IBNU TAYMIAH MENGAJARKAN KEBENCIAN TERHADAP AHLUL BAYT NABI

Ibnu Taymiah membenci AhlulBayt Nabi (as)



Bab ini ditujukan khusus untuk menjawab tuduhan-tuduhan palsu dan pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh  website Ahlelbayt.com dimana di dalamnya penulis Ibnu al-Hashimi mencoba sekuat tenaga untuk mempengaruhi para pembaca yang Sunni agar mereka percaya bahwa Ibnu Taymiah itu bukanlah seorang Nasibi (pembenci keluarga Nabi). Ia menuliskan sebuah artikel dengan judul  ‘Shaykh al-Islam Ibn Taymiyyah’s Love for Ahlel Bayt’ (Kecintaan Syaikhul Islam Ibnu Taymiah kepada Ahlul Bayt) dimana di dalam artikel itu ia menyatakan:

“Salah seorang musuh Syi’ah ialah Syeikhul Islam Ibnu Taymiah, yang oleh karenanya beberapa orang Syi’ah mencacinya dengan mengatakan bahwa ia itu seorang Nasibi (pembenci keluarga Nabi). Website Answering-Ansar menyebutnya sebagai “Imam  dari para Nasibi, Ibnu Taymiah”. Padahal, Ibnu Taymiah itu adalah seorang pecinta Ahlul Bayt; bukan saja ia mencintai Ahlul Bayt melainkan ia juga secara terang-terangan menyatakan wajibnya mencintai Ahlul Bayt sebagai bagian dari ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Marilah kita simak apa yang dikatakan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taymiah dalam kIbitabnya yang sangat terkenal, Al-Aqeedah Al-Wasitiyyah; dimana di dalamnya ia mengatakan: “Mereka (kaum beriman) menerima apa yang telah diriwayatkan dari Pemuka Kaum Beriman, Ali bin Abi Thalib …”
 (Ibnu Taymiah, Al-Aqeedah Al-Wasitiyyah, Bab 4)

“Ibnu Taymiah berkata lebih jauh: “Orang-orang terbaik dari ummat ini setelah Nabi ialah: Abu Bakar, kemudian Umar, ketiga Utsman, dan keempat Ali bin Abi Thalib (semoga Allah meridhoi semuanya).”
(Ibnu Taymiah, Al-Aqeedah Al-Wasitiyyah, Bab 4)

“Tentang Keluarga Nabi, Ibnu Taymiah berkata: “Ahlus Sunnah harus mencintai Keluarga Nabi, memberikan bantuan kepada mereka, menghormati wasiat Nabi yang berkenaan dengan mereka, seperti yang dikatakan di Ghadir Khumm: “Aku meminta dari kalian, demi Allah, untuk memelihara keluargaku; Aku meminta dari kalian, demi Allah, untuk memelihara keluargaku.”
(Ibnu Taymiyyah, Al-Aqeedah Al-Wasitiyyah, Bab 4)

“Ketika menjelaskan tentang akidah Sunni, Syeikhul Islam berkata: “Mereka (Ahlus Sunnah) mencintai anggota Keluarga Rasulullah; mereka menghormatinya dengan penuh cinta dan ketaatan, dan mereka mematuhi perintah Rasulullah yang berkenaan dengan mereka (Ahlul Bayt) …… tapi mereka menolak cara-cara kaum Rafidi (Syi’ah) yang membenci Sahabat  dan mencaci mereka. Dan mereka menolak cara-cara kaum Nasibi yang menghina Ahlul Bayt dengan perkataan dan perbuatan.”
(Ibn Taymiyyah, Majmoo al-Fatawa, volume 3, halaman 154)

Kita tahu sebuah hadits Nabi yang berbunyi bahwa salah satu tanda dari seorang munafiq ialah bahwa kalau ia berkata, ia berbohong. Ibnu Taymiah bisa saja berbicara seperti dinyatakan di atasn di atas. Akan tetapi apakah ia betul-betul jujur mengemukakan itu semua? Jawabannya ialah “Tentu saja Tidak”. Ibnu Taymiah mengatakan hal tersebut di atas semata-mata untuk meyakinkan para Ulama Sunni pada waktu itu bahwa ia sendiri adalah seorang Sunni; dan pernyataan-pernyataan tersebut di atas semata-mata ditulis untuk menghentikan kritikan yang dilontarkan kepadanya.  Kalau Ibnu al-Hashimi bersikeras mengatakan bahwa Ibnu Taymiah tidak mungkin menipu dirinya dan menipu orang lain seperti itu, maka di sini kami akan membeberkan beberapa fakta yang sangat kuat untuk membuat Ibnu Hashimi merenungkannya (itupun kalau ia sadar). Ketika Ibnu Taymiah berada di dalam penjara, ia menyatakan dirinya sebagai seorang pengikut Asy‘ariyyah:

ولم يزل ابن تيمية في الجب إلى أن شفع فيه مهنا أمير آل فضل فأخرج في ربيع الأول في الثالث وعشرين منه وأحضر إلى القلعة ووقع البحث مع بعض الفقهاء فكتب عليه محضر بأنه قال أنا أشعري

“Ibnu Taymiah dipenjara untuk sekian lama hingga pangeran Mehana al-Fadel membebaskannya. Pada tanggal 23 Rabi’ul Awwal, ia (Ibnu Taymiah) dibawa ke istana dan disana ia berdebat dengan beberapa ulama dan kemudian mereka menuliskan sebuah laporan bahwa ia (Ibnu Taymiah) mengakui bahwa dirinya itu seorang pengikut Asy’ariah.”

Fakta yang ada memang menunjukkan bahwa Ibnu Taymiah berpura-pura sebagai pengikut Asy’ari padahal ia sama sekali bukan salah seorang pengikut Asy’ari. Fakta itu menunjukkan bahwa ia sudah mempersiapkan dirinya untuk menyembunyikan keyakinannya di hadapan para Ulama Sunni apabila itu bisa memungkinkan dirinya dibebaskan dari penjara.

Sama juga halny dengan fatwa-fatwa yang dikutip oleh Ibnu al-Hashimi. Fatwa-fatwa itu hanya untuk meyakinkan para Ulama Sunni pada waktu itu untuk meyakinkan mereka bahwa ia berpegang teguh kepada paham Asy’ari yang juga mencintai Ahlul Bayt Nabi (as) dengan caranya sendiri. Kenyataan yang sebenarnya sangatlah berbeda, dan untuk membuktikan ini, perkenankanlah kami untuk menunjukkan racun-racun mematikan yang ditebarkan kepada Ahlul Bayt Nabi (as). Fakta-fakta yang akan kami  persembahkan bukanlah testimoni atau kesaksian berupa kabar burung dari sumber-sumber yang tidak terpercaya. Fakta-fakta yang akan kami paparkan malah berasal dari Ibnu Taymiah sendiri.

Kebencian Ibnu Taymiah terhadap Imam Ali bin Abi Thalib (as)

Ketika membandingkan Abu Bakar dengan Ali bin Abi Thalib (as), Ibnu Taymiah menyatakan dalam kitab Minhaj al-Sunnah, Volume 7, halaman 331:

وان ولايته الأمة خير من ولاية علي وان منفعته للمسلمين في دينهم ودنياهم اعظم من منفعة علي

“Masa pemerintahannya lebih baik daripada masa pemerintahan Ali dan manfaatnya untuk kaum Muslimin lebih banyak daripada manfaat dari Ali”


Sementara dalam kitab Minhaj al-Sunnah, Volume 8, di halaman 230:

وعلي يقاتل ليطاع ويتصرف في النفوس والأموال فكيف يجعل هذا قتالا على الدين

“Ali berjuang untuk mendapatkan ketaatan umat dan untuk mengatur umat dan uang, jadi bagaimana mungkin ia dianggap berjuang untuk agama ini?”


Kemudian kita juga bisa baca Minhaj al-Sunnah, Volume 8, halaman 205:

وأما إسلام علي فهل يكون مخرجا له من الكفر على قولين

“Ada dua pendapat tentang masuknya Ali kedalam Islam: apakah itu membebaskannya dari kekufuran atau tidak”


Kemudian dalam Minhaj al-Sunnah, Volume 4, halaman 137:

وعلي رضي الله عنه كان قصده أن يتزوج عليها فله في أذاها غرض

“Ali bermaksud untuk menikah (lagi) supaya ia bisa menyakitinya (Fathimah) secara sengaja


Dan dalam Minhaj al-Sunnah, Volume 7, halaman 172:

وقد أنزل الله تعالى في على يا أيها الذين آمنوا لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون لما صلى فقرا وخلطوا

“Allah telah menurunkan wahyu untuk Ali {Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, ….[1]} ketika ia sedang shalat dan membaca bacaan shalat dan kemudian ia kebingungan.”


Kemudian dalam Minhaj al-Sunnah, Volume 7, halaman 172:

قال النبي صلى الله عليه وسلم وكان الإنسان اكثر شيء جدلا لما قال له ولفاطمة إلا تصليان فقالا أنما أنفسنا بيد الله سبحانه وتعالى.

“Rasulullah berkata kepada mereka ‘{akan tetapi manusia itu selalu mencari alasan}’. Ketika ia bertanya kepadanya (Ali) dan Fathimah, “Sudahkah kalian shalat?” Mereka menjawab: “Jiwa-jiwa kami ada di tangan Allah (SWT).”


Dan dalam Minhaj al-Sunnah, Volume 3, halaman 53:

فإنه لما أمرهم بقيام الليل فاعتل علي رضي الله عنه بالقدر وأنه لو شاء الله لأيقظنا علم النبي صلى الله عليه وسلم أن هذا ليس فيه إلا مجرد الجدل الذي ليس بحق فقال وكان الإنسان أكثر شيء جدلا.

Ketika ia (Rasulullah) memerintahkan mereka untuk mendirikan shalat malam, Ali (ra) sudah memiliki alasan bahwa ‘apabila Allah berkehendak, maka Ia (Allah) akan membangunkan kami’. Rasulullah menyadari bahwa itu hanyalah sebuah alasan yang dicari-cari saja, oleh karena itu, ia berkata {akan tetapi manusia itu selalu mencari alasan }“.


Lalu dalam Minhaj al-Sunnah, Volume 8, halaman 161:

وعلي قد اختلف فيه هل حفظ القرآن كله أم لا

“Ali, ada perbedaan pendapat mengenainya apakah ia itu hapal Al-Qur’an atau tidak.”


Dan dalam Minhaj al-Sunnah, Volume 6, halaman 67:

ولم يحصل بقتلهم مصلحة للمسلمين لا في دينهم ولا في دنياهم بل نقص الخير عما كان وزاد الشر

“Perjuangannya tidak memberikan manfaat apapun bagi kaum Muslimin baik agamanya maupun bagi kehidupannya; sebaliknya yang baik makin berkurang dan yang buruk makin bertambah.”


Dan dalam Minhaj al-Sunnah, Volume 4, halaman 20:

قوله في على إنه كان يصلي الف ركعة فإن هذا لا فضيلة فيه

Pernyataan (Allamah Hilli) bahwa Ali biasa mendirikan shalat sebanyak 1000 raka’at, itu tidak ada kemuliaan di dalamnya


Masih ada kaitannya dengan pernyataan-pernyataan di atas, banyak komentar-komentar yang sudah keterlaluan seperti yang bisa kit abaca dalam kitab Lisan al-Mizan, ditulis oleh Ibnu Hajar, Volume 6, halaman 320:

Ketika mendebat tulisan (buku) Rafidi terkadang kita malah seperti mengecilkan Ali (ra).”


Ibnu Taymiah dengan bangga menyebutkan bahwa Ahlu Sunnah itu tidak mengikuti Ali bin Abi Thalib (as)

Ibnu Taymiah yang dikenal sebagai orang yang memiliki rasa jahat terhadap Ali bin Abi Thalib (as) secara bangga menyebutkan bahwa tidak ada satupun ulama madzhab dalam Sunni yang mendapatkan pengajaran dari Imam Ali (as):  

“Tidak ada satupun dari 4 imam (madzhab) atau para imam madzhab lainnya yang mengambil darinya (Ali) dalam urusan hukum. Apabila pengetahuan Malik itu didapatkan dari orang-orang Madinah, maka sesungguhnya orang-orang Madinah itu tidak mengambil dari pendapat Ali. Mereka mengambil hukum fikih mereka dari 7 ulama madzhab seperti Zaid, Umar, Ibnu Umar, dan lain-lain. Syafi’i sendiri mengambil hukum fikih dari orang-orang Mekah, para sahabat Ibnu Juraij seperti Sa’id bin Salim al-Qadah dan Muslim bin Khalid al-Zanji. Ibnu Juraij mendapatkan pengetahuannya dari para sahabat Ibnu Abbas, seperti Atta dan yang lain-lain. Sesungguhnya Ibnu Abbas itu adalah seorang mujtahid yang bebas. Ketika ia memberikan fatwa menurut para sahabat , ia akan memberikan fatwanya Abu Bakar dan Umar, tapi tidak pernah dari Ali. Ia tidak sepakat dengan Ali dalam beberapa hal.”

 

Pandangan Ibnu Taymiah terhadap Sayyidah Fathimah az-Zahra (as)

Dalam kitab Minhaj al-Sunnah, Volume 5, halaman 522 disebutkan:

فإن أبا بكر إمام لا يتصرف لنفسه بل للمسلمين ، والمال لم يأخذه لنفسه بل للمسلمين ، وفاطمة تطلب لنفسها

“Sesungguhnya Abu Bakar itu adalah seorang Imam yang tidak bertindak untuk dirinya sendiri melainkan untuk kaum Muslimin dan untuk masalah uang, ia tidak mengambilnya untuk dirinya sendiri melainkan untuk kaum Muslimin sementara Fathimah malah menuntutnya untuk dirinya sendiri.”



Dalam kitab Minhaj al-Sunnah, Volume 4 halaman 132 dijelaskan:

أو ليس الله قد ذم المنافقين الذين قال فيهم ومنهم من يلمزك في الصدقات فإن أعطوا منها ورضا وإن لم يعطوا منها إذا هم يسخطون ولو نهم رضوا ما اتاهم الله ورسوله وقالوا حسبنا الله سيوتينا الله من فضله ورسوله إنا إلى الله راغبون فذكر الله قوما رضوا إن اعطوا وغضبوا إن لم يعطوا فذمهم بذلك

“Bukankah Allah (SWT) sudah melaknat orang-orang munafik yang digambarkan {Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebahagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. Jika mereka sungguh-sungguh rida dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah"[2]Allah menyebutkan orang-orang yang apabila diberi sesuatu mereka bergembira, akan tetapi ketika mereka tidak diberi sesuatu mereka menjadi marah, dan Allah melaknat mereka.”[3]


Tafsir yang ngawur dari Ibnu Taymiah itu mengundang komentar pedas dari seorang ulama Sunni bernama Mahmoud Subaih yang dalam kitabnya Akhta ibn Taimiyah, halaman 63 ia menuliskan:

خطأ جسيم لابن تيمية لا يغتفر إلا إذا تاب منه قبل رحيله وهو تشبيهه غضب السيدة فاطمة الزهراء رضي الله عنها من الصديق رضي الله عنه بغضب المنافقين

“Kesalahan besar sudah dilakukan oleh Ibnu Taymiah yang tidak mungkin dima’afkan, kecuali ia bertaubat sebelum ajal menjemputnya. Ia sudah menyamakan kemarahan Fathimah az-Zahra (semoga Allah meridhoinya) terhadap as-Siddiq (semoga Allah meridhoinya) dengan kemarahan orang-orang munafik.”

Komentar kami


Kepada Ibnu al Hashimi, tolong jelaskan kepada kami: apakah Ibnu Taymiah ketika ia membandingkan tindakan Sayyidah az-Zahra (as) itu dengan tindakan seorang munafik itu merupakan tanda cinta atau benci? Begitukah caranya Syeikhul Islam Ibnu Taymiah menunjukkan rasa cintanya kepada Ahlul Bayt Nabi (as)? Menyebutkan seorang Muslimah sebagai seorang munafik tanpa ada dasar sama sekali itu adalah perbuatan dosa yang luar biasa. Dan Ibnu Taymiah menisbahkan kemunafikan itu kepada puteri tercinta Rasulullah!

 

Pandangan Ibnu Taymiah terhadap Imam Hasan dan Husein (as)

Dalam kitab Minhaj al-Sunnah, Volume 4, halaman 19, ia menuliskan:

وأما كونهما أزهد الناس وأعلمهم في زمانهم فهذا قول بلا دليل

Menganggap mereka sebagai orang yang paling zuhud dan paling alim di jamannya, adalah sebuah pernyataan yang tidak ada buktinya.”

 

Pandangan Ibnu Taymiah terhadap para Imam Ahlul Bayt (as)

Kita lihat komentar yang dituliskan oleh Ibnu al-Hashimi dalam artikelnya yang diberijudul ‘the status of the twelve imams’ (Kedudukan 12 Imam):

Syeikh Gibril Haddad[4] ditanya tentang kedudukan para Imam Syi’ah, dan kemudian ia menjawab:

“Aku mendengar Dr. Nur al-Din ‘Itr di kelasnya berbicara: ‘Masing-masing dari mereka itu ialah orang shaleh; seorang Muslim yang jujur dan lurus dari duriyyat Nabi dan kebanyakan dari mereka menjadi orang yang paling berpengetahuan luas di jamannya.”

Sekarang kita bandingkan dengan yang ditulis dan diyakini oleh syeikh-nya Ibnu al-Hashimi yaitu Ibnu Taymiah.

Syeikh Ibnu Taymiah bersusah payah mencari cara agar dirinya tidak dimasukkan orang kedalam golongan Nawasib (kelompok pembenci keluarga Nabi). Akan tetapi tulisan-tulisannya yang mengenai Imam Ali bin Abi Thalib (as) dan para Imam Ahlul Bayt (as) lainnya membuat kita tidak percaya kepadanya kalau ia tidak termasuk golongan kaum Nawasib. Kita tidak melihat perbedaan yang mencolok antara Ibnu Taymiah dengan orang-orang Nawasib lainnya. Mengenai tiga orang Imam yaitu Imam Ali Zainu ‘Abidin[5] (as), Imam Muhammad al-Baqir[6] (as), dan Imam Ja’far as-Sadiq[7] (as), ia menuliskan sebagai berikut:

“Ali bin al-Hussain, his son Abu Jafar and his son Jafar bin Muhammad mengajari orang-orang apa yang telah Allah ajarkan kepada mereka, dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh para ulama di jamannya. Sesungguhnya ada banyak orang di masa hidupnya yang jauh lebih berpengetahuan dan lebih berguna bagi umat dibandingkan mereka.”
Minhaj al Sunnah, Volume 6, halaman 387

Dan kita bisa juga temukan pernyataan seperti di bawah ini yang dikemukakan oleh Ibn Taymiah:

Keempat Imam madzhab ini, tidak ada satu orangpun yang mengambil hukum fikih dari Ja’far.”
Minhaj al Sunnah, Volume 7, halaman 533

Ibnu Taymiah kemudian memperluas serangannya sampai melewati Imam Ali bin Muhammad al-Hadi (as) dan Imam Hassan al-Askari (as) yang ia juluki sebagai ‘keluarga pengikut Askari’.”:

Mereka yang muncul setelah yang tiga (imam) adalah keluarga Askari; mereka tidak memiliki pengetahuan yang berguna untuk umat. Sesungguhnya mereka sama saja seperti anggota keluarga Bani Hayim lainnya.”

Pada suatu kesempatan, Ibnu Taymiah memberikan khutbah. Setelah ia memberikan komentar terhadap beberapa ulama Sunni, ia kemudian berkata:

“Setiap orang dari mereka (para Ulama Sunni) jauh lebih berpengetahuan dibandingkan keluarga Askari mengenai agama Allah dan Rasulullah ini ……… apa yang wajib bagi umat seperti juga bagi keluarga Askari ialah untuk belajar kepada salah seorang dari mereka (para ulama Sunni).”

Ibnu Taymiah memiliki keberanian untuk membanding-bandingkan para Imam Ahlul Bayt (as) dengan para Imam madzhab lainnya di depan murid-muridnya sendiri dan kemudian membuat kesimpulan sendiri:

Tidak ada keraguan lagi bahwa apa yang disampaikan oleh para ahli fikih dari Abu Hanifah, Malik, al-Syafi’i, Ahmad dan yang lainnya itu lebih benar daripada apa yang disampaikan oleh kaum Rafidi dari dua orang Askari dan Muhammad bin ali al-Jawad dan yang lainnya; dan tidak ada keraguan sama sekali bahwa mereka (Abu Hanifah dll) lebih berpengetahuan dalam agama Nabi dibandingkan dengan mereka (al-Jawad dll).”

Kita juga dapati keterangan seperti berikut ini:

Sesungguhnya al-Zuhari itu lebih berpengetahuan tentang hadits-hadits, perkataan-perkataan, dan perbuatan Nabi dibandingkan dengan Abu Ja’far Muhammad bin Ali dan para ulama sepakat tentang hal itu. Dan ia (al-Zuhari) adalah sejaman dengan Nabi. Dan mengenai Musa bin Ja’far, Ali bin Musa, dan Muhammad bin Ali, tidak ada satupun dari mereka yang memiliki pengetahuan  meragukan bahwa Malik bin Anas, Hamaad bin Zaid, Hamaad bin Salama, al-Laith bin Saad, al-Awzaei, Yahya bin Saeed, W’akei bin al-Jarah, Abdullah bin al-Mubarak, al-Shafiyee, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahwei dan lain-lain itu lebih berpengetahuan mengenai hadits Nabi dibandingkan mereka.”

Dari pernyataan-pernyataan Ibnu Taymiah itu kita bisa mengambil keseimpulan bahwa Ibnu Taymiah memiliki perasaan muak terhadap 8 Imam Ahlul Bayt Nabi (as). Ibnu al-Hashimi berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan para pembacanya bahwa ia (dan Ibnu Taymiah) mendukung komentar-komentar yang diberikan oleh Haddad[8] bahwa para imam itu “among the foremost people of knowledge in their time” (orang-orang yang paling berpengetahuan di jamannya). Akan tetapi ternyata jauh panggang dari api. Ibnu Taymiah tidak memiliki rasa hormat dan kekaguman sedikitpun kepada Ahlul Bayt Nabi. Ia meremehkan pengetahuan para Imam dan menyebutkan bahw pengetahuan para Imam itu tidak ada manfaatnya bagi agama ini. Kami merasa heran mengapa Ibnu al-Hashimi tidak terang-terangan saja menunjukkan kebencian kepada Ahlul Bayt Nabi seperti yang ditunjukkan oleh syeikh-nya, yaitu Ibnu Taymiah. Mengapa ia tidak berani tampil sendiri menunjukkan tabiat dan sifat aslinya yang benci kepada keluarga Nabi? Mengapa ia malah mengajukan Dr. Haddad—seorang ulama modern—sebagai tameng bagi dirinya, padahal para ulama Salafi Wahabi sendiri sudah menganggap Dr. Haddad itu sebagai orang yang sesat?


[1] (QS. An-Nisa: 43)
[2] (QS. At-Taubah: 58—59)
[3] Ibnu Taymiah menafsirkan Surah at-Taubah aya ke-58 dan ke-59 itu sebagai ayat yang berkenaan dengan Fathimah az-Zahra yang menuntut haknya kepada Abu Bakar atas tanah Fadak. Abu Bakar tidak memperkenankannya, dan kemudian Fathimah marah dan tidak bertegur sapa lagi dengan Abu Bakar hingga wafatnya.
[4] Seorang ulama Wahabi modern yang sudah dianggap menyimpang atau sesat oleh para ulama Salafi Wahabi lainnya
[5] Ali bin Al-Husein
[6] Dikenal juga dengan sebutan Abu Ja’far (bapaknya Ja’far) karena puteranya bernama Ja’far as-Sadiq
[7] Atau Ja’far bin Muhammad
[8] Syeikh Gibril Haddad

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta