PENGARUH KA’AB TERHADAP JALANNYA KHILAFAH (serial Ka’ab Al-Ahbar)/bagian 2 dari 3


Pengaruh Ka’ab terhadap Khilafah

Ka’ab betul-betul menggunakan secara maksimal kebaikan hati Umar kepadanya; dan ia menggunakan pengaruhnya terhadap Umar untuk membuat Umar menjegal Ali dari kekhilafahan.

Ka’ab tidak ingin Ali menjadi khalifah karena Ka’ab menyimpan dendam umat Yahudi terhadap Ali. Itu disebabkan karena Ali-lah yang menghentikan pengaruh Yahudi di daerah Hijaz; dan Ali-lah yang menghancurkan luluh lantak kekuatan Yahudi terakhir di benteng-benteng Khaybar (dalam peperangan Khaybar).

Sangat mengherankan sebenarnya melihat khalifah Umar sangat percaya kepada Ka’ab al-Ahbar, sampai pada tingkat dimana ia malah meminta nasehat dari Ka’ab dalam perkara pemerintahan dan keagamaan. Ia juga meminta pendapat Ka’ab tentang masa depan kekhalifahan!!!

Abdullah Ibn Abbas pernah meriwayatkan bahwa Umar pernah berkata kepada Ka’ab (pada waktu itu Abdullah Ibn Abbas ada di sana menjadi saksi mata dari peristiwa itu—red) seperti yang akan kami paparkan di sini:
UMAR : “Aku ingin mengumumkan nama orang yang akan menggantikanku sebagai khalifah karena aku sebentar lagi akan mati. Bagaimana pendapatmu kalau aku memilih Ali? Berikan pendapatmu dan beritahu aku apa yang engkau temukan dalam kitab sucimu (Perjanjian Lama), karena engkau pernah berkata bahwa “kami” disebutkan dalam kitab itu”


KA’AB : “Sebagaimana yang engkau yakini, adalah tidak “bijaksana” apabila anda memilih Ali sebagai penggantimu karena ia “terlalu relijius”. Ia bisa melihat setiap penyimpangan dan ia sangat tidak toleran terhadap setiap bentuk kejahatan. Ia hanya mengikuti pendapatnya dalam aturan Islam dan ini sangat tidak baik apabila dijadikan kebijakan. Kami juga menemukan dalam kitab suci Perjanjian Lama bahwa ia dan anak-anaknya tidak bisa menjadi penguasa. Dan apabila ia menjadi penguasa, maka akan terjadi kebingungan.”
UMAR : “Mengapa ia tidak bisa menjadi penguasa?”

KA’AB : “Karena ia telah menumpahkan darah dan Allah telah menjauhkan dirinya dari kekuasaan. Ketika Daud hendak mendirikan benteng-benteng di Jerusalem, Allah berkata kepadanya: “Kamu tidak boleh mendirikan tempat peribadatan di Jerusalem karena engkau telah mencurahkan darah. Hanyya Sulayman yang bisa mendirikan itu’”

UMAR : “Bukankah Ali telah mencurahkan darah orang secara haq dan mengikut kebenaran?”

KA’AB : “Ya, Amirul mukminin. Daud juga telah mencurahkan darah secara haq.”

UMAR : “Lalu siapa kira-kira yang bisa menjadi khalifah menurut kitab sucimu itu?”


KA’AB : “Kami temukan bahwa setelah Rasulullah dan kedua khalifah yang lalu, maka kekuasaan itu akan diberikan kepada musuh Rasulullah (Bani Umayyah) yang telah menentang ajarah Allah dan RasulNya.

Demi mendengar ini, konon, Umar tampak sedih dan ia berkata:

Inna lillahi wa inna ilayhi raji’uun

Kemudian Umar berkata kepada Abdullah Ibn Abbas:

“Ibnu Abbas, apakah engkau mendengar apa yang dikatakan oleh Ka’ab? Demi Allah, aku juga pernah mendengar bahwa Rasulullah pernah mengatakan hal yang sama persis seperti: “Anak-anak Bani Umayyah akan menaiki mimbarku. Aku melihat mereka dalam mimpiku dan mereka berlompatan di mimbarku itu seperti monyet-monyet”

Kemudian Rasulullah membacakan ayat berikut ini yang berkenaan dengan mimpi Rasulullah:

“…………….. Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al Qur'an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka” (QS. Al-Isra: 60)

(Keluarga Bani Umayyah di dalam al-Qur’an diibaratkan dengan “pohon terkutuk”.

(LIHAT: Referensi dari Ahlu Sunnah:
  • Ibn Abi al-Hadid dalam Syarh, volume 3, halaman 81, dicetak di Mohammad Ali Subaih, di Mesir
  • Imam Fakhr ad-Din al-Razi dalam tafsir al-Qur’an-nya, bab 17, volume 5, halaman 413—414, cetakan kedua oleh al-Matbaah al-Sarafeyah, 1304H.)
Dialog di atas antara Ka’ab dan Umar itu menyiratkan akan adanya rencana jahat dan makar yang dilakukan oleh Ka’ab sebagai bekas ulama Yahudi yang masih memendam dendam akan kekalahan Yahudi oleh umat Islam. Rencana Ka’ab al-Ahbar itu nantinya memang akan mendatangkan akibat yang panjang dan menyedihkan bagi umat Islam. Bisa disimpulkan dari dialog itu sebagai berikut:

1. Ka’ab itu sangat benci kepada Imam Ali karena Imam Ali lah yang telah meluluh lantakkan kekuatan Yahudi yang pernah bercokol di Jazirah Arab. Ka’ab berpikir bahwa Imam Ali adalah satu-satunya orang yang bisa menghapus seluruh pengaruh buruk Yahudi dalam masyarakat Arab pada waktu itu. Oleh karena itu, Ka’ab sangat ingin sekali kekuasaan itu jatuh ke tangan Bani Umayyah yang sama sekali tidak peduli dengan kemajuan Islam. Kaum Bani Umayyah itu hanya tertarik pada aspek duniawi saja. Lebih dari itu, Ka’ab memang menganggap Ali sebagai musuh utama dan musuh bersama kaum Yahudi karena Imam Ali telah memusnahkan para pemimpin mereka ketika Imam Ali berjuang demi Islam.

2. Ka’ab berujar bahwa Imam Ali itu terlalu relijius dan ia tidak akan menutup mata terhadap segala bentuk kejahatan yang terjadi di hadapannya. Ia juga tidak akan pernah toleran terhadap setiap penyimpangan dari Islam. Ka’ab sendiri telah lupa ketika ia mengatakan bahwa seorang yang relijius dan shaleh tidak akan pernah bisa menjadi seorang pemimpin yang sukses karena ia telah melupakan sosok Rasulullah yang selain relijius dan shaleh ia juga berhasil dalam memimpin umatnya. Ia berhasil menjadi pemimpin dan negarawan.

3. Ka’ab juga mengaku bahwa ia telah “menemukan” dalam kitab Perjanjian Lama bahwa Imam Ali dan anak-anaknya tidak bisa menjadi menjadi pemimpin karena mereka telah mencurahkan atau mengalirkan darah. Ka’ab menambahkan bahwa Nabi Daud tidak bisa mendirikan kuil atau tempat peribadatan di Jerusalem karena ia telah mengalirkan darah. Jadi Nabi Sulayman lah yang bisa mendirikan tempat peribadatan itu. Ka’ab rupanya lupa atau sengaja melupakan bahwa Nabi Daud (walaupun telah mengalirkan darah) bisa menjadi seorang raja yang memerintah dengan keadilan! Al-Qur’an menyatakan bahwa Allah telah berkata kepada Nabi Daud:

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. Shaad: 26)

Ka’ab juga lupa bahwa Nabi Muhammad juga mencurahkan darah para musuhnya demi kebenaran. Ia bahkan memimpin dalam beberapa peperangan dan ia tetap menjalankan tugasnya dalam mengatur dan mengurus urusan umat! Ia bahkan terus membangun masyarakat Muslim menjadi semacam negara!

4. Lebih jauh lagi, Ka’ab al-Ahbar mengatakan bahwa dengan mencurahkan darah maka seseorang tidak akan pernah bisa menjadi pemimpin dan berkuasa; dan itu artinya bahwa orang yang pernah berjuang di jalan Allah akan kurang harganya dibandingkan dengan mereka yang duduk ongkang-ongkang (dan tidak mencurahkan darah). Ini jelas bertentangan dengan apa yang telah diwahyukan oleh Allah dalam al-Qur’an:

“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar” (QS. An-Nisaa: 95)

Adalah sangat tidak masuk akal apabila Allah memerintahkan manusia untuk berperang di jalanNya, akan tetapi kemudian menghukumi mereka dengan menjauhkan mereka dari kekuasaan  membuat mereka tidak bisa menjadi pemimpin dan berkuasa.

5. Ka’ab al-Ahbar mengklaim bahwa kitab Torat (Perjanjian Lama) menyebutkan bahwa kekuasaan Islam itu akan digilirkan dari Rasulullah kemudian kepada dua khalifah pertama kemudian kepada keturunan dari musuh Rasulullah. Padahal hal yang seperti itu sama sekali tidak pernah tercatat dalam kitab tersebut. Padahal sebelumnya Ka’ab berkata pada Qais Ibn Kharsha (LIHAT: bagian pertama dari tulisan ini, PENGARUH AGAMA YAHUDI DI DALAM KEYAKINAN PARA SAHABAT NABI (serial Ka’ab Al-Ahbar)/bagian 1 dari 3), bahwa segala kejadian yang pernah terjadi dan akan terjadi semuanya telah tertulis dalam Perjanjian Lama.

Apa yang dikatakan oleh Ka’ab kepada Umar tentang kekhalifahan tentu saja tidak ia dapatkan dari kitab suci Agama Yahudi melainkan ia mendengarnya dari para sahabat Nabi (termasuk Umar sendiri) yang meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda:

“Kaum Bani Umayyah akan menaiki mimbarku dan aku melihat mereka berlompatan di atas mimbar itu seperti kawanan monyet”
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
LIHAT REFERENSI DARI AHLU SUNNAH:
  • Jalaluddin as-Suyuthi, Tarikh Khulafa, diterjemahkan oleh Major H. S. Barret, halaman 12, diterbitkan oleh J. W. Thomas, Baptist Mission Press, Calcutta, India
  • Imam Fakhr ad-Din al-Razi, dalam tafsir al-Qur’an-nya, bab 17, volume 5, halaman 413—414, cetakan kedua oleh al-Matbaah al-Sarafeyah, 1304H
Sangat mengherankan juga mengapa Khalifah Umar bin Khattab yang pernah mendengar ini sebelumnya dari Rasulullah, masih mempercayai perkataan Ka’ab al-Ahbar dan menganggapnya memang benar-benar telah mengambilnya dari kitab Perjanjian Lama. Ka’ab melanjutkan dustanya dengan mengatakan bahwa ia telah menemukan dalam kitab agama Yahudi itu bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh Rasulullah itu akan digilirkan dari Rasulullah kepada dua sahabatnya dan kemudian kepada musuh-musuhnya. Klaim Ka’ab ini (yang merupakan saduran dari hadits nabi saja) ternyata tidak terjadi dalam kehidupan nyata. Kekhalifahan ternyata berpindah ke tangan Utsman setelah dari Umar dan Utsman bukanlah musuh Rasulullah (paling tidak bukan musuh secara terang-terangan—red). Dan yang paling telak ialah ketika kekuasaan kekhalifahan itu jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib yang sangat dibenci oleh Ka’ab al-Ahbar. “Ramalan” Ka’ab al-Ahbar hancur berkeping-keping.

Selain keheranan kita atas sikap yang ditunjukkan Umar (yang bisa kita katakan sebagai perbuatan teledor atau bodoh—red), ada lagi satu keheranan kita atas sikap Umar ini (sekali lagi…..sikap ini tidak menunjukkan orang yang waspada dan cerdas—red). Yang mengherankan kita ialah bahwa Umar sama sekali tidak pernah menyuruh Ka’ab untuk menunjukkan kitab Perjanjian Lama yang memuat “klaim-klaim” yang dibuat oleh Ka’ab. Ini sangat mengherankan.

Khalifah yang kedua ini kelihatan sekali sangat percaya dan yakin kepada Ka’ab dan menganggap ucapan-ucapan Ka’ab sebagai ucapan yang datang dari langit dan sudah pasti benar. Umar sepertinya lupa bahwa suksesi kepemimpinan itu sekarang ada di tangannya sendiri. Ia bisa saja menentukan khalifah berikutnya sekehendak hatinya sendiri tanpa harus mendengarkan apa yang dikatakan oleh seorang Ka’ab al-Ahbar.

Umar bisa saja memilih Ali bin Abi Thalib sebagai penerusnya. Umar bisa saja mencegah orang-orang dari Bani Umayyah yang ingin menduduki singasana khalifah. Umar bisa saja melakukan perbuatan yang baik dengan mencegah orang yang tidak kompeten untuk memilih khalifah atau menjadi khalifah.

Satu kata dari Umar bisa mengubah alur sejarah…………

Seandainya Umar mau melakukan itu……………………….

Khalifah Umar bin Khattab bisa saja langsung menunjuk Imam Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya kelak dan itu berarti ia telah mencegah kaum Bani Umayyah yang ingin merebut dan mengangkangi kursi kekhaifahan. Dengan begitu ia bisa mencergah mimpi buruk Nabi itu menjadi kenyataan. Dan dengan itu pula sekaligus ia bisa menunjukkan kasih sayangnya pada Nabi (kalau memang ia cinta kepada Nabi). Tapi ternyata yang terjadi tidak seperti itu. Ia lebih menuruti kata-kata sakti sang ulama Yahudi bernama Ka’ab al-Ahbar. Umar mencegah dan menjauhkan Imam Ali dari kekhalifahan. Ia membentuk “6 orang panitia” yang berisi Imam Ali dan 5 orang lainnya yang di kehidupan sehari-harinya tidak memiliki kedekatan sama sekali dengan Imam Ali atau lebih cenderung berseberangan dengan Imam Ali di sisi lain mereka sangat dekat dengan Utsman bin Affan, salah satu keturunan Bani Umayyah yang sangat mencintai sukunya itu. (LIHAT: BAGAIMANA UTSMAN MENJADI KHALIFAH di: 


Jadi alih-alih membuyarkan mimpi buruk Nabi, Umar malah mematuhi apa yang sudah direncanakan matang-matang oleh Ka’ab al-Ahbar.

(LIHAT: (REFERENSI DARI AHLU SUNNAH: Ibn Al-Athir, Al-Kamil, volume 3 halaman 35, diterbitkan oleh Dar al-Kitab al-Lubnanai 1973 Masehi)

SEORANG ULAMA YAHUDI YANG BARU MASUK ISLAM ; KEMUDIAN MENGAKU MEMILIKI PENGETAHUAN TENTANG MASA LALU DAN MASA YANG AKAN DATANG…………………AKHIRNYA BISA MENGUBAH SEJARAH LEWAT SEORANG KHALIFAH YANG TERLALU PERCAYA PADANYA!

BENAR-BENAR BENCANA SEJARAH!
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Taken and translated from:


Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta