(Serial Tujuhbelas) MINAL AIDZIN WAL
FA IDZIN
“Minal
aidzin wal faidzin”, “Met lebaran, ya”
“Maapin kita-kita ya, barangkali aku
banyak salahnya daripada benernya”
“Iya aku juga nih setahun penuh sering
godain kamu”
“Taqobalallahu
minna wa minkum”, “sama-sama”, “dimana Ied-nya?”
Hari itu sibuk sekali di rumah ibu Elsa.
Para guru rekan sepekerjaan ibu Elsa datang ke rumah ibu Elsa yang cukup
lumayan besar dirindangi beberapa pohon buah-buahan seperti mangga, jambu dan
rambutan. Tidak beraturan tapi membuat suasana rumah teduh dan nyaman.
Timun, Umar, Thoha, Titin, dan para
karyawan yang kebetulan tidak pulang kampung datang ke rumah ibu Elsa waktu
itu. Ibu Elsa sebagai sesepuh yang dituakan dan dijadikan panutan sedang
melaksanakan acara yang mereka sebut sebagai open house; meniru para pejabat kita yang mengundang orang-orang
untuk datang ke rumah bersilaturrahmi sambil makan-makan. Open House kali ini terhitung spesial karena bertepatan dengan Idul
Fithri hari kedua.
Semua senang, semua kelihatan bahagia;
semua punya gagasan yang sama bahwa hari ini adalah hari yang pantas untuk
dipenuhi dengan keceriaan serta canda tawa. Mereka juga memperbincangkan setiap
kesalahan mereka pada bulan-bulan lalu dengan perasaan ringan dan tanpa sungkan
seakan setiap kesalahan mereka itu sudah dijamin akan mendapatkan pengampunan
dari Tuhan.
Umar menjaga diri untuk tidak makan
berlebih. Ia menolak dengan halus setiap makanan yang ditawarkan kepadanya
kecuali beberapa saja yang ia ambil dengan porsi sedikit untuk menghormati tuan
rumah. Lain dengan Timun yang beredar dari satu meja ke meja lainnya (ada enam
meja penuh makanan!) dan mengambil setiap item yang disajikan dengan penuh
semangat. Ia kelihatan bahagia sekali waktu itu. Bahagia karena dapat
menyalurkan hobi makannya yang berlebih dibandingkan dengan rekannya yang lain.
Mereka kemudian sibuk tenggelam dalam
perbincangan hangat yang ringan; tak ada seorangpun yang berbicara dengan nada
serius dan membawa topik serius. Setiap orang menghindarkan diri dari berbicara
dengan topik bahasan yang tidak membumi.
Namun tiba-tiba Umar berkata pada mereka
(sebenarnya pertanyaannya lebih ditujukan kepada tuan rumah):
“Rumah di seberang itu kok tampaknya
sibuk sekali walaupun tidak ada tamu?”
“Eh, iya. Kok mereka malah bersih-bersih
rumah dan ada yang cuci karpet segala?”, balas Thoha
“Apa mereka non-Muslim?”, lanjut Thoha
“Oh, mereka. Biasa tiap tahun mereka
merayakan Idul Fithrinya dua hari setelah kita. Jadi kalau kita merayakan
tanggal 19, mereka baru merayakannya tanggal 21. Mereka juga shalat Ied-nya dua
hari setelah kita. Kalau kita kan ikut pemerintah saja”, kata Ibu Elsa.
“Kalau saya ikut ustadz saya,” kata
Umar. “Ustadz saya itu ahli astronomi dan ia pernah kuliah di astronomi ITB.
Jadi tidak mungkin ia salah dalam penghitungan kapan Iedul Fithri itu tiba.
Kebetulan saja sekarang saya merayakan hari raya Ied sama dengan pemerintah.
Tahun lalu saya merayakannya satu hari lebih awal daripada pemerintah,” jelas
Umar.
“Kalau saya ikut pemerintah. Soalnya
rame. Banyak yang ikut pemerintah. Kalau ikut yang bukan pemerintah sepi,” kata
Timun dengan kalemnya sambil melahap kue nanas kegemarannya. Sebenarnya semua
makanan adalah kegemarannya dan tidak perlu bernama kue nanas untuk menjadi
makanan kegemaran Timun.
“Mana bisa,” hardik Umar. “Kalau
pemerintah salah dalam menentukan tanggal satu Ramadhan atau tanggal satu Syawwal, gimana? Kan bisa kacau jadinya!”,
Umar berjalan mendekati Timun yang sekarang sedang minum es buah.
“Ya, bisa saja,” masih kalem Timun
menjawab. “Namanya juga manusia pasti satu dua kali pernah bersalah. Jadi kita
pasrahkan saja pada Allah. Ustadz kamu juga pada suatu waktu pasti pernah salah
dalam menentukan tanggal satu Syawwal atau awal Ramadhan. He…..he……he……”
“Ustadz saya ahli astronomi dan ia tidak
mungkin salah.”
“MUI juga punya ahli astronomi.
Sedangkan pemerintah kemungkinan besar punya lebih dari satu, malah mungkin
puluhan atau ratusan,” balas Timun. “Dari ratusan itu mungkin saja ada ahli
astronomi yang lebih hebat daripada ustadzmu itu.”
“Lalu gimana dengan mereka, Mun”, Thoha
menyela. “Mereka kan masih berpuasa sekarang, karena lebarannya baru besok lusa.
Sedangkan puasa pada hari raya itu kan diharamkan.”
“Tidak bagi mereka. Dan iya bagi kita,”
Timun menjawab tegas.
“Lho kok bisa?”, Thoha bertanya
keheranan.
“Mereka kan tanggal satu Syawwal-nya
beda dengan kita. Mereka percaya bahwa satu Syawwal-nya besok lusa. Jadi
sah-sah saja kalau mereka masih puasa sejak kemarin hingga sekarang,” Ibu Elsa
sekarang yang menjawab mendahului Timun.
“Betul itu bu Els. Mereka tanggalnya
berbeda karena mungkin memulai puasanya juga berbeda,”
“Lalu siapa yang benar diantara kita
semua?” Thoha bertanya seakan putus asa.
“Hanya Allah yang tahu. Kebenaran itu
milik Allah. Kita hanya mencoba untuk meraba-raba kebenaran itu dan kemungkinan
kita salah bisa jadi cukup banyak. Makanya kita tidak boleh memutlakkan sesuatu
sebagai kebenaran yang sejati. Kita harus mencoba merendahkan hati kita untuk
menghormati kebenaran yang dimiliki oleh orang lain. Tiada manusia yang
sempurna.”
“Amalkan saja yang kita yakini dan
hormati amalan yang diyakini orang lain,” Timun menutup pembicaraannya.
Semua kelihatan setuju.
Comments