Ibnu Taymiah membenci AhlulBayt Nabi (as)
Bab ini ditujukan khusus untuk menjawab
tuduhan-tuduhan palsu dan pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh website Ahlelbayt.com dimana di
dalamnya penulis Ibnu al-Hashimi mencoba sekuat tenaga untuk mempengaruhi para
pembaca yang Sunni agar mereka percaya bahwa Ibnu Taymiah itu bukanlah seorang
Nasibi (pembenci keluarga Nabi). Ia menuliskan sebuah artikel dengan judul ‘Shaykh al-Islam Ibn Taymiyyah’s Love for
Ahlel Bayt’ (Kecintaan Syaikhul Islam Ibnu Taymiah kepada Ahlul
Bayt) dimana di dalam artikel itu ia menyatakan:
“Salah seorang
musuh Syi’ah ialah Syeikhul Islam Ibnu Taymiah, yang oleh karenanya beberapa
orang Syi’ah mencacinya dengan mengatakan bahwa ia itu seorang Nasibi (pembenci
keluarga Nabi). Website Answering-Ansar menyebutnya sebagai “Imam dari para Nasibi, Ibnu Taymiah”. Padahal,
Ibnu Taymiah itu adalah seorang pecinta Ahlul Bayt; bukan saja ia mencintai
Ahlul Bayt melainkan ia juga secara terang-terangan menyatakan wajibnya
mencintai Ahlul Bayt sebagai bagian dari ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Marilah kita simak apa yang dikatakan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taymiah dalam
kIbitabnya yang sangat terkenal, Al-Aqeedah Al-Wasitiyyah; dimana di dalamnya ia
mengatakan: “Mereka (kaum beriman) menerima apa yang telah diriwayatkan dari
Pemuka Kaum Beriman, Ali bin Abi Thalib …”
(Ibnu Taymiah, Al-Aqeedah Al-Wasitiyyah,
Bab 4)
“Ibnu Taymiah
berkata lebih jauh: “Orang-orang terbaik dari ummat ini setelah Nabi ialah: Abu
Bakar, kemudian Umar, ketiga Utsman, dan keempat Ali bin Abi Thalib (semoga
Allah meridhoi semuanya).”
(Ibnu Taymiah, Al-Aqeedah Al-Wasitiyyah,
Bab 4)
“Tentang Keluarga
Nabi, Ibnu Taymiah berkata: “Ahlus Sunnah harus mencintai Keluarga Nabi,
memberikan bantuan kepada mereka, menghormati wasiat Nabi yang berkenaan dengan
mereka, seperti yang dikatakan di Ghadir Khumm: “Aku meminta dari kalian, demi
Allah, untuk memelihara keluargaku; Aku meminta dari kalian, demi Allah, untuk
memelihara keluargaku.”
(Ibnu Taymiyyah, Al-Aqeedah Al-Wasitiyyah,
Bab 4)
“Ketika
menjelaskan tentang akidah Sunni, Syeikhul Islam berkata: “Mereka (Ahlus
Sunnah) mencintai anggota Keluarga Rasulullah; mereka menghormatinya dengan
penuh cinta dan ketaatan, dan mereka mematuhi perintah Rasulullah yang
berkenaan dengan mereka (Ahlul Bayt) …… tapi mereka menolak cara-cara kaum
Rafidi (Syi’ah) yang membenci Sahabat
dan mencaci mereka. Dan mereka menolak cara-cara kaum Nasibi yang
menghina Ahlul Bayt dengan perkataan dan perbuatan.”
(Ibn Taymiyyah, Majmoo al-Fatawa,
volume 3, halaman 154)
Kita tahu sebuah hadits Nabi yang berbunyi
bahwa salah satu tanda dari seorang munafiq ialah bahwa kalau ia berkata, ia
berbohong. Ibnu Taymiah bisa saja berbicara seperti dinyatakan di atasn di
atas. Akan tetapi apakah ia betul-betul jujur mengemukakan itu semua?
Jawabannya ialah “Tentu saja Tidak”. Ibnu Taymiah mengatakan hal tersebut di
atas semata-mata untuk meyakinkan para Ulama Sunni pada waktu itu bahwa ia
sendiri adalah seorang Sunni; dan pernyataan-pernyataan tersebut di atas
semata-mata ditulis untuk menghentikan kritikan yang dilontarkan
kepadanya. Kalau Ibnu al-Hashimi
bersikeras mengatakan bahwa Ibnu Taymiah tidak mungkin menipu dirinya dan
menipu orang lain seperti itu, maka di sini kami akan membeberkan beberapa
fakta yang sangat kuat untuk membuat Ibnu Hashimi merenungkannya (itupun kalau
ia sadar). Ketika Ibnu Taymiah berada di dalam penjara, ia menyatakan dirinya
sebagai seorang pengikut Asy‘ariyyah:
ولم يزل ابن تيمية في الجب إلى أن شفع فيه
مهنا أمير آل فضل فأخرج في ربيع الأول في الثالث وعشرين منه وأحضر إلى القلعة ووقع
البحث مع بعض الفقهاء فكتب عليه محضر بأنه قال أنا أشعري
“Ibnu Taymiah
dipenjara untuk sekian lama hingga pangeran Mehana al-Fadel membebaskannya.
Pada tanggal 23 Rabi’ul Awwal, ia (Ibnu Taymiah) dibawa ke istana dan disana ia
berdebat dengan beberapa ulama dan kemudian mereka menuliskan sebuah laporan
bahwa ia (Ibnu Taymiah) mengakui bahwa dirinya itu seorang pengikut Asy’ariah.”
Fakta yang ada memang menunjukkan bahwa Ibnu
Taymiah berpura-pura sebagai pengikut Asy’ari padahal ia sama sekali bukan
salah seorang pengikut Asy’ari. Fakta itu menunjukkan bahwa ia sudah
mempersiapkan dirinya untuk menyembunyikan keyakinannya di hadapan para Ulama
Sunni apabila itu bisa memungkinkan dirinya dibebaskan dari penjara.
Sama juga halny dengan fatwa-fatwa yang
dikutip oleh Ibnu al-Hashimi. Fatwa-fatwa itu hanya untuk meyakinkan para Ulama
Sunni pada waktu itu untuk meyakinkan mereka bahwa ia berpegang teguh kepada
paham Asy’ari yang juga mencintai Ahlul Bayt Nabi (as) dengan caranya sendiri.
Kenyataan yang sebenarnya sangatlah berbeda, dan untuk membuktikan ini,
perkenankanlah kami untuk menunjukkan racun-racun mematikan yang ditebarkan
kepada Ahlul Bayt Nabi (as). Fakta-fakta yang akan kami persembahkan bukanlah testimoni atau
kesaksian berupa kabar burung dari sumber-sumber yang tidak terpercaya.
Fakta-fakta yang akan kami paparkan malah berasal dari Ibnu Taymiah sendiri.
Kebencian Ibnu Taymiah terhadap Imam Ali
bin Abi Thalib (as)
Ketika membandingkan Abu Bakar dengan Ali
bin Abi Thalib (as), Ibnu Taymiah menyatakan dalam kitab Minhaj al-Sunnah, Volume 7, halaman 331:
وان ولايته الأمة خير من ولاية علي وان
منفعته للمسلمين في دينهم ودنياهم اعظم من منفعة علي
“Masa pemerintahannya lebih baik daripada
masa pemerintahan Ali dan manfaatnya untuk kaum Muslimin lebih banyak daripada
manfaat dari Ali”
Sementara dalam kitab Minhaj al-Sunnah, Volume 8, di halaman 230:
وعلي يقاتل ليطاع ويتصرف في النفوس
والأموال فكيف يجعل هذا قتالا على الدين
“Ali berjuang untuk
mendapatkan ketaatan umat dan untuk mengatur umat dan uang, jadi bagaimana
mungkin ia dianggap berjuang untuk agama ini?”
Kemudian kita juga bisa baca Minhaj al-Sunnah, Volume 8, halaman 205:
وأما إسلام علي فهل يكون مخرجا له من الكفر
على قولين
“Ada dua pendapat
tentang masuknya Ali kedalam Islam: apakah itu membebaskannya dari kekufuran
atau tidak”
Kemudian dalam Minhaj al-Sunnah, Volume 4, halaman 137:
وعلي رضي الله عنه كان قصده أن يتزوج عليها
فله في أذاها غرض
“Ali bermaksud untuk
menikah (lagi) supaya ia bisa menyakitinya (Fathimah) secara sengaja”
Dan dalam Minhaj al-Sunnah, Volume 7, halaman 172:
وقد أنزل الله تعالى في على يا أيها الذين
آمنوا لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون لما صلى فقرا وخلطوا
“Allah telah menurunkan wahyu untuk Ali {Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, ….[1]}
ketika ia sedang shalat dan membaca bacaan shalat dan kemudian ia kebingungan.”
Kemudian dalam Minhaj al-Sunnah, Volume 7, halaman 172:
قال النبي صلى الله عليه وسلم وكان الإنسان
اكثر شيء جدلا لما قال له ولفاطمة إلا تصليان فقالا أنما أنفسنا بيد الله سبحانه
وتعالى.
“Rasulullah berkata kepada mereka ‘{akan
tetapi manusia itu selalu mencari alasan}’. Ketika ia
bertanya kepadanya (Ali) dan Fathimah, “Sudahkah kalian shalat?” Mereka
menjawab: “Jiwa-jiwa kami ada di tangan Allah (SWT).”
Dan dalam Minhaj al-Sunnah, Volume 3, halaman 53:
فإنه لما أمرهم بقيام الليل فاعتل علي رضي
الله عنه بالقدر وأنه لو شاء الله لأيقظنا علم النبي صلى الله عليه وسلم أن هذا
ليس فيه إلا مجرد الجدل الذي ليس بحق فقال وكان الإنسان أكثر شيء جدلا.
“Ketika ia (Rasulullah)
memerintahkan mereka untuk mendirikan shalat malam, Ali (ra) sudah memiliki
alasan bahwa ‘apabila Allah berkehendak, maka Ia (Allah) akan membangunkan kami’.
Rasulullah menyadari bahwa itu hanyalah sebuah alasan yang dicari-cari saja,
oleh karena itu, ia berkata {akan tetapi manusia itu
selalu mencari alasan }“.
Lalu dalam Minhaj al-Sunnah, Volume 8, halaman 161:
وعلي قد اختلف فيه هل حفظ القرآن كله أم لا
“Ali, ada perbedaan
pendapat mengenainya apakah ia itu hapal Al-Qur’an atau tidak.”
Dan dalam Minhaj al-Sunnah, Volume 6, halaman 67:
ولم يحصل بقتلهم مصلحة للمسلمين لا في
دينهم ولا في دنياهم بل نقص الخير عما كان وزاد الشر
“Perjuangannya tidak memberikan manfaat
apapun bagi kaum Muslimin baik agamanya maupun bagi kehidupannya; sebaliknya
yang baik makin berkurang dan yang buruk makin bertambah.”
Dan dalam Minhaj al-Sunnah, Volume 4, halaman 20:
قوله في على إنه كان يصلي الف ركعة فإن هذا
لا فضيلة فيه
“Pernyataan (Allamah
Hilli) bahwa Ali biasa mendirikan shalat sebanyak 1000 raka’at, itu tidak ada
kemuliaan di dalamnya”
Masih ada kaitannya dengan
pernyataan-pernyataan di atas, banyak komentar-komentar yang sudah keterlaluan
seperti yang bisa kit abaca dalam kitab Lisan al-Mizan, ditulis
oleh Ibnu Hajar, Volume 6, halaman 320:
“Ketika mendebat tulisan
(buku) Rafidi terkadang kita malah seperti mengecilkan Ali (ra).”
Ibnu
Taymiah dengan bangga menyebutkan bahwa Ahlu Sunnah itu tidak mengikuti Ali bin
Abi Thalib (as)
Ibnu Taymiah yang dikenal sebagai orang yang
memiliki rasa jahat terhadap Ali bin Abi Thalib (as) secara bangga menyebutkan
bahwa tidak ada satupun ulama madzhab dalam Sunni yang mendapatkan pengajaran
dari Imam Ali (as):
“Tidak ada
satupun dari 4 imam (madzhab) atau para imam madzhab lainnya yang mengambil
darinya (Ali) dalam urusan hukum. Apabila pengetahuan Malik itu didapatkan dari
orang-orang Madinah, maka sesungguhnya orang-orang Madinah itu tidak mengambil
dari pendapat Ali. Mereka mengambil hukum fikih mereka dari 7 ulama madzhab
seperti Zaid, Umar, Ibnu Umar, dan lain-lain. Syafi’i sendiri mengambil hukum
fikih dari orang-orang Mekah, para sahabat Ibnu Juraij seperti Sa’id bin Salim
al-Qadah dan Muslim bin Khalid al-Zanji. Ibnu Juraij mendapatkan pengetahuannya
dari para sahabat Ibnu Abbas, seperti Atta dan yang lain-lain. Sesungguhnya
Ibnu Abbas itu adalah seorang mujtahid yang bebas. Ketika ia memberikan fatwa
menurut para sahabat , ia akan memberikan fatwanya Abu Bakar dan Umar, tapi tidak
pernah dari Ali. Ia tidak sepakat dengan Ali dalam beberapa hal.”
Pandangan Ibnu Taymiah terhadap Sayyidah
Fathimah az-Zahra (as)
Dalam kitab Minhaj al-Sunnah, Volume 5, halaman 522 disebutkan:
فإن أبا بكر إمام لا يتصرف لنفسه بل
للمسلمين ، والمال لم يأخذه لنفسه بل للمسلمين ، وفاطمة تطلب لنفسها
“Sesungguhnya Abu Bakar itu adalah
seorang Imam yang tidak bertindak untuk dirinya sendiri melainkan untuk kaum
Muslimin dan untuk masalah uang, ia tidak mengambilnya untuk dirinya sendiri
melainkan untuk kaum Muslimin sementara Fathimah malah menuntutnya untuk
dirinya sendiri.”
Dalam kitab Minhaj al-Sunnah, Volume 4 halaman 132 dijelaskan:
أو ليس الله قد ذم المنافقين الذين قال
فيهم ومنهم من يلمزك في الصدقات فإن أعطوا منها ورضا وإن لم يعطوا منها إذا هم
يسخطون ولو نهم رضوا ما اتاهم الله ورسوله وقالوا حسبنا الله سيوتينا الله من فضله
ورسوله إنا إلى الله راغبون فذكر الله قوما رضوا إن اعطوا وغضبوا إن لم يعطوا
فذمهم بذلك
“Bukankah Allah (SWT) sudah melaknat
orang-orang munafik yang digambarkan {Dan di antara mereka ada orang
yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebahagian
daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian
daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. Jika mereka
sungguh-sungguh rida dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada
mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan
kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah"[2]} Allah menyebutkan orang-orang yang
apabila diberi sesuatu mereka bergembira, akan tetapi ketika mereka tidak
diberi sesuatu mereka menjadi marah, dan Allah melaknat mereka.”[3]
Tafsir yang ngawur dari Ibnu Taymiah itu
mengundang komentar pedas dari seorang ulama Sunni bernama Mahmoud Subaih yang
dalam kitabnya Akhta ibn Taimiyah, halaman 63 ia menuliskan:
خطأ جسيم لابن تيمية لا يغتفر إلا إذا تاب
منه قبل رحيله وهو تشبيهه غضب السيدة فاطمة الزهراء رضي الله عنها من الصديق رضي
الله عنه بغضب المنافقين
“Kesalahan besar sudah dilakukan oleh
Ibnu Taymiah yang tidak mungkin dima’afkan, kecuali ia bertaubat sebelum ajal
menjemputnya. Ia sudah menyamakan kemarahan Fathimah az-Zahra
(semoga Allah meridhoinya) terhadap as-Siddiq (semoga Allah meridhoinya) dengan
kemarahan orang-orang munafik.”
Komentar kami
Kepada Ibnu al Hashimi, tolong jelaskan kepada
kami: apakah Ibnu Taymiah ketika ia membandingkan tindakan Sayyidah az-Zahra
(as) itu dengan tindakan seorang munafik itu merupakan tanda cinta atau benci? Begitukah caranya
Syeikhul Islam Ibnu Taymiah menunjukkan rasa cintanya kepada Ahlul Bayt Nabi
(as)? Menyebutkan seorang Muslimah sebagai seorang munafik tanpa ada dasar sama
sekali itu adalah perbuatan dosa yang luar biasa. Dan Ibnu Taymiah menisbahkan
kemunafikan itu kepada puteri tercinta Rasulullah!
Pandangan Ibnu Taymiah terhadap Imam
Hasan dan Husein (as)
Dalam kitab Minhaj al-Sunnah, Volume 4, halaman 19, ia menuliskan:
وأما كونهما أزهد الناس وأعلمهم في زمانهم
فهذا قول بلا دليل
“Menganggap mereka
sebagai orang yang paling zuhud dan paling alim di jamannya, adalah sebuah
pernyataan yang tidak ada buktinya.”
Pandangan Ibnu Taymiah terhadap para
Imam Ahlul Bayt (as)
Kita lihat komentar yang dituliskan oleh
Ibnu al-Hashimi dalam artikelnya yang diberijudul ‘the status of the twelve
imams’ (Kedudukan 12 Imam):
Syeikh Gibril Haddad[4]
ditanya tentang kedudukan para Imam Syi’ah, dan kemudian ia menjawab:
“Aku mendengar
Dr. Nur al-Din ‘Itr di kelasnya berbicara: ‘Masing-masing dari mereka itu
ialah orang shaleh; seorang Muslim yang jujur dan lurus dari duriyyat Nabi dan
kebanyakan dari mereka menjadi orang yang paling berpengetahuan luas di
jamannya.”
Sekarang kita bandingkan dengan yang
ditulis dan diyakini oleh syeikh-nya Ibnu al-Hashimi yaitu Ibnu Taymiah.
Syeikh Ibnu Taymiah bersusah payah mencari
cara agar dirinya tidak dimasukkan orang kedalam golongan Nawasib (kelompok
pembenci keluarga Nabi). Akan tetapi tulisan-tulisannya yang mengenai Imam Ali
bin Abi Thalib (as) dan para Imam Ahlul Bayt (as) lainnya membuat kita tidak
percaya kepadanya kalau ia tidak termasuk golongan kaum Nawasib. Kita tidak
melihat perbedaan yang mencolok antara Ibnu Taymiah dengan orang-orang Nawasib
lainnya. Mengenai tiga orang Imam yaitu Imam Ali Zainu ‘Abidin[5]
(as), Imam Muhammad al-Baqir[6]
(as), dan Imam Ja’far as-Sadiq[7]
(as), ia menuliskan sebagai berikut:
“Ali bin al-Hussain, his son Abu Jafar
and his son Jafar bin Muhammad mengajari orang-orang apa yang telah Allah
ajarkan kepada mereka, dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh para
ulama di jamannya. Sesungguhnya ada banyak orang di masa hidupnya yang jauh
lebih berpengetahuan dan lebih berguna bagi umat dibandingkan mereka.”
Minhaj al Sunnah, Volume 6, halaman 387
Minhaj al Sunnah, Volume 6, halaman 387
Dan kita bisa juga temukan pernyataan
seperti di bawah ini yang dikemukakan oleh Ibn Taymiah:
“Keempat Imam madzhab
ini, tidak ada satu orangpun yang mengambil hukum fikih dari Ja’far.”
Minhaj al Sunnah, Volume 7, halaman 533
Minhaj al Sunnah, Volume 7, halaman 533
Ibnu Taymiah kemudian memperluas serangannya
sampai melewati Imam Ali bin Muhammad al-Hadi (as) dan Imam Hassan al-Askari
(as) yang ia juluki sebagai ‘keluarga pengikut Askari’.”:
“Mereka yang muncul
setelah yang tiga (imam) adalah keluarga Askari; mereka tidak memiliki
pengetahuan yang berguna untuk umat. Sesungguhnya mereka sama saja seperti
anggota keluarga Bani Hayim lainnya.”
Pada suatu kesempatan, Ibnu Taymiah
memberikan khutbah. Setelah ia memberikan komentar terhadap beberapa ulama
Sunni, ia kemudian berkata:
“Setiap orang dari mereka (para Ulama
Sunni) jauh lebih berpengetahuan dibandingkan keluarga Askari mengenai agama
Allah dan Rasulullah ini ……… apa yang wajib bagi umat seperti juga bagi
keluarga Askari ialah untuk belajar kepada salah seorang dari mereka (para
ulama Sunni).”
Ibnu Taymiah memiliki keberanian untuk
membanding-bandingkan para Imam Ahlul Bayt (as) dengan para Imam madzhab
lainnya di depan murid-muridnya sendiri dan kemudian membuat kesimpulan
sendiri:
“Tidak ada keraguan lagi
bahwa apa yang disampaikan oleh para ahli fikih dari Abu Hanifah, Malik,
al-Syafi’i, Ahmad dan yang lainnya itu lebih benar daripada apa yang
disampaikan oleh kaum Rafidi dari dua orang Askari dan Muhammad bin ali
al-Jawad dan yang lainnya; dan tidak ada keraguan sama sekali bahwa mereka (Abu
Hanifah dll) lebih berpengetahuan dalam agama Nabi dibandingkan dengan mereka
(al-Jawad dll).”
Kita juga dapati keterangan seperti berikut
ini:
“Sesungguhnya al-Zuhari
itu lebih berpengetahuan tentang hadits-hadits, perkataan-perkataan, dan
perbuatan Nabi dibandingkan dengan Abu Ja’far Muhammad bin Ali dan para ulama
sepakat tentang hal itu. Dan ia (al-Zuhari) adalah sejaman dengan Nabi. Dan
mengenai Musa bin Ja’far, Ali bin Musa, dan Muhammad bin Ali, tidak ada satupun
dari mereka yang memiliki pengetahuan
meragukan bahwa Malik bin Anas, Hamaad bin Zaid, Hamaad bin Salama, al-Laith bin Saad,
al-Awzaei, Yahya bin Saeed, W’akei bin al-Jarah, Abdullah bin al-Mubarak,
al-Shafiyee, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahwei dan lain-lain itu
lebih berpengetahuan mengenai hadits Nabi dibandingkan mereka.”
Dari pernyataan-pernyataan Ibnu Taymiah itu
kita bisa mengambil keseimpulan bahwa Ibnu Taymiah memiliki perasaan muak
terhadap 8 Imam Ahlul Bayt Nabi (as). Ibnu al-Hashimi berusaha sekuat tenaga
untuk meyakinkan para pembacanya bahwa ia (dan Ibnu Taymiah) mendukung
komentar-komentar yang diberikan oleh Haddad[8]
bahwa para imam itu “among the foremost people of knowledge in their time” (orang-orang
yang paling berpengetahuan di jamannya). Akan tetapi ternyata jauh panggang dari
api. Ibnu Taymiah tidak memiliki rasa hormat dan kekaguman sedikitpun kepada
Ahlul Bayt Nabi. Ia meremehkan pengetahuan para Imam dan menyebutkan bahw
pengetahuan para Imam itu tidak ada manfaatnya bagi agama ini. Kami merasa
heran mengapa Ibnu al-Hashimi tidak terang-terangan saja menunjukkan kebencian
kepada Ahlul Bayt Nabi seperti yang ditunjukkan oleh syeikh-nya, yaitu Ibnu
Taymiah. Mengapa ia tidak berani tampil sendiri menunjukkan tabiat dan sifat
aslinya yang benci kepada keluarga Nabi? Mengapa ia malah mengajukan Dr.
Haddad—seorang ulama modern—sebagai tameng bagi dirinya, padahal para ulama
Salafi Wahabi sendiri sudah menganggap Dr. Haddad itu sebagai orang yang sesat?
[1] (QS. An-Nisa: 43)
[2] (QS. At-Taubah: 58—59)
[3] Ibnu Taymiah menafsirkan
Surah at-Taubah aya ke-58 dan ke-59 itu sebagai ayat yang berkenaan dengan
Fathimah az-Zahra yang menuntut haknya kepada Abu Bakar atas tanah Fadak. Abu
Bakar tidak memperkenankannya, dan kemudian Fathimah marah dan tidak bertegur
sapa lagi dengan Abu Bakar hingga wafatnya.
[4] Seorang ulama Wahabi
modern yang sudah dianggap menyimpang atau sesat oleh para ulama Salafi Wahabi
lainnya
[5] Ali bin Al-Husein
[6] Dikenal juga dengan
sebutan Abu Ja’far (bapaknya Ja’far) karena puteranya bernama Ja’far as-Sadiq
[7] Atau Ja’far bin Muhammad
[8] Syeikh Gibril Haddad
Comments