “tidak tersentuh atau tidak masuk api neraka” karena kedua hadits itu hanya menunjukkan bahwa para sahabat yang ikut perang Badar dan perjanjian Hudaibiyyah saja yang akan selamat dari api neraka. Kalau jumlah mereka digabungkan menjadi satu semuanya, maka jumlah keseluruhan dari para sahabat yang ikut salah satu (atau keduanya) dari kedua peristiwa itu hanyalah berjumlah sekitar 2000 orang saja; sementara itu jumlah dari keseluruhan para sahabat itu jauh lebih banyak dari itu.
Kita bandingkan saja dengan para sahabat yang ikut peristiwa lainnya seperti mereka yang ikut dalam penaklukan kota Mekah yang jumlahnya sekitar 10,000 orang; atau mereka yang ikut dengan Nabi dalam peperangan Tabuk yang jumlahnya sekitar 25,000 orang. Atau mereka yang hadir di Ghadir Khum setelah haji Wada yang jumlahnya lebih dari 100,000 orang.
Jadi kebanyakan para sahabat Nabi malah tidak masuk kedalam hadits yang disebutkan tadi. Kebanyakan dari mereka malah tidak dijamin “akan masuk” atau “tidak masuk” neraka.

JADI ADA MASALAH YANG AKUT DALAM KEYAKINAN SAUDARA KITA DARI AHLUSSUNNAH. MEREKA BERPENDAPAT BAHWA SAHABAT ITU IALAH  siapa saja yang memeluk Islam pada jaman Nabi—baik ia pernah melihat Nabi atau dilihat Nabi—atau pernah shalat dengan Nabi adalah termasuk para sahabat Nabi.------DAN KESEMUANYA DIANGGAP ADIL DAN JUJUR LAGI MULIA.

Jelas ada yang salah dengan definisi itu atau dalam menggambarkan sifat para sahabat itu. Itu tidak bisa dirukunkan dengan hadits-hadits yang mereka pakai sendiri.
----------------------------------------------------------------------------------------------------

2. Para sahabat menurut Syi’ah

Para ulama Syi’ah sendiri tidak pernah meletakkan seluruh sahabat tanpa kecuali dalam satu tingkatan yang sama tanpa pandang bulu. Mereka bahkan tidak berpendapat bahwa semua sahabat itu jujur, adil dan bisa dipercaya. Para ulama Syi’ah melihat sebagian dari para sahabat itu memang memiliki derajat kemuliaan yang utama. Sebagian lagi disebut sebagai sahabat yang baik dan shaleh meskipun tingkat kemuliaannya tidak setinggi yang pertama. Ada juga para sahabat yang tidak diketahui apakah mereka itu memiliki kemuliaan atau keshalehan; apakah mereka bisa dipercaya atau tidak. Ada juga sebagian sahabat yang di masa hidupnya dikenal dengan tingkah lakunya yang menyimpang dan seringkali bertentangan dengan Nabi; seringkali mengganggu kebijakan Nabi (yang jelas menurut atau sesuai dengan wahyu Illahi).

Pendapat para ulama Syi’ah ini sangat sesuai dengan logika yang sehat dan  fakta sejarah yang akurat.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------

3. Ayat-ayat Al-Qur’an mendukung pandangan para ulama Syi’ah

Pandangan para ulama yang yakin bahwa tidak semua sahabat itu adil dan jujur serta bisa dipercaya diperkuat oleh beberapa ayat Al-Qur’an yang menggambarkan fakta sejarah dan kenyataan kehidupan para sahabat di jaman itu. Diantara dari ayat-ayat Al-Qur’an itu ialah:

“Dan mereka  mengatakan: "(Kewajiban kami hanyalah) taat". Tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu, sebahagian dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi. Allah menulis siasat yang mereka atur di malam hari itu, maka berpalinglah kamu dari mereka dan tawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi Pelindung”
(QS. An-Nisa: 81)

Ayat ini jelas menunjukkan sejumlah sahabat Nabi yang merupakan penduduk kota Madinah yang jelas juga mereka itu Muslim dan mereka shalat bersama Rasulullah dan ikut berkumpul bersama Rasulullah mendengarkan Rasulullah memerintahkan mereka agar melakukan sebuah perbuatan baik. Mereka pada waktu itu berkata pada Rasulullah: “Sami’na wa atho’na” “Kami dengar; dan kami ta’ati” akan tetapi ketika Rasulullah meninggalkan mereka, mereka tidak berkehendak sedikitpun untuk mematuhi Rasulullah. Mereka merencanakan sesuatu yang berbeda dengan yang digariskan oleh Rasulullah.

Kita akan dapati dalam surat At-Taubah—misalnya—banyak  sekali ayat-ayatnya yang menunjukkan bahwa beberapa sahabat Nabi itu adalah orang munafik dan Rasulullah bahkan tidak mengenali mereka sebagai munafik sampai Allah memberitahu beliau lewat wahyu-Nya.

“Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada adzab yang besar.”
(QS. At-Taubah: 101)

“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahanam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya. Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam, dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertobat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.”
(QS. At-Taubah: 73—74)

“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shaleh. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta.”
(QS. At-Taubah: 75—77)

Lihat juga dalam surat Al-Ahzab:

“Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata: "Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya". Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata: "Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu". Dan sebahagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata: "Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga)". Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari.”
(Qs.Al-Ahzab: 12—13)

Surat Al-Munafiquun
sendiri adalah bukti yang sangat kuat bahwa ada sejumlah kaum Muslimin yang menyatakan keIslamannya pada jaman Nabi dan tinggal bersama dengan Nabi di kota Madinah; mereka shalat berjama’ah bersama Nabi; akan tetapi mereka hidup sebagai orang munafik. Mereka datang kepada Nabi untuk menyelamatkan diri mereka dengan bersaksi di hadapan Nabi bahwa mereka akan patuh dan taat kepada Nabi dan mereka berjanji tidak akan berkhianat kepada Nabi. DAN MEREKA BERDUSTA. Mereka memeluk Islam untuk kemudian meninggalkannya dan Allah akhirnya mengunci hati mereka.

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan. Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti.”
(QS. Al-Munafiquun: 1—3)

Ayat-ayat ini dan banyak lagi ayat yang tidak bisa kami tuliskan karena keterbatasan ruang dan waktu menunjukkan dengan jelas dan tegas bahwa banyak sekali para sahabat—orang-orang yang hidup sejaman dengan Nabi itu—telah menyatakan keIslaman mereka di jaman Nabi dan di hadapan Nabi dan mereka tinggal bersama Nabi dan Shalat di belakang Nabi akan tetapi mereka hidup sebagai orang-orang munafik.

KESAKSIAN APA LAGI YANG LEBIH KUAT DARIPADA KESAKSIAN AL-QUR’AN?
--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Orang-orang munafik yang tinggal bersama Nabi dan bersama para sahabat lainnya yang shaleh dan jujur nama-namanya tidak pernah disebutkan secara terbuka. Oleh karena itu, ada kemungkinan besar bahwa kita tidak bisa terhindar seratus persen untuk menukil hadits-hadits dari mereka. Ada kemungkinan yang sangat besar kita selama ini mengambil hadits-hadits dari mereka—kaum munafik—dan mengamalkannya sepenuh hati.

Para sejarawan seperti misalnya At-Tabari dalam Tarikh-nya (volume 2, halaman 504); atau Ibnu Hisyam dalam Al-Sirah al-Nabawiyyah (volume 2, halaman 64) menuliskan bahwa ketika Rasulullah pergi berperang di Uhud, beliau berangkat bersama 1000  orang sahabatnya. Akan tetapi Abdullah Ibn Abu Salul meninggalkan Nabi dan kembali ke kota Madinah bersama 300 orang lainnya. Kitab-kitab sejarah Islam tidak berterus terang siapakah mereka yang ikut bersama Abdullah Ibn Abu Salul itu. Kitab-kitab sejarah itu tidak menuliskan apakah diantara yang 300 orang itu ada sahabat yang terkemuka atau tidak. Kitab-kitab sejarah hanya menuliskan satu nama: Abdullah Ibn Abu Salul.

Jadi dengan itu maka  kita tidak terhindar dari menukil hadits-hadits yang mungkin melewati jalur 300 orang yang bersama Abdullah Ibn Abu Salul itu. Bagaimana kita bisa menghindari orang-orang yang kita tidak ketahui?

UNTUK ITULAH MAKA KITA HARUS MEMPELAJARI RIWAYAT HIDUP PARA SAHABAT DAN MENELITINYA UNTUK MENDAPATKAN KEPASTIAN DARI SUATU RIWAYAT ATAU HADITS NABI.

BERSIKAP KRITIS TERHADAP PARA SAHABAT ADALAH SEBUAH KEBIJAKAN YANG CERDAS DAN TEPAT
--------------------------------------------------------------------------------------------------------

taken and translated from an excellent work of empirical study by the late M. Jawad Chirri.

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta