(SERIAL PERANG UNTA 6—HABIS) TOKOH “ABDULLAH BIN SABA” DICIPTAKAN UNTUK MENUTUPI AIB ‘AISYAH, THALHAH DAN ZUBAYR

 

perang jamal

‘Aisyah dikenal di kalangan muslimin mayoritas sebagai orang yang berpengetahuan luas dalam masalah agama dan ia juga dikenal sebagai seorang ahli hadits (muhaditsah)—yaitu seorang yang suka melaporkan hadits-hadits dari Rasulullah. Karena dikenal sebagai orang yang berpengetahuan luas, maka seharusnya ia tidak mungkin tidak tahu bahwa ia tidak punya hak sama sekali untuk menuntut darah Utsman. Seharusnya ia tahu bahwa ia sama sekali tidak berhak. Membalas dendam itu haknya atau urusannya dari keluarga yang ditinggalkan—yaitu keluarganya Utsman. Dan hak untuk menjatuhkan hukuman kepada si pelaku adalah hak dan kewajiban dari pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. Dan sekali lagi, itu bukannya hak ‘Aisyah.

‘Aisyah sama sekali tidak ada hubungan darah dengan Utsman bin Affan. ‘Aisyah juga bukan seorang wakil pemerintah; ia bukan kepala negara dan juga bukan seorang hakim. Akan tetapi ‘Aisyah tetap memaksakan diri untuk melaksanakan “hak”nya itu. Ia mengambil alih tugas yang seharusnya ada pada pemerintah. Atas nama balas dendam ia menggerakkan begitu banyak orang dan memasukkannya kedalam peperangan yang sengit. Obsesinya untuk melangsungkan peperangan telah membuat ribuan anak-anak menjadi yatim tak berayah; dan ribuan isteri mendadak menjadi janda. ‘Aisyah telah menggalang sebuah peperangan yang sama sekali bukan haknya.

Seorang wanita yang bernama Ummu Aufa al-Abdiyya bertanya kepada ‘Aisyah, “Wahai ummul mukminin, apa pendapat anda tentang seorang ibu yang membunuh anaknya?” ‘Aisyah menjawab bahwa perbuatan itu bisa menggiring si ibu itu ke neraka. Ummu Aufa kemudian bertanya lagi, “Apa yang akan terjadi kepada seorang wanita yang telah membunuh 20,000 orang anaknya dalam waktu yang sama di tempat yang sama?” ‘Aisyah segera sadar bahwa yang dimaksud ialah dirinya sendiri dan kemudian dengan marah ia berteriak dengan keras mengusir Ummu Aufa (LIHAT: Iqd-ul-Farid, vol. III, halaman 108).

Beberapa anggota keluarga dari ‘Aisyah sama sekali tidak menghendaki ‘Aisyah berperang dan memimpin pasukan pemberontak untuk memberontak pemerintahan yang sah dari Ali bin Abi Thalib. Pada suatu kesempatan ‘Aisyah mengirimkan sebuah pesan kepada salah satu keponakannya yang bernama Ibn Abil Atiq. ‘Aisyah meminta kesediaan dari Ibn Abil Atiq untuk mengirimkan sebuah keledai yang akan ditunggangi oleh ‘Aisyah. Ketika keponakannya menerima pesan ini, ia berkata kepada si pembawa pesan:

“Katakan kepada ummul mukminin bahwa demi Allah ia belum bebas dari dosa-dosanya dalam perang unta, apakah sekarang ia akan memulai perang yang baru yaitu perang keledai?” (LIHAT: Baladzuri dalam Ansab al-Ashraf, vol. III, halaman 431)

Kata-kata Ibn Abil Atiq dengan segera menjadi bahan olok-olokan dan candaan pada waktu itu. Dan anehnya pada tahun 669, olok-olokan itu akhirnya menjadi kenyataan. Pada tahun 669—tahun dimana Hasan bin Ali bin Abi Thalib syahid diracun isterinya—iringan pembawa jenazah Hasan bin Ali memasuki pelataran makam kakeknya yaitu Muhammad al-Mustafa, Rasulullah yang mulia. Hasan bin Ali akan dikebumikan tepat di samping kuburan kakeknya yang terkasih. Pada waktu itulah, ‘Aisyah datang kesana dengan mengendarai seekor keledai. ‘Aisyah hendak melarang orang-orang mengebumikan jenazah Hasan bin Ali—putera dari musuhnya yaitu Ali bin Abi Thalib. Marwan bin Hakam dan anggota keluarga Bani Umayyah lainnya datang juga kesana dengan berpakaian perang lengkap sekali. Mereka juga memiliki niatan yang sama yaitu melarang orang-orang mengebumikan Hasan bin Ali di sana (Kuburan Rasulullah itu telah menjadi semacam simbol. Siapapun yang dikebumikan di sampingnya akan dianggap mulia. Abu Bakar dan Umar bin Khattab dianggap mulia karena keduanya dikuburkan berdampingan dengan Rasulullah. Maka dari itu, Bani Umayyah tidak ingin orang lain mendapatkan kemuliaan yang sama; terutama keluarga Nabi yang merupakan musuh mereka—red). ‘Aisyah datang kesana dengan mengendarai seekor keledai. Segera saja ini mengingatkan orang-orang ketika ia mengendarai seekor unta untuk memulai perang saudara!!!!

‘Aisyah memang kalah dalam Perang Unta di kota Basrah akan tetapi ia menang dalam “Perang Keledai” di Madinah. Hasan bin Ali bin Abi Thalib akhirnya memang tidak bisa dikuburkan di Madinah di samping kuburan kakeknya. Bala tentara Bani Umayyah dan peran ‘Aisyah dalam menentang penguburan itu menyebabkan Hasan bin Ali akhirnya harus dimakamkan di Jannat-ul-Baqi (kompleks pekuburan untuk kaum Muslimin dari kalangan sahabat, isteri-isteri dan kerabat Nabi—red.).

Tidak ada alasan untuk membenarkan tindakan jahat yang dilakukan oleh ‘Aisyah binti Abu Bakar, Thalhah bin Ubaydillah dan Zubayr bin Awwam setelah kematian Utsman bin Affan. Fakta bahwa mereka itu orang-orang terkenal dan terkemuka dalam sejarah Islam sama sekali tidak membuat mereka terbebas dari tuduhan atas apa-apa yang mereka lakukan. Suatu kesalahan itu tidak akan berkurang bobotnya hanya karena orang yang melakukan kesalahan itu adalah orang yang ternama dan terkemuka. Kesalahan itu tetaplah kesalahan dan tidak akan berubah menjadi kebaikan hanya karena orang yang melakukannya orang besar dan berpengaruh. Di depan hukum semua orang sama dan tidak boleh diperlakukan berbeda.

Para isteri Rasulullah sudah selayaknya bertindak hati-hati dalam kehidupannya sehari-hari. Mereka harus menjaga tingkah laku dan perkataan serta sopan santun. Mereka seharusnya menjadi contoh yang baik bagi umat Islam; dan prilakunya hendaknya bisa menjadi suri teladan. Hilangnya martabat, wibawa dan harga diri bisa saja terjadi pada isteri-isteri orang awam dan kemudian dima’afkan oleh umat, akan tetapi kalau itu terjadi pada diri isteri-isteri Rasulullah maka itu sama sekali tidak terma’afkan. Untuk itu Al-Qur’an berkata:

“Hai istri-istri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS. Al-Ahzab: 30)

(Isteri-isteri Nabi akan diberi hukuman berlebih kalau berbuat salah; isteri-isteri orang-orang awam hanya diberikan hukuman yang setimpal saja dan tidak digandakan seperti yang dijelaskan dalam ayat di atas—red.)

Beberapa sejarawan mencoba untuk menghapus trauma sejarah ini agar tidak berdampak besar terhadap orang-orang yang terlahir kemudian dengan mencoba mengecilkan kejadian-kejadian itu. Mereka berkata bahwa tindakan-tindakan jahat yang dilakukan oleh orang-orang yang menggelorakan “Perang Unta” itu adalah kesalahan kecil saja yang disebabkan oleh “kesalah-pahaman. 10,000 orang Muslimin terbunuh begitu saja di kota Basrah hanya untuk sebuah “kesalah-pahaman” saja yang dilakukan oleh kaum pemberontak. Membunuh ribuan nyawa orang dianggap sebagai perbuatan sederhana saja.

Kemudian lebih jauh lagi mereka membuat-buat sumber rujukan. Mereka menimpakan kesalahan kepada seorang tokoh misterius dan fiktif yang mereka berinama “Abdullah bin Saba”. Menurut beberapa sejarawan Sunni “Abdullah bin Saba” lah yang bertanggung jawab atas pembunuhan Utsman bin Affan. Beberapa sejarahwan Sunni bertindak lebih jauh lagi dengan “mendaur-ulang” tokoh fiktif “Abdullah bin Saba” ini untuk menjelaskan kejadian-kejadian yang membingungkan dan tidak mengenakkan. Mungkin ini adalah “penemuan yang menakjubkan” dalam dunia penulisan sejarah.

Menurut sejarawan Sunni ini , “Abdullah bin Saba” dan “para pengikutnya” meminta balas dendam. Mereka yakin sekali apabila Ali lebih memilih jalan damai dan kemudian berhasil, maka merekalah yang akan menjadi korbannya. Oleh karena itu, “Abdullah bin Saba” dan “para pengikutnya” tidak menghendaki jalan damai ini dan berusaha sekuat tenaga untuk menjerumuskan umat Islam kedalah perang saudara karena hanya dengan inilah maka ia akan selamat.

Karena alasan inilah (menurut sebagian sejarawan Sunni), maka “Abdullah bin Saba dan para pengikutnya” menyerang pada malam hari. Mereka menyerang kedua pasukan yang sedang berhadapan secara terus menerus; dalam kegelapan. Kedua pasukan itu (pasukan Ali dan pasukan ‘Aisyah) tidak bisa melihat dalam gelap para provokator yang sedang beraksi; dan oleh karena itu kedua belah pihak merasa yakin bahwa lawan-nya lah yang menyerang mereka.

Tokoh “Abdullah bin Saba” itu diciptakan dan diindoktrinasikan ke dalam benak kaum Muslim untuk menutupi aib yang sudah tertorehkan dalam wajah sejarah Islam. Ini “penemuan sejarah” yang menakjubkan!!!

Akan tetapi walaupun tokoh “Abdullah bin Saba” itu merupakan penemuan yang mengagumkan tetap saja ada kelemahannya yang sangat mendasar. Penemuan tokoh “Abdullah bin Saba” itu tidak bisa menjawab semua pertanyaan ilmiah yang diajukan untuk menguji sebuat fakta sejarah. Penemuan tokoh “Abdullah bin Saba” ini pada akhirnya tidak bisa menutupi dengan sempurna kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para penggerak Perang Unta. Apakah “Abdullah bin Saba” yang telah melanggar perjanjian damai dengan Utsman bin Hunaif? Apakah “Abdullah bin Saba” yang menyerang kota Basrah pada malam hari kemudian menaklukannya dan menjarah harta benda yang ada di dalamnya? Apakah “Abdullah bin Saba” yang telah membunuh 600 orang Muslim di dalam kota itu? Apakah “Abdullah bin Saba” yang telah mengancam Utsman bin Hunaif; kemudian menyiksanya secara sadis dan mengusirnya dari rumahnya sendiri, dari kota Basrah?

Masih ingatkah anda ketika Ali mengirimkan Abdullah bin Muslim untuk mengadakan perjanjian damai dengan membawa sebuah salinan Al-Qur’an agar kaum Muslimin yang memusuhi mereka segan dan bersedia untuk damai? Apakah anda masih ingat pasukan pemberontak itu menembakkan anak-anak panah ke arah Al-Qur’an itu dan kemudian membunuh si pembawanya (yaitu Abdullah bin Muslim)? Apakah yang menyuruh untuk menembakkan anak panah itu “Abdullah bin Saba”? Apakah “Abdullah bin Saba” sendiri yang menembakkan anak panahnya?

Siapa pula yang menembakkan anak-anak panah ke arah pasukan Ali? Apakah “Abdullah bin Saba”? Para pemanah dalam barisan pasukan pemberontak telah menewaskan kurang lebih 20 anak muda sebelum akhirnya Ali menyuruh pasukannya untuk membalas. Apakah para pemanah yang telah menewaskan anggota pasukan Ali itu bertindak tanpa sepengetahuan ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubayr? Kalau mereka tahu, apakah mereka mencegahnya atau malah merekalah yang menyuruhnya?

‘Aisyah hidup cukup lama setelah kejadian Perang Unta berakhir, akan tetapi aneh sekali………………..aneh sekali………………….ia tidak pernah sama sekali menyebut-nyebut tentang “Abdullah bin Saba” dan perannya sebagai pemicu Perang Unta. ‘Aisyah malah seringkali berkata bahwa ia berkeinginan untuk mati sebelum kejadian Perang Unta itu terjadi—dimana ribuan Muslim terbunuh. Kalau seandainya “Abdullah bin Saba” itu tokoh sejarah yang nyata, maka ‘Aisyah akan menimpakan semua kesalahan kepada “Abdullah bin Saba”. ‘Aisyah akan menyebutkan bahwa “Abdullah bin Saba” lah yang telah membunuh kaum Muslimin dalam perang Basrah (Perang Unta) itu. Itu sama sekali tidak tertulis dalam buku sejarah karena tokoh “Abdullah bin Saba” baru dimasukkan kedalam sejarah setelah Perang Basrah (Perang Unta) usai. Tokoh “Abdullah bin Saba” diciptakan setelah ‘Aisyah meninggal dunia. Kitab sejarah yang ditulis sebelum tokoh “Abdullah bin Saba” itu diciptakan sama sekali tidak menyebut tentang keberadaan tokoh fiktif ini.

Apabila tokoh “Abdullah bin Saba” itu memang benar-benar ada, maka ia akan menjadi pusat kejadian dan pusat berita sepanjang masa karena ia telah memerankan peran yang teramat besar dalam sejarah Islam. Mengapa ia tidak hadir dalam Perang Shiffin dan Nahrawan? Mengapa ia tidak ikut memicu kedua perang itu setelah ia sangat sukses dalam menciptakan perang di Basrah? Mengapa ia tidak menjadikan Mu’awiyyah dan kaum Khawarij sebagai korban berikutnya? (Kaum Syi’ah dituduh sebagai para pengikut tokoh fiktif “Abdullah bin Saba” yang dianggap menyebarkan kebencian terhadap Mu’awiyyah dan para keturunannya—red). Mengapa tokoh sekaliber “Abdullah bin Saba” ini hanya memerankan peran kecil saja dan “muncul” hanya sekali saja dalam panggung sejarah Islam?

Abdullah bin Saba memang tak diragukan lagi merupakan tokoh imajiner atau khayalan. “Abdullah bin Saba” itu diciptakan oleh para pengagum tokoh-tokoh partisan dalam sejarah Islam. Maksud mereka ialah untuk melindungi kehormatan dan harga diri dari orang-orang yang mereka puja itu. Kalau bisa mereka akan sembunyikan identitas orang-orang itu agar tidak tampak sebagai orang-orang yang melakukan tindakan jahat memicu perang saudara antara kaum Muslimin. Orang-orang yang mereka puja inilah sebenarnya yang bertanggung-jawab atas pembunuhan Utsman bin Affan, sang khalifah. Mereka juga yang bertanggung-jawab atas terjadinya perang saudara di Basrah. Para sejarawan Sunni (sebagian saja dari mereka) ingin sekali reputasi dari tokoh-tokoh ini terhindar dari penilaian sejarah yang bisa memberatkan tokoh-tokoh ini. Mereka ingin melemparkan beban sejarah ini kepada tokoh yang mereka buat……………..sengaja agar tidak ada tuntutan dari pihak manapun di kelak kemudian hari. Karena kalau yang dituduhnya orang yang sama sekali tidak ada, maka tidak akan ada tuntutan darimanapun atas pencemaran nama baik.

“Abdullah bin Saba” adalah tokoh yang sangat fenomenal dalam sejarah Islam. Ia digambarkan sangat sukses dalam menarik orang-orang agar mau pergi dan berkumpul di Basrah. Ia berhasil menarik ‘Aisyah yang digambarkan tidak bersedia ikut—akhirnya ikut. Ia berhasil menarik jenderal yang “cinta damai” macam Thalhah dan Zubayr; kemudian Abdullah bin Zubayr dan Marwan bin Hakam bersama seluruh bala tentaranya. “Abdullan bin Saba” berhasil menarik atau menyeret mereka melintas padang pasir jazirah Arab yang demikian luasnya untuk kemudian bersama-sama menyerang pasukan Ali. Kaum Muslimin tampaknya tidak hanya patuh dan taat pada “Abdullah bin Saba” akan tetapi mereka juga rela mati untuk “Abdullah bin Saba”. Dan akhirnya memang banyak dari mereka benar-benar mati di kota Basrah. Mati untuk “Abdullah bin Saba”. Pastilah ia orang yang sangat karismatik sehingga bisa menggerakan ribuan orang ke satu titik. Bergerak untuk mati. Tidak diperlukan kecerdasan yang tinggi untuk menarik kesimpulan bahwa tokoh ini sangat kuat dan penting. Tapi aneh sekali……………………….orang ini hanya “muncul” sekali dalam sebuah peristiwa yang merupakan satu titik saja dalam perjalanan sejarah Islam………………Aneh sekali!!!!

Keanehan yang lain ialah tampaknya tokoh yang diciptakan para sejarawan Sunni ini kelihatannya sangat pemalu. “Abdullah bin Saba” lengkap dengan segala karisma, kemampuan diplomatis dan kemampuan tipu muslihatnya tak pernah tampil di muka umum. Ia kelihatannya sangat “alergi” terhadap publisitas. Segera setelah Perang Unta itu berakhir, ia lenyap begitu saja seperti ditelan bumi, dan ia selamanya tidak muncul kembali. Ia mungkin “mati” tanpa dikenal dan tanpa diratapi kepergiannya. Tampaknya, para penulis sejarah “mematikan” dia setelah tugasnya selesai. Tugas yang diembannya ialah: bertindak sebagai kambing hitam dari perbuatan yang dilakukan oleh para tokoh pemberontak di Perang Unta yaitu ‘Aisyah, Thalhah, Zubayr dan anaknya, Abdullah bin Zubayr. Setelah tugas “Abdullah bin Saba” selesai, selesai pula “hidupnya”.

Perang Unta adalah salah satu dari beberapa tragedi kemanusiaan terbesar yang ada dalam sejarah Islam. Perang itu berhasil mengoyak-ngoyak kesatuan umat Islam dan tampaknya trauma dari Perang Unta itu tetap membekas sampai sekarang setelah puluhan abad berselang. Banyak dari sejarawan Muslimin tampaknya sangat hati-hati dalam membicarakan Perang Unta itu karena isu-isu tertentu dalam perang itu sangat sensitif sekali. Para sejarawan itu mencoba untuk mengelabui para pembaca sejarah. Alasan utama mereka ialah karena mereka tahu bahwa para pemimpin pasukan pemberontak (yang memberontak terhadap khalifah yang hak, yaitu Ali ) adalah para sahabat Nabi yang terkenal dan oleh karena itu mereka harus dilindungi kehormatannya; mereka harus disterilkan dari setiap tuduhan. Mereka melakukan itu karena menurut mereka memang orang-orang itu memiliki hak-hak khusus yang didapatkan dari status mereka yang juga khusus. Jadi pantas saja kalau mereka mendapatkan perlakuan lunak di depan hukum.

Akan tetapi kesetiaan seorang sejarawan seharusnya diberikan kepada kebenaran dan bukan kepada perseorangan. Seorang sejarawan harus tunduk pada fakta kebenaran dan bukan pada persona yang dimuliakan meskipun persona itu para sahabat Nabi sekalipun. Tugas seorang sejarawan itu ialah menyampaikan fakta. Ia juga boleh menganalisa sebuah fakta kemudian menerjemahkan fakta tersebut atau mengambil kesimpulan dari fakta-fakta yang ia kumpulkan. Akan tetapi seorang sejarawan tidak boleh mengaburkan sebuah fakta; tidak boleh menghilangkan sebuah fakta; tidak boleh merekayasa sebuah fakta. Seorang sejarawan hendaknya memberikan peluang kepada para pembaca sejarah untuk menentukan tafsirannya masing-masing atas fakta yang ia tuliskan. Seorang sejarawan akan memberikan kesempatan bagi para pembaca sejarah untuk mengambil kesimpulan tentang benar tidaknya seorang sahabat Nabi dalam konteks sejarah. Seorang sejarawan tidak boleh mengelabui para pembaca sejarah dengan menciptakan keraguan atau menggiring para pembaca sejarah ke arah penafsiran yang menyimpan dari fakta sejarah. Kalau seorang sejarawan melakukan itu, maka itu artinya ia turut bertanggung-jawab atas penyebaran kebohongan!

Seandainya Perang Basrah atau Perang Unta itu tidak terjadi, maka Perang Siffin dan Nahrawan pun takkan pernah terjadi. Benih-benih perselisihan di dalam tubuh masyarakat Islam sudah disemaikan dan memuncak di Perang Basrah. Seandainya saja ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubayr tidak menentang pemerintahan Islam yang adil yangsedang berkuasa pada waktu itu, maka pintu-pintu perpecahan takkan pernah terbuka.

Para pemberontak dalam Perang Basrah itu adalah manusia-manusia petualang yang masing-masing individunya memiliki ambisi tertentu (seperti Thalhah dan Zubayr), kebencian (seperti kebencian ‘Aisyah terhadap Ali), perasaan bersalah dan kecemburuan. Perasaan kecewa menjadi dasar untuk mereka bersatu. Mereka kecewa karena kepentigannya, ambisinya, mimpi-mimpinya tak kesampaian karena Ali memerintah tidak atas dasar pemenuhan keinginan manusia yang itdak semuanya selaras dan sepakat dengan Islam melainkan karena Ali memerintah atas perintah Tuhan. Apa yang dilakukan oleh para pemberontak itu benar-benar kontra produktif.

Apakah para sejarawan Muslim pernah sekali saja berpikir sejenak apabila kaum pemberontak itu berhasil dalam misinya? Apakah para sejarawan Muslim itu pernah berpikir apabila Ali terbunuh dalam Perang Unta…….apakah yang akan terjadi setelahnya? Mungkin kejadian berikut akan terjadi apabila pihak Ali kalah dalam perang itu:

1) Karena mereka memiliki rasa kebencian tertentu terhadap Ali dan keluarganya (keluarga Nabi), maka kemungkinan besar apa yang terjadi di Karbala (tahun 680, dimana keluarga Nabi dibantai secara keji oleh Yazid bin Mu’awiyyah) akan terjadi lebih awal di Basrah (tahun 656). Pembantaian keluarga Nabi akan terjadi lebih awal.

2) Setelah itu kemungkinan besar pasukan pemberontak yang dipimpin oleh ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubayr akan bertempur lagi melawan Mu’awiyyah (pada waktu itu menjabat sebagai gubernur Syria) yang punya ambisi tinggi.

‘Aisyah, Thalhah, dan Zubayr akan membentuk aliansi kekuatan kembali di satu pihak melawan aliansi Mu’awiyyah bersama Amr bin Aas di pihak lain. Kaum Muslimin tentu saja akan terbelah dua lagi atau mungkin lebih—masing-masing akan mencoba untuk menghabisi lawannya. Dan pada akhirnya kaum Muslimin akan menciut dalam jumlah seperti yang terjadi setelah Perang Basrah, dimana 10,000 lebih nyawa tercabut sudah.

Patut dicatat di sini ialah bahwa kedua aliansi kekuatan di atas sangat berbeda sifatnya dengan pasukan yang dikomandoi oleh Ali. Kedua aliansi itu sepertinya tidak memiliki hambatan apapun untuk mencurahkan darah lawannya. Sementara itu pasukan Ali dianggap lemah karena mereka lebih cinta damai daripada lawan-lawannya. Oleh karena itu, apabila aliansi kekuatan dari lawan-lawannya itu bertarung satu sama lainnya, maka akan bisa dibayangkan pertempuran akan berlangsung sangat keras dan kejam. Apabila aliansi kekuatan yang dipimpin oleh ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubayr bertarung melawan aliansi kekuatan yang dipimpin oleh Mu’awiyyah dan Amr bin Aas, maka kaum Muslimin akan berkubang dalam banjir darah dan kemudian menyisakan kekosongan kekuasaan yang kemungkinan akan diisi oleh pihak musuh yang memanfaatkan hal itu. Kekuatan kekaisaran Byzantium yang sangat ingin menguasai dunia akan mengambil kekosongan ini. Pada akhirnya sinar Islam akan redup dan kemudian mati!

Kaum pemberontak pimpinan ‘Aisyah dan Thalhah serta Zubayr telah ceroboh sekali karena menciptakan perang yang akan berkembang menjadi sebuah bencana yang besar yang akan menghancurkan kaum Muslimin. Untunglah, Ali yang memiliki visi yang baik dengan sisi humanisnya yang sama baiknya bisa meredam ini semua dan menyelamatkan umat Islam dari kehancuran. Sikap kenegarawanan dan kemampuannya dalam mengendalikan umat menjadi nilai tambah untuk mengendalikan keadaan. Allahumma shali ‘ala Muhammad wa Aaali Muhammad!

Sebagian sejarawan Ahlu Sunnah masih juga membela kaum pemberontak ini dengan mengatakan bahwa kaum pemberontak yang memerangi Ali itu sudah menyesali perbuatannya dan mereka sudah bertobat; dan oleh karena itu mereka sekarang sudah bersih dari dosa. Akan tetapi tidak ada catatan sejarah seperti itu yang sampai pada kita. Kita tidak pernah membaca bahwa mereka itu bertobat. Ali sudah memberikan mereka ma’af dan menawarkan kepada mereka kesempatan untuk bertobat, akan tetapi tawaran itu selalu mereka tolak.

Kalau saja benar mereka bertobat, maka Allah-lah yang akan menerima atau menolak tobat mereka. Allah akan menerima tobat mereka kalau mereka benar-benar tulus. Akan tetapi kita hanya mengetahui apakah mereka benar-benar bertobat atau apakah tobat mereka itu diterima oleh Allah itu nanti di akhirat kelak. Sementara itu, seperti yang telah kita bahas di atas, sebagian para sejarawan Sunni mencoba untuk menutup-nutupi kesalahan kaum pemberontak itu dengan berbagai usaha; dan itu kelihatan sekali dengan jelas apabila kita belajar sejarah dengan teliti.

Setelah Perang Unta berakhir, Ali mendirikan shalat untuk kedua belah pihak yang bertikai. Ali menyuruh pasukannya untuk menguburkan semua jenazah yang ada di medan perang. Ali juga memerintahkan pasukannya agar menghormati setiap jenazah tanpa membeda-bedakan apakah itu kawan maupun lawan.

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta