BIARKANLAH AL-QUR’AN DAN AL-HADITS BERBICARA TENTANG KELAKUAN PARA SAHABAT NABI (BAGIAN 1): sahabat nabi ………. siapakah mereka itu?

OLEH: DR. MUHAMMAD AT-TIJANI AS-SAMAWI

157717_m[19]

Setiap hukum Islam, ajaran Islam, keyakinan Islam, dan lain-lain tentang Islam semuanya sampai kepada kita lewat para sahabat Nabi. Tidak ada satupun yang bisa mengklaim bahwa ia menyembah Allah atau shalat dengan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa menyebutkan bahwa ia juga mempelajari bagaimana para sahabat melakukannya. Para sahabat-lah yang menyampaikan kepada kita bagaimana Nabi itu shalat dan sebagainya. Para sahabat menjadi semacam perantara antara Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan kita.

Akan tetapi, kenyataan yang terpampang di hadapan kita sungguh menyesakkan dada. Para sahabat itu lebih sering bertikai satu sama lainnya; sebagian memerangi sebagian yang lain sepeninggal Rasulullah. Mereka saling mengutuk dan melaknat, saling berkelahi dan saling bunuh. Jadi sangat memungkinkan bagi kita (melihat hal ini) untuk meneliti terlebih dahulu apa-apa yang sampai pada kita dari para sahabat Nabi itu. Kita harus memandang mereka dengan pandangan yang kritis karena kalau tidak, salah-salah kita mendapatkan ajaran yang salah. Akan tetapi untuk mengetahui kepribadian para sahabat itu tidak mungkin kita mengetahuinya tanpa membaca kisah hidup mereka (biografi mereka). Kita harus mengetahui sepak terjang mereka baik ketika Rasulullah bersama mereka maupun ketika Rasulullah tiada. Ini harus dilakukan untuk membedakan mana sahabat yang bisa dipercaya dan mana sahabat yang sama sekali tidak bisa dipercaya; mana sahabat yang beriman dan bertakwa dan mana sahabat yang sesat sepeninggal Rasulullah yang mulia; mana yang amanah dan mana yang korup; mana yang tulus dan mana yang munafik; mana yang berpaling dan mana yang tetap di ajaran Islam.

Sayang sekali, saudara kita dari kalangan Ahlu Sunnah pada umumnya tidak memungkinkan hal ini. Mereka tidak mau memandang para sahabat dengan pandangan kritis. Mereka malah mencegah dengan segala cara agar para sahabat itu tidak dikritik dan tidak diteliti kesalahannya. Mereka cukup senang dengan para sahabat itu apa adanya dan memberikan do’a kepada mereka tanpa peduli apakah mereka pernah melakukan dosa besar atau tidak. Mereka memberikan do’a kepada para sahabat itu seperti sama halnya mereka memberikan do’a kepada Muhammad dan keluarganya. Semuanya tanpa kecuali.

Pertanyaan yang harus kita ajukan kepada saudara kita dari Ahlu Sunnah ialah:

“Apakah mengkritik dan kemudian berhasil menemukan kesalahan para sahabat itu melecehkan Islam?

Apakah mengkritik dan menemukan kesalahan para sahabat itu bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah?”

Untuk menjawab pertanyaan ini perlu kiranya kita menelaah terlebih dahulu perbuatan dan perkataan dari beberapa orang sahabat Nabi pada saat Nabi masih bersama mereka dan pada saat dimana Nabi sudah meninggalkan mereka setelah wafatnya sesuai dengan apa yang telah disebutkan berkali-kali oleh para sejarawan Ahlu Sunnah dalam kitab-kitab shahih mereka atau dalam musnad mereka dan dalam karya sejarah mereka. Saya akan membicarakan hal ini dengan tanpa menyentuh sedikitpun kitab-kitab sejarah dan hadits Syi’ah karena sebenarnya untuk menggambarkan kelakuan para sahabat Nabi sebelum dan sesudah Nabi wafat, kitab-kitab Ahlu Sunnah saja sudah cukup.   

Para sahabat Nabi yang akan kita bahas dalam pembicaraan kita ini tidak akan semuanya kita diskusikan, melainkan sebagian saja mengingat tempat yang kami miliki terbatas. Selain itu tidak semua sahabat Nabi itu memiliki prilaku menyimpang dan bertentangan dengan Islam. Sebagian dari para sahabat Nabi dikenal dengan kejujurannya, keshalehannya, dan ketakwaannya hingga mengundang pujian dari Nabi akhir zaman.

Kami harus mengatakan ini sebelumnya karena kami seringkali dituduh sebagai orang-orang yang anti para sahabat; pembenci para sahabat Nabi tanpa kecuali. Padahal menurut keyakinan kami tidak semua para sahabat Nabi seperti itu. Kami dituduh melakukan pencemaran nama baik para sahabat Nabi; melecehkan dan mencela para sahabat Nabi; serta mengutuk dan melaknat mereka tanpa kecuali. Sebaliknya, kami malah tidak pernah melakukan itu semua; kami tidak pernah mencela dan mengutuk para sahabat Nabi yang shaleh dan bertakwa. Kami ridho dan senang dengan para sahabat yang tulus yang digambarkan Al-Qur’an sebagai “Orang-orang bersyukur”. Kami berlindung kepada Allah dan berlepas diri dari mereka yang berpaling dari ajaran Allah; mereka yang berubah setelah Rasulullah tiada dan kemudian menyebabkan kaum Muslimin tersesat dan melenceng dari ajaran Islam yang murni. Akan tetapi walaupun begitu kami tidak akan memfitnah dan melecehkan para sahabat yang tersesat itu. Biarlah Allah yang menentukan hukuman yang pantas bagi mereka. Kami hanya akan memaparkan kelakuan atau tingkah laku para sahabat yang juga telah dipaparkan oleh para sejarawan sebelumnya juga diperkuat fakta-fakta yang telah ditelusuri dan dibenarkan oleh para ahli hadits supaya kebenaran bisa terpampang nyata di hadapan para pengamat dan penikmat sejarah. Saudara-saudara kami dari Ahlu Sunnah biasanya tidak suka akan hal ini; dan mereka malahan menyebutkan hal ini sebagai sebuah tindak pelecehan dan penistaan agama walaupun pada hakikatnya kita hanya meneliti dan mengkritisi manusia pelaku sejarah.

Al-Qur’an al-Karim yang merupakan firman Allah yang tidak pernah menyimpang dari kebenaran telah membukakan pintunya kepada kita dengan memberitahu kita bahwa diantara para sahabat itu ada yang munafik; ada yang korup; ada yang dzalim dan penindas; ada yang menjadi para pembohong; ada yang musyrik; ada yang kembali kepada agamanya yang dulu ia ikuti; ada yang menyusahkan Rasulullah sepanjang hidupnya dan lain-lain.

Rasulullah itu tidak pernah berbicara dengan hawa nafsunya sendiri. Kata-katanya ialah tidak lain merupakan wahyu Allah (QS. An-Najm: 4). Dan Rasulullah pernah bersabda bahwa diantara para sahabatnya itu ada yang murtad, musyrik, ingkar dan keluar dari agama. Rasulullah bersabda bahwa semua sahabat yang melakukan tindakan seperti itu akan masuk ke dalam api neraka dan hubungan persahabatan dengan Rasulullah menjadi tidak ada lagi manfaat untuk mereka. Malahan hubungan persahabatan dengan Rasulullah itu menjadi alasan yang memperkuat untuk memberikan hukuman yang lebih berat kepada mereka.

Allah—Yang Maha Bijaksana—dalam kitabnya dan juga dalam sunnah Rasulullah telah menyatakan bahwa kejadian itu benar adanya bahwa sebagian para sahabat akan mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatan mereka. Akan tetapi anehnya ……… kaum Ahlu Sunnah sama sekali tidak mau bahkan melarang orang-orang untuk memperdebatkan, mendiskusikan tingkah laku para sahabat Nabi sehingga kebenaran sejarah Islam tidak pernah terkuak seutuhnya. Akhirnya ………. kita tidak tahu para sahabat mana yang sungguh-sungguh membela Nabi dan tulus dalam perjuangannya sehingga kita bisa meneladani prilakunya untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita juga tidak tahu sahabat Nabi yang mana yang telah berpaling dari Islam dan pantas kita jauhi karena prilaku para sahabat itu tidak baik untuk kita contoh.

Pada suatu hari, aku sedang berada di ibukota Tunisia di salah satu mesjid terbesar yang ada di kota itu. Setelah selesai menunaikan ibadah shalat wajib, Imam mesjid duduk bersimpuh di tengah-tengah lingkaran yang terbentuk dengan sendirinya. Mereka yang membentuk lingkaran itu ialah orang-orang yang tadi shalat bersama dengannya dan bermakmum padanya. Imam mesjid itu memulai ceramahnya dengan mengolok-olok dan mengatakan sesat kepada orang-orang yang suka mengkritik para sahabat Nabi. Ia berbicara panjang lebar kurang lebih sebagai berikut:

“Berhati-hatilah kepada orang-orang yang berpura-pura sebagai orang akademis dan berbicara secara ilmiah serta menyebutkan bahwa mereka itu hendak mencari kebenaran kemudian mereka berkata buruk tentang para sahabat Nabi yang mulia. Laknat Allah sungguh telah menimpa mereka; juga laknat para malaikat dan seluruh umat manusia. Mereka itu sebenarnya ingin menciptakan keraguan diantara kalian tentang agama yang kalian yakini. Rasulullah telah bersabda: “Apabila ada sebuah hadits sampai kepadamu dari para sahabatku, maka terimalah. Demi Allah, apabila kalian memiliki emas setinggi gunung Uhud, itu tidak akan cukup untuk menyamai sepersepuluh kebaikan mereka.”

Salah seorang tercerahkan yang kebetulan bersama-sama mendampingi saya, mencoba untuk menyela Imam mesjid itu dengan berkata: “Hadits itu palsu dan itu merupakan kebohongan atas nama Rasulullah.” Imam mesjid itu dengan para hadirin yang lain langsung marah besar mendengar hal itu dan mereka berpaling kearah kami dengan menunjukkan wajah penuh rasa tidak percaya sekaligus murka. Sadar akan hal ini, maka saya mencoba untuk berdiplomasi dengan sang Imam mesjid. Saya berkata kepadanya:

“Tuan imam, apa dosanya seorang Muslim yang telah membaca dalam Al-Qur’an: ‘Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.’ (QS. Ali-Imran: 144)

Dan apa dosanya seorang Muslim yang membaca dalam Sahih Bukhari dan Muslim dimana Rasulullah bersabda kepada para sahabatnya:

‘Pada hari kebangkitan kalian akan diseret dari sebelah kiri, dan aku akan berkata: ‘Kemana mereka akan dibawa?’. Kemudian ada sebuah suara yang mengatakan : ‘Ke neraka, demi Allah.’ Kemudian aku akan berkata: ‘Ya, Allah! Mereka adalah para sahabatku.’ Kemudian ada suara lagi: ‘Engkau tidak tahu apa-apa yang mereka lakukan sepeninggalmu. Sejak engkau meninggalkan mereka, mereka tidak pernah henti-hentinya melakukan kesesatan.’ Aku akan berkata: ‘Bawalah dia jauh-jauh; bawalah dia jauh-jauh; celakalah dia yang telah mengubah aturan sepeninggalku. Dan aku tidak melihat satupun dari mereka itu selamat kecuali setelah ia keluar seperti seekor biri-biri yang bermuka sedih.’”

Setiap orang mendengarkanku dengan diam seribu bahasa, Mereka menunggu dengan seksama. Beberapa orang dari mereka bertanya apakah saya yakin bahwa hadits itu ada di dalam kitab al-Bukhari? Saya menjawab: “Ya, tentu saja. Saya yakin sekali. Sama yakin-nya dengan keyakinan saya bahwa Allah itu Esa. Ia tidak memiliki sekutu dan Muhammad adalah hambanya dan Nabinya.”

Ketika Imam mesjid itu menyadari dampak yang saya timbulkan terhadap para jama’ah yang hadir—karena saya sudah menyampaikan sebuah hadits yang berhubungan dengan itu—maka kemudian ia berkata dengan tenangnya: “Kami belajar dari para syaikh kami—semoga Allah meridhoi mereka—bahwa perbedaan pendapat itu sudah mati. Dan semoga Allah melaknat orang-orang yang suka menghidupkannya.”

Aku berkata kepadanya:

“Wahai tuan, perbedaan pendapat itu tidak pernah mati. Kitalah yang tidur dan pura-pura lupa selama ini. Orang yang ada diantara kita ini yang tadi terbangun dan membuka matanya untuk mengenali kebenaran anda tuduh sebagai orang yang menghidupkan pertentangan atau perbedaan pendapat. Padahal perbedaan pendapat itu sudah ada dari dulu. Kaum Muslimin itu seharusnya hanya mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasulullah dan bukan mengikuti kata-kata syaikh yang senang kepada Mu’awiyah, Yazid, dan Amr Ibn al-Aas.”

Imam mesjid itu menyela dengan berkata:

“Apakah anda tidak suka kepada Mu’awiyah—sang penulis wahyu?” Aku berkata: “Permasalahan ini membutuhkan waktu yang cukup lama apabila kita bahas. Apabila anda berkenan untuk mengetahui pendirian saya mengenai hal ini, maka saya akan memberikan buku saya yang berjudul “THEN I WAS GUIDED (Telah Kutemukan Kebenaran).” Insya Allah buku itu akan membangunkan anda dari tidur anda dan membukakan mata anda untuk melihat kenyataan dan kebenaran.”

Imam mesjid itu bisa menerima apa yang saya bicarakan dan mau menerima buku yang saya tawarkan meskipun dengan ragu-ragu. Setelah sebulan berlalu, Imam mesjid itu menulis sebuah surat yang indah sekali isinya. Ia memuji Allah karena telah diberikan petunjuk kepada kebenaran. Ia juga menunjukkan kecintaannya kepada Ahlul Bayt dalam suratnya. Aku memohon ijin kepadanya agar aku bisa menuliskan suratnya dalam edisi ketiga (dari buku yang saya sudah berikan kepadanya); karena surat itu mengandung kecintaan dan ketulusan yang ditunjukkan seseorang yang ketika ia melihat kebenaran, maka ia akan pegang teguh dengan kuat kebenaran itu. Sebenarnya ini biasa ditunjukkan oleh kebanyakan saudara kita dari kalangan Ahlu Sunnah. Ketika ditunjukkan kebenaran yang sesungguhnya, maka mereka condong kepadanya.

Akan tetapi, Imam mesjid itu meminta saya untuk menyimpan suratnya itu dan merahasiakannya dan meminta saya untuk tidak mempublikasikannya karena beliau memerlukan waktu yang cukup untuk meyakinkan jama’ahnya yang suka shalat di belakangnya. Beliau memerlukan waktu untuk menerangkan kepada jama’ahnya tentang keyakinan yang sekarang dianutnya. Beliau juga menginginkan kepindahannya kepada keyakinan terhadap Ahlul Bayt itu haruslah secara damai, tanpa perlu adanya keributan dan kebingungan. 

Marilah kita lihat lagi topik pembicaraan tentang para sahabat Nabi supaya kita bisa melihat dengan jelas bahwa kebenaran itu terkadang terasa pahit—terutama bagi orang yang tidak mengikuti kebenaran tersebut. Al-Qur’an—kitab yang paling bijaksana dan penuh dengan pengetahuan—telah merekam dengan jelas tentang sepak terjang para sahabat Nabi. Begitu juga hadits-hadits Nabi yang juga membicarakan dengan tegas tentang kelakuan menyimpang dari sebagian sahabat Nabi.

Kita mulai dulu dengan firman-firman Allah dalam Al-Qur’an yang tentu saja tidak ada keraguan dan kesalahan di dalamnya. Tidak mungkin kesalahan dan kepalsuan memasukinya—baik dari depan maupun dari belakang. Al-Qur’an itu aturan yang baku; aturan yang valid yang berlaku sepanjang jaman. Al-Qur’an bisa dijadikan tolak ukur kebenaran—dijadikan pembeda antara yang benar dan yang salah. Tentang para sahabat Nabi Al-Qur’an berbicara seperti ini:

  1. “Di antara orang-orang Arab yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada adzab yang besar.” (QS. At-Taubah: 101)
  2. “Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam, dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertobat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.” (QS. At-Taubah: 74)
  3. “Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta.” (QS. At-Taubah: 77)
  4. “Orang-orang Arab itu, lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 97)
  5. “Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 8—10)
  6. “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan. Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti.” (QS. Al-Munafiquun: 1—3)
  7. “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna". (QS. An-Nisaa: 60—62)
  8. “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisaa: 142)
  9. “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS. Al-Munafiquun: 4)
  10. “Mereka bakhil terhadapmu apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan. Mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapuskan (pahala) amalnya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Ahzab: 19)
  11. “Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu mereka berkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi): "Apakah yang dikatakannya tadi?" Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka.” (QS. Muhammad: 16)
  12. “Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu. (QS. Muhammad: 30)
  13. “Orang-orang yang tertinggal  akan mengatakan: "Harta dan keluarga kami telah merintangi kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami"; mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah: "Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudaratan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Fath: 11)

Ayat-ayat suci dari Kitabullah ini benar-benar menohok perasaan. Ayat-ayat ini jelas sekali menggambarkan kondisi sebagian dari para sahabat Nabi yang menjadi orang-orang munafik. Para sahabat Nabi ini sebagian masuk ke jajaran elit para sahabat Nabi. Kalau saja Allah tidak menyebutkannya dalam KitabNya, maka fakta ini akan tersembunyi dari manusia. Manusia tidak akan tahu akan kelakuan para sahabat Nabi baik ketika Nabi masih hidup maupun ketika Nabi sudah wafat. Kebenaran itu memang pahit terasa bagi mereka yang suka memuja-muji para sahabat tanpa rasa kritis sedikitpun.

Meskipun begitu, saudara kita dari kalangan Ahlu Sunnah senantiasa menentang itu. Mereka mengatakan:

“Apa yang kami lakukan terhadap kaum munafik? Kami mengutuk mereka: Semoga Allah melaknat mereka. Akan tetapi para sahabat Nabi itu bukanlah termasuk bagian dari mereka. Dan orang-orang munafik ini juga bukan bagian dari para sahabat Nabi.”

Apabila anda bertanya kepada mereka (kaum Ahlu Sunnah) seperti ini:

“Kalau begitu siapakah orang-orang munafik yang disebutkan dalam kurang lebih 150 ayat yang ada dalam surat ke-9 dan surat ke-63 itu?”

Mereka akan menjawab:

“Mereka itu Abdullah Ibn Ubayy dan Abdullah Ibn Salul.”

Selain DUA ORANG INI, mereka tidak bisa lagi menyebutkan nama-namanya.

Allahu Akbar! Seandainya Rasulullah sendiri tidak tahu akan keberadaan mereka dan nama-nama mereka, maka bagaimana mungkin orang-orang munafik itu terbatas hanya pada Ibn Ubayy dan Ibn Abi Salul? Padahal mereka itu dikenal baik oleh seluruh kaum Muslimin! Bagaimana mungkin Allah menyebutkan bahwa Rasulullah pun tidak tahu orang-orang munafik itu (LIHAT: QS. At-Taubah: 101), sedangkan kaum Muslimin sudah tahu! Penjelasan yang sangat masuk akal adalah orang-orang munafik itu lebih dari dua orang. Dan itu berarti ada sebagian lagi diantara para sahabat Nabi yang munafik.

Rasulullah itu hanya mengetahui sedikit dari mereka dan kemudian menyebutkan nama-namanya kepada Hudzaifah Ibn al-Yamani dan kemudian menyuruhnya untuk menyembunyikan perkara itu. Hingga kemudian Umar Ibn Khattab—ketika ia menjadi khalifah—seringkali bertanya kepada Hudzaifah tentang dirinya: “Apakah DIA (Umar) ada diantara orang-orang munafik itu?” Ini tercantum dalam kitab-kitab Ahlu Sunnah. Rasulullah sendiri memberikan sebuah petunjuk yang sangat jelas tentang orang-orang munafik ini. Diantaranya ialah orang-orang munafik itu akan menunjukkan kebenciannya kepada Ali Ibn Abi Thalib seperti yang dituliskan dalam kitab-kitab Sahih Ahlu Sunnah.

Kebanyakan dari para sahabat yang disukai oleh kaum Ahlu Sunnah dan mendapatkan kedudukan yang paling tinggi di hati kaum Ahlu Sunnah itu semuanya membenci Ali Ibn Abi Thalib. Mereka bahkan memerangi Ali. Mereka mencoba membunuh Ali. Mereka mengutuk Ali ketika Ali masih hidup dan ketika Ali sudah wafat. Mereka melakukannya bukan saja kepada Ali; melainkan juga kepada keluarga Ali dan kepada orang-orang yang mencintai Ali. Yang melakukan seluruh perbuatan jahat itu kepada Ali adalah mereka yang disebut sebagai sahabat ternama dan terkemuka.

Rasulullah itu bijaksana. Dan karena kebijaksanaannya itu maka ia merasa perlu untuk memberitahu Hudzaifah (salah seorang sahabatnya yang ia percayai) nama-nama orang-orang munafik yang ada di kalangan para sahabat Nabi. Di dalam kesempatan yang lain, Rasulullah memberitahu kaum Muslimin tanda-tanda orang-orang munafik itu. Itu dilakukan oleh Rasulullah untuk memenuhi kewajibannya kepada umatnya agar nanti tak ada seorangpun yang bisa menyangkal dengan perkataan: “Kami tidak tahu tentang itu, karena kami belum pernah diberitahu sebelumnya!”

Apa yang dilakukan oleh saudara-saudara kita dari kalangan Ahlu Sunnah sekarang ini adalah perbuatan yang betul-betul sia-sia belaka. Mereka seringkali berkata: “Kami juga mencintai Imam Ali (kw).” Kami terpaksa berkata kepada mereka: “Tidak akan pernah ada di hati seorang beriman untuk mencintai para kekasih Allah sekaligus mencintai musuh-musuh Allah.” Imam Ali sendiri pernah bersabda: “Orang-orang yang menyamaratakan kami dengan musuh-musuh kami bukanlah termasuk golongan kami.”

Lebih jauh lagi, Al-Qur’an itu ketika membicarakan para sahabat Nabi, maka ia jauh lebih banya berbicara tentang secara gamblang dan penuh dengan penggambaran serta ciri-ciri yang jelas. Sebagian kecil ayat al-Qur’an berbicara tentang para sahabat yang tulus dan ikhlas dan kemudian untuk selebihnya al-Qur’an berbicara tentang para sahabat yang korup; para sahabat yang suka menipu satu sama lainnya. Para sahabat yang suka mengabaikan perintah Nabi. Para sahabat yang suka ingkar janji; suka memperlihatkan perasaan ragunya terhadap keberadaan Allah dan kenabian Muhammad; suka kabur dari peperangan padahal Nabi membutuhkan bantuan mereka; suka menentang kebenaran secara terang-terangan; suka menentang perintah Allah dan RasulNya baik secara langsung maupun tidak langsung; suka menghalang-halangi orang yang hendak berjihad; suka terburu-buru dalam melakukan pekerjaan sia-sia dan menyepelekan urusan; suka meninggalkan shalat; suka berdusta; suka membual bahwa mereka melakukan sebuah pekerjaan baik untuk Allah dan RasulNya atau untuk Islam. Para sahabat itu banyak yang hatinya keras bagai karang; jarang berdzikir untuk mengingat Allah; menyusahkan Nabi dengan tingkah lakunya yang berlebihan; lebih suka mendengarkan perkataan orang-orang munafik lainnya ketimbang perkataan Rasulullah yang mulia.

Kita cukupkan dulu sampai di sini penjelasan singkat ini. Kita akan sambung lagi dengan penjelasan yang jauh lebih rinci. Masih banyak lagi ayat-ayat suci yang akan kita bahas yang kesemuanya menggambarkan prilaku para sahabat yang sudah melampaui batas.

Kami melakukan ini untuk mendapatkan pengajaran Islam yang lebih jelas. Pengajaran Islam yang sebelumnya sudah terkena distorsi dalam rentang sejarah yang panjang. Islam itu sampai pada kita lewat para sahabat Nabi. Apabila para sahabat Nabi itu banyak yang ingkar dan melenceng dari kebenaran, maka sudah seharusnya kita melakukan proses seleksi yang ketat, agar Islam yang sampai kepada kita ialah Islam yang disampaikan oleh para sahabat Nabi yang mulia—para sahabat Nabi yang setia dan tak pernah berdusta; para sahabat Nabi yang tulus dalam menjalankan ibadahnya.

BERSAMBUNG

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta