FATWA MENGERIKAN IBNU TAYMIAH YANG MENGILHAMI TERORISME DALAM ISLAM

Ibnu Taymiah—mengilhami terorisme di kalangan Salafi Wahabi


Kita sekarang hidup di jaman penuh dengan kekerasan. Kita hanya perlu menyalakan televisi kita untuk melihat gambar-gambar penuh kekerasan yang terjadi di seantero bumi. Ada adegan kekerasan dimana yang jadi korban ialah kaum perempuan yang tidak berdosa atau anak-anak dan balita. Kaum Salafi Wahabi yang tergabung kedalam kelompok teroris Al-Qaedah sudah mempraktekan tindak kekerasan yang sudah melampaui batas (sekarang diikuti oleh kelompok teroris ISIS yang jauh lebih kejam lagi). Mereka tidak segan-segan untuk menumpahkan darah siapapun yang menentang ideologi mereka; tidak peduli apakah yang menentangnya itu tua renta atau masih muda; muslim atau non-muslim. Semua bagi teroris Salafi Wahabi itu adalah target yang sah dan boleh dibinasakan.

Kalau kita mencoba mencari tahu siapa yang menjadi inspirator atau tokoh panutan mereka sehingga mereka memiliki tingkah laku yang brutal dan tidak masuk akal seperti itu, maka jawabannya tidak lain ialah karena mereka mengidolakan Ibnu Taymiah. Ideologi yang diajarkan oleh Ibnu Taymiah memberikan lampu hijau kepada mereka agar mau bertindak keji, membantai manusia dan melecehkan kemanusiaan. Membunuh orang yang berlainan ideologi adalah kebiasaan yang lumrah bagi mereka. Untuk lebih jauh lagi mari kita simak beberapa fatwa mengerikan yang dikeluarkan oleh Ibnu Taymiah yang diikuti dan dipatuhi oleh mereka, kaum Nashibi/Salafi Wahabi:

Fatwa Pertama—Mereka yang menolak pandangan bahwa Allah (SWT) itu duduk di arsy, harus dihukum mati

Ibnu Taimiyah menggelontorkan ajaran berikut ini dalam kitabnya yang sangat terkenal dan dipandang orang yaitu kitab Majmo’a al-Fatawa, Volume 5, halaman 391:

الْإِمَامَ أَبَا بَكْرٍ مُحَمَّدَ بْنَ إسْحَاقَ بْنِ خُزَيْمَة يَقُولُ : مَنْ لَمْ يُقِرَّ بِأَنَّ اللَّهَ عَلَى عَرْشِهِ قَدْ سْتَوَى فَوْقَ سَبْعِ سَمَوَاتِهِ ؛ فَهُوَ كَافِرٌ بِهِ حَلَالُ الدَّمِ يُسْتَتَابُ فَإِنْ تَابَ ؛ وَإِلَّا ضُرِبَتْ عُنُقُهُ وَأُلْقِيَ عَلَى بَعْضِ الْمَزَابِلِ .

“Imam Aba Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaima berkata: ‘Barangsiapa yang tidak mengakui bahwa Allah itu duduk di Arsy di langit ke tujuh, maka ia adalah Kafir dan darahnya harus ditumpahkan. Ia harus dipaksa bertaubat. Kalau tidak lehernya harus dipancung dan tubuhnya dilemparkan ke tempat sampah.’[1]

Dampak dari fatwa ini

Dampak dari fatwa yang buruk ini ialah bahwa kaum Syi’ah, Kaum Zaidiyyah, Ismailiyyah, Ibadiy, kaum Sufi, kaum Asy’ariyyah, Maturidiyyah, dan Mu’tazili yang semuanya Muslim (hanya berbeda madzhab saja) harus dibunuh kalau kita menuruti fatwa jahat dari Ibnu Taymiah dan Ibnu Khuzaimah ini!

Fatwa Kedua—Mereka yang menolak pandangan bahwa Allah (SWT) itu akan terlihat di hari akhirat nanti, harus dihukum mati

Kita bisa baca dalam kitab Majmo’a al-Fatawa, Volume 6, halaman 500:

أَبَا عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ : مَنْ زَعَمَ أَنَّ اللَّهَ لَا يُرَى فِي الْآخِرَةِ فَقَدَ كَفَرَ وَكَذَّبَ بِالْقُرْآنِ وَرَدَّ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى أَمْرَهُ يُسْتَتَابُ فَإِنْ تَابَ وَإِلَّا قُتِلَ

Aba Abdillah berkata: ‘Barangsiapa yang berpendapat bahwa Allah itu tidak bisa terlihat (oleh pandangan mata) di hari akhirat nanti, maka ia itu sudah Kafir dan telah menolak Qur’an dan menentang Allah. Ia harus dipaksa bertaubat. Kalau tidak ia harus dibunuh.’

Dampak dari fatwa buruk ini

Itu artinya ialah bahwa kaum Syi’ah, Zaidiyyah, Ismailiyyah, Ibadiy, dan Mu’tazili harus dibunuh karena tidak memiliki pandangan yang sama dengan pandangan Ibnu Taymiah.


Fatwa Ketiga—Mereka yang melafalkan Niat Shalat keras-keras harus dihukum mati

Kita lihat dalam kitab Majmo’a al-Fatawa, Volume 22, halaman 236:
الْجَهْرُ بِلَفْظِ النِّيَّةِ لَيْسَ مَشْرُوعًا عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ وَلَا فَعَلَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فَعَلَهُ أَحَدٌ مِنْ خُلَفَائِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَفِ الْأُمَّةِ وَأَئِمَّتِهَا وَمَنْ ادَّعَى أَنَّ ذَلِكَ دِينُ اللَّهِ وَأَنَّهُ وَاجِبٌ فَإِنَّهُ يَجِبُ تَعْرِيفُهُ الشَّرِيعَةَ وَاسْتِتَابَتُهُ مِنْ هَذَا الْقَوْلِ فَإِنْ أَصَرَّ عَلَى ذَلِكَ قُتِلَ
“Mengucapkan niat (shalat) secara keras (didzaharkan) itu tidak diperbolehkan oleh para Ulama. Baik Rasulullah, maupun para khalifah, para sahabat, kaum Salaf atau para Imam tidak ada yang melakukannya. Barangsiapa ada orang yang menyebutnya sebagai wajib, maka ia harus diberitahu tentang hukum, dan ia harus dipaksa bertaubat dari pendapatnya itu. Kalau ia tetap menolak, maka ia harus dibunuh.”[2]

Fatwa Keempat—Kita boleh membunuh atau memperbudak musuh-musuh kita

Kita bisa baca dalam kitab Al-Seyasa al-Shari’a yang ditulis oleh Ibnu Taimiyah, di halaman 159:

ولهذا أوجبت الشريعة قتل الكفار ولم توجب قتل المقدور عليهم منهم بل إذا أسر الرجل منهم في القتال أو غير القتال مثل أن تلقيه السفينة إلينا أو يضل الطريق أو يؤخذ بحيلة فإنه يفعل فيه الإمام الأصلح من قتله أو استعباده

“Oleh karena itu hukum Syari’ah mewajibkan kita untuk membunuh kaum kafirin; akan tetapi tidak diwajibkan untuk membunuh mereka yang tertawan dalam peperangan atau selain itu seperti terjatuh dari sebuah kapal atau tersesat atau diculik. Akan tetapi, imam memutuskan bahwa yang paling baik ialah bahwa mereka harus dibunuh atau dijadikan budak belian”

 

Fatwa Kelima—Mereka yang tidak percaya bahwa Allah (SWT) pernah berbicara secara nyata kepada Musa (as) dan Jibril (as), maka ia harus dibunuh

Dalam kitab Majmo’a al-Fatawa, Volume 12, pada halaman 502:

وَسُئِلَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ – رَحِمَهُ اللَّهُ – :فِي رَجُلٍ قَالَ : إنَّ اللَّهَ لَمْ يُكَلِّمْ مُوسَى تَكْلِيمًا وَإِنَّمَا خَلَقَ الْكَلَامَ وَالصَّوْتَ فِي الشَّجَرَةِ وَمُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ سَمِعَ مِنْ الشَّجَرَةِ لَا مِنْ اللَّهِ وَأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يُكَلِّمْ جِبْرِيلَ بِالْقُرْآنِ وَإِنَّمَا أَخَذَهُ مِنْ اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ . فَهَلْ هُوَ عَلَى الصَّوَابِ أَمْ لَا ؟فَأَجَابَ :
الْحَمْدُ لِلَّهِ ، لَيْسَ هَذَا عَلَى الصَّوَابِ ؛ بَلْ هَذَا ضَالٌّ مُفْتَرٍ كَاذِبٌ بِاتِّفَاقِ سَلَفِ الْأُمَّةِ وَأَئِمَّتِهَا ؛ بَلْ هُوَ كَافِرٌ يَجِبُ أَنْ يُسْتَتَابَ فَإِنْ تَابَ وَإِلَّا قُتِلَ

Sheikh al-Islam, semoga Allah menyayanginya, ditanya:
“Seseorang berkata bahwa Allah tidak berbicara langsung kepada Musa sendiri melainkan Ia menciptakan sebuah suara dari balik pepohonan dan Musa (as) mendengar suara itu dari pohon tersebut dan tidak dari Allah langsung; dan Allah juga tidak berbicara langsung kepada Jibril melewati Qur’an, melainkan ia (Jibril) mendapatkannya dari sebuah Kitab yang terjaga. Apakah pandangan itu benar atau tidak?
Ia menjawab:
Alhamdulillah, ia tentu saja tidak benar. Tidak, ia tidak benar. Ia sudah tersesat dan berbohong dipandang dari sudut kaum Salaf dan para Imam. Ia itu sudah kafir dan harus bertaubat atau kalau tidak, ia harus dibunuh.

Dampak buruk dari fatwa buruk itu

Itu artinya ialah bahwa kaum Syi’ah, Zaidiyyah, Ismailiyyah, Ibadiy, Asy’ariy, Maturidi, Sufi dan Mu’tazili harus dibunuh dan dibinasakan.

Fatwa Keenam—Mereka yang beranggapan bahwa orang yang melakukan perjalanan itu bisa melakukan shalat secara sempurna, harus dihukum mati

Dalam kitab Majmo’a al-Fatawa, Volume 22, halaman 31 disebutkan:

وَمَنْ قَالَ إنَّهُ يَجِبُ عَلَى كُلِّ مُسَافِرٍ أَنْ يُصَلِّيَ أَرْبَعًا فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ قَالَ : إنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمُسَافِرِ أَنْ يَصُومَ شَهْرَ رَمَضَانَ ، وَكِلَاهُمَا ضَلَالٌ ، مُخَالِفٌ لِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ ، يُسْتَتَابُ قَائِلُهُ ، فَإِنْ تَابَ وَإِلَّا قُتِلَ .

“Barangsiapa ada yang mengatakan bahwa seorang musafir harus shalat 4 raka’at, itu sama saja dengan mengatakan bahwa yang melakukan perjalanan itu harus berpuasa di bulan Ramadhan. Kedua pendapat ini sesat, dan bertentangan dengan Ijma kaum Muslimin. Orang yang mengatakan ini harus bertaubat dan apabila tidak, maka ia harus dibunuh.”

Dampak buruk dari fatwa buruk itu

Itu artinya ialah bahwa banyak sekali sahabat Nabi dan para ulama harus dibunuh karena fatwa dari Ibnu Taymiah tersebut. Penjelasan berikut akan menjelaskannya kepada anda. Dalam kitab Al-Mughni yang ditulis oleh Imam Ibn Qudama, Volume 2, halaman 107 tertulis sebagai berikut:

الْمَشْهُورُ عَنْ أَحْمَدَ ، أَنَّ الْمُسَافِرَ إنْ شَاءَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، وَإِنْ شَاءَ أَتَمَّ .
وَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ تَوَقَّفَ ، وَقَالَ : أَنَا أُحِبُّ الْعَافِيَةَ مِنْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ .
وَمِمَّنْ رُوِيَ عَنْهُ الْإِتْمَامُ فِي السَّفَرِ : عُثْمَانُ ، وَسَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ ، وَابْنُ مَسْعُودٍ ، وَابْنُ عُمَرَ ، وَعَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَبِهِ قَالَ الْأَوْزَاعِيُّ ، وَالشَّافِعِيُّ ، وَهُوَ الْمَشْهُورُ عَنْ مَالِكٍ .

“Sudah masyhur dari Ahmad (bin Hanbal) bahwasannya apabila seorang musafir (orang yang melakukan perjalanan) hendak melakukan shalat, ia bisa shalat dua raka’at, dan apabila ia mau, ia bisa saja shalat dengan raka’at yang lengkap (4 raka’at).”

“Diriwayatkan bahwa ia (Ibn Hanbal) berhenti (dalam berfatwa) dan berkata: ‘Aku ingin selamat dari permasalahan ini.’ Dan mereka yang meriwayatkan dari pernyataan yang mengatakan harus shalat dengan bilangan raka’at yang lengkap ialah: Utsman, Sa’ad bin Abi Waqqas, Ibn Mas’ud, Ibn Umar, dan ‘Aisyah, semoga Allah meridhoi mereka semua; dan ini adalah perkataan (fatwa) dari Awzai, Syafi’i, dan (pendapat) yang terkenal dari Malik.”[3]


Fatwa Ketujuh—Mereka yang percaya bahwa al-Qur’an itu makhluk, harus dihukum mati

Dalam kitab Majmo’a al-Fatawa, Volume 12, di halaman 506:

بَلْ اشْتَهَرَ عَنْ أَئِمَّةِ السَّلَفِ تَكْفِيرُ مَنْ قَالَ : الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ وَأَنَّهُ يُسْتَتَابُ فَإِنْ تَابَ وَإِلَّا قُتِلَ

“Sudah dikenal di kalangan para Imam Salaf bahwa harus dikafirkan orang yang berkata bahwa Qur’an itu makhluk, maka ia harus dibunuh.”

Dampak buruk dari fatwa yang buruk itu

Dampak dari fatwa itu ialah kaum Syi’ah, Zaidiyyah, Ismailiyyah, Ibadiy, dan Mu’tazili yang memiliki pandangan yang berbeda dengan Ibnu Taymiah semuanya harus dibunuh.


Fatwa Kedelapan—Mereka yang patuh mengikuti seorang Imam tertentu, harus dihukum mati

Dalam kitab Majmo’a al-Fatawa, Volume 22, di halaman 249 disebutkan:

فَإِنَّهُ مَتَى اعْتَقَدَ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى النَّاسِ اتِّبَاعُ وَاحِدٍ بِعَيْنِهِ مِنْ هَؤُلَاءِ الْأَئِمَّةِ دُونَ الْإِمَامِ الْآخَرِ فَإِنَّهُ يَجِبُ أَنْ يُسْتَتَابَ فَإِنْ تَابَ وَإِلَّا قُتِلَ .

“Siapapun yang percaya bahwa orang-orang itu harus mengikuti seorang Imam tertentu diantara Imam-imam yang ada dan bukan imam lainnya, maka ia harus dipaksa bertaubat dan kalau tidak, maka harus dihukum mati”

Dampak buruk dari fatwa buruk itu

Seperti halnya fatwa-fatwa lainnya, fatwa ini juga berdampak buruk sekali karena bisa mengancam keselamatan kaum Muslimin yang berbeda-beda madzhabnya. Kaum Syi’ah, kaum Zaidiyyah, Ismailiyyah, Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanbaliyyah[4], dan Zahiri harus dihukum mati.

Ibnu Taimiyah benar-benar ingin menghabisi siapa saja yang tidak setuju dengan pendapatnya.[5]

Kita bisa baca dalam kitab Al-Uqood al-Duria yang ditulis oleh Ibnu Abdulhadi al-Maqdisi, Volume 1, halaman 197 sebagai berikut:

وكان توجه الشيخ تقي الدين رضي الله عنه إلى الكروانيين في مستهل ذي الحجة من سنة أربع وسبعمائة وصحبته الأمير قراقوش وتوجه نائب السلطنة الأمير جمال الدين الأفرم بمن تأخر من عسكر دمشق إليهم لغزوهم واستئصالهم في ثاني شهر المحرم من سنة خمس وسبعمائة وكان قد توجه قبله العسكر طائفة بعد طائفة في ذي الحجة وفي يوم الخميس سابع عشر وصل النائب والعسكر معه إلى دمشق بعد أن نصرهم الله تعالى على حزب الضلال من الروافض والنصيرية وأصحاب العقائد الفاسدة وأبادهم الله من تلك الأرض والحمد لله رب العالمين

Sheikh Taqi al-Deen—semoga Allah meridhoinya—berjalan ke Kerwanin di awal bulan Dzulhijjah tahun 704H bersama pangeran Qaraqush.

“Pangeran Jamal al-Deen al-Afram, deputi kerajaan, berjalan bersama sisa pasukan kerajaan ke Damaskus pada bulan Muharam tahun 705H untuk menginvasi kota Damaskus dan membunuhi penduduknya. Sebelum ia berangkat, sudah ada pasukan lainnya yang berangkat sebelumnya. “

“Pada hari Kamis tanggal 17 Dzulhijjah, deputi kerajaan dan pasukannya tiba di kota Damaskus setelah Allah memberikan mereka kemenangan atas kaum sesat Rafidah, Nusairia, dan kelompok-kelompok sesat lainnya yang memiliki keyakinan yang salah. Dan Allah membinasakan mereka di tanah itu. Alhamdulillah Ar-Rabbul ‘Alamin.”[6]

Kesimpulan

Kami ingin menjelaskan kepada para pembaca baik itu Muslim maupun non-Muslim bahwa Islam itu tidak ada hubungannya dengan kekerasan dan fatwa yang mengijinkan atau menyuruh untuk melakukan perbuatan kekerasan. Fatwa untuk melakukan kekerasan tidak ada hubungannya dengan Islam dan kaum Muslimin; fatwa untuk melakukan kekerasan hanya diberikan oleh para pemimpin kelompok Salafi yang memuja-muja Ibnu Taymiah sang Syeikhul Islam. Cukuplah kita melihat sendiri betapa kaum Nasibi/Salafi Wahabi setiap saat bersedia untuk menumpahkan darah sesama kaum Muslimin (hanya karena berbeda aliran atau paham atau madzhab).

Kita tidak heran sama sekali ketika kita sekarang ini melihat betapa banyak kaum Muslimin yang tidak berdosa dibantai di pasar-pasar dan di jalanan di kota Baghdad. Para teroris bom bunuh diri yang diilhami oleh para pemimpin ruhani mereka—yang tulisan-tulisannya dipenuhi dengan ajakan untuk melakukan tindak kekerasan, kekejaman, dan pembunuhan serta pembantaian terhadap orang-orang yang berseberangan paham dengan mereka. Islam tidak menyisakan ruangan bagi orang-orang sesat yang suka kekerasan seperti itu; Islam sangat bertentangan dengan tindak terorisme dengan mengatas-namakan agama. Sama sekali tidak ada kewajiban untuk mengikuti fatwa-fatwa buruk seperti di atas. Bahkan kewajiban kita untuk menentang fatwa gila seperti itu. Fatwa yang melahirkan terorisme berdalihkan agama.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir……..”. (QS.Al-Kahfi: 29)

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat…… (QS. Al-Baqarah: 256)

Berlawanan dengan Al-Qur’an, Ibnu Taymiah malah menulis satu single volume kitab berjudul al-Sarem al-Maslool” yang berisikan 438 halaman dimana di dalamnya ia menggunakan atau menuliskan:

n  Kata-kata “bunuh” sebanyak 978 kali
n  Kata-kata “kafir” 56 kali
n  Kata-kata “murtad” 34 kali
n  Kata-kata “darahnya harus ditumpahkan” 14 kali
n  Kata-kata “dipenggal” 8 kali
n  Kata-kata “perang” 7 kali

Apabila satu kitab saja dipenuhi oleh kata-kata yang bernada kekerasan dan ajakan untuk melakukan kekerasan, maka bisa kita bayangkan fatwa-fatwa yang jauh lebih mengerikan di dalam kitab-kitab Syaikhul Islam yang lainnya.




[1] Perlakuan buruk terhadap jenazah—baik itu jenazah kaum Muslimin ataupun jenazah Kafirin—bukanlah prilaku yang baik dan sama sekali tidak Islami.
[2] Perbedaan fikih bisa menyebabkan pertikaian dan pembunuhan kalau setiap orang mengikuti paham-nya Ibnu Taymiah. Umat Islam akan berada dalam keadaan konflik terus menerus secara berkepanjangan. Padahal perbedaan dalam fikih hendaknya disikapi secara bijak. Biarlah Allah yang menjadi hakim yang seadil-adilnya.
[3] Sahabat Nabi seperti Utsman, Sa’ad bin Abi Waqqas, Ibn Mas’ud, Ibn Umar, dan ‘Aisyah dan para ulama madzhab ternyata berbeda dengan fatwanya Ibnu Taymiah. Kalau kita hendak menggunakan fatwa Ibnu Taymiah, itu artinya kita harus menganggap para sahabat di atas sebagai orang-orang sesat atau kafir dan boleh dibunuh (na’udzubillah)
[4] Para pengikut Maliki, Hambali, Hanafi, dan Syafi’i yang notabene adalah kelompok Ahlu Sunnah (Sunni) harus dibinasakan. Itu artinya kaum Muslimin di dunia ini tidak bakalan tersisa kecuali hanya pemeluk Islam yang tersesat bersama Ibnu Taymiah saja yang masih hidup kalau fatwa ini diberlakukan. Seandainya seluruh pemimpin Muslim di dunia ini mengikuti faham dari Ibnu Taymiah, bisa terbayang betapa buruknya wajah Islam dunia.
[5] Semangat untuk membinasakan kaum Muslimin yang berbeda pendapat dengan dirinya ini diteruskan oleh kelompok Salafi Wahabi di dunia ini. Kelompok ini juga dikenal sebagai kelompok takfiri atau kelompok yang mudah men-takfir—menganggap kafir seseorang. Orang yang berbeda pendapat dianggap kafir dan boleh dibunuh. Tidak ada rasa toleransi sama sekali. Padahal kebenaran yang hakiki itu hanya milik Allah seorang. Setiap pendapat itu harus mendapatkan perlakuan yang adil dan sejajar. Biarlah perbedaan pendapat itu dihakimi dan dihukumi oleh Allah saja di kelak kemudian hari. Selama hidup di dunia ini, kita harus hidup damai dan bertoleransi.
[6] Fakta sejarah sudah membuktikan bahwa faham sesat Ibnu Taymiah apabila diikuti oleh sebuah negara dan diterapkan sebagai hukum positif oleh seorang raja atau kepala negara, maka dampaknya sangat buruk sekali. Pembunuhan dengan mengatas-namakan agama (menyalah-gunakan agama) bisa menjadi sesuatu yang wajar dan legal.

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta