PENYERBUAN KE RUMAH FATHIMAH BINTI MUHAMMAD AR-RASULULLAH (referensi dari Sunni)

PENYERBUAN KE RUMAH BUNDA FATHIMAH (as) MENUNJUKKAN PEMAKSAAN 
BAI’AT ATAS ABU BAKAR



Para ahli hadits dari kalangan Sunni meriwayatkan bahwa pada hari Saqifah
(Hari Pengangkatan Abu Bakar oleh segelintir orang di Saqifah Bani Sa’idah) Umar berkata: 

“Ali Ibn Thalib, Zubayr Ibn Awwam, dan orang-orang yang beserta mereka memisahkan
 diri dari kami (dan kemudian berkumpul) di rumah Fathimah, puteri dari Rasulullah.”
(LIHAT: Referensi Sunni: 

    1. Ahmad Ibn Hanbal, volume 1, halaman 55

    2. Sirah al-Nabawiyah, oleh Ibn Hisyam, volume 4, halaman 309

    3. Tarikh al-Tabari (bahasa Arab), volume 1, halaman 1822

    4. Tarikh al-Tabari (bahasa Inggris), volume 9, halaman 192)

Hadits ini menunjukkan bahwa keluarga Nabi beserta para sahabat setianya sejak awal menunjukkan ketidak-setujuannya dalam perkara pembai’atan Abu Bakar sebagai khalifah


Dalam keterangan lain disebutkan:

“Mereka hendak memastikan bahwa mereka mendapatkan bai’at dari Ali akan tetapi Ali dan al-Zubayr beranjak pergi. Al-Zubayr menghunus pedangnya (dari sarungnya) seraya berkata, ‘Aku tidak akan menyarungkan kembali pedangku hingga bai’at itu diberikan kepada Ali.’ Kabar ini sampai kepada Abu Bakar dan Umar, dan Umar kemudian berkata, ‘Pukul dia dengan batu dan rampas pedangnya.’ Disebutkan bahwa kemudian Umar bergegas (menuju rumah Fathimah) dan memaksa mereka agar mau memberikan bai’atnya (kepada Abu Bakar) baik dengan paksaan maupun dengan sukarela.”
(LIHAT: Referensi Sunni: Tarikh al-Tabari, versi bahasa Inggris, volume 9, halaman 188—189)
Dari keterangan di atas bisa kita simpulkan bahwa “pemilihan khalifah” seperti yang selama ini diajarkan di bangku-bangku sekolah agama tidaklah terjadi sebagaimana yang didoktrinkan selama ini. Pemilihan yang mulus dari Abu Bakar tak pernah terjadi. Pemaksaan dan penggunaan kekerasan adalah apa yang sebenarnya terjadi. Pemilihan itu menunjukkan adanya kebebasan dari orang yang memilih untuk menentukan pilihannya dan itu juga sekaligus menunjukkan bahwa setiap kaum Muslimin juga memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih. Jadi…………mengapa mesti Abu Bakar? Dan mengapa mesti memaksakan orang-orang untuk memberikan bai’at kepada Abu Bakar kalau Abu Bakar itu benar-benar dipilih dan bukan dipaksakan kepada orang-orang?

Kalau Abu Bakar itu dipilih orang-orang maka yang tidak memilih dia jelas tidak bisa disebutkan sebagai orang yang berdosa karena ketentuan harus memilih Abu Bakar itu tidak ada !!!! Yang tidak memilih Abu Bakar jelas tidak menentang Allah dan RasulNya karena Allah dan RasulNya tidak pernah mewasiatkan kepada kita harus memilih Abu Bakar dan komplotannya sebagai pemimpin kita !!! Allah dan RasulNya tidak pernah memberikan petunjuk bahwa memilih Imam bagi kaum Muslimin itu adalah berdasarkan pemilihan umum (itupun kalau pemilihan Abu Bakar itu dilangsungkan secara umum, bebas dan rahasia !!!!).

Yang namanya pemilihan itu jelas tidak menjadikan kewajiban bagi kaum Muslimin untuk memilih salah satu kandidat. Bahkan dalam pemilihan dibenarkan dan disahkan apabila kita tidak memilih sekalipun karena kita tidak memiliki kandidat yang menurut kita cukup layak. Kalau kita harus memilih satu calon tertentu dan tidak boleh memilih calon yang lain maka itu artinya bukan pemilihan melainkan pemaksaan. Rasulullah pernah bersabda, “Tidak sah bai’at yang diberikan secara terpaksa.”


Sekarang mari kita lihat apa yang dilakukan oleh Umar pada masa itu. Para sejarawan Sunni melaporkan sebagai berikut:
Ketika Umar sampai di pintu rumah Fathimah, ia berkata: “Demi Allah, aku akan bakar (rumah ini) sampai habis kecuali kalian keluar dan memberikan bai’at kalian (kepada Abu Bakar).”

(LIHAT: Referensi Sunni:
  1. Tarikh al-Tabari, volume 1, halaman 1118—1120
  2. Tarikh Ibn Athir, volume 2, halaman 325
  3. al-Isti’ab, oleh Ibn Abd al-Barr, volume 3, halaman 975
  4. Tarikh al-Khulafa, oleh Ibn Qutaybah, volume 1, halaman 20
  5. al-Imamah wal-Siyasah, oleh Ibn Qutaybah, volume 1, halaman 19—20

Lihat juga referensi berikut ini:
“Umar Ibn al-Khattab datang ke rumah Ali. Thalhah dan Zubayr dan beberapa orang Muhajirin juga berkumpul di rumah itu. Umar berteriak: ‘Demi Allah. Kalian tinggal pilih apakah kalian akan keluar dari rumah untuk kemudian memberikan bai’at kalian atau aku akan membakar rumah ini sampai habis.’ Al-Zubayr pergi keluar rumah dengan menghunus pedangnya. Ketika ia keluar dari rumah itu, Zubayr tersandung (kepada sesuatu) hingga pedangnya jatuh dari tangannya. Setelah itu orang-orang serentak mengeroyoknya dan menangkapnya.”

(LIHAT: Referensi Sunni: Tarikh al-Tabari, Versi Bahasa Inggris, volume 9, halaman 186—187)

Dalam catatan kakinya (masih di halaman yang sama yaitu halaman 187) dalam Tarikh al-Tabari Versi Bahasa Inggris, si penerjemah memberikan komentar sebagai berikut:
“Meskipun waktunya tidak jelas, tetapi tampaknya Ali dan kelompoknya itu mengetahui apa yang telah terjadi di Saqifah setelah peristiwa di Saqifah itu terjadi. Pada waktu itu, para pengikut Ali berkumpul di rumah Fathimah. Abu Bakar dan Umar sangat sadar akan klaim hak Ali dan takut bahwa ancaman serius akan datang dari para pengikut Ali, maka akhirnya mereka memanggil Ali untuk datang ke mesjid untuk memberikan bai’at kesetiaan (kepada Abu Bakar). Ali menolak dengan tegas dan akhirnya rumahnya dikepung oleh sekelompok tentara yang dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar yang mengancam akan membakar rumah itu kalau Ali dan para pengikutnya menolak untuk berbai’at kepada Abu Bakar. Kejadian yang terjadi terus makin panas dan Fathimah tampak sangat murka.”

(LIHAT: Referensi Sunni:
  1. Ansab Ashraf, oleh al-Baladhuri, volume 1, halaman 582—586
  2. Tarikh al-Ya’qubi, volume 2, halaman 116
  3. al-Imamah wal-Siyasah, oleh Ibn Qutaybah, volume 1, halaman 19—20)

Abu Bakar berkata dalam sebuah hadits yang sangat shahih (kejadian ini terjadi setelah wafatnya Rasulullah dan orang-orang sedang berkabung. Ali dan Zubayr mendatangi Fathimah al-Zahra—puteri Rasulullah—untuk berkonsultasi). Demi mengetahui hal ini, Umar langsung mendatangi Fathimah dan berkata dengan keras:
“Wahai puteri Rasulullah! Aku tidak mencintai orang lain seperti cintaku pada ayahmu, dan setelah ayahmu aku tidak mencintai orang lain seperti cintaku padamu. Akan tetapi demi Allah, apabila orang-orang ini berkumpul di rumahmu bersamamu, maka cintaku ini tidak akan menghalangiku untuk membakar rumahmu.”

(LIHAT: Referensi Sunni:
  1. Tarikh al-Tabari, dalam “Kejadian dan Peristiwa pada tahun 11H”
  2. al-Imamah wa al-Siyasah oleh Ibn Qutaybah, volume 1, pada permulaan kitab dan pada halaman 19—20
  3. Izatul Khilafa, oleh Syah Waliullah Muhaddith Dehlavi, volume 2, halaman 362
  4. Iqd al-Farid, oleh Ibh Abd Rabbah al-Malik, volume 2, bab tentang Saqifah)

Juga dalam laporan lainnya disebutkan:
“Umar berkata kepada Fathimah (yang sedang berada di balik pintu): ‘Aku tahu bahwa Rasulullah tidak pernah mencintai orang lain seperti ia mencitaimu, akan tetapi ini tidak akan menghalangiku dari apa-apa yang telah menjadi keputusanku. Apabila orang-orang ini berkumpul di rumahmu, maka aku akan bakar pintu rumah ini di hadapanmu.’”

(LIHAT: Referensi Sunni: Kanz al-Ummal, volume 3, halaman 140)

Ditambah lagi, Shibli Numani (seorang sejarawan Sunni) sendiri bersaksi bahwa kejadian di atas itu benar-benar terjadi sambil mengatakan:
“Kalau melihat perangai Umar yang suka lekas marah dan bertemperamen buruk, maka kejadian itu bisa saja terjadi.”
(LIHAT: Referensi Sunni: al-Faruq, oleh Shibli Numani, halaman 44)

Juga disebutkan dalam sebuah laporan yang lain:
“Abu Bakar berkata (di pembaringannya ketika hendak meninggal): ‘Aku berharap dulu aku tidak menggeledah rumah Fathimah dan mengirimkan orang-orang untuk menyerangnya meskipun dengan itu akan terjadi perang dan rumahnya itu digunakan untuk tempat perlindungan.”

(LIHAT: Referensi Sunni:
  1. Tarikh al-Ya’qubi, volume 2, halaman 115—116
  2. Ansab Ashraf, oleh al-Baladhuri, volume 1, halaman 582—586)


Para sejarawan mencantumkan orang-orang di bawah ini sebagai orang yang mengepung dan menyerang rumah Fathimah untuk membubarkan orang-orang yang sedang berkumpul di dalamnya:
  1. Umar Ibn al-Khattab
  2. Khalid Ibn Walid
  3. Abdurrahman Ibn Auf
  4. Thabit Ibn Shammas
  5. Ziad Ibn Labid
  6. Muhammad Ibn Maslamah
  7. Salamah Ibn Salem Ibn Waqash
  8. Salamah Ibn Aslam
  9. Usaid Ibn Huzair
  10. Zaid Ibn Thabit

Seorang ulama dan sejarawan Sunni yang dipuja-puja oleh kalangan Sunni yang bernama lengkap Abu Muhammad Abdullah Ibn Muslim Ibn Qutaybah Daynuri (sering disebut IBN QUTAYBAH saja untuk singkatnya) dalam kitab sejarahnya yang ditulis untuk membahas masalah khilafah yaitu “Al-Imamah wa al-Siyasah” menuliskan:
“Umar meminta kayu bakar, dan kemudian ia memperingatkan orang-orang yang ada di dalam rumah: ‘Aku bersumpah demi Allah yang jiwaku ada di tangannya, apabila kalian tidak keluar juga, aku akan bakar rumah ini.’ Seseorang memperingatkan Umar bahwa Fathimah ada di dalam rumah itu. Umar menukas dengan pedas, ‘Meskipun ia ada di dalamnya aku tidak peduli!’”

(LIHAT: Referensi Sunni: al-Imamah wa al-Siyasah oleh Ibn Qutaybah, volume 1, halaman 3, halaman 19—20)

Seorang sejarawan lainnya yang bernama al-Baladhuri melaporkan bahwa:
“Abu Bakar meminta Ali untuk mendukungnya akan tetapi Ali menolak mentah-mentah; kemudian Umar pergi ke rumah Ali sambil membawa sebuah obor menyala. Tepat di pintu rumah ia bertemu dengan Fathimah yang berkata kepadanya: ‘Apakah engkau akan membakar pintu rumahku?’ Umar berkata: ‘Ya, karena ini akan akan memperkuat keyakinan kami yang dibawakan oleh ayahmu.’”

(LIHAT: Referensi Sunni: al-Ansab Ashraf, oleh al-Baladhuri, volume 1, halaman 582, 586)

Kemudian Jauhari dalam kitabnya menuliskan:
“Umar dan beberapa Muslimin pergi ke rumah Fathimah untuk membakarnya dan untuk membakar orang-orang yang ada di dalamnya yang telah menentangnya.”

Ibn Shahna juga mengatakan hal yang sama dengan kata-kata yang kurang lebih sama yaitu: “untuk membakar rumah itu dan siapapun yang ada di dalamnya.”

Lebih jauh lagi, dilaporkan bahwa:
“Ali dan Abbas sedang duduk di dalam rumah Fathimah, Abu Bakar memberitahu Umar: ‘Bawalah mereka ke sini; apabila mereka menolak, bunuhlah mereka.’ Umar membawa api untuk membakar rumah itu. Fathimah bediri di balik pintu sambil berkata: ‘Wahai putera Khattab, apakah engkau datang ke sini untuk membakarku dan anak-anakku?’ Umar menjawab: ‘Ya benar, demi Allah. Hingga kalian keluar dan mau membai’at khalifah Rasulullah.”

(LIHAT: Referensi Sunni:
  1. Iqd al-Farid, oleh Ibn Abd Rabb, Bagian 3, halaman 63
  2. al-Ghurar, oleh Ibn Khazaben, berhubungan dengan Zayd Ibn Aslam)

Setiap orang keluar dari rumah itu karena takut akan dibakar kecuali Imam Ali (as), yang pada waktu itu berkata kepada mereka yang hendak membakar rumahnya:
“Aku bersumpah akan tetap tinggal di dalam hingga aku selesai menyusun al-Qur’an.”

Umar tetap bersikeras, akan tetapi karena Fathimah marah maka Umar tidak jadi masuk ke dalam rumah. Umar menghasut Abu Bakar agar menyelesaikan persoalan ini, dan akhirnya Abu Bakar mengutus Qunfuz (budak beliannya) beberapa kali ke rumah Ali akan tetapi tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan mereka. Akhirnya, Umar pergi ke rumah Ali lagi dengan sekelompok orang bersamanya. Demi mendengar Umar dan para begundalnya datang, Fathimah berteriak nyaring sekali:
“Duhai ayahku, duhai Rasulullah. Lihatlah bagaimana Umar ibn al-Khattab dan Abu Bakar Ibn Abi Quhafah memperlakukan kami semua sepeninggalmu. Lihatlah bagaimana mereka mendatangi kami.”

Beberapa ulama Sunni terkenal seperti Ahmad Ibn Abdul Aziz al-Jawhari (dalam kitabnya ’Saqifah’); kemudian Abu Walid Muhibbuddin Mohammad al-Shahnah al-Hanafi (dalam kitabnya ‘Raudat al-Manadhir fi Akhbaar al-Awayil wal-Aawaakhir’), Ibn Abil Hadid (dalam kitabnya ‘Sharh al-Nahj’); dan beberapa ulama lainnya melaporkan peristiwa ini dengan redaksi yang kurang lebih sama.

Sementara itu sejarawan Sunni terpandang semisal Abul Hasan, Ali Ibn al-Husain al-Mas’udi dalam kitabnya ‘Isbaat al-Wasiyyah’ menggambarkan peristiwa itu secara terperinci sebagai berikut:
“Mereka mengepung Ali (as) dan membakar pintu rumahnya. Kemudian mereka menyeret Imam Ali keluar rumah dengan paksa. Mereka mendorong Fathimah (penghulu para wanita seluruh alam) di balik pintu hingga terjepit tubuhnya antara pintu dan dinding rumahnya hingga Fathimah yang sedang mengandung pada waktu itu (bayi itu diberinama al-Muhsin) langsung keguguran. (Bayi laki-laki yang sedang dikandungnya itu masih berusia enam bulan kandungan).”

Salahuddin Khalil al-Safadi—salah seorang sejarawan Sunni lainnya—dalam kitabnya ‘Waafi al-Wafiyyat’ mencatat pandangan dari Ibrahim Ibn Sayyar Ibn Hani al-Basri (yang lebih dikenal dengan nama Nidhaam) menyatakan bahwa yang bersangkutan pernah mengatakan:
“Pada hari Bay’at (sumpah kesetiaan), Umar memukul Fathimah (as) di perutnya sehingga yang bersangkutan mengalami keguguran.”


Bayangkan saja seorang perempuan muda berusia kurang lebih 29 tahun harus berjalan dengan tongkatnya!!! Aksi brutal yang susah dibayangkan itu demikian hebatnya sehingga Fathimah menangis keras seraya berkata:
“Kesusahan demi kesusahan telah menimpaku hari-hari ini begitu banyaknya hingga apabila semua kesusahan itu ditimpakan kepada siang, maka ia akan berubah menjadi malam.”

Fathimah akhirnya terbaring selama beberapa hari di pembaringannya sehingga ia menemui kesyahidannya akibat derita fisik dan mental serta luka-luka yang ia derita  ketika ia hanya berusia 18 tahun!!!

Pada hari-hari terakhirnya, Abu Bakar dan Umar berkunjung ke rumah Fathimah untuk mendapatkan bantuan dari Imam Ali agar Fathimah (yang sedang terbaring sakit) mau memaafkan mereka berdua. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Qutaybah, Fathimah memalingkan mukanya ke dinding ketika Abu Bakar dan Umar mengucapkan salam kepadanya dan sebagai jawabannya Fathimah mengingatkan mereka akan sabda Nabi bahwa BARANGSIAPA YANG SUDAH MENYAKITI FATHIMAH, MAKA IA SUDAH MENYAKITI RASULULLAH dan kemudian berkata:
“Aku akan mengambil Allah dan para malaikatnya untuk menyaksikan bahwa aku tidak senang kepada kalian; malahan kalian sudah membuat aku marah. Kelak ketika aku bertemu Rasulullah , aku akan mengadukan kalian kepadanya.”

(LIHAT: Referensi Sunni: al-Imamah wa al-Siyasah, oleh Ibn Qutaybah, volume 1, halaman 14)

Dengan alasan kemarahan yang sama, Fathimah berwasiat bahwa mereka yang sudah menyakiti hatinya tidak boleh hadir dalam acara pemakamannya dan berwasiat agar ia dikuburkan pada malam hari. Al-Bukhari dalam kitab Sahih-nya menyatakan bahwa Imam Ali menepati semua wasiat yang diberikan oleh Fathimah. Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah sebagai berikut:
“…..Fathimah amat murka kepada Abu Bakar dan terus menerus menghindar darinya, dan tidak mau bertegur sapa dengannya hingga meninggal dunia. Fathimah masih hidup sekitar 6 bulan setelah meninggalnya Rasulullah. Ketika ia meninggal, suaminya, Ali menguburkannya pada malam hari tanpa memberitahu Abu Bakar dan ia mengatakan bahwa ia sendiri yang menguburkannya.”

(LIHAT: Referensi Sunni: Shahih al-Bukhari, bab “Peperangan Khaybar”, versi Arab—Inggris, volume 5, hadits nomor 546, halaman 381—383, juga dalam volume 4, hadits nomor 325)


Telah banyak cara dan usaha dilakukan untuk mencari dan mengidentifikasi kuburan dari Fathimah, akan tetapi orang-orang tidak berhasil sama sekali untuk mendapatkan kepastian dari lokasi kuburannya itu. Hanya Imam Ali dan beberapa orang anggota keluarga dan pengikutnya yang setia saja yang tahu akan lokasi dari kuburannya itu. Dan hingga pada hari ini, kuburan dari puteri tercinta Rasulullah itu tidak diketahui dimana letaknya dan itu sekaligus memberikan bukti kepada kita bahwa Fathimah memang sama sekali tidak senang kepada beberapa sahabat Nabi yang telah berkhianat.


APA KATA RASULULLAH TENTANG ORANG-ORANG YANG TELAH MENYAKITI HATI BUNDA FATHIMAH AZ-ZAHRA?

Rasulullah yang mulia ditengarai seringkali bersabda:
“Fathimah itu adalah dariku. Siapa saja yang membuatnya marah, berarti ia telah membuatku marah”
(LIHAT: Referensi Sunni
  1. Sahih al-Bukhari, Versi Arab-Inggris, volume 5, Hadits no 61 dan nomor 111
  2. Sahih Muslim, bagian tentang keutamaan Fathimah, volume 4, halaman 1904—1905)

Menurut al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah telah menyatakan bahwa Fathimah itu adalah wanita terbaik di dunia ini:

Lihat saja Hadits berikut ini yaitu Hadits ke 4.819 dimana ‘Aisyah meriwayatkan:
“Rasulullah berkata kepada Fathimah (yang pada saat itu sedang menangis di pembaringan di mana Rasulullah akan menghembuskan nafasnya yang terakhir): “Apakah engkau belum puas dijadikan sebagai pemimpin dari seluruh wanita beriman?”

Lebih lanjut lagi Ibn Abbas meriwayatkan:
“Rasulullah bersabda: Ada empat wanita yang merupakan pemimpin dunia ini yaitu: Maryam, Asiya (istri dari Fir’aun), Khadija, dan Fathimah. Dan yang paling utama diantara di dunia ini ialah Fathimah.”
(LIHAT: Referensi Sunni: Ibn Asakir, seperti yang dikutip dalam Tafsri al-Durr al-Mantsur karya Jalaluddin as-Suyuti)

Allah yang maha pengasih dan penyayang berfirman dalam al-Qur’an:

“(Wahai Nabi) katakanlah kepada (umatmu), aku tidak meminta upah darimu kecuali dengan kecintaan kepada keluargaku.” (QS. Asy-Syuura: 23)

Allah juga telah berfirman:

“(Wahai Nabi) Katakanlah apapun yang aku minta sebagai upah (atas ajaran ini), maka itu semua untuk kebaikan kalian.” (QS. Saba’: 47)


Dua ayat di atas menjelaskan secara gamblang sekali bahwa Rasulullah (atas perintah Allah) telah meminta umatnya untuk mencintai keluarganya dan itu adalah perintah Allah sebagai bagian dari ajaran Islam. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa kecintaan kepada keluarga Rasulullah itu akan menjadi kebaikan bagi siapa saja yang memiliki rasa cinta itu karena “CINTA SEJATI” itu memerlukan kepatuhan dan ketaatan untuk mengikuti yang dicintainya dalah hal ini ialah keluarga nabi yang disucikan yang senantiasa mengamalkan sunnah Nabi yang sejati.

Sayangnya orang-orang yang dianggap sebagai sahabat sejati dari Nabi seperti yang diyakini oleh sebagian umat Islam menunjukkan ketidak senangan dan bahkan kebencian kepada keluarga Nabi ini bahkan mereka menunjukkannya secara jelas dan terang benderang setelah wafatnya Rasulullah padahal satu minggupun belum lewat dari wafatnya sang Nabi itu.

Tidak cukup dengan itu mereka juga memutus sumber-sumber finansial dari Ahlul-Bayt supaya keluarga Nabi itu lemah dan tidak bisa melakukan perlawanan atas perbuatan makar dan jahat mereka. Dalam Hadits al-Bukhari berikut ini—yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah—digambarkan sebagai berikut:
“Fathimah—puteri Rasulullah—mengutus seseorang untuk bertemu dengan Abu Bakar (ketika ia sudah menjadi khalifah). Fathimah mengutus seseorang untuk menanyakan warisan yang ditinggalkan oleh Rasulullah yang berupa harta Fai (harta pampasan perang yang didapatkan tidak melalui peperangan) di Madinah; tanah Fadak, dan harta yang tersisa dari Khumus hasil dari harta pampasan perang Khaybar………….akan tetapi Abu Bakar menolak untuk memberikannya kepada Fathimah. Ia akhirnya marah kepada Abu Bakar dan akhirnya tidak mau bertemu dengannya  dan tidak mau bertegur sapa dengannya hingga akhirnya Fathimah meninggal dunia. Ia masih hidup selama 6 bulan setelah wafatnya Rasulullah. Ketika ia meninggal, suaminya—Ali—menguburkannya pada malam hari tanpa memberitahu Abu Bakar sama sekali dan ia menyembahyangi jenazahnya sendiri.”
(LIHAT: Referensi Sunni: Sahih Bukhari, Bab “Perang Khaybar”, versi Arab—Inggris, volume 5, hadits no 546, halaman 381—383, juga volume 4, hadits no 325)

Dengan melihat hadits itu kita bisa menyimpulkan sebuah kesimpulan yang sulit. Kesimpulan pertama ialah Fathimah adalah seorang pendusta karena ia mengklaim dan kemudian meminta yang bukan haknya. Ia mengklaim harta yang bukan miliknya. Kesimpulan yang kedua ialah Abu Bakar yang sendiri adalah orang yang dzalim. Ia sangat tidak adil dan jahat karena telah menghalang-halangi dan kemudian memutuskan sumber penghasilan dari seorang puteri Nabi. Kalau puteri Nabi itu seorang pendusta, maka ia tidak layak mendapatkan kemuliaan seperti yang selama ini diberikan oleh Nabi atas perintah Allah. Kalau Fathimah seorang pendusta maka ia tidak layak atas hadits “Fathimah itu dariku; siapapun yang membuat Fathimah marah, berarti ia telah membuatku marah.” Hadits itu sendiri menyiratkan bahwa Fathimah itu “ma’shum” atau terjaga dari perbuatan dosa (oleh karena itu ia disejajarkan—malah dilebihkan—dari Maryam bunda dari Isa). Ayat pensucian yang ada dalam Al-Qur’an (ayat 33 dari surah ke-33) adalah indikasi lainnya yang menyiratkan kema’shumannya seperti yang telah ditegaskan pula oleh ‘Aisyah (dalam Sahih Muslim, Edisi tahun 1980, versi bahasa Arab, volume 4, halaman 1883, hadits no 61).

Semua bukti di atas menunjukkan bahwa orang-orang yang berakal sehat akan jatuh pada kesimpulan bahwa Abu Bakarlah yang telah berbuat dzalim kepada puteri Nabi. Puteri Nabi itu telah mendapatkan perlakuan yang kejam sekali bahkan Umar sendiri berani berkata bahwa ia akan membakar rumah Fathimah meskipun Fathimah ada di dalamnya kecuali orang-orang di dalamnya keluar untuk berbai’at kepada Abu Bakar.

Kesimpulan logis dari dua hadits sahih dari Bukhari dan Muslim di atas ialah bahwa Fathimah itu telah mendapatkan perlakuan kejam dan kasar dan oleh karena itu ia marah kepada Abu Bakar dan Umar. Itu sekaligus menunjukkan bahwa Rasulullah juga marah kepada mereka berdua. Yang membuat marah Fathimah berarti membuat marah Rasulullah; yang membuat marah Rasulullah berarti telah membuat marah Allah.

Alasan yang digunakan oleh Abu Bakar untuk tidak memberikan harta peninggalan Rasulullah jelas bertentangan dengan Al-Qur’an. Bagaimana mungkin Abu Bakar menjadi wakil Nabi kalau ia tidak patuh dan taat kepada Al-Qur’an? Abu Bakar mengklaim bahwa Rasulullah pernah bersabda:
“Kami para Nabi tidak meninggalkan harta warisan, dan apapun yang kami tinggalkan akan menjadi milik umat untuk dibagikan.”

Ini jelas sebuah hadits palsu dan pengakuan palsu dari seorang wakil palsu karena Rasulullah pasti tidak akan bertentangan dengan Al-Qur’an yang dalam dua buah ayatnya menunjukkan bahwa para Nabi itu memiliki harta yang diwariskan dan anak-anaknya akan mewarisi dari mereka. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud,……………..” (QS. An-Naml: 16)

Padahal baik Sulayman maupun Daud keduanya adalah Nabi dan mereka juga kaya raya. Mereka adalah seorang raja pada masanya.

Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, yang akan mewarisi aku dan mewarisi keluarga Ya`qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai". (QS. Maryam: 5—6)

Kedua ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa para Nabi itu juga meninggalkan warisan. Fathimah sendiri menggunakan ayat-ayat ini sebagai bukti akan haknya. Akan tetapi, Abu Bakar tetap menolak klaim Fathimah atas saran dari Umar Ibn Khattab dan keduanya secara sengaja  dan sadar telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Al-Qur’an.

PANTASKAH SEORANG YANG DIANGGAP PEWARIS KEPEMIMPINAN NABI MEMPERLAKUKAN PUTERI NABI DENGAN PERLAKUAN YANG KEJI?


Fakta-fakta sejarah dengan tegas membuktikan bahwa Rasulullah sendiri bahkan telah memberikan tanah Fadak itu kepada Fathimah. Tanah Fadak adalah tanah yang luas dan kaya yang terletak di Hijaz. Jadi tanah itu telah menjadi hak milik sah dari Fathimah lama sebelum Rasulullah wafat. Jadi tanah Fadak itu sendiri sebenarnya bukan bagian dari warisan yang diberikan oleh Rasulullah karena sudah diberikan kepada Fathimah ketika Rasulullah masih hidup. Perampasan tanah Fadak oleh Abu Bakar dengan alasan bahwa Nabi tidak pernah memberikan harta warisan kepada keturunannya pun jadi tidak ada dasarnya sama sekali.

Alasan mengapa Rasulullah memberikan tanah Fadak itu kepada Fathimah ketika Rasulullah masih hidup ialah untuk memberikan sumber penghasilan bagi para pengikut Ahlul Bayt pada masa itu. Akan tetapi ketika Rasulullah meninggal, Abu Bakar dan Umar Ibn Khattab dengan pongahnya membubarkan para pengelola tanah Fadak itu yang dulunya ditugaskan oleh Fathimah untuk mengurus tanah Fadak semasa ayahnya masih hidup. Abu Bakar dan Umar kemudian merampas tanah Fadak itu serta properti lainnya milik dari anggota keluarga Ahlul Bayt. Alasan dari perampasan itu sangat sederhana: Mereka tahu bahwa kalau harta kekayaan itu masih ada di tangan Imam Ali dan Fathimah, maka Imam Ali dan Fathimah akan menggunakan harta itu untuk para pengikutnya dan ini hanya akan memperkuat kedudukan para pengikut Ahlul Bayt dan mengancam kedudukan Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar dan Umar menyadari hal ini maka mereka segera memutuskan sumber finansial para pengikut keluarga Nabi ini.

Masalah yang ada sendiri sebenarnya tidak sesederhana itu. Ini bukan hanya masalah keuangan belaka. Ini bukan hanya masalah perebutan harta semata. Ini lebih banyak nuansa politisnya. Fathimah mempermasalahkan tanah Fadak bukan karena ia gila harta dan tamak; bukan karena ia ingin kehidupan mewah bergelimang harta. Karena sepanjang hidupnya Imam Ali dan Fathimah tetap hidup bersahaja baik ketika Rasulullah masih hidup bersama mereka maupun ketika Rasulullah sudah pergi menghadap yang Kuasa. Al-Qur’an mengabadikan gaya hidup mereka yang bersahaja dan sangan mencintai kaum miskin papa. Ayat 8 dan 9 dari surat Al-Insaan berikut adalah buktinya:
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insaan: 8—9)
Ayat Al-Qur’an di atas diturunkan berkenaan dengan kejadian dimana keluarga Imam Ali dan Fathimah memberikan makanan mereka yang sebenarnya mereka akan makan untuk berbuka puasa. Dan hal itu berulang hingga 3 hari lamanya. Dalam 3 hari itu mereka hanya berbuka puasa dengan air minum saja karena tidak ada lagi makanan yang bisa mereka makan. Anak-anak mereka juga sama tidak makan apapun selama 3 hari itu. Keluarga suci itu tidak pernah mengeluh atau bahkan MARAH karena makanannya diberikan kepada orang lain.

OLEH KARENA ITU KEMARAHAN FATHIMAH BUKANLAH KARENA KEMARAHAN HARTANYA DIRAMPAS OLEH ABU BAKAR DAN UMAR.

KEMARAHAN FATHIMAH ADALAH KEMARAHAN RASULULLAH YANG HANYA MARAH KARENA ALLAH.

Pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid—salah satu khalifah dari keturunan Bani Abbasiyyah—negara Islam atau wilayah kekuasaan Islam itu mencapai perluasan yang paling luas yang pernah dicapai dalam sejarah. Cakupan wilayahnya membentang dari Afghanistan dan Asia Tengah sampai ke Afrika Utara. Oleh karena itu, penguasa yang berkuasa pada waktu itu tidak keberatan apabila menyerahkan sepetak tanah yang menurut mereka kurang berarti.

Menurut beberapa sumber sejarah, Harun al-Rasyid bertemu dengan Imam Musa al-Kadzim (Imam ke-7 dari keturunan Ahlul Bayt Nabi) dan berkata kepada beliau:

Harun al-Rasyid berkata: “Beritahulah kepadaku dimana letaknya tanah yang diberinama tanah Fadak itu supaya kami bisa menyerahkannya kepada anda.”

Imam Musa (as) menjawab: “Aku hanya akan menerimanya kalau tanah itu diberikan seutuhnya”

Harun al-Rasyid: “Kalau begitu tentukan saja batas-batasnya.”

Imam Musa (as): “Apabila aku menentukan batas-batasnya, niscaya engkau tidak akan menyerahkannya.”

Harun al-Rasyid: “Aku bersumpah demi nama kakekmu bahwa aku akan menyerahkan tanah itu kepadamu.”

Imam Musa (as): “Sekarang luasnya membentang dari Aden (sisi selatan dari Jazirah Arab) hingga Samarqand (Afghanistan); lalu dari Armenia (sisi selatan Rusia) ke Mesir di Afrika.”

Wajah Harun al-Rasyid mendadak berubah menjadi merah padam penuh dengan kemurkaan seraya berkata: “Kalau begitu kami tidak lagi memiliki wilayah apapun kalau itu diberikan kepada anda.”

Imam Musa (as): “Aku sudah bilang……..engkau tidak akan mengembalikan tanah itu apabila aku menentukan batas-batas wilayahnya!”

(LIHAT: al-Bihar, volume 48, halaman 144, Hadits nomor 20)





Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta