(SERIAL PERANG UNTA 5) Ali mengampuni ‘Aisyah binti Abu Bakar dan Abdullah bin Zubayr

 

perang jamal

Zubayr itu adalah sepupu pertama dari Rasulullah. Ibunya adalah adik perempuan dari ayahnya Rasulullah. Zubayr dan Ali tentu saja telah saling kenal seumur hidupnya dan telah bekerja bersama-sama; bergaul bersama-sama sejak mereka berdua masih kecil. Ketika mereka akhirnya harus saling berhadapan dalam pasukan yang berlainan, Ali mencoba mengingatkan Zubayr akan masa-masa indah ketika mereka masih kecil dan beranjak remaja lalu dewasa. Masa-masa ketika mereka berdua (terutama Zubayr) masih patuh dan taat kepada Rasulullah. Ali mengingatkan bagaimana Zubayr muda masih setia kepada Rasulullah yang mulia. Ini tentu saja sangat memukul hati Zubayr. Dengan segera ia menitikkan air matanya dan dengan segera pula ia bersumpah bahwa ia tidak akan lagi menentang Ali. Ia tidak lagi akan melawan Ali dengan cara apapun juga.

Ketika pertempuran mulai berkecamuk, Zubayr—demi memenuhi sumpahnya kepada Ali—menarik diri dari medan perang. Ia kemudian pergi ke lembah gurun pasir yang tidak jauh dari medan perang dengan hati yang dipenuhi dengan kegalauan. Ia tampaknya ditengarai oleh seseorang yang kemudian mendekatinya dan membunuhnya. Akhirnya terbunuhlah secara sia-sia dan secara memalukan………………seseorang yang mulanya dikenal sebagai pahlawan awal kaum Muslimin. Sementara itu, pada saat yang bersamaan, Thalhah terluka oleh sebuah anak panah dan kemudian ia dibawa balik ke kota Basrah dan ia meninggal di sana (LIHAT: The Great Arab Conquests, halaman 320, 1967).

Zubayr dan Thalhah meninggalah sudah untuk suatu alasan yang sangat tidak masuk akal. Sebenarnya tampak sekali bahwa keduanya tahu alasan yang sebenarnya yang mendorong mereka untuk melakukan peperangan. Keduanya tahu bahwa alasan yang mereka ajukan itu mereka buat-buat sendiri dan itu sama sekali tidak masuk akal. Mereka berdua sebenarnya awalnya merupakan pahlawan-pahlawan Islam periode awal akan tetapi dalam pertempuran di Basrah ini nilai dan title kepahlawanan mereka hilang sama sekali . Mereka berdua sama sekali tidak menunjukkan sifat kepahlawanan mereka; dan mereka malah meninggal seperti dua ekor domba yang disembelih—keduanya tak berdaya. Penjelasan yang masuk akal atas semua ini adalah karena moral dari keduanya telah runtuh bahkan sebelum peperangan yang sebenarnya dimulai. Kekalahan mereka adalah kekalahan moral………………………………….

camel1[3]

Sebenarnya, baik Thalhah maupun Zubayr telah menemui jalan buntu. Pada awalnya mereka sangat bernafsu untuk melenyapkan Utsman bin Affan (khalifah ketiga dalam sejarah standar Islam) akan tetapi ketika Utsman telah benar-benar terbunuh (dan mereka berdua turut menjadi tersangka) mereka malah berbalik menuntut darah Utsman kepada orang yang sama sekali tidak turut serta dalam pembunuhan Utsman baik secara aktif maupun pasif. Mereka berdua tidak punya pilihan lain selain meneriakkan tuntutan balas dendam untuk Utsman bin Affan. Akan tetapi di sisi lain mereka sama sekali tidak mau pembunuhan Utsman itu diselidiki untuk mencari siapakah para pembunuh Utsman yang asli. Untuk menyelidiki dan menangkap para pembunuh Utsman itu jelas menjadi wewenang mutlak pemerintah yang hak yang berkuasa pada waktu itu yaitu Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi inilah yang ditakutkan oleh Thalhah dan Zubayr. Mereka sama sekali tidak mau pembunuhan Utsman itu diselidiki karena itu akan mengarah pada mereka berdua yang dulunya berperan aktif dalam peristiwa makar pembunuhan Utsman bin Affan. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri mereka ialah dengan cara membuat Negara menjadi rusuh dan kemudian menjadikan kerusuhan itu lestari hingga penyelidikan atas pembunuhan Utsman tidak lagi dilakukan dan mereka selamat dari tuntutan. Untuk ini mereka bisa dikatakan berhasil. Mereka dikatakan berhasil karena mereka memang berhasil mencegah Ali untuk tidak menyelidiki pembunuhan Utsman bin Affan. Mereka mencegah Ali dengan cara melakukan pemberontakan bersenjata atasnya.

Sangat mengherankan bagi kita melihat Thalhah dan Zubayr yang masuk Islam pada periode awal dan menjadi sahabat Nabi pada periode awal dengan mudahnya merusak perjanjian setia mereka kepada Islam. Sebenarnya kalau mereka berada dalam kebenaran dan kalau mereka mau mereka bisa menyuruh Ali untuk mengadakan penyelidikan atas pembunuhan Utsman bin Affan dan kemudian memberikan Ali tenggat waktu untuk itu. Dan Ali harus menahan para pembunuh Utsman itu sebelum tenggat waktu berakhir. Akan tetapi mereka tidak memberikan Ali tenggat waktu seperti itu; mereka malah langsung memberontak terhadap Ali dengan alasan bahwa mereka hendak menuntut darah Utsman bin Affan. Betapa mengherankan klaim kedua sahabat Nabi ini?!?!?!?

Beberapa sejarahwan mengatakan bahwa Ali meratapi kematian kedua sahabat Nabi ini. Ali menangis tersedu-sedu atas kematian Thalhah dan Zubayr ini. Kalau berita ini benar, maka itu mungkin karena Ali mengingat masa-masa indah dirinya dengan kedua sahabat Nabi itu (yang juga sahabatnya) dan mengingat masa-masa akhir yang buruk bagi keduanya. Thalhah dan Zubayr tampaknya telah membayar terlalu mahal untuk ambisi tinggi mereka.

Dengan matinya Thalhah dan Zubayr, unta yang ditunggangi oleh ‘Aisyah menjadi sasaran serbuan pasukan Basrah. Pasukan ‘Aisyah bertempur mati-matian dengan gagah berani . Mereka menjaga ‘Aisyah dari serbuan di sekeliling mereka. Tiba-tiba ada seseorang menarik tali kekang kudanya untuk berhenti di dekat unta itu. Dia adalah sahabat Ali; tangan kanannya Ali. Dia adalah Malik bin Asytar. Seseorang yang tadinya melindungi unta ‘Aisyah maju kedepan. Dengan segera ia kehilangan tangannya sampai siku dipotong oleh Malik bin Asytar. Satu orang lagi maju; nasibnya sama…………ia kehilangan tangannya juga. Satu lagi maju; hilang juga tangannya. Satu lagi maju, nasibnya sama………..hingga akhirnya berkumpullah orang-orang yang meraung-raung kesakitan karena telah kehilangan tangan yang tadinya memegang pedangnya masing-masing.

164743_160786093966706_127424833969499_314440_6049228_n

Malik masih terus mengayun-ngayunkan pedangnya memotong satu persatu tangan yang mencoba memegang tali kekang untanya ‘Aisyah. Hingga akhirnya ia melihat Abdullah bin Zubayr (puteranya Zubayr bin Awwam). Abdullah bin Zubayr adalah si pemakan api di pasukan Mekah; ia adalah keponakan terkasih dari ‘Aisyah binti Abu Bakar; dan sekarang ia terlihat dengan sebilah pedang terhunus. Abdullah bin Zubayr adalah termasuk aktor utama dalam peperangan Basrah (perang unta) ini dimana ribuan kaum Muslimin terbunuh. Jika bukan karena hasutan Abdullah bin Zubayr; mungkin saja peperangan ini tidak perlu terjadi dan tidak bakal terjadi.

Malik dengan segera melupakan untanya ‘Aisyah sejenak dan segera ia menyergap Abdullah bin Zubayr; kemudian Malik bin Asytar memukul Abdullah bin Zubayr hingga jatuh tersungkur ke tanah. Ketika Malik bin Asytar menodongkan pedangnya kea rah tenggorokan Abdullah bin Zubayr, ‘Aisyah binti Abu Bakar menjerit keras karena ia mengira bahwa Malik akan langsung membunuh Abdullah bin Zubayr dengan memotong leher keponakannya yang sangat ia cintai itu. Dengan kepanikan yang luar biasa, ‘Aisyah binti Abu Bakar berteriak: “Tolong selamatkan Abdullah………….lihat Malik akan membunuhnya.”

Akan tetapi siapa yang berani? Siapa yang berani dari kalangan pasukan pemberontak untuk menyelamatkan Abdullah bin Zubayr? Karena setiap orang yang berani mendekat pastilah ia akan terbunuh dengan mudah atau terpotong tangannya tanpa ampun. Hanya ada satu orang yang bisa menyelamatkan Abdullah bin Zubayr dari kematiannya; dan orang itu ialah Malik bin Asytar sendiri!!!! Ketika ia mendengar ‘Aisyah menjerit histeris, ia berkata kepada Abdullah bin Zubayr, “Aku sebenarnya sangat ingin membunuhmu dengan pedangku, akan tetapi aku akan memberimu kesempatan untuk hidup hanya karena hubungan kekerabatanmu dengan Rasulullah.”

Malik akhirnya membiarkan Abdullah bin Zubayr hidup bukan karena belas kasihan melainkan karena penghormatannya pada Rasulullah. Abdullah kemudian segera bangkit dari tanah dan membersihkan dirinya dari debu pasir yang mengotori pakaiannya. Ia kemudian segera berlalu menjauh dari Malik dan bersumpah untuk tidak lagi tertangkap olehnya.

Malik sendiri kemudian kembali mengayun-ayunkan pedangnya kepada pasukan pemberontak. Akan tetapi tampaknya pasukan pemberontak itu belum jera juga walaupun banyak dari mereka sudah kehilangan tangannya oleh sabetan pedang Malik bin Asytar. ‘Aisyah member mereka semangat ganda dengan teriakan-teriakannya yang membahana. ‘Aisyah berteriak, “Kalian akan diberkati semuanya! Kemenangan akan beserta kalian karena kalian berperang untuk membela ibumu dengan gagah berani.”

Akhirnya Malik bin Asytar kelelahan karena sudah bertempur dengan sekuat tenaga memotong-motong tangan dari anggota pasukan pemberontak. Ia akhirnya memutuskan untuk menghentikan aksinya. Ia menjejakkan kakinya ke tubuh-tubuh mayat yang ada di sekitar untanya ‘Aisyah dan kemudian ia mengayunkan pedangnya dan membunuh untanya ‘Aisyah.

Unta ‘Aisyah jatuh ke tanah dengan darah segar keluar dari tubuhnya. ‘Aisyah terjatuh dari haudah atau tandunya yang terletak di punuk unta itu. ‘Aisyah jatuh ke tanah tapi tanpa luka yang berarti. Ali kemudian mengutus saudaranya ‘Aisyah yaitu Muhammad bin Abu Bakar beserta Ammar bin Yasir untuk meletakkan haudah itu di atas tanah dan kemudian membimbing ‘Aisyah masuk kedalam haudah itu dan membawanya kembali ke kota Basrah dengan penuh kemuliaan. Ali tidak ingin mempermalukan janda dari orang yang mencintai dan dicintai oleh dirinya yaitu Rasulullah.

unta

Unta ‘Aisyah itu telah menjadi simbol peperangan. Ketika simbol peperangan itu sudah hilang, dengan serta merta pasukan Basrah tidak lagi memiliki alasan yang kuat untuk terus berperang. Pasukan itu mulai berpisah satu sama lainnya. Masing-masing mulai meninggalkan medan peperangan tanpa berkata-kata lagi kepada yang lainnya. Pasukan itu malah sudah melupakan ‘Aisyah yang tadinya mereka bela mati-matian. Dengan cepat sekali medan perang itu ditinggalkan orang-orang kecuali oleh orang-orang yang sudah meninggal dan terluka berat. Karena Ali sudah melarang pasukannya agar tidak mengejar pasukan musuh yang lari, maka sebagian besar dari pasukan pemberontak itu berhasil melarikan diri dan perang akhirnya benar-benar berakhir.

Ali mengumumkan sekali lagi perintah yang sudah ia berikan sebelumnya sebelum perang yaitu orang-orang yang meninggal tidak boleh dirampok harta bendanya; mereka juga tidak boleh dimutilasi tubuhnya. Tenda-tenda pasukan musuh tidak boleh dijarah dan pasukan musuh yang sudah menyerah tidak boleh dibunuh. Ali menyuruh pasukannya untuk menunjukkan kelembutan, pengendalian diri, walau tetap penuh ketegasan dan disiplin—aspek-aspek yang dianggap sebagai sifat luhur yang seharusnya dimiliki oleh pasukan Muslimin dimana saja mereka berada.

Perang unta itu terjadi pada bulan Desember, tahun 656. Ketika pasukan musuh mundur, Ali memerintahkan untuk tidak mengejar mereka yang lari dan tidak membunuh mereka yang tinggal. Ketika Ali memasuki kota Basrah, ia mencoba untuk mendekati semua pihak. Pasukan musuh yang kalah diperlakukan dengan kemurah-hatian. Ali mengusahakan agar mereka melupakan apa yang telah lalu ……………… dan mungkin karena kemurah hatian dan kerendah hatian Ali—seperti yang diungkapkan oleh penulis Kristen bernama Sir John Glubb, maka Ali berkehendak untuk mempersatukan lagi orang-orang yang bertikai.” (LIHAT: Ther Great Arab Conquests, halaman 322, thn. 1963)

Ali juga memperingatkan pasukannya agar tidak merusak kota Basrah dan tidak menumpahkan darah kaum Muslimin yang ada di kota itu. Akan tetapi tidak semua sepakat dengannya. Sebagian dari mereka yang tergabung dalam pasukan Ali ada yang tidak pilih-pilih ketika hendak menumpahkan darah kaum Muslimin; mereka hanya menumpahkan darah—tanpa berpikir bahwa darah yang ia tumpahkan itu halal atau tidak.

‘Aisyah berusaha untuk menemui Ali bin Abi Thalib dan meminta Ali agar mau mema’afkan keponakannya yang sekaligus anak angkatnya yaitu Abdullah bin Zubayr. ‘Aisyah memohon-mohon agar Ali tidak menghukumnya. Ali berkata: “Pengampunan bukan saja untuk Abdullah bin Zubayr. Pengampunan saya berikan untuk semua orang.”

Ali kemudian tidak saja membebaskan Abdullah bin Zubayr melainkan juga musuh lainnya yang sangat jahat seperti Marwan bin Hakam (kelak ia akan menjadi khalifah kaum Muslimin), Walid bin Aqaba, Abdullah bin Aamir, dan seluruh anggota keluarga dari Bani Umayyah.

Tidak pernah ada dalam sejarah dunia manapun seorang penguasa—seorang penakluk—yang memperlakukan pasukan musuh yang ditaklukannya semurah hati seperti yang ditunjukkan Ali (tanpa menghitung kemurah hatian yang sama seperti yang ditunjukkan oleh Rasulullah). Dalam memperlakukan dan memberikan pengampunan kepada kaum pemberontak, Ali meniru apa yang telah dilakukan oleh sahabat terkasihnya yaitu Muhammad al-Mustafa. Muhammad al-Mustafa—Rasulullah yang mulia—juga telah melakukan hal yang serupa ketika ia mengampuni kaum Musyrikin Mekah (diantara mereka terdapat musuh-musuh Muhammad yang paling kejam dan paling keras kepala). Itu dilakukan oleh Muhammad ketika ia menaklukan kota Mekah. Ali mengikuti jejak langkah Muhammad; seluruh hidupnya ia tiru setiap perbuatan Muhammad.

Beberapa hari kemudian, ‘Aisyah memutuskan untuk berangkat ke kota Mekah. ‘Aisyah meminta Ali untuk mengantarkannya dan Ali menyanggupinya. Saudara ‘Aisyah, Muhammad bin Abu Bakar juga pergi bersama ‘Aisyah. Sesampainya di kota Mekah, ‘Aisyah menunaikan ibadah umrah dan setelah selesai ia pergi ke kota Madinah.

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta