ALI IBN ABI THALIB—seorang kepala negara yang pluralis—memadamkan api pengkhianatan sebagian sahabat Nabi dalam Perang Unta yang legendaris

www.islamitucinta.blogspot.com Di kalangan umat Muhammad, ada seorang ALI yang merupakan laki-laki penuh kedamaian tapi juga sekaligus laki-laki yang hebat dalam membela kebebasan manusia dan membebaskan manusia.

Ketika beberapa gelintir dari umat Muhammad memaksakan kehendak, maka Ali tiga kali kehilangan hak. Ali ada di hati umat Muhammad, akan tetapi tidak ada dalam hati manusia-manusia yang penuh hasad. Ketika hak memilih itu diberikan kepada umat, maka berbondong-bondonglah umat menuju pintu rumahnya. Mereka memilihnya. Mereka menghendakinya. Mereka—untuk pertama kalinya—memiliki kebebasan dalam memilih. Mereka untuk pertama kalinya merasakan kebebasan setelah akhirnya mendapatkan pemimpin yang menjamin kebebasan. Mereka secara tak sadar telah memilih penjamin kebebasan yang akan memberikan mereka kebebasan untuk memilih kebebasan.

Ketika kaum Muhajirin dan Anshar di kota Madinah bersikeras agar Ali mau menjadi pemimpin mereka dan mengatur kehidupan mereka, maka Ali setuju. Akan tetapi Ali mengumumkan bahwa tidak ada satu orangpun yang diwajibkan untuk memilih dia. Ali ingin setiap orang membai’atnya dalam kebebasan—bukan dalam keterpaksaan. Beda benar Ali dari tiga khalifah yang telah berkuasa sebelumnya. Mereka menegakkan kepemimpinannya dengan paksaan; Ali menegakkan kepemimpinannya dalam kebebasan. Akan tetapi karena kebebasan itupula, maka setiap orang merasa diperlakukan sebagai manusia. Mereka berbondong-bondong mengetuk pintu rumah Ali, untuk memberikan bai’atnya secara suka rela.

Akan tetapi di tengah kegembiraan masal dari umat Muhammad, ada sekelompok orang yang tidak suka dengan prilaku Ali yang mendekati prilaku Muhammad. Mereka bukan saja tidak mau memberikan bai’at kepada Ali, melainkan mereka juga mulai meninggalkan kota Madinah. Ali tidak memiliki niat sedikitpun untuk mencegah mereka keluar dari kota Madinah.

Ketika mereka betul-betul hendak pergi, Ali berseru bahwa di bawah kepemimpinannya setiap orang memiliki kebebasan untuk tinggal di kota Madinah, atau meninggalkan kota Madinah. Tidak ada paksaan sedikitpun untuk mereka tinggal dan meninggalkan. Musuh-musuh Ali atau musuh-musuh keluarga Muhammad berkehendak untuk meninggalkan kota Madinah dan Ali membiarkan mereka untuk pergi, dan Ali tidak sedikitpun bertanya kepada mereka alasan apakah kiranya yang membuat mereka pergi dari kota Nabi.

Kebanyakan dari para sahabat Nabi yang masih tinggal di Madinah, sudah memberikan bai’at kesetiaan kepada Ali. Diantara mereka ada Thalhah dan Zubayr (yang kelak malah berdiri melawan Ali). Mereka berharap bahwa Ali akan menjadikan mereka berdua sebagai gubernur kota Kufah dan Basrah. Akan tetapi Ali hanya memilih orang yang memang benar-benar mampu dan memiliki kualitas. Dan Ali tidak melihat itu dari Thalhah dan Zubayr (walaupun keduanya sahabat Nabi). Ali memilih orang lain untuk jabatan itu. Oleh karena itu, Thalhah dan Zubayr merasa sakit hati. Mereka berdua sahabat Nabi, tapi mereka juga punya nafsu duniawi. Akhirnya mereka berdua pergi juga dari kota Madinah, dan Ali tidak mencegah ………

Pola kebijakan politik "laissez-faire" yang diterapkan Ali ini bertolak belakang dengan yang diterapkan oleh Umar Ibn Khattab—khalifah kedua pilihan orang-orang berkuasa—yang melarang para sahabat utama Nabi—terutama kaum Muhajirin—yang ingin pergi ke Persia atau Syria atau Mesir untuk berdakwah. Umar melarang mereka pergi. Umar memerintahkan mereka agar mereka tetap tinggal di Madinah. Para sahabat Nabi terpaksa menurut kepada Umar, walaupun mereka betul-betul kecewa dan marah.

Umar melarang mereka pergi dari kota Madinah untuk berdakwah karena Umar tidak ingin para sahabat utama Nabi itu meluaskan pengaruh di daerah-daerah yang baru ditaklukannya. Umar tidak ingin pesona para sahabat utama Nabi itu lebih mempesona daripada dirinya sendiri. Umar tidak ingin para sahabat Nabi itu memperluas pengaruh mereka di daerah-daerah jauh hingga pengaruh Umar melemah dan luruh. Padahal para sahabat Nabi itu tulus dan ikhlas dalam berdakwah. Mereka tidak punya keinginan duniawi untuk bergagah-gagah menjadi penguasa yang pongah. Mereka tidak punya hasrat politik untuk mempengaruhi orang-orang agar menjadikan mereka pemimpin. Akan tetapi ternyata Umar sudah berburuk sangka kepada mereka. Umar membatasi pergerakan mereka. Umar memasung kebebasan mereka. Umar menjadikan mereka seperti tahanan kota.

Ali tidak pernah melakukan apa yang dilakukan oleh Umar. Ali tidak menahan Thalhah dan Zubayr dengan alasan bahwa mereka akan melakukan pengkhianatan (walaupun di kemudian hari memang keduanya melakukan pengkhianatan).

Beberapa bulan kemudian, ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubayr berdiri mengangkat senjata untuk menentang Ali. Mereka berkhianat walaupun sudah memberikan bai’at. Mereka berangkat menuju kota Basrah untuk menghasut orang-orang. Akan tetapi Ali—untuk kesekian kalinya—tidak menggunakan “tangan besi” untuk memadamkan api pengkhianatan itu. Ali terpaksa harus menerima tantangan mereka untuk berperang. Akan tetapi Ali tetap tidak menggunakan kekuasaan dan kekuatan negara yang ada di tangannya. Padahal Ali bisa saja menggunakan kekuatan negara untuk memberangus mereka.

Ali tidak memaksa rakyatnya untuk wajib militer, misalnya. Ali tidak mengorbankan rakyatnya untuk mempertahankan kekuasaannya. Ali malah memilih untuk pergi ke Mesjid Nabawi di Madinah dan kemudian memberitahu kaum Muslimin bahwa ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubayr sudah melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah. Ali memohon kepada rakyatnya agar mau mendukungnya, membantunya untuk menegakkan perdamaian di negara Islam yang baru mereka dirikan. Ali memohon kepada rakyatnya agar mau membantunya untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan negara Islam dimana mereka tinggal. Ali juga mengingatkan mereka bahwa mereka sudah memberikan bai’at kesetiaan kepadanya—bai’at atau sumpah setia agar tetap mendukungnya baik di kala suka maupun duka; di kala damai maupun perang.

Akan tetapi Ali hanya melihat wajah-wajah kaku yang diam. Wajah-wajah yang tidak mau memberikan jawaban. Wajah-wajah munafik yang tidak mau mendukungnya menegakkan kebenaran dan keadilan. Di hari kedua ………….. Ali mencoba lagi. Juga di hari ketiga dan keempat, Ali mencoba untuk mendekat. Ali mencoba untuk menyadarkan hati mereka yang beku—hati yang dilanda ketakutan untuk maju ke medan perang.

Setelah beberapa hari berlalu, Ali tidak pernah sekalipun mewajibkan mereka dalam wajib militer, walaupun sebagai kepala negara, ia bisa saja memaksa rakyatnya untuk bangkit bersamanya dalam sebuah pasukan untuk menghadang pemberontak yang dipimpin ‘Aisyah, Zubayr, dan Thalhah. Setelah beberapa hari berlalu, hanya ada 700 orang yang mau menjawab seruan Ali. Dan dengan pasukan kecil itu, Ali meninggalkan kota Madinah. Sekali lagi………….. Ali tidak pernah memaksa orang-orang untuk bergabung dengan pasukannya. Seluruh pasukan kecilnya itu hanya terdiri dari para sukarelawan yang dengan suka rela menyambut ajakan Ali. Berbeda dengan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubayr. Mereka terdiri dari pasukan besar dengan modal besar dan hampir kesemuanya diberikan bayaran atau janji kekuasaan apabila sanggup membunuh Ali dan memusnahkan pasukannya.

Setelah Ali memenangkan peperangan melawan kaum pemberontak pimpinan ‘Aisyah, Thalhah dan Zubayr, Ali memberikan amnesti (pengampunan) masal terhadap para penduduk kota Basrah meskipun mereka telah berkhianat dan layak untuk mendapatkan hukuman berat. Ali malahan tidak menahan seorangpun dari mereka sebagai tawanan perang setelah mereka kalah dari peperangan. Ali lebih jauh lebih malah memberikan kebebasan baik kepada para sahabat dan pendukungnya maupun kepada musuh-musuhnya.

Ali telah menunjukkan bahwa dalam “Kerajaan Langit di Bumi” yang sedang ia tegakkan, kebebasan dan kemerdekaan adalah sesuatu yang wajib ada dan bisa dinikmati oleh seluruh manusia. Manusia itu harus hidup dalam kebebasan dan tidak boleh seperti hidup dalam penjara. kebebasan yang dipasung bukanlah kebebasan. Dan kebebasan seperti itu tidak cocok untuk Kerajaan Langit di bumi. Barangsiapa yang mengakui adanya Kerajaan Langit di Bumi maka ia akan diperlakukan sama; ia akan menjadi orang bebas dan selamanya bebas.

Ketika Ali mengambil alih kendali pemerintahan, umat Islam sedang berada dalam keadaan hidup tanpa hukum dan kepastian. Para penguasa yang berkuasa tengah berada dalam kekuasaan yang tanpa batas dan kesombongan tengah melanda mereka. Penyalah gunaan kekuasaan adalah barang murah dan dimana saja ada. Ali menyadari bahwa keadaan sosial, politik, dan ekonomi membutuhkan restrukturisasi; memerlukan penataan ulang yang lain daripada yang lain. Akan tetapi usahanya untuk menata ulang dihambat oleh golongan kaum kaya dan kaum berkuasa. Dan hambatan itu berubah menjadi ancaman kemudian gangguan dan pengkhianatan yang akhirnya meletus juga di Basrah dan Siffin.

Kelompok ketiga yang mengumumkan pemberontakannya kepada Ali ialah kelompok Khawarij. Mereka berkehendak untuk mengubah keadaan sosial, politik dan ekonomi secara kasar dan radikal. Mereka tidak setuju kalau Ali menata kembali keadaan kehidupan umat Islam secara penuh kedamaian sekaligus sistematis.

Kelompok Khawarit melecehkan kebebasan yang telah diberikan oleh Ali kepada kaum Muslimin. Mereka tidak hanya mengkritik setiap kebijakan Ali akan tetapi mereka juga mempertanyakan keimanan Ali. Akan tetapi Ali tetap berlaku baik kepada mereka. Ali tidak berusaha untuk menyerang dan melumpuhkan mereka. Ali malah tetap memberikan kebebasan kepada mereka untuk berbeda pendapat dengannya sepanjang perbedaan pendapat itu tidak menyulut api peperangan atau tidak mengancam perdamaian. Perbedaan pendapat yang tajam antara Ali dan musuh-musuhnya itu tidak pernah dianggap terlalu serius oleh Ali sepanjang itu tidak mengancam keamanan kaum Muslimin.

Ali menganggap kesalahan berpendapat itu sebagai biasa saja sepanjang ada ‘aql yang dibiarkan bebas. Akan tetapi kaum Khawarij menyalahgunakan kebebasan yang telah diberikan kepada mereka. Kaum Khawarij mulai menghembuskan api permusuhan; fitnah yang keji; sifat anarkis; dan tindak teror di mana-mana di seluruh penjuru Arabia. Tindakan keji mereka terus menjadi-jadi hingga menghalalkan untuk membunuh kaum Muslimin yang bertauhid dan itu sudah melampaui batas kebebesan. Ali bergerak. Ali tidak berdiam diri ketika kebebasan sekarang terancam oleh tindakan fundamentalis. Ketika kebebasan ditantang fatalisme, maka Ali berontak dan mulai memberikan perlawanan.

Kota Kufah adalah kotanya Ali. Kota yang dibuatnya menjadi ibukota pemerintahan Islam. Kota itu terbuka bagi orang-orang Khawarij dan juga bagi musuh-musuh Ali lainnya. Mereka semua mendapatkan kebebasan yang maksimal di sana. Mereka boleh tinggal di Kufah; mereka boleh keluar masuk kota Kufah sesuka mereka. Dan Ali tidak pernah memberlakukan pengawasan yang ketat terhadap mereka. Dan mereka merasakan itu semua.

Seluruh warga negara—baik itu laki-laki maupun wanita; orang tua renta atau anak belia—mendapatkan subsidi langsung dari Baitul Mal. Orang-orang Khawarij juga tetap ikut menikmati subsidi itu sama seperti warga negara lainnya. Ali tidak pernah menggunakan kekuatan ekonomi negara itu sebagai alat untuk menjinakkan kaum Khawarij. Ali tidak pernah menggunakan harta Baitul Mal itu untuk membuat orang-orang Khawarij itu menjadi patuh, taat, dan mau tunduk pada pemerintahannya seperti yang biasa dilakukan oleh rezim penguasa baik di masa lalu maupun masa kemudian. Kaum Khawarij sendiri—di sisi lain—tidak pernah sedikitpun merasa berhutang budi atau berterimakasih kepada Ali. Mereka tetap memiliki niatan yang jahat; perasaan dendam kesumat; serta tujuan politis yang kuat. Mereka ingin membunuh Ali …………… hingga akhirnya mereka mencapai tujuannya pada suatu hari.

Selama masa-masa suram dalam masa pemerintahannya, Ali (sang pemegang wasiat dari Nabi akhir zaman) sama sekali tidak pernah membiarkan hal-hal yang merugikan menghancurkan kebebasan dan kemerdekaan. Ali tidak ingin hal-hal yang merugikan itu menghancurkan dan melenyapkan kebebasan yang ada dalam jiwa umat Muhammad. Umat Muhammad adalah umat yang merdeka. Umat Muhammad adalah umat yang bebas.

Banyak kepala negara yang memimpin sebuah negara seringkali menyanyikan lagu kebebasan dan kemerdekaan. Mereka dengan badan tegap memekikkan kata MERDEKA. Mereka menggunakan topik KEBEBASAN dan KEMERDEKAAN dalam pidato-pidato mereka. Akan tetapi tidak ada kepala negara yang seperti ALI dalam merealisasikan kebebasan dan kemerdekaan itu. Setelah Rasulullah, hanya Ali-lah yang benar-benar mewujudkan kebebasan itu dalam bentuk aslinya dan bukan hanya sekedar pidato-pidato seremonial dalam hari kemerdekaan. Tidak ada satu orang penguasa pun di dunia ini yang memberikan kebebasan dan kemerdekaan begitu melimpah kepada warga negaranya selain Ali. Tidak ada satu orang penguasa pun yang memberikan kebebasan kepada seluruh warga negaranya—baik itu kepada rakyat yang mendukungnya maupun kepada rakyat yang menentangnya. Kebebasan yang ia berikan kepada warga negaranya memberikannya kemenangan dalam perang Siffin; dan kebebasan yang sama juga kemudian memberikan Ali kesyahidan. Akan tetapi Ali tetap tidak peduli meskipun kebebasan yang ia berikan itu mengantarkannya kepada kematian.

Kekuasaan Ali itu adalah takdir yang baru yang diberkahkan kepada umat manusia, dan itu juga sekaligus merupakan harapan baru bagi kemanusiaan. Tidak pernah lagi sebelum dan sesudahnya dalam sejarah umat manusia, kaum Muslimin dan non-Muslimin bisa hidup bersama dalam suasana ceria tanpa ada rasa permusuhan yang tidak perlu antara keduanya. Kedua pihak saling menikmati kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan ibadahnya masing-masing tanpa ada rasa takut dan curiga. Kaum non-Muslimin merasa hidup aman dan tenteram tanpa ada gangguan sedikitpun dari kaum Muslimin—begitu juga sebaliknya. Mereka mendapatkan itu semua selama masa kepemimpinan Ali Ibn Abi Thalib.

 

ALI DAN WARISAN LUHURNYA

Ali itu merasa jijik terhadap orang-orang yang suka memamerkan kekayaannya di depan khalayak ramai. Ali juga tidak suka dengan hak istimewa yang biasanya dinikmati oleh sekelompok kecil manusia saja. Ali sepanjang hidupnya selalu bermusuhan atau berseberangan dengan orang-orang yang menikmati hak istimewa atau orang-orang yang senantiasa merasa istimewa dan menuntut untuk diperlakukan istimewa.

Sebagai penjaga garda depan agama Islam, Ali terus menerus mengawasi segala sesuatunya agar tetap berjalan sesuai di atas rel kebenaran. Dan Ali melakukan itu semua untuk dan demi Islam. Seandainya ia harus mengorbankan jiwa raganya untuk membela kepentingan Islam, maka ia akan suka rela dan menyambut dengan tangan terbuka kesempatan itu. Pada malam hijrahnya Rasulullah dari kota Mekah ke kota Madinah, Ali merelakan dirinya untuk tidur sendirian menggantikan Rasulullah dan di ranjangnya Rasulullah. Padahal kafirin Qurays sedang mengintai Rasulullah dan hendak membunuhnya beramai-ramai. Ia tidur di antara rahang singa-singa padang pasir yang bertaring tajam-tajam. Dan ia rela …………………. Sejak itu dirinya senantiasa menjadi tameng bagi Rasulullah dalam setiap peperangan dimana para sahabat lainnya (baik yang senior apalagi yang baru masuk Islam) berebutan untuk melarikan diri dari peperangan.

Dalam mempelajari kisah hidupnya Ali, ada 3 hal yang bisa kita petik dan pelajari:

YANG PERTAMA, Sifat Ali yang terkenal dan direkam baik oleh sejarah. Ali dikenal sebagai orang yang paling lemah lembut baik itu dalam keluarganya maupun di kantor pemerintahannya. Ali senantiasa berdiri tegak di atas gagasan dan ajaran yang termaktub dalam Al-Qur’an. Selama masa pemerintahaannya yang singkat, Ali berhasil untuk tetap setia pada ajaran Islam dan itu menjadi tantangan bagi umat manusia yang hidup setelahnya dimana sampai detik ini tidak ada lagi manusia yang berhasil menjadi pemimpin dengan senantiasa mengamalkan ajaran Al-Qur’an dan tidak tergoyahkan walau selangkahpun. Ali tetap memberlakukan persamaan bagi setiap umat manusia; memberikan kebebasan sehingga setiap orang merasakannya; dan kebijakan Ali itu tidak pernah berubah baik dalam keadaan perang apalagi dalam keadaan damai. Dalam diri Ali tergabung sifat Ali yang sejajar dengan ajaran Islam.

YANG KEDUA, Ali berhasil dalam mengemban tugas sebagai seorang pemimpin militer. Ali adalah seorang jenderal militer yang penuh dengan inspirasi. Ia membuat setiap orang terkagum-kagum dengan sifat kemanusiaannya. Ia memimpin kaum Muslimin dalam setiap peperangan dengan keterampilan perang yang mumpuni; penuh intuisi; penuh kesabaran; penuh ampunan. Ali sendiri adalah seorang pemimpin militer yang berhasil—bahkan yang paling berhasil—diantara para pemimpin lainnya. Ali berhasil memadukan idealisme dan filsafat Islam di satu sisi dengan strategi dan taktik perang dan politik di sisi lainnya.

YANG KETIGA: Tingkah laku dan prilaku Ali dan pengaruh keluhuran moralnya memberikan kontribusi yang besar terhadap kemajuan dan kesejahteraan kaum Muslimin. Ali mengajarkan mengajarkan kepada kita dan kepada semua orang bahwa cara untuk mencapai sebuah tujuan itu sama sucinya tujuan yang hendak dicapai. Artinya ialah bahwa sebuah tujuan itu haruslah suci, dan oleh karena itu cara untuk mencapai tujuan suci itu haruslah suci pula. Ali dengan jelas memberikan fundamental yang sangat jelas; sangat Islami; sangat suci. Ali betul-betul COPY PASTE dari Rasulullah. Ali dan Rasulullah sangat menjaga kesucian Islam. Ali dan Rasululah tidak pernah menggunakan unsur non Islami dalam setiap langkah politis dan militernya. Dan itu sangat berbeda dengan para pemimpin lainnya.

Masyarakat Islam yang ideal ialah masyarakat Islam yang mana di dalamnya orang-orangnya dan para pemimpinnya itu senantiasa mematuhi hukum Allah. Tujuan Ali sendiri—seperti yang direkam baik oleh sejarah yang benar dan masyhur—ialah membentuk manusia-manusia Islam agar senantiasa berusaha keras untuk meraih derajat takwa dengan antara lain membuat mereka mematuhi hukum-hukum Allah. Dengan mematuhi hukum-hukum itu. Dengan melakukan itu semua, Ali berhasil memperkuat etos kerja umat Islam dan sekaligus memperkuat sendi-sendi kehidupannya.

Ali menunjukkan kepada kaum Muslimin bagaimana cara mencontoh kepribadian agung nan luhur dari mertuanya, sepupunya, junjunannya—Muhammad al-Mustafa. Ali menunjukkan bahwa apa yang telah diperbuat oleh Muhammad al-Mustafa—Rasulullah yang mulia—itu bisa ditiru lagi dan dipraktekan lagi oleh umat setelahnya.

Semangat pengorbanan diri untuk cita-cita suci dan ajaran suci adalah warisan yang paling berharga yang ditinggalkan oleh setiap Nabi. Dan itu pula yang telah dikopi dan diwarisi oleh Ali dan keluarganya yang suci.

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta