(SERIAL PERANG UNTA 3) MEREKA MEMILIH JALAN KEKERASAN DARIPADA JALAN PERDAMAIAN YANG DIMULIAKAN ISLAM

 translated by Apep Wahyudin from: http://www.al-islam.org/restatement/61.htm

MEREKA MEMILIH JALAN KEKERASAN DARIPADA JALAN PERDAMAIAN YANG DIMULIAKAN ISLAM


Ketika Ali tiba di Irak bersama pasukan kecilnya, ia kemudian memasang tenda di sebuah tempat yang bernama Dzi-Qaar. Abdullah bin Abbas—sepupunya—melaporkan bahwa ada seseorang yang ingin bertemu dengan Ali:

“Kami berada di Dzi-Qaar pada sore hari itu ketika ada seseorang yang sudah tua datang ke tenda. Ia sudah sangat tua dan renta. Ia hanya berbekal sedikit makanan dan sekantung air. Ia masuk ke dalam tenda dan meminta untuk bertemu dengan Ali. Ketika orang tua itu dibawa ke hadapan Ali, segera Ali mengenalinya sebagai Owais al-Qarni dari Yaman. Ketika kami semua mendengar namanya disebutkan, Kami segera tahu bahwa ia itu adalah sahabat Rasulullah yang setia dan dicintai Rasulullah. Ia meminta Ali untuk mengulurkan tangannya, dan Ali kemudian mengulurkan tangannya. Kemudian ia meletakkan tangannya di atas tangan Ali, dan mengucapkan bai’at kesetiaan kepada Ali.”

Ali menyambut Owais al-Qarni sebagai sahabat yang terkasih dari Rasulullah. Ali menyambutnya sama seperti kalau Rasulullah menyambut Owais al-Qarni.

Owais al-Qarni—sahabat yang patut untuk dimuliakan—langsung dimasukkan kedalam pasukan Ali di Madinah.

Bagi Ali, kedatangan sahabat nabi yang setia yang mendukung perjuangannya ini seperti setetes air yang membasahi gurun sahara. Bisa dibayangkan oleh kita semua dimana Ali susah sekali mendapatkan dukungan moril dan materil di tengah-tengah para sahabat nabi yang mengkhianati Ali; membangkang terhadap Ali; melawan Ali; menyebarkan kabar dusta tentang Ali dan sebagainya yang selama ini mewarnai perkembangan Negara Islam di bawah pemerintahan Ali. Untuk beberapa saat, Ali melupakan masalah yang sedang ia hadapi karena ia didatangi oleh Owais al-Qarni—seorang sahabat setia dari al-Mustafa. Ali terbawa ke masa lalu dimana Muhammad yang dikasihinya masih hidup bersamanya. Sekarang Ali ingin mengembalikan masa-masa penuh kecintaan bersama al-Mustafa; masa-masa dimana Al-Mustafa dan dirinya mengendalikan umat dan membimbingnya menuju ke kesempurnaan terbebas dari kemusyrikan dan kejahilan. Ali sedang dikejutkan oleh tingkah laku umat yang menentangnya dan kelihatannya setiap orang dari mereka itu sudah pada tahap dimana mereka sangat haus darah dan kekuasaan.

Usaha Ali yang pertama untuk menghindari perang (yang ia kendalikan dari Madinah) menemui kebuntuan. Sekarang ia khawatir sekali bahwa ia tidak bisa mengendalikan dan menghentikan umat dari peperangan saudara. Oleh karena itu, ketika ia berhasil mengumpulkan pasukannya, ia cepat-cepat menyusun usaha perdamaian dengan melancarkan serangkaian usaha diplomasi kepada kaum pemberontak. Ali juga mengirimkan beberapa tokoh dari kalangan sahabat Nabi yang masih hidup pada waktu itu. Ali mengirimkan beberapa tokoh sahabat Nabi untuk menemui ‘Aisyah, Thalhah dan Zubayr akan tetapi usaha itu tidak membuahkan hasil.

Ali tidak pernah menggenggam Thalhah dan Zubayr dengan menggunakan kekuasaan yang ia miliki. Ali tidak pernah memberikan keduanya hadiah-hadiah yang banyak dari baitul mal untuk membuat keduanya diam dan setia padanya. Ali juga tidak pernah memberikan ancaman atau memaksakan kehendaknya kepada Thalhah dan Zubayr agar keduanya tidak memberontak. Ali tahu bahwa baik Thalhah maupun Zubayr sudah memendam bakat-bakat pengkhianatan di hatinya. Jadi kalau Ali memberikan mereka hadiah-hadiah dan upeti maka itu akan dianggap sebagai suap bagi kedua tokoh itu dan Ali adalah orang yang paling anti suap yang pernah hidup pada masa itu.

Di Madinah Abdullah bin Abbas pernah member nasihat kepada Ali agar Ali memberikan jabatan gubernur kepada Thalhah dan Zubayr. Thalhah untuk menjadi gubernur kota Basrah dan Zubayr untuk menjadi gubernur kota Kufah. Akan tetapi Ali tahu betul watak dari kedua tokoh itu, oleh karena itu Ali tidak mau menjadikan kedua tokoh itu sebagai gubernur kota. Kalau itu dilakukan Ali, maka itu sama saja dengan sebuah blunder politik. Kalau kedua tokoh itu menjadi gubernur kota Basrah dan Kufah maka Ali akan menghadapi bukan satu orang Mu’awiyyah akan tetapi 3 orang Mu’awiyyah sekaligus; 3 orang dengan sifat dan karakter yang sama dengan Mu’awiyyah.

Di sisi lain……Ali bukanlah seseorang yang suka menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Ali tidak mungkin diharapkan untuk menangkapi orang-orang sebelum orang-orang itu benar-benar terbukti telah melakukan kejahatan. Oleh karena itu, ketika Thalhah dan Zubayr berpamitan hendak pergi ke Mekah untuk melaksanakan Umrah, Ali memberikan ijin. Tapi Ali berujar kepada keduanya bahwa Ali tahu mereka berdua pergi ke kota Mekah bukan untuk melaksanakan ibadah Umroh melainkan untuk tujuan lain.

Seperti yang dijelaskan di atas, Ali berhasil mengumpulkan pasukan kecil yang terdiri dari 700 orang di kota Madinah. Dengan kekuatan yang sangat kecil seperti itu, ia tentu saja takkan bisa menahan serangan yang akan dilancarkan oleh para pemberontak. Oleh karena itu, Ali mengirimkan Muhammad bin Ja’far serta Muhammad bin Abu Bakar (putera dari Abu Bakar) untuk berangkat ke kota Kufah agar bisa mengumpulkan kekuatan tambahan di sana. Gubernur kota Kufah pada waktu itu ialah Abu Musa Al-Anshari dan ia menentang Ali. Utusan yang dikirimkan oleh Ali itu terlambat sampainya di kota Kufah, akan tetapi Ali sebenarnya sudah mengirimkan utusan yang lain sebelumnya yaitu Abdullah bin Abbas dan Malik bin Asytar, juga Hasan bin Ali (puteranya sendiri) dan Ammar bin Yasir ke kota Kufah untuk merekrut pasukan dari sana.

Hasan bin Ali tidak mempedulikan penentangan yang diberikan oleh Abu Musa al-Anshari. Hasan bin Ali langsung memasuki mesjid agung yang ada di kota Kufah dan menyapa kaum Muslimin yang ada di sana. Hasan bin Ali kemudian berkhutbah di sana dengan mencoba mengingatkan mereka bahwa mereka mempunyai kewajiban terhadap Allah dan RasulNya.
Kedatangan Hasan bin Ali—cucu terkasih dari Rasulullah—di kota Kufah, menciptakan sensasi tersendiri. Khutbah belum selesai tapi orang-orang sudah mulai berteriak histeris. Mereka berteriak: “Kami dengarkan dan kami patuhi; Kami bersedia patuh dan taat serta berbakti padamu”

Hasan bin Ali, Ammar bin Yasir, Abdullah bin Abbas, dan Malik bin Asytar kembali ke Dzi-Qaar bersama pasukan berjumlah 12,000 orang dari kota Kufah.

Gubernur yang ditunjuk oleh Ali di kota Basrah itu ialah Utsman bin Hunaif al-Anshari. Ia dulu pernah ditunjuk oleh Umar bin Khattab untuk menjabat jabatan Bendahara di Irak. Ketika Utsman bin Hunaif tahu bahwa pasukan ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubayr ada di dekat kota Basrah, maka ia segera mengirimkan seorang utusan (yang juga sahabat setia Ali) yang bernama Abul Aswad ad-Du’ali untuk menemui mereka dan mencari tahu mengapa mereka datang ke kota Basrah. Abul Aswad menemui ‘Aisyah dan kemudian terlibat dalam pembicaraan sebagai berikut:

ABUL ASWAD: “Ya, ummul mukminin, mengapa engkau datang ke kota Basrah? Ada apakah gerangan yang mendorong anda untuk datang ke sini dengan membawa pasukan yang besar seperti ini?

‘AISYAH: “Aku datang untuk menuntut darah Utsman. Aku datang untuk mencari orang yang telah membunuh Utsman. Utsman telah dibunuh di rumahnya sendiri padahal ia sama sekali tidak berdosa”

ABUL ASWAD: “Siapapun pembunuh Utsman yang pastinya ialah ia tidak berada di sini, di kota Basrah”

‘AISYAH: “Aku tahu itu……tapi untuk balas dendam, aku butuh kerjasama dan dukungan dari orang-orang Basrah.

ABUL ASWAD: “Aku harap anda tidak lupa bahwa Rasulullah telah memerintahkan anda untuk tinggal dan berdiam diri di rumah. Lagipula, bukanlah urusanmu untuk mencampuri urusan politik dan perang. Tidak layak untuk seorang janda Rasulullah meninggalkan rumahnya dan memerangi kaum Muslimin”

‘AISYAH: “Apa benar ada orang-orang Islam yang mau menentangku dan memerangiku?”
‘Aisyah percaya bahwa apabila ia nanti memasuki medan perang sebagai pemimpin pasukan perang, maka para prajurit yang ada di pihak musuhnya akan menyeberang ke pihaknya……….atau kalau tidak mau menyeberang, maka yang mungkin mereka lakukan ialah meninggalkan peperangan dan meninggalkan pemimpin perangnya (yaitu Ali) sendirian.
Abul Aswad kemudian pergi menemui Thalhah dan Zubayr dan bertanya kepada mereka untuk tujuan apa mereka ini datang ke kota Basrah lengkap dengan pasukan bersenjata.

Thalhah & Zubayr: “Kami ingin menuntut balas kepada Ali atas terbunuhnya Utsman”

Abul Aswad: “Ali tidak pernah membunuh Utsman. Ali juga tidak berkomplot dengan para pembunuh Utsman. Dan engkau juga tahu itu.

Thalhah & Zubayr: “Kalau ia tidak terlibat, mengapa ia mencoba untuk melindungi para pembunuh Utsman?”

Abul Aswad: “Apakah ini berarti kalian telah mengambil kembali bai’at kalian yang kalian telah berikan sebelumnya kepada Ali?”

Thalhah & Zubayr: “Bai’at itu diambil dari kami dengan terpaksa di bawah todongan pedang. Oleh karena itu, bai’at itu sendiri batal dengan sendirinya.”

Abul Aswad bisa melihat dengan jelas sekarang bahwa para pemberontak ini memang haus darah dan mereka terobsesi dengan perang dan setiap pembicaraan ke arah perdamaian pastilah menemui jalan buntu. Oleh karena itu, Abul Aswad segera kembali ke kota Basrah dan melapor kepada Utsman bin Hunaif apa-apa yang telah dikatakan oleh ‘Aisyah, Thalhah dan Zubayr.

Para pemberontak itu tampaknya tidak berusaha untuk menutup-nutupi maksud mereka akan tetapi saying Utsman bin Hunaif tidak memiliki pasukan yang cukup kuat dan besar untuk menghadang mereka. Utsman bin Hunaif tahu betul bahwa cepat atau lambat ia tidak bisa lagi bisa mempertahankan kota Basrah. Oleh karena itu, ketika pasukan pemberontak itu memasuki pintu kota, segera Utsman bin Hunaif melancarkan sebuah negosiasi dengan mereka. Kedua belah pihak akhirnya sepakat tidak akan melakukan apapun yang bisa merusak aturan yang sedang berlaku saat ini di kota itu, dan Utsman bin Hunaif akan tetap menjabat sebagai gubernur kota Basrah.

Akan tetapi belum juga 2 hari berlalu, kepala para pemberontah telah melanggar perjanjian gencatan senjata. Pasukan pemberontak itu menyerang kota Basrah pada malam hari. Pasukan itu menyebar ke seluruh penjuru kota dan membunuh kurang lebih 600 orang dan itu termasuk 40 orang yang sedang ada di dalam mesjid agung kota Basrah!

Thalhah dan Zubayr merangsek menuju rumah gubernur kota Basrah. Sesampainya di sana mereka menangkap gubernur Utsman bi n Hunaif dan mereka membunuh setiap orang yang mencoba mencegah mereka. Mereka juga sebenarnya ingin membunuh Utsman bin Hunaif akan tetapi mereka segera ingat bahwa saudara dari Utsman bin Hunaif yang bernama Sahl bin Hunaif (yang pada waktu itu menjabat sebagai gubernur kota Madinah) bisa saja membunuhi keluarga atau sanak kerabat mereka yang tinggal di kota itu sebagai tindakan balasan. Oleh karena itu, mereka akhirnya tidak jadi membunuh sahabat Rasulullah yang setia itu. Akan tetapi mereka akhirnya menerapkan juga hukuman kepada Utsman bin Hunaif. Mereka memukuli Utsman bin Hunaif sampai babak belur. Tidak sampai di situ, mereka belum puas juga………..akhirnya mereka mencabuti seluruh rambut yang ada di kepala dan wajah Utsman bin Hunaif; itu termasuk bulu alis dan janggut yang tumbuh di wajah Utsman bin Hunaif. Kemudian ‘Aisyah, Thalhah, Zubayr mengusir Utsman bin Hunaif itu keluar dari kota Basrah dimana ia pernah menjadi gubernur. Utsman bin Hunaif kemudian berjalan tertatih-tatih menuju ke tempat dimana Ali (sahabatnya) bersama pasukannya berkemah. Utsman bin Hunaif akhirnya sampai juga ke perkemahan pasukan Ali dengan keadaan yang sangat mengkhawatirkan.

Ali sangat sedih melihat keadaan Utsman bin Hunaif; dan ia sangat marah kepada Thalhah dan Zubayr yang telah mengusir Utsman bin Hunaif (sahabat Rasulullah yang setia itu). Ali hampir-hampir tidak mengenali Utsman bin Hunaif karena keadaan yang dideritanya itu. Ia mencoba untuk menghibur sahabat lama dari al-Mustafa itu walaupun dirinya juga sedih dan bercucuran air mata melihat keadaannya.

Pasukan pemberontak yang dipimpin oleh ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubayr itu akhirnya menjarah kota Basrah. Untuk saat itu, pasukan pemberontak telah sukses dengan target atau misi pertamanya yaitu menaklukan kota Basrah. Para pemimpin pasukan pemberontak itu kemudian mengusir para sahabat dan para pendukung Utsman bin Hunaif dari kota Basrah dan sebagian lagi dibunuhi oleh mereka.

Ali tidak punya pilihan lain selain memerintahkan pasukannya untuk segera menuju kota Basrah. Pasukan Ali berhenti dulu di Zawiya (sebelah utara kota Basrah); kemudian Ali mengirimkan surat kepada pasukan pemberontak sekali lagi. Isi surat itu memohon kepada pihak pemberontak agar mengurungkan niatnya; supaya tidak ada pertempuran dan tidak ada darah yang tercurah dari kedua belah pihak. Ali menginginkan perbedaan pendapat dari kedua belah pihak diselesaikan lewat perundingan dan bukan lewat peperangan.

Para pemimpin pemberontak tidak peduli sama sekali dengan surat yang dikirimkan oleh Ali. Akan tetapi akhirnya mereka juga setuju untuk bertemu di luar benteng kota……………..


Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta