(SERIAL PERANG UNTA 1): TIGA SEKAWAN: ‘AISYAH, THALHAH, DAN ZUBAYR MENJADI JENDERAL PASUKAN PERANG UNTA

 
PERANG UNTA: PERANG SAUDARA KEDUA DALAM SEJARAH ISLAM
translated by Apep Wahyudin from: http://www.al-islam.org/restatement/61.htm

Kaum Muslimin telah melalui perang saudara yang terjadi pada jaman Abu Bakar, khalifah pertama dalam sejarah Islam (waktu itu Abu Bakar memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat kepadanya karena mereka masih belum mau berbai’at kepada Abu Bakar. Abu Bakar memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat padahal Rasulullah tidak pernah melakukan hal yang sama terhadap orang yang tidak mau membayar zakat padanya—Red). Masih pada generasi yang sama, sekarang umat Islam dihadapkan kepada perang saudara yang cukup mencekam. Perang saudara yang pertama dipelopori dan dibiayai oleh pemerintah untuk memerangi orang-orang yang menentang pemerintah. Sedangkan perang yang kedua dipelopori dan dibiayai oleh orang-orang yang tidak taat terhadap pemerintah untuk menjatuhkan pemerintah yang sedan berkuasa.


Prof. Sayyid Abdul Qadir dan Prof. Muhammad Shuja-ud-Din menulis dalam buku mereka yang diberijudul History of Islam, Bagian II (diterbitkan di Lahore, Pakistan):

“ Ketika sedang dalam perjalanan pulang dari Mekah menuju Madinah, ’Aisyah mendengar berita tentang pembunuhan Utsman bin Affan. Dalam berita yang sama juga ditegaskan bahwa Ali lah yang menggantikan Utsman untuk menjabat menjadi khalifah berikutnya. ‘Aisyah mengurungkan niatnya ke Madinah. Ia kembali ke kota Mekah. Thalhah dan Zubayr juga tiba di Mekah. Gubernur kota Mekah pada waktu itu ialah Abdullah bin Aamir Hadhrami. Marwan dan beberapa anggota keluarga Bani Umayyah sedang menjadi tamu dari gubernur pada waktu itu. Mereka semua akhirnya memutuskan untuk mengadakan rapat kilat membahas kejadian yang sedang terjadi pada waktu itu. Mereka akhirnya memutuskan bahwa mereka harus menuntut darah Utsman bin Affan. Mereka mengumpulkan tentara di kota Mekah dan akhirnya berhasil mengumpulkan sekitar 3000 pasukan dan setelah berdiskusi mereka akhirnya berjalan pergi ke kota Basrah. Mereka menduduki kota Basrah; merampas harta benda yang ada di kota Basrah dan mereka berhasil membunuh sekitar 600 orang Muslim tanpa dosa yang mereka kira akan menentang mereka. Pasukan Bani Umayyah itu menebarkan terror di seluruh penjuru kota Basrah.”

Penyelidikan untuk membalas darah Utsman sebenarnya hanyalah dalil untuk membenarkan perang yang mereka hendak lancarkan. Itu tidak hanya dijadikan kedok untuk menutupi ambisi para tokoh yang memberontak tapi juga untuk menutupi kejahatan yang mereka lakukan. Mereka tentu saja tidak bisa menutupi kebusukan dan niat jahat serta ambisi mereka kepada umat. Untuk menyembunyikan rasa malu mereka akhirnya mereka menampilkan diri mereka sebagai para ksatria yang patuh dan taat pada raja—yang hendak membalas dendam karena raja mereka telah terbunuh perlaya. Satu hal yang jelas ialah kalau Ali berhasil memperkuat kedudukannya sebagai khalifah, maka ia tentu saja akan menyelidiki pembunuhan Utsman itu (LIHAT: SIAPAKAH YANG MEMBUNUH UTSMAN? BENARKAH UTSMAN DIBUNUH OLEH UMAT ISLAM? KLIK UNTUK MELIHAT: bagian 1 dan bagian 2); dan apabila itu terjadi bukan tidak mungkin para tokoh yang sekarang hendak membalas darah Utsman itu adalah juga pembunuh Utsman yang sesungguhnya. Orang bilang, “Maling teriak Maling”.
Peran mereka ketika mereka mengepung rumah Utsman (sebelum akhirnya Utsman dibunuh di dalam rumahnya sendiri) sangat jelas sekali dan diketahui orang banyak. Saksi matanya bertebaran di seluruh penjuru kota Madinah dan banyak sekali yang bisa dimintai kesaksiannya apabila mereka kelak diminta sebagai saksi. Bagi para tokoh itu (‘Aisyah, Thalhah, dan Zubayr, dll.) tidak ada jalan lain kecuali melengserkan Ali dari kursi kekhalifahannya karena mereka tahu Ali adalah orang yang tidak bisa ditawar-tawar kalau berbicara keadilan. Mereka hendak mencegah sedini mungkin agar Ali tidak sempat membuat perangkat hukum untuk menjalankan hukum dan menegakan stabilitas keamanan. Inilah sebenarnya yang mereka hendak lakukan. Beberapa dari mereka akhirnya mengaku juga atas apa-apa yang akan mereka lakukan. Mereka hendak menebus dosa-dosa mereka dan untuk menebus dosa-dosa itu tidak ada cara lain kecuali “mencuci darah dengan darah lagi.” (walaupun logika ini terlihat sekali keliru. Ini sama halnya seperti kakak-kakak kelas kita di perguruan tinggi membalas dendam dan sakit hati yang mereka alami sewaktu OPSPEK ke generasi selanjutnya yang sama sekali tidak berdosa terhadap mereka—Red). Mereka telah membunuh seorang khalifah dan oleh karena itu—kepalang tanggung—mereka hendak membunuh khalifah berikutnya. Ini adalah cara mereka yang mereka anggap satu-satunya cara untuk memenangkan atau mendapatkan “pengampunan dosa”.

Tidak ada satu orangpun yang bisa memastikan apa niat di belakang ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubayr. Tak satupun orang yang bisa memastikan apa yang mereka cari dari “menuntut darah Utsman”. Mereka bertiga sama sekali bukan saudara dari Utsman bin Affan. Jangankan saudara, mereka bahkan berasal dari klan yang berbeda dengan Utsman. Isterinya Utsman yaitu Naila serta putera puterinya juga tidak menuntut darah Utsman sama sekali. Merekalah sebenarnya yang lebih berhak untuk menuntut darah Utsman sebagai suami dan ayah mereka. Aneh sekali memang! Setelah kematian Utsman banyak sekali yang tampil kedepan sebagai penuntut darah Utsman dan mereka mengarahkan sasaran tembak pada satu orang: ALI BIN ABI THALIB …… yang mereka klaim sebagai pembunuh Utsman. Aneh …..dan mengherankan!

‘Aisyah tidak mau melihat Ali duduk di kursi kekhalifahan. Rasa bencinya terhadap Ali sudah memuncak. Apabila yang duduk di kursi kekhalifahan itu bukan Ali yang ia benci, maka ‘Aisyah tidak akan bersusah payah menghimpun kekuatan untuk memerangi khalifah yang sah dan kemudian mengorbankan begitu banyak nyawa dari ribuan orang yang tak berdosa. Selain karena rasa benci yang akut kepada Ali, ‘Aisyah juga punya agenda lain yang ia sembunyikan. Ia ingin mendudukan keponakannya yang ia cintai yaitu Abdullah bin Zubayr untuk menjadi khalifah yang baru seandainya Ali terbunuh dan terdepak dari kursi khilafah.

Ada tiga orang gubernur kepercayaan Utsman yang dipecat oleh Ali. Mereka adalah Abdullah bin Aamir Hadhrami (gubernur kota Mekah); Ya’la bin Umayya (gubernur Yaman); dan Abdullah bin Aamir bin Kurayz (gubernur Basrah). Setelah mereka dipecat, gubernur Mekah tetap tinggal di kota Mekah, dan dua gubernur lainnya juga ikut menetap di kota Mekah. Mereka semua membawa harta hasil korupsi (mereka sama korupnya dengan Utsman bin Affan—Red) ke kota Mekah. Beberapa orang penduduk kota Mekah yang kaya juga memberikan sebagian hartanya kepada para tokoh pemberontak itu. Dengan ini kaum pemberontak mendapatkan dana yang berlimpah yang bisa mereka pakai untuk melancarkan perang.

Para tokoh pemberontak itu mengadakan pertemuan di rumah Abdullah bin Aamir Hadharami (bekas gubernur kota Mekah) untuk memutuskan apa yang hendak mereka lakukan selanjutnya. Mereka memutuskan untuk menyerang kota Madinah dan mendudukinya dan kemudian berangkat menuju Syiria ………tapi setelah dipikir-pikir mereka melihat rencana ini tidak begitu praktis dengan beberapa alasan yang mereka miliki. Akhirnya …….. Abdullah bin Aamir bin Kurayz (bekas gubernur kota Basrah) menyarankan agar mereka pergi dulu ke Basrah. Saran ini kelihatannya disetujui dan disukai oleh setiap orang. Thalhah dengan semangat menyambut usul ini dan ia berujar bahwa ia punya banyak sekali keluarga yang berasal dari sukunya tinggal di Basrah dan ia bisa meminta mereka untuk turut bergabung bersama mereka.

Para pemberontak itu akhirnya merancang strategi sampai matang. Pertama, mereka akan menjarah harta benda yang ada di kota Basrah kemudian menjadikan kota Basrah sebagai pusat pemberontakan mereka—sebagai markas besar mereka. Setelah itu mereka melancarkan serangan ke kota Kufah dan akan menduduki kota Kufah dimana Zubayr memiliki banyak sekali pendukung. Apabila Basrah dan Kufah berhasil mereka kuasai maka mereka anggap bahwa akan mudah sekali untuk mengucilkan Ali di Hijaz. Kemudian setelah menyudutkan Ali mereka akan menaklukan daerah yang dikuasai Ali………dilanjutkan dengan mengalahkan Ali dan membunuhnya sekaligus merampas kekhalifahan dari tangannya. Kelihatannya semuanya akan berjalan mudah.

Tujuan yang digembar-gemborkan oleh kelompok pemberontak itu ialah bahwa mereka akan membunuh orang-orang yang telah membunuh Utsman. Orang-orang yang telah membunuh Utsman itu ada di Madinah akan tetapi para pahlawan yang akan membunuh para pembunuh Utsman itu sedang bergerak menuju kota Basrah yang jaraknya 800 mil di sebelah timur Madinah, yaitu di Irak!!!!!! Mengapa mereka tidak langsung saja ke kota Madinah????
Thalhah dan Zubayr meminta kesediaan Abdullah bin Umar bin Khattab untuk menemani mereka ke kota Basrah akan tetapi Abdullah bin Umar bin Khattab menolak dan tidak ikut dalam rombongan.

‘Aisyah memaksa Hafsa binti Umar bin Khattab dan para janda Rasulullah yang waktu itu masih berada di Mekah untuk melangsungkan ibadah haji untuk pergi bersamanya ke kota Basrah. ‘Aisyah ingin mereka semua bersama dengannya untuk memerangi khalifah Ali. Semua isteri Rasulullah menolak usulan gila itu kecuali Hafsah binti Umar. Ia bersedia ikut dengan ‘Aisyah akan tetapi saudaranya yaitu Abdullah bin Umar, melarang Hafsah agar ia tidak ikut bersama ‘Aisyah.

Ummu Salamah adalah salah satu isteri Rasulullah yang shalehah. ‘Aisyah menulis sebuah surat kepadanya di Madinah dimana dalam surat itu ia meminta kesediaan Ummu Salamah untuk ambil bagian dalam propaganda menghasut orang agar memerangi Ali. Ummu Salamah menjawab sebagai berikut:

“Wahai ‘Aisyah! Apakah engkau telah lupa bahwa Rasulullah memerintahkan engkau untuk tinggal di rumah dan tidak berbuat sesuatu yang di luar keimananmu? Jihad bagi wanita itu terbatas. Mata mereka harus senantiasa menunduk; suara mereka harus lembut dan tidak berteriak. Apakah engkau mengira Rasulullah akan senang apabila ia melihatmu sedang memacu seekor unta? Seandainya aku tidak mematuhi suamiku, maka aku akan kehilangan muka dan takkan pernah lagi bertemu dengannya. Oleh karena itu, takutlah kepada Allah setiap waktu. Tetaplah tinggal di rumahmu, dan janganlah engkau pergi ke luar untuk berperang.”

‘Aisyah berkilah bahwa ia sebenarnya ada dalam misi perdamaian. Ini aneh sekali! Karena kalau ia benar dalam misi perdamaian, maka mengapa ia harus didampingi oleh 3000 orang tentara bersenjatakan lengkap??? Seolah-olah mereka tentara yang haus darah dan hendak menumpahkan darah kuam Muslimin yang tak berdosa!!!

Akhirnya semua persiapan telah selesai. Tentara ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubayr pergi meninggalkan kota Mekah dengan pasukan lengkap bersenjatakan hebat semuanya berderap menuju kota Basrah.

Ketika pasukan Mekah berbaris menuju arah timur, setiap orang bertanya dalam hati: siapakah yang nantinya akan menjadi khalifah kalau Ali terbunuh? Putera dari Thalhah berkata bahwa ayahnya lah yang akan menjadi khalifah berikutnya. Akan tetapi putera dari Zubayr bin Awwam mengatakan bahwa ayahnyalah yang akan menjadi khalifah berikutnya menggantikan Ali yang akan mereka bunuh.

Percekcokan terjadi antara dua orang anak remaja dari Thalhah dan Zubayr sampai-sampai hampir saja terjadi perkelahian sengit antara keduanya kalau saja ‘Aisyah tidak segera datang dan melerai keduanya. Kemudian ‘Aisyah membubarkan mereka agar tidak terjadi percekcokan yang lebih buruk lagi.

Meskipun ‘Aisyah tidak mau mempermasalahkan masalah siapa yang akan menjadi khalifah kelak kalau mereka berhasil membunuh Ali bin Abi Thalib, tapi tetap saja ‘Aisyah secara kasat mata memperlakukan Abdullah bin Zubayr (yang tadi terlibat percekcokan dengan puteranya Thalhah) lebih mulia dibandingkan yang lain. ‘Aisyah menyuruh Abdullah bin Zubayr untuk memimpin shalat berjamaah. Kebiasaan memimpin shalat berjamaah ini memiliki signifikansi yang berarti pada masa itu. Pada suatu kesempatan, ketika Rasulullah terbaring sakit, Abu Bakar memimpin shalat kaum Muslimin. Kenyataan bahwa Abu Bakar telah atau pernah memimpin shalat umat Islam dijadikan alasan sepeninggal Rasulullah untuk menyatakan bahwa Abu Bakar berhak menjadi pemimpin kaum Muslimin. Abu Bakar dijadikan khalifah karena ia pernah satu kali memimpin umat Islam shalat berjamaah!

‘Aisyah sangat mencintai keponakannya (Abdullah bin Zubayr: putera dari hasil pernikahan Mut’ah anatara Zubayr bin Awwam dengan ‘Asma binti Abu Bakar—red.) itu. ‘Aisyah sangat mencintainya melebihi rasa cinta Asma (sebagai ibunya) kepada Abdullah bin Zubayr. Dan sebagai ungkapan rasa cintanya itu ia ingin keponakannya itu menjadi khalifah menggantikan Ali bin Abi Thalib. Dengan menyuruh Abdullah bin Zubayr memimpin orang-orang shalat berjamaah, maka ‘Aisyah sebenarnya sedang meretas jalan karir bagi keponakannya itu. Nanti takkan ada yang bisa mengklaim kekhilafahan apabila alasan memimpin shalat berjamaah itu dijadikan alasan yang kuat untuk menjadi khalifah……….en toch ‘Aisyah sudah pernah menggunakan alasan yang sama untuk memastikan orang-orang bahwa bapaknya itu memang pemegang hak khilafah yang kuat.

Permasalahan siapakah yang akan menjadi khalifah berikutnya mengganggu pikiran dari Sa’id bin Aas. Ia akhirnya memberanikan diri untuk bertanya kepada Thalhah dan Zubayr tentang hal ini dan akhrinya mereka terlibat dalam sebuah pembicaraan seperti ini:

Sa’id : Kalau seandainya engkau memenangkan perang melawan Ali, siapakah yang akan menjadi khalifah nanti?

Thalhah : Siapa saja yang nantinya dipilih oleh kaum Muslimin, maka ia akan menjadi khalifah.

Sa’id : Ketika engkau meninggalkan kota Mekah, engkau mengumumkan bahwa tujuan engkau untuk memerangi Ali ialah untuk menuntut darah Utsman. Apabila tujuan engkau itu tidak berubah, maka seharusnya engkau mengangkat salah satu dari putera Utsman sebagai khalifah dan kedua putera dari Utsman itu ada bersama kita di sini.

Thalhah : Apakah engkau pikir kita akan melupakan kaum Muhajirin yang lebih tua usianya dengan memilih bocah-bocah ingusan untuk menjadi khalifah? Tidak. Kami tidak pernah berpikir seperti itu.

Sa’id akhirnya mengerti bahwa tujuan untuk menuntut darah Utsman itu hanyalah akal-akalan mereka saja. Karena sebenarnya tujuan dari tiga sekawan (‘Aisyah, Thalhah, dan Zubayr) adalah untuk merebut kekuasaan bagi diri mereka sendiri.

Ada salah seorang sahabat nabi yang terkenal yang datang ke perkemahan tentara ‘Aisyah. Ia adalah Mughirah bin Shaaba. Ia berbicara panjang lebar dengan ‘Aisyah serta Marwan bin Hakam. Mughirah menasehati mereka agar mereka mengurungkan niatnya untuk menyerbu kota Basrah. Ia berkata kepada Marwan:

“………Kalau engkau ingin pergi ke Basrah untuk memburu para pembunuh Utsman, maka sesungguhnya engkau keliru. Para pembunuh Utsman ini ada bersama tentara kalian di sini dan bukan di kota Basrah. Mereka adalah para jenderal yang mengepalai tentara ini (maksudnya Thalhah dan Zubayr). Mereka telah membunuh Utsman karena masing-masing dari mereka hendak menjadi khalifah. Akan tetapi mereka gagal dan setelah kegagalan mereka, mereka merencanakan peristiwa makar ini.”

Akan tetapi ‘Aisyah dan Marwan tidak mau membatalkan niat mereka untuk menaklukan kota Basrah. Mereka tidak mempedulikan nasehat Mughirah bin Shaaba. Setelah mendengar nasehat dari Mughirah bin Shaaba itu, Sa’id bin Aas, Abdullah bin Khalid, dan beberapa orang lainnya memisahkan diri dari tentara ‘Aisyah dan mereka pergi ke Tha’if.
 

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta