(SERIAL PERANG UNTA 2) ALI MENYAMBUT PASUKAN PEMBERONTAK PIMPINAN ‘AISYAH

BETAPA SUSAHNYA IMAM ALI MENYUSUN TENTARA PADAHAL MEREKA DULU MEMAKSANYA MENJADI KHALIFAH

translated by Apep Wahyudin from: http://www.al-islam.org/restatement/61.htm
Pasukan pemberontak yang dipimpin oleh ‘Aisyah itu melanjutkan perjalanannya ke kota Basrah akan tetapi sebuah peristiwa aneh membuat mereka menangguhkan perjalanan untuk kali yang kedua. Ketika ‘Aisyah memacu untanya melewati sebuah sumur di sebuah desa di dataran tinggi, beberapa ekor anjing kampong mengelilingi unta yang ditunggangi ‘Aisyah dan kemudian mulai menggonggongi ‘Aisyah dengan galaknya. ‘Aisyah melongokkan kepalanya keluar dari tandu yang ada di punuk unta yang ia tunggangi dan kemudian ia bertanya kepada anaknya Thalhah apakah ia tahu nama desa yang sedang mereka lewati. Putera Thalhah bin Ubaydillah itu kemudian menjawab bahwa nama desa itu ialah Hauab.

Ketika ‘Aisyah mendengar bahwa nama desa itu ialah Hauab, maka ia terkejut sekali dan hampir-hampir jatuh dari tandunya. Ia memerintahkan kusir dari untanya untuk menghentikan unta dan ia menyuruh kusir itu untuk kembali ke kota Madinah segera dan menggagalkan rencana mereka untuk pergi ke kota Basrah.

Perubahan mendadak ini membuat putera dari Thalhah kaget, dan ia bertanya mengapa ‘Aisyah tidak mau pergi ke kota Basrah. ‘Aisyah menjawab bahwa ia teringat bahwa Rasulullah pernah meramalkan sebagai berikut:

“Rasulullah pada suatu waktu bersama dengan isteri-isterinya dan kemudian mulai berbicara: ‘Pada suatu waktu beberapa ekor anjing di Hauab akan menggonggong kepada salah satu diantara kalian, dan pada waktu itu ia sedang dalam keadaan berbuat kesalahan yang besar.” 

Rasulullah kemudian melihat ke arahku, dan berkata: ‘Hati-hatilah engkau ya Humaira! Siapa tahu wanita yang dimaksud itu ialah kamu.” Dan sekarang aku telah mendengar dan melihat anjing-anjing di Hauab itu menggonggong kearahku. Jadi akulah yang dimaksud dengan seseorang yang berbuat salah besar.”

Akan tetapi putera dari Thalhah tidak begitu yakin dengan apa yang dikatakan oleh ‘Aisyah, dan kemudian ia berbicara:

“Wahai, ummul mukminin! Janganlah engkau pedulikan anjing-anjing yang menggonggong itu. Kita punya banyak hal yang lebih penting untuk kita lakukan. Jadi kita harus buru-buru pergi ke Basrah yang melambai-lambai ke arah kita.”

Abdullah bin Zubayr tiba di tempat itu dan ia juga mendengar apa yang dikatakan oleh ‘Aisyah, bibinya. Akan tetapi ia harus menghentikan semua itu. Apabila ‘Aisyah meninggalkan pasukannya sendiri, maka semua usaha mereka untuk menggulingkan kekuasaan yang sah akan jatuh dengan sendirinya. Di tambah lagi, pasukan mereka kemungkinan besar akan terlunta-lunta dan tidak akan diterima oleh siapapun dimanapun karena kedudukan mereka sebagai pemberontak membuat mereka sulit untuk diterima oleh siapapun kecuali oleh pendukungnya. Abdullah bin Zubayr terpaksa berbohong. Ia mengatakan bahwa desa yang mereka lewati yang anjing-anjingnya menggonggong itu bukanlah desa Hauab. ‘Aisyah tidak percaya begitu saja dan ia tetap bersikeras tidak mau pergi ke kota Basrah.

Abdullah bin Zubayr sekarang terpaksa melakukan sebuah upaya terakhirnya untuk meyakinkan bibinya itu agar ia tetap mau pergi ke Basrah. Ia kemudian bersumpah kepada ‘Aisyah bahwa tentara mereka itu sudah melewati Hauab jauh sebelumnya. Abdullah bin Zubayr juga membawa 50 orang Arab Baduy dan dibawa ke depan ‘Aisyah. Ke limapuluh orang Arab Baduy itu diminta untuk bersumpah bahwa Hauab itu sudah mereka lalui dan jaraknya sekarang sudah jauh sekali dari tempat mereka berada.

Para sejarawan tentang Arab menuliskan bahwa “sumpah palsu” yang dibuah oleh Abdullah bin Zubayr di depan ‘Aisyah adalah sumpah palsu pertama yang dikenal dalam sejarah Islam.

Tabari, tokoh sejarawan terkemuka dalam sejarah Arab, juga menuliskan kejadian ini dalam kitab Tarikh-nya. Tabari menambahkan bahwa setelah segenap upaya dilakukan oleh Abdullah bin Zubayr dan kelimapuluh Arab Baduy itu akhirnya ‘Aisyah yakin sudah kalau anjing-anjing yang menggonggong itu bukan anjing-anjing dari Hauab melainkan anjing-anjing dari desa sekitar. ‘Aisyah sekarang menganggap bahwa peristiwa barusan hanya kejadian kecil saja yang tidak punya arti apapun. Pikirannya sekarang tertuju kepada Basrah. Ia kembali memimpin rombongan menuju kota Basrah.

Pada saat yang sama Ali sedang sibuk dalam mengendalikan keadaan. Dari semua musuh yang ia miliki, Mu’awiyyah (gubernur Syam atau Syria) adalah musuh yang paling utama dan paling berbahaya. Dan Ali berpendapat bahwa Mu’awiyyah harus mendapatkan perhatian lebih daripada yang lain. Akan tetapi Ali mendengar bahwa Thalhah dan Zubayr yang telah meninggalkan kota Madinah untuk menuju Mekah untuk melaksanakan Umrah telah menarik kembali bai’at yang mereka berikan kepadanya. Dan mereka sekarang sudah bergabung dengan ‘Aisyah yang telah berada di kota Mekah bersama-sama mengacungkan bendera peperangan menentang Ali sebagai khalifah yang sah. Ali juga mendengar bahwa ketiga orang jenderal perang dari gerombolan penentang itu sudah bersenjatakan lengkap sekali dan sedang bergerak menuju kota Basrah di Irak dan bermaksud untuk menaklukan kota itu.

‘Aisyah memang tidak pernah menyembunyikan rasa bencinya kepada Ali dan semua orang tahu itu. Tapi Ali tetap tidak habis piker mengapa ‘Aisyah sampai hati untuk memerangi dirinya. Bagi Ali Thalhah, Zubayr dan Muawiyyah lebih cocok untuk membentuk aliansi yang akan memerangi dirinya. Akan tetapi Thalhah, Zubayr dan ‘Aisyah sebagai aliansi itu sama sekali tidak terpikirkan oleh Ali. Akan tetapi itulah keadaannya yang sedang terjadi. Aliansi Thalhah, Zubayr dan ‘Aisyah sekarang lebih membahayakan terhadap keamanan pemerintahan Islam yang dipimpin oleh Ali. Aliansi itu lebih membahayakan daripada Mu’awiyyah sendiri.

Ali sekarang haru menunda apapun agar bisa berkonsentrasi terhadap rombongan pemberontak yang dipimpin oleh ‘Aisyah, Thalhah dan Zubayr. Ali berusaha sekuat tenaga agar aliansi tiga sekawab itu tidak menimbulkan pertumpahan darah yang tidak perlu di kalangan umat Islam. Pertumpahan darah yang mungkin akan terjadi kalau mereka memberontak terhadap pemerintahan yang hak. Ali mengirimkan sepucuk surat kepada ‘Aisyah yang isinya sebagai berikut:

“Dengan Nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang.
Engkau telah meninggalkan rumahmu dan menentang perintah Allah dan RasulNya. Engkau sekarang sedang menuai badai dan menciptakan pertumpahan darah di kalangan Muslimin. Berhentilah sejenak dan berpikirlah tentang semua ini: Apa yang engkau cari bersama tentaramu dalam perang ini? Apakah pekerjaanmu itu berperang dan memerangi orang? Dan kalau engkau berperang, siapakah yang akan engkau perangi? Apakah engkau akan memerangi kaum Muslimin? Tempatmu itu di rumah. Allah sudah memerintahkanmu untuk tetap tinggal di rumahmu. Oleh karena itu, takutlah kepadaNya, dan jangan sekali-kali menentangNya. Kembalilah segera ke kota Madinah.”

‘Aisyah sudah menerima dan membaca surat dari Ali akan tetapi ia tidak terpengaruh sedikitpun oleh surat itu dan ia lebih memilih untuk tidak mempedulikannya sama sekali.

Ali juga mengirimkan surat yang sama isinya kepada Thalhah dan Zubayr akan tetapi mereka berdua juga tidak mau membalas surat itu.

Ali akhirnya sadar bahwa para pemimpin pemberontak itu lebih cenderung untuk memilih berperang dan mencurahkan darah sesama kaum Muslimin. Ali berkehendak untuk mencegah pertumpahan darah dan untuk itu ia memutuskan untuk menghalangi mereka. Akan tetapi Ali hanya bisa menghadang tentara ‘Aisyah dengan tentaranya sendiri……………… masalahnya ialah Ali tidak punya tentara sama sekali!!!!

Ali sebagai khalifah yang baru harus memulai dari awal. Ia harus membentuk pasukan sendiri apabila ia ingin mencegah pasukan pemberontak yang hendak menyerang dan menaklukan Basrah. Ali pergi ke mesjid kemudian mengumumkan kepada kaum Muslimin bahwa pasukan pemberontak akan merencanakan sesuatu. Ali mengumumkan kepada kaum Muslimin bahwa ia membutuhkan pasukan perang untuk mencegah pasukan pemberontak. Ali memerlukan sukarelawan yang mau bertindak bersamanya.

Akan tetapi Ali harus kecewa dengan jawaban yang diberikan umat Islam pada waktu itu. Tidak ada satupun yang mau dan bersedia bergabung dengannya untuk menahan pasukan pemberontak. Ali sekali lagi mengajukan penawaran dan jawaban dari kaum Muslimin sama saja. Mereka tidak bersedia untuk bergabung dengannya.
Setiap selesai shalat di mesjid, Ali berkata kepada para jemaah bahwa ia memerlukan tentara untuk mempertahankan pemerintahan. Ia mengingatkan kaum Muslimin bahwa sekarang ia telah mengambil alih pemerintahan karena memang ia diminta oleh umat. Ali juga mengingatkan kepada mereka bahwa Ali menerima khilafah itu karena mereka bersedia untuk memberikan bai’at kepadanya—baik dalam damai maupun dalam perang. Artinya mereka harus memberikan bantuan kepada Ali sebagai khalifah yang sah (yang mereka tunjuk secara aklamasi) untuk kelangsungan pemerintahan Islam di muka bumi ini. Kaum Muslimin rupanya tidak tergerak sama sekali. Mereka telah lupa dengan bai’at yang mereka berikan kepada Ali. Ali merasa lumpuh dan tak berdaya melihat kelakuan kaum Muslimin yang telah membai’atnya.

Setelah beberapa hari, akhirnya ada juga tanggapan. Ada seseorang yang berdiri di depan mesjid dan berkata kepada Ali bahwa ia bersedia untuk patuh dan setia kepada perintah Ali. Beberapa orang lagi akhirnya mengikuti dia. Tidak lama kemudian Ali dapat mengumpulkan sekitar 700 orang sukarelawan yang bersedia untuk patuh dan taat kepadanya.

Dalam The Great Arab Conquest, halaman 318, terbitan tahun 1967, disebutkan:

Ketika Ali mendengar Zubayr, Thalhah, dan ‘Aisyah telah meninggalkan Mekah, Ali memutuskan untuk mengikuti mereka akan tetapi Ali kesulitan untuk membangun angkatan perang. Padahal tiga bulan yang lalu, para sahabat nabi dan masyarakat kota Madinah berkumpul di depan pintu rumah Ali untuk berbai’at kepadanya; untuk mengangkatnya menjadi khalifah. Akan tetapi sekarang Ali sangat sulit mendapatkan satu orangpun untuk dijadikan tentara perang pemerintahan Islam. Pada saat yang bersamaan tidaklah sulit bagi Thalhah dan Zubayr untuk mendapatkan tentara. Dengan segera mereka mendapatkan dukungan sekitar 3000 orang dari Mekah dan dari suku-suku sekitar.

Pada bulan Oktober tahun 656, 4 bulan setelah pembunuhan Utsman bin Affan, Ali berusaha untuk mengejar Thalhah dan Zubayr. Ali hanya punya tentara kecil berjumlah 700 orang saja. Karena kecapaian, Ali mendirikan kemah di dekat sebuah sumur gurun pasir di Nejed (The Great Arab Conquest, halaman 318, 1967).

Sebelum meninggalkan kota Madinah, Ali mengunjungi Ummu Salamah (salah satu isteri Rasulullah yang shalehah) dan mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Ummu Salamah berkata kepada Ali:

“Dengan Nama Allah. Aku do’akan engkau agar senantiasa ada dalam perlindunganNya. Dengan kekuasaanNya dan kebesaranNya, engkau senantiasa bersama dengan kebenaran. Dan semua musuhmu ada dalam kesalahan. Seandainya tidak ada larangan bagi para isteri Nabi untuk keluar rumah, maka aku akan menemanimu dalam perjuanganmu.” (Abu Fida)

Ummu Salamah memiliki seorang putera dari hasil pernikahan pertamanya. Ia akhirnya memasrahkan puteranya itu kepada Imam Ali seraya berkata:

“Ia adalah puteraku satu-satunya. Ia adalah satu-satunya yang aku miliki. Kalau diperlukan, aku akan mengorbankan puteraku ini untukmu.”

Ali merasa sangat tersentuh dan sedih dengan raut wajah Ummu Salamah. Ia mengucapkan terimakasih dan mengucapkan selamat berpisah kepada Ummu Salamah dengan ucapan yang menyentuh hati dan mengoyak perasaan. Ummu Salamah tidak tahu apakah Ali akan kembali ke kota Madinah dengan selamat atau tidak. Puteranya menemani Ali ke Irak.

Ali menunjuk Sahl ibn Hunaif Ansari sebagai gubernur kota Madinah selama Ali tidak ada di kota Madinah dan Ali mengirimkan Qathm ibn Abbas ke Mekah untuk mengurus kota Mekah sebagai gubernur kota itu.

Yang terakhir kali dilakukan oleh Imam Ali di kota Madinah itu ialah mengunjungi dulu makam dari sepupunya sekaligus mertuanya terkasih, Muhammad al-Mustafa dan kemudian makam isterinya tercinta Fathimah az-Zahra. Muhammad al-Mustafa adalah pembimbingnya, pengasuhnya, dan teman hidupnya sementara Fathimah adalah isterinya dan teman setianya. Ali mengucapkan selamat berpisah kepada keduanya dengan hati yang diliputi rasa sedih. Imam Ali meninggalkan kedua makam itu dengan linangan air mata.

bersambung ke…………………………..

MEREKA MEMILIH JALAN KEKERASAN DARIPADA JALAN PERDAMAIAN YANG DIMULIAKAN ISLAM

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta