(serial Timun Laut episode 19) MINAL AIDZIN WAL FA IDZIN

 

(Serial Tujuhbelas) MINAL AIDZIN WAL FA IDZIN



Minal aidzin wal faidzin”, “Met lebaran, ya”
“Maapin kita-kita ya, barangkali aku banyak salahnya daripada benernya”
“Iya aku juga nih setahun penuh sering godain kamu”
Taqobalallahu minna wa minkum”, “sama-sama”, “dimana Ied-nya?”

Hari itu sibuk sekali di rumah ibu Elsa. Para guru rekan sepekerjaan ibu Elsa datang ke rumah ibu Elsa yang cukup lumayan besar dirindangi beberapa pohon buah-buahan seperti mangga, jambu dan rambutan. Tidak beraturan tapi membuat suasana rumah teduh dan nyaman.

Timun, Umar, Thoha, Titin, dan para karyawan yang kebetulan tidak pulang kampung datang ke rumah ibu Elsa waktu itu. Ibu Elsa sebagai sesepuh yang dituakan dan dijadikan panutan sedang melaksanakan acara yang mereka sebut sebagai open house; meniru para pejabat kita yang mengundang orang-orang untuk datang ke rumah bersilaturrahmi sambil makan-makan. Open House kali ini terhitung spesial karena bertepatan dengan Idul Fithri hari kedua.

Semua senang, semua kelihatan bahagia; semua punya gagasan yang sama bahwa hari ini adalah hari yang pantas untuk dipenuhi dengan keceriaan serta canda tawa. Mereka juga memperbincangkan setiap kesalahan mereka pada bulan-bulan lalu dengan perasaan ringan dan tanpa sungkan seakan setiap kesalahan mereka itu sudah dijamin akan mendapatkan pengampunan dari Tuhan.

Umar menjaga diri untuk tidak makan berlebih. Ia menolak dengan halus setiap makanan yang ditawarkan kepadanya kecuali beberapa saja yang ia ambil dengan porsi sedikit untuk menghormati tuan rumah. Lain dengan Timun yang beredar dari satu meja ke meja lainnya (ada enam meja penuh makanan!) dan mengambil setiap item yang disajikan dengan penuh semangat. Ia kelihatan bahagia sekali waktu itu. Bahagia karena dapat menyalurkan hobi makannya yang berlebih dibandingkan dengan rekannya yang lain.

Mereka kemudian sibuk tenggelam dalam perbincangan hangat yang ringan; tak ada seorangpun yang berbicara dengan nada serius dan membawa topik serius. Setiap orang menghindarkan diri dari berbicara dengan topik bahasan yang tidak membumi.

Namun tiba-tiba Umar berkata pada mereka (sebenarnya pertanyaannya lebih ditujukan kepada tuan rumah):

“Rumah di seberang itu kok tampaknya sibuk sekali walaupun tidak ada tamu?”

“Eh, iya. Kok mereka malah bersih-bersih rumah dan ada yang cuci karpet segala?”, balas Thoha

“Apa mereka non-Muslim?”, lanjut Thoha

“Oh, mereka. Biasa tiap tahun mereka merayakan Idul Fithrinya dua hari setelah kita. Jadi kalau kita merayakan tanggal 19, mereka baru merayakannya tanggal 21. Mereka juga shalat Ied-nya dua hari setelah kita. Kalau kita kan ikut pemerintah saja”, kata Ibu Elsa.

“Kalau saya ikut ustadz saya,” kata Umar. “Ustadz saya itu ahli astronomi dan ia pernah kuliah di astronomi ITB. Jadi tidak mungkin ia salah dalam penghitungan kapan Iedul Fithri itu tiba. Kebetulan saja sekarang saya merayakan hari raya Ied sama dengan pemerintah. Tahun lalu saya merayakannya satu hari lebih awal daripada pemerintah,” jelas Umar.

“Kalau saya ikut pemerintah. Soalnya rame. Banyak yang ikut pemerintah. Kalau ikut yang bukan pemerintah sepi,” kata Timun dengan kalemnya sambil melahap kue nanas kegemarannya. Sebenarnya semua makanan adalah kegemarannya dan tidak perlu bernama kue nanas untuk menjadi makanan kegemaran Timun.

“Mana bisa,” hardik Umar. “Kalau pemerintah salah dalam menentukan tanggal satu Ramadhan atau tanggal satu Syawwal, gimana? Kan bisa kacau jadinya!”, Umar berjalan mendekati Timun yang sekarang sedang minum es buah.

“Ya, bisa saja,” masih kalem Timun menjawab. “Namanya juga manusia pasti satu dua kali pernah bersalah. Jadi kita pasrahkan saja pada Allah. Ustadz kamu juga pada suatu waktu pasti pernah salah dalam menentukan tanggal satu Syawwal atau awal Ramadhan. He…..he……he……”

“Ustadz saya ahli astronomi dan ia tidak mungkin salah.”

“MUI juga punya ahli astronomi. Sedangkan pemerintah kemungkinan besar punya lebih dari satu, malah mungkin puluhan atau ratusan,” balas Timun. “Dari ratusan itu mungkin saja ada ahli astronomi yang lebih hebat daripada ustadzmu itu.”

“Lalu gimana dengan mereka, Mun”, Thoha menyela. “Mereka kan masih berpuasa sekarang, karena lebarannya baru besok lusa. Sedangkan puasa pada hari raya itu kan diharamkan.”

“Tidak bagi mereka. Dan iya bagi kita,” Timun menjawab tegas.

“Lho kok bisa?”, Thoha bertanya keheranan.

“Mereka kan tanggal satu Syawwal-nya beda dengan kita. Mereka percaya bahwa satu Syawwal-nya besok lusa. Jadi sah-sah saja kalau mereka masih puasa sejak kemarin hingga sekarang,” Ibu Elsa sekarang yang menjawab mendahului Timun.

“Betul itu bu Els. Mereka tanggalnya berbeda karena mungkin memulai puasanya juga berbeda,”

“Lalu siapa yang benar diantara kita semua?” Thoha bertanya seakan putus asa.

“Hanya Allah yang tahu. Kebenaran itu milik Allah. Kita hanya mencoba untuk meraba-raba kebenaran itu dan kemungkinan kita salah bisa jadi cukup banyak. Makanya kita tidak boleh memutlakkan sesuatu sebagai kebenaran yang sejati. Kita harus mencoba merendahkan hati kita untuk menghormati kebenaran yang dimiliki oleh orang lain. Tiada manusia yang sempurna.”

“Amalkan saja yang kita yakini dan hormati amalan yang diyakini orang lain,” Timun menutup pembicaraannya.

Semua kelihatan setuju.


Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta