ILMU IMAM JA'FAR AS-SADIQ (AS), ILMU PARA NABI

Dialog antara Imam Ja’far as-Sadiq (as) & Abu Shakir


Imam Ja’far as-Sadiq (as) adalah salah seorang guru yang paling toleran dan paling sabar yang ada di jamannya. Ia mengajar tiap hari. Setelah memberikan ceramah-ceramahnya ia biasanya duduk-duduk untuk mendengarkan pertanyaan dan menjawab kritikan dari orang-orang yang suka mengkritiknya. Imam Ja’far biasanya meminta para pengkritiknya—yang biasanya hadir di kelas-kelas yang ia ajar—agar tidak menyelanya ketika ia sedang menyampaikan kuliah-kuliahnya. Akan tetapi kalau kelasnya sudah selesai, maka sang Imam memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi para pengkritiknya itu untuk melontarkan berbagai macam pertanyaan atau mengajukan berbagai macam keberatan atas isi materi dari kuliahnya itu.

Pada suatu ketika, Abu Shakir—salah seorang musuh Imam Ja’far as-Sadiq yang selalu mengkritik Imam Ja’far as-Sadiq—mendatanginya dan berkata kepadanya.

Abu Shakir : “Bolehkah aku mengatakan sesuatu dan menanyakan beberapa pertanyaan kepadamu?”

Imam Ja’far“Tentu saja. Engkau boleh bertanya kepadaku.”


Abu Shakir :

“Bukankah Allah itu sekedar mitos belaka? Engkau ingin agar orang-orang percaya kepada sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Apabila memang Allah itu ada, maka kita akan merasakan keberadaanNya dengan menggunakan indera-indera kita. Engkau bisa saja berkata bahwa kita bisa merasakan keberadaanNya dengan menggunakan indera-indera di dalam tubuh kita, akan tetapi indera-indera di dalam tubuh kita juga tergantung pada lima indera yang ada di luar tubuh kita. Kita tidak bisa membayangkan sebuah gambaran dari sesuatu tanpa menggunakan ke lima indera kita. Kita tidak bisa membayangkan sebuah gambaran dari seseorang yang belum pernah kita lihat sebelumnya, misalnya. Kita tidak bisa mengingat-ingat suaranya apabila kita memang belum pernah mendengar suaranya sebelumnya. Kita tidak bisa merasakan apakah tangannya itu kasar atau halus apabila kita belum pernah memegangnya atau merasakannya dengan indera-indera yang berada di dalam tubuh kita.”
“Engkau bisa juga berkata bahwa kita bisa membayangkan Allah atau mendeteksi keberadaan Allah itu dengan menggunakan kecerdasan kita dan bukan dengan indera-indera dalam atau indera-indera luar kita. Akan tetapi kecerdasan kita juga membutuhkan bantuan dari 5 indera luar kita yang kalau tidak berfungsi dengan baik (semua indera itu) maka kita tidak bisa membayangkan keberadaan Allah. Kita tidak bisa berpikir, membuat dan menarik kesimpulan tanpa bantuan indera-indera itu.” 

“Dengan menggunakan kekuatan imajinasi, anda bisa menciptakan sesuatu—yang tergantung dari bayangan yang anda buat sendiri.”

“Karena anda bisa melihat, berbicara, mendengar, bekerja, dan beristirahat, maka DIA juga melakukan sesuatu yang anda lakukan.”

“Anda tidak mau menunjukkan DIA kepada siapapun agar anda bisa mempertahankan ide anda bahwa Allah itu memang tidak bisa dilihat mata. Anda juga berkata bahwa DIA itu tidak dilahirkan dari rahim seorang wanita. DIA tidak melahirkan dan dilahirkan dan tidak akan pernah mati. Aku pernah mendengar bahwa ada sebuah berhala di India sana yang disembunyikan di balik sebuah tirai dan tidak boleh diijinkan untuk dilihat para penganut agama Hindu. Para penjaga kuil yang menjaga berhala itu mengatakan bahwa Tuhan (berhala) itu tidak bisa dilihat orang karena kalau mereka melihat-NYA dengan mata mereka, maka mata mereka akan mengalami kebutaan dan mereka akan mati.”

“Tuhan anda, Allah, juga mirip-mirip dengan Tuhannya orang-orang Hindu tadi yang disembunyikan dari penglihatan orang-orang. Bukan karena Tuhan itu penuh kasih sayang kepada kita sehingga ia tidak mau menampakkan dirinya di hadapan kita karena takut bahwa kita akan mati mendadak.”

“Engkau mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah, yang tidak pernah berbicara kepada siapapun, kecuali kepada Nabi Islam. Sebenarnya alam semesta ini terjadi dengan sendirinya. Apakah ada yang menciptakan rumput yang tumbuh di padang rumput? Apakah ada yang menciptakan rumput itu supaya berwarna hijau? Apakah ada yang menciptakan semut dan nyamuk? Bukankah mereka itu semua tercipta begitu saja dengan sendirinya?”

“Aku katakan kepadamu. Engkau ini adalah orang yang mengaku-ngaku sebagai seorang ulama dan seorang penerus Nabi; dan dari seluruh cerita yang engkau karang itu—yang sekarang beredar di kalangan masyarakat, semuanya adalah omong kosong belaka. Semuanya hanyalah cerita isapan jempol dan tidak berdasar sama sekali dan cerita itu lebih gila lagi bila dibandingkan dengan cerita tentang Allah yang tidak bisa dilihat mata. Masih banyak lagi cerita lainnya yang juga tidak ada dasarnya sama sekali akan tetapi walaupun begitu memang sebagian darinya itu menggambarkan kehidupan nyata. Cerita-cerita yang engkau ceritakan itu menggambarkan manusia dan kepribadiannya yang mungkin saja hanya khayalan dan bukan kenyataan walaupun perbuatan dan tingkah laku manusia-manusia yang engkau ceritakan itu terlihat nyata seperti manusia lainnya.”



“Mereka makan dan minum; mereka tidur dan beranak-pinak; mereka berbicara dan jatuh cinta dan lain-lain. Ketika kita membaca cerita-cerita khayalan ini, kita menyukainya. Kita tahu bahwa itu cerita palsu dan rekaan belaka, akan tetapi kita lihat di dalam cerita itu ada wajah-wajah yang mirip kita; kehidupan yang mirip kita. Orang-orang yang diceritakan itu boleh jadi tak pernah ada dan tak pernah hidup dalam kehidupan nyata, tapi akal kita menerima keberadaan orang-orang seperti itu di dunia ini. Akan tetapi ketika kita tidak bisa melihat, merasakan dan menyentuh Allah, Tuhan anda, akal sehat kita dan logika kita—yang tergantung pada panca indera kita—tidak pernah bisa menerima keberadaanNya.”

“Aku tahu bahwa beberapa orang yang telah tertipu oleh anda itu akhirnya percaya pada Tuhan anda yang tidak bisa dilihat mata, akan tetapi maaf saja, anda tidak bisa menipu saya dan memaksa saya untuk percaya kepada DIA.”

“Aku sendiri menyembah TUHAN. Tuhan yang terbuat dari kayu dan batu. Meskipun Tuhan aku itu tidak pernah bisa bicara, akan tetapi aku bisa melihat Dia dengan mata kepalaku sendiri dan aku bisa menyentuhnya dengan kedua belah tanganku.”

“Engkau mengatakan bahwa Tuhan yang aku buat sendiri itu tidak layak untuk aku sembah, sementara engkau sendiri menyuruh orang-orang untuk menyembah Tuhan yang engkau buat sendiri dengan khayalanmu. Engkau telah tega sekali menipu orang-orang yang tidak berdosa dengan mengatakan bahwa Tuhan khayalanmu itu telah menciptakan alam semesta. Aku sendiri tidak pernah menipu orang lain. Aku tidak pernah mengatakan bahwa Tuhanku itu menciptakan alam semesta. Tidak diperlukan Tuhan untuk menciptakan alam semesta ini karena alam semesta ini terjadi dengan sendirinya. Tuhan tidak pernah menciptakan apapun. Dia sendiri yang kita ciptakan. Aku menciptakan Tuhan dengan kedua belah tanganku dan engkau membuat Tuhan dengan khayalanmu.”

Imam Ja’far as-Sadiq (as) tidak berkata sepatah katapun selama Abu Shakir berbicara. Beliau dengan tenang mendengarkan setiap perkataan Abu Shakir. Sementara itu murid-muridnya—yang kebetulan juga masih ada di sekitar beliau—kelihatan sekali ingin ikut campur dalam diskusi itu. Akan tetapi Imam Ja’far melarang mereka dengan memberikan isyarat dengan tangannya untuk diam. Ketika Abu Shakir menghentikan pembicaraannya yang panjang lebar, barulah Imam bertanya kepadanya apakah masih ada lagi yang ingin ia sampaikan. 

Abu Shakir kembali berbicara dengan ketus: 

“Dengan memperkenalkan Tuhan-mu yang tidak bisa dilihat itu, engkau ingin memperoleh kekayaan dan kedudukan serta kemuliaan dan kehormatan selain kehidupan yang mewah dan nyaman. Itulah kata-kata yang terakhir. Aku tidak ingin berbicara lagi.”

Imam Ja’far as-Sadiq (as) kemudian berkata: 

“Saya akan mulai menjawab tuduhan anda dan saya akan mulai dengan menjawab tuduhan terakhir. Anda menuduh bahwa saya menginginkan uang, kedudukan, dan kehidupan yang mewah serta nyaman. Semua tuduhan itu bisa berdasar seandainya saya ini hidup seperti khalifah.  Anda lihat sendiri bahwa saya sendiri hanya memakan beberapa keping roti dan tidak lebih dari itu. Saya bisa mengundang anda untuk datang ke rumah saya dan melihat sendiri apa yang akan saya santap untuk makan malam saya. Selain itu juga anda bisa melihat bagaimana saya hidup sehari-hari.”

“Wahai Abu Shakir! Seandainya saya ini menginginkan kekayaan dan kehidupan yang mewah serta nyaman—seperti yang anda tuduhkan—maka saya tidak usah mengajar dan memberikan kuliah untuk menjadi kaya. Saya bisa mendapatkan uang dan menjadi kaya dengan memanfaatkan pengetahuan saya dalam ilmu kimia. Cara lain yang bisa saya gunakan untuk menjadi kaya ialah dengan cara berbisnis.” 




“Saya punya pengetahuan yang luas tentang pasar-pasar luar negeri dibandingkan dengan para pedagang manapun di kota Madinah ini. Saya tahu bahwa barang-barang itu diproduksi di negara-negara yang berbeda dan saya juga tahu kemana saya harus jual barang-barang itu untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Saya juga tahu bagaimana caranya untuk membawa barang-barang itu ke sini untuk mengurangi biaya transportasi. Para pedagang kita itu mengimpor barang-barang dari Syria, Irak, Mesir, dan beberapa Negara Arab lainnya. Mereka tidak tahu barang-barang apa saja yang ada di kota Isfahan, Rasht, dan Roma. Kalau saja mereka tahu, maka mereka akan mengimpornya dari sana dan menjualnya dengan keuntungan berlipat ganda.”

“Wahai Abu Shakir! Engkau telah mengatakan bahwa saya ini meminta orang-orang untuk menyembah Allah untuk menipu mereka agar saya bisa mendapatkan uang dan menjadi kaya. Saya harus mengatakan ini kepada anda bahwa saya tidak mendapatkan apapun dari siapapun, kecuali beberapa buah-buahah sebagai hadiah dari mereka. Salah seorang temanku suka mengirimkan kepadaku buah kurma setiap tahun yang ia petik dari kebunnya sendiri. Seorang teman lainnya suka mengirimkan buah delima dari Taif. Saya menerima semua itu sebagai pemberian dan saya menerimanya agar mereka tidak merasa terhina.”

“Saya dengar bahwa ayah anda itu adalah seorang pedagang permata. Mungkin anda tahu sedikit banyak tentang permata. Tapi saya jauh lebih mengetahui tentang semua permata dan intan berlian serta batu-batuan lainnya yang berharga. Saya juga bisa menakar berapa harga pasar dari batu-batuan berharga itu. Apabila saya ingin kaya, maka saya akan bekerja sebagai pedagang permata. Dapatkah anda mengenali yang mana batuan yang berharga dan mana yang tidak? Dapatkah anda mengetahui kadarnya dan harga pasarnya? Apakah anda tahun berapa banyak jenis batuan rubi yang ada di dunia ini?”

Abu Shakir menjawab pelan: “Tidak. Aku tidak tahu semua itu.”

Imam Ja’far melanjutkan: 

“Apakah anda tahu berapa banyak jenis intan yang ada di dunia dan warna-warna apa saja yang dimilikinya?”

Abu Shakir menjawab lagi, lebih pelan: “Tidak. Aku tidak tahu.”

Imam Ja’far as-Sadiq (as) melanjutkan:

“Saya ini bukan pedangan permata, tapi saya tahu betul tentang itu semua. Saya tahu tentang permata dan batu berharga lainnya. Saya juga tahu darimana saja mereka berasal. Setiap pedagang permata itu harus tahu tentang keaslian sebuah permata. Dan saya juga tahu tentang itu. Akan tetapi hanya sedikit sekali pedagang permata yang tahu darimana saja permata-permata itu berasal.” 

“Apakah anda tahu bagaimana cara membuat sebuah permata itu supaya bersinar terang?”

Abu Shakir menjawab ketus:

“Aku ini bukan seorang ahli intan dan permata, begitu juga ayahku. Ia bukan seorang ahli dalam hal itu. Bagaimana aku bisa tahu mengapa dan bagaimana sebuah intan bisa berkilau terang.”

Imam Ja'far kembali melanjutkan:

“Intan itu didapatkan di dasar sungai-sungai dan jeram. Intan yang kasar kemudian dipotong oleh para ahli intan. Cara memotong berlian itulah yang membuat sebuah intan bisa berkilauan. Mereka yang ahli dalam memotong intan dulunya dididik dan diajari sejak kecil oleh seorang ayah yang juga ahli intan. Dan ayahnya dulu diajari oleh kakeknya. Memotong intan itu harus hati-hati. Pekerjaan memotong intan itu memerlukan ketelitian dan rasa seni yang tinggi. Dan sebuah intan hanya bisa dipotong oleh sebuah intan yang lainnya.” 

“Abu Shakir, saya ini hanya mengatakan ini semua hanya untuk menunjukkan kepada anda bahwa kalau saya ingin kaya atau mengumpulkan kekayaan, maka itu mudah saja. Saya bisa memanfaatkan pengetahuan saya tentang permata dan intan berlian. Saya telah menjawab tuduhan anda dan sekarang saya akan menjawab keberatan anda tentang keyakinan saya.”

“Abu Shakir. Anda sudah menuduh saya bahwa saya telah merekayasa cerita dan meminta orang-orang untuk menyembah Allah yang tidak bisa dilihat mata. Anda menolak untuk mengakui keberadaan Allah karena DIA tidak bisa dilihat. Sekarang saya ingin bertanya kepada anda, apakah anda bisa melihat apa-apa saja yang ada di dalam tubuh anda?”

Abu Shakir menjawab: “Tidak. Aku tidak bisa melihatnya.”

Imam Ja’far (as)

“Kalau anda tidak bisa melihat apa-apa yang ada di dalam tubuh anda, maka sebaiknya anda tidak mengatakan bahwa anda tidak percaya kepada keberadaan Allah hanya karena anda tidak pernah melihatnya.”

Abu Shakir:

“Apa hubungannya antara melihat kedalam tubuh seseorang dengan percaya kepada Tuhan yang tidak bisa kita lihat?”

Imam Ja’far (as):

“Engkau sendiri yang mengatakan bahwa kalau sesuatu itu tidak bisa dilihat, disentuh, dirasakan, didengar, maka sesuatu itu tidak ada.”

Abu Shakir:

“Betul. Memang betul begitu. Aku sendiri yang mengatakan itu dan aku sendiri percaya bahwa itu benar adanya”

Imam Ja’far (as):

“Apakah anda bisa mendengar gerakan aliran daran yang ada di dalam tubuh anda?”

Abu Shakir“Tidak. Aku tidak bisa melihatnya. Akan tetapi apakah darah itu bergerak di dalam tubuh kita?” 

Imam Ja’far (as)“Betul. Darah itu bergerak ke seluruh tubuh kita. Apabila peredaran darah itu berhenti selama beberapa menit saja, maka anda akan mati.”

Abu Shakir“Aku tidak percaya bahwa darah itu beredar di dalam tubuh manusia.”

Imam Ja’far (as):

“Kebodohan anda-lah yang membuat anda tidak percaya bahwa darah itu beredar di dalam tubuh kita, dan kebodohan yang sama anda tunjukkan ketika anda berkata bahwa anda tidak percaya kepada Allah, yang tidak bisa dilihat mata.”

Kemudian Imam Ja’far (as) bertanya kepada Abu Shakir apakah ia pernah melihat makhluk hidup yang kecil-kecil yang diciptakan oleh Allah di dalam tubuh kita.  Imam Ja’far melanjutkan: 

“Karena makhluk-makhluk kecil inilah yang bekerja secara ajaib di dalam tubuh anda sehingga anda masih bisa hidup sekarang ini. Makhluk-makhluk kecil ini begitu kecilnya sehingga anda tidak akan bisa melihatnya. Karena anda itu sudah diperbudak oleh panca indera anda, maka anda tidak bisa tahu tentang keberadaannya. Apabila anda menambah pengetahuan anda dan mengurangi kebodohan anda, maka anda akan mengetahui bahwa makhluk-makhluk kecil di dalam tubuh anda itu sama banyaknya jumlahnya dengan butiran pasir di padang pasir. Makhluk-makhluk kecil ini lahir dan besar di dalam tubuh anda. Mereka berkembang biak di dalam tubuh anda, dan mereka bekerja di dalam tubuh anda dan kemudian mati juga di dalam tubuh anda. Akan tetapi anda tidak akan pernah melihat mereka; tidak akan pernah bisa menyentuh mereka; merasakan mereka atau mendengar mereka seumur hidup anda.”

“Orang yang mengenali dirinya akan mengenali Tuhan-nya. Apabila anda mengetahui diri anda dengan baik dan memiliki pengetahuan tentang apa yang terjadi di dalam tubuh anda, maka anda tidak akan pernah berkata bahwa anda tidak percaya kepada Allah, walaupun anda tidak pernah melihatNya.”

Kemudian Imam Ja’far (as) menunjuk kepada sebuah batu yang besar sambil berkata kepada Abu Shakir: 

“Apakah anda lihat batu itu, yang ada di kaki serambi? Untuk anda mungkin itu kelihatan tidak bernyawa, tidak hidup. Karena anda tidak melihat pergerakan cepat yang ada di dalam batu itu. Sekali lagi. Ini adalah karena kebodohan anda maka anda tidak akan bisa percaya bahwa ada pergerakan di dalam batu itu. Nanti akan datang suatu masa dimana orang-orang pintar akan dapat melihat dan memahami pergerakan yang ada di dalam batu itu.”

Imam Ja’far (as) melanjutkan:

“Abu Shakir, anda sudah mengatakan bahwa segala sesuatu itu di alam semesta ini tercipta dengan sendirinya dan tidak ada yang namanya Sang Pencipta. Apakah anda mengira bahwa rumput di padang rumput itu tumbuh dan menjadi hijau dengan sendirinya? Anda harus tahu bahwa rumput itu tidak bisa tumbuh tanpa adanya benih-benih rumput dan benih-benih rumput itu tidak akan berkecambah tanpa adanya kelembaban di dalam tanah dan kelembaban di dalam tanah itu tidak akan pernah ada tanpa adanya air hujan yang turun. Air hujan itu juga tidak akan turun dengan sendirinya. Pertama, uap air itu naik ke udara dan kemudian berkumpul di atas dan membentuk awan.  Kemudian angin membawa awan-awan itu. Setelah itu uap air yang ada di awan itu mengental dan menjadi titik-titkk air, kemudian jatuhlah ke bumi menjadi hujan. Hujan itupun harus jatuh pada saat yang tepat, karena kalau tidak maka rumput itu tidak akan tumbuh dan tidak akan menjadi hijau. Ambil-lah biji-bijian atau benih-benih dari sepuluh macam tumbuhan dan tempatkanlah di dalam sebuah toples yang tertutup. Berilah air yang cukup; akan tetapi tutuplah dan jangan beri udara. Apakah benih-benih itu akan tumbuh menjadi kecambah? Tidak. Tidak mungkin. Karena selain air, tumbuhan juga memerlukan udara.”

 “Kita juga bisa menumbuhkan rumput, tanaman lainnya dan juga buah-buahan di dalam rumah yang panas apabila di luar sangat dingin, asal di dalamnya ada cukup udara. Tanpa adanya udara, tidak mungkin ada rumput yang tumbuh di padang rumput dan tidak mungkin rumput berwarna hijau. Apabila tidak ada udara, maka semua tumbuhan; semua hewan dan juga termasuk manusia semuanya akan mati.”




“Abu Shakir, apakah anda pernah melihat udara yang sangat diperlukan untuk keberadaan anda? Anda hanya merasakannya ketika ia bergerak. Apakah anda akan menolak keberadaan udara hanya karena anda tidak bisa melihatnya? Apakah anda bisa menyangkal bahwa untuk tumbuh dan untuk menjadi hijau, rumput itu memerlukan banyak unsur seperti benih-benih rumput, tanah yang subur, air, udara, dan iklim yang cocok dan di atas itu semua ada kekuatan dasyhat yang mengendalikan semua unsur itu sehingga bisa bekerja sama untuk menumbuhkan rumput dan menjadikannya menjadi hijau. Kekuatan yang dasyhat yang mengatur semua unsur itu ialah Allah.”

“Anda mengatakan bahwa segala sesuatu itu terjadi atau tercipta dengan sendirinya karena anda bukan seorang ilmuwan. Seorang ilmuwan tidak akan berkata seperti itu. Setiap ilmuwan dan para cerdik cendikia percaya kepada satu sosok Maha Pencipta walaupun mereka menyebutnya dengan nama-nama yang berlainan. Bahkan mereka yang tidak percaya kepada Allah sekalipun masih percaya akan adanya sebuah kekuatan yang Maha Pencipta.”

“Abu Shakir, sebenarnya manusia itu tidak percaya kepada Allah bukan karena ia itu memiliki ilmu yang tinggi, malah melainkan karena ia itu memiliki kebodohan yang amat sangat. Ketika seorang bijak berpikir tentang dirinya, maka segera ia mengetahui bahwa tubuhnya itu memiliki sesosok Maha Pengatur yang membuat semua organ tubuh dan sistem tubuhnya bisa berfungsi dengan baik dan lancar.”

“Anda tadi mengatakan bahwa kita berdua telah menciptakan Tuhan kita masing-masing. Anda menciptakan Tuhan dengan kedua tangan anda; sedangkan saya anda tuduh telah menciptakan Tuhan dengan khayalan saya. Akan tetapi meskipun begitu, ada perbedaan besar antara Tuhan yang anda sembah itu dengan Allah, Tuhan saya. Tuhan anda itu tidak pernah ada sebelum anda menciptakannya dari kayu atau batu; sedangkan Tuhan saya dari dulu sudah ada sebelum saya berpikir tentang diriNya. Saya tidak menciptakan Allah dengan kedua tangan saya atau dengan otak saya. Apa yang saya lakukan ialah hanya berusaha untuk mengetahuiNya lebih baik lagi dan berpikir tentang ke-Maha-Besaran-Nya. Ketika anda melihat sebuah gunung, maka anda berusaha untuk mengetahui gunung itu lebih jauh. Itu artinya anda tidak menciptakan gunung itu dengan khayalan anda. Gunung itu sudah ada di sana sebelum anda melihatnya dan gunung itu masih akan tetap berada di sana setelah anda mati.”

“Anda tidak bisa mengenal atau mengetahui gunung itu lebih jauh karena anda memiliki pengetahuan yang terbatas tentang gunung itu.  Seiring dengan pengetahuan anda yang berkembang tentang gunung itu, maka semakin banyak yang anda bisa pelajari dari gunung itu. Anda tidak mungkin mengetahui dengan pasti kapan dan bagaimana gunung itu muncul dan kapan serta bagaimana gunung itu nanti hilang. Anda tidak bisa mengetahui mineral apa saja yang terkandung di dalam gunung itu dan apa saja manfaatnya untuk manusia.”

“Apakah anda tahu bahwa batu-batu yang anda jadikan berhala-berhala itu sudah terbentuk menjadi batu selama ribuan tahun yang lalu dan batu-batu itu akan tetap ada selama ribuan tahun lagi lamanya? Batu-batu ini tiba di sini dari tempat yang sangat jauh. Batu-batu ini bisa berjalan jauh sekali karena bagian-bagian bumi itu senantiasa bergerak; akan tetapi pergerakannya itu sangat lambat sehingga anda tidak bisa merasakannya sama sekali.”

“Tidak ada di alam semesta ini yang tidak bergerak. Beristirahat atau diam di tempat itu tidak memiliki arti sama sekali dan tidak berguna sama sekali. Kita tidak pernah beristirahat walaupun kita sedang dalam keadaan tidur. Kita ini bergerak karena bumi yang kita pijak inipun bergerak. Selain itu, kita juga punya pergerakan di dalam tubuh kita sendiri.”

“Abu Shakir, seandainya saja anda memiliki pengetahuan yang cukup tentang sebuah batu yang darinya anda telah membuat sebuah berhala, maka anda tidak akan pernah menyangkal sedikitpun tentang keberadaan Allah dan anda tidak akan mengatakan bahwa saya telah menciptakan Allah itu dengan khayalan saya sendiri.”

“Anda tidak tahu apa sebenarnya batu itu dan bagaimana batu itu menjadi batu seperti sekarang ini. Sekarang anda bisa dengan mudah memperlakukan batu itu. Anda bisa memotongnya dan membentuknya menjadi apapun yang anda mau. Akan tetapi dulu sekali batu itu masih berbentuk cairan. Secara perlahan menjadi dingin dan kemudian Allah menjadikannya keras. Pada mulanya batu itu masih sangat rapuh dan mudah sekali pecah di tangan anda menjadi kepingan-kepingan yang sama rapuhnya seperti kaca.”

Abu Shakir bertanya: “Apakah batu itu dulunya dalam keadaan cair?”

Imam Ja’far (as):

“Betul. Memang begitu adanya.”

Abu Shakir tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Salah seorang dari murid Imam Ja’far (as) marah sekali mendengar nada tawa dari Abu Shakir yang terdengar melecehkan. Murid Imam Ja’far itu hendak mengatakan sesuatu akan tetapi dihentikan oleh gurunya yang tercinta.

Abu Shakir berkata: “Aku ini tertawa karena engkau mengatakan bahwa batu itu sebelumnya terbuat dari air.”

Imam Ja’far (as) menjawab:

“Saya tidak mengatakan bahwa batu itu terbuat dari air. Apa yang saya katakan ialah bahwa pada mulanya batu itu berbentuk cairan.” 

Abu Shakir“Apa bedanya? Cairan dan air itu sama saja.”

Imam Ja’far (as):

“Banyak sekali cairan yang bukan air meskipun mereka memiliki kandungan air di dalamnya. Pada mulanya batuan itu berbentuk cairan seperti air dan batuan itu bisa mengalir seperti air. Secara perlahan batuan itu mendingin dan menjadi keras sehingga anda bisa memotongnya dan membuat berhala darinya. Batuan yang keras itu bisa menjadi cair kembali apabila anda memanaskannya.”

Abu Shakir

“Kalau aku pulang nanti aku akan memeriksa kebenaran dari pernyataanmu ini. Aku akan taruh sebuah batu di perapian dan akan aku lihat apakah ia akan berubah menjadi cairan atau tidak.”

Imam Ja’far (as):

“Anda tidak bisa mencairkan batu di atas perapian di rumah anda. Itu sama halnya dengan besi. Bisakah anda mencairkan sebatang besi di rumah anda? Tentu saja tidak! Dibutuhkan suhu yang sangat tinggi untuk mencairkan sebuah batuan yang keras sehingga bisa menjadi cairan.”

“Sekarang apakah anda menyadari bagaimana anda bisa membuat berhala-berhala itu dari batu? Sedangkan kita tahu bahwa Allah-lah yang membuat batu-batu itu. Allah-lah yang telah menciptakan anda dan memberikan anda kedua belah tangan dengan jari-jari tangan yang unik yang membuat anda bisa memegang alat-alat pertukangan. Anda bisa memegang kapak dan kemudian anda menggunakan kapak itu untuk membuat berhala-berhala dari batu. Sekali lagi Allah-lah yang telah memberi anda kekuatan dan kecerdasan yang semuanya anda gunakan untuk membuat para berhala itu.”

“Abu Shakir, apakah anda mengira bahwa gunung-gunung itu hanyalah tumpukan batuan saja? Allah yang Maha Agung telah menciptakan gunung-gunung itu untuk memberikan manfaat yang banyak bagi kita semua. Gunung-gunung itu dibuat Allah bukan untuk keperluan anda mengambil batunya sehingga anda bisa membuat berhala-berhala. Tentu saja tidak. Bukan itu tujuannya. Dimanapun ada sebuah gunung disitulah ada air yang mengalir. Hujan dan salju yang jatuh ke puncak-puncak gunung akan menghasilkan jeram-jeram berisi air-air yang segar sekali. Jeram-jeram kecil ini akan bergabung satu sama lainnya sehingga bisa membentuk sungai-sungai yang besar. Sungai-sungai ini bisa mengairi tanah-tanah pertanian. Orang-orang yang tinggal di lembah-lembah dimana sungai-sungai itu akan melewatinya mendapatkan jatah air yang sangat banyak dan tetap. Orang-orang yang sanggup berjalan jauh, bisa pergi ke gunung selama musim panas agar mereka bisa terhindar dari panasnya dataran rendah.”

“Gunung-gunung itu juga berfungsi sebagai benteng-benteng yang kuat dan tangguh. Gunung-gunung itu melindungi kota-kota dan desa-desa yang terletak di lembah-lembah itu dari terjangan angin topan. Gunung-gunung yang hijau menyediakan rerumputan dan tumbuhan lainnya untuk makanan domba-domba dan hewan ternak lainnya. Ketika panasnya musim panas yang membakar menghanguskan padang rumput di daerah dataran rendah dan akhirnya tidak ada lagi makanan yang bisa dimakan oleh hewan ternak kita, maka para penggembala membawa hewan-hewan ternak mereka ke gunung-gunung dan mereka tinggal di sana hingga akhir musim panas.”

“Gunung-gunung juga merupakan tempat tinggal dari burung-burung dan hewan-hewan lainnya. Beberapa dari hewan itu adalah sumber makanan bagi mereka yang tinggal di sana. Bahkan gunung-gunung yang tidak berwarna hijau sekalipun tetap saja memberikan manfaat yang besar bagi manusia. Apabila manusia mencoba untuk menggali ke dalamnya, maka mereka akan menemukan tambang-tambang logam dan mineral yang sangat berguna bagi manusia.”

“Abu Shakir, saya ini terlalu kecil dan terlalu lemah untuk menciptakan Allah dengan otak saya ini. Dia-lah yang telah menciptakan otak saya ini, supaya saya bisa memikirkan-Nya dan mengenali-Nya. Dia-lah Sang Maha Pencipta. Dia sudah ada jauh sebelum saya ada dan Dia masih ada ketika saya nanti tidak ada. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa saya akan musnah total seluruhnya. Tidak ada di alam semesta ini yang akan musnah seluruhnya. Segala sesuatu itu akan mengalami perubahan. Hanya Allah saja yang tidak akan berubah.”

“Abu Shakir, katakanlah kepada saya. Kepada siapakah anda ini akan meminta pertolongan ketika anda sedang berada dalam kesusahan atau bahaya? Apakah anda berharap bahwa berhala-berhala yang anda buat dari batu itu akan datang menjadi penyelamat anda dan memberikan bantuan? Bisakah para berhala itu menyembuhkan anda ketika anda sakit? Bisakah para berhala itu menyelamatkan anda dari kemalangan dan bencana alam? Bisakah para berhala itu memberikan anda makanan ketika anda kelaparan? Bisakah para berhala itu membayar hutang-hutang anda?”

Abu Shakir menjawab:

“Aku tidak pernah berharap demikian dari sebuah batu, akan tetapi aku kira ada sesuatu di dalam batu itu yang akan mampu membantuku. Selain itu, aku memang ingin menyembahnya.”

Imam Ja’far (as)“Lalu apa yang sebenarnya ada di dalam batu itu? Apakah isinya itu batu juga?”

Abu Shakir“Aku tidak tahu apa isi di dalamnya. Akan tetapi kalau isinya batu juga, itu tidak akan menolongku sama sekali.”

Imam Ja’far (as):

“Abu Shakir, apa yang ada di dalam batu itu yang bukan batu tapi bisa diharapkan untuk menolongmu, itulah yang disebut Allah.” 

Abu Shakir berpikir sejenak dan kemudian ia berkata:

“Apakah Allah itu—yang tidak bisa dilihat mata—ada di dalam batu?”

Imam Ja’far (as)“Ia ada dimana-mana”

Abu Shakir“Aku tidak percaya sesuatu yang ada dimana-mana tapi tetap tidak bisa dilihat mata.”

Imam Ja’far (as)“Bukankah udara juga ada dimana-mana tapi tetap tidak bisa dilihat mata?”

Abu Shakir:

“Meskipun aku tidak bisa melihat udara, tapi aku bisa—paling tidak—merasakannya ketika ia bergerak. Akan tetapi aku tidak bisa melihat Allah dan tidak juga bisa merasakan kehadiranNya.”

Imam Ja’far (as)

“Anda tidak bisa merasakan adanya udara kalau ia tidak bergerak. Udara itu hanyalah ciptaan Allah. Allah itu ada dimana-mana, akan tetapi anda tidak bisa melihat-Nya atau merasakan kehadiran-Nya dengan indera-indera yang anda miliki. Anda sebenarnya baru saja mengakui bahwa meskipun anda tidak melihat sesuatu akan tetapi insting anda atau ruh anda mengatakan bahwa ada sesuatu di dalam batu itu dan sesuatu itu bukan batu itu sendiri, melainkan sesuatu yang bisa menolong anda dari kesusahan. Sesuatu itu ialah Allah. Insting anda juga mengatakan bahwa anda tidak bisa hidup tanpa adanya Allah dan tanpa menyembah Allah.”

Abu Shakir“Memang benar. Aku tidak bisa hidup tanpa menyembah berhala-berhalaku.”

Imam Ja’far (as):

“Jangan katakan anda tidak bisa hidup tanpa menyembah berhala-berhalamu. Katakanlah bahwa anda tidak bisa hidup tanpa menyembah Allah. DIA-lah yang pantas disembah. Sama seperti halnya anda, setiap orang juga berkewajiban untuk menyembah DIA.”

“Seseorang yang tidak pernah menyembah Allah akan kehilangan petunjuk dan ia juga kehilangan pelindung. Ia akan seperti orang yang tidak bisa melihat; tidak bisa mendengar; tidak bisa merasakan; dan tidak bisa berpikir. Ia tidak tahu kemana dia harus pergi dan kepada siapa ia harus mengadu atau meminta bantuan ketika ia sedang berada dalam kesusahan. Menyembah Allah itu adalah bagian dari hidup anda. Setiap makhluk hidup itu menyembah DIA secara naluriah. Bahkan hewan-hewan pun tidak bisa hidup tanpa menyembah DIA.”

“Kita tidak bisa meminta hewan-hewan itu untuk menyembah Allah. Hewan-hewan itu juga tidak bisa berkata kepada kita bahwa mereka sudah menyembah Allah atau menerangkan bagaimana mereka menyembah Allah. Akan tetapi kehidupan mereka yang teratur dan berpola itu sudah cukup menjadi petunjuk bagi kita bahwa hewan-hewan itupun percaya kepada adanya Allah dan mereka itu pula menyembah Allah sama seperti halnya kita menyembahNya. Tidak ada keraguan bahwa bahwa mereka telah menyembah Allah dengan sangat patuh mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh Sang Maha-Pencipta yang menciptakan mereka.”

“Seandainya mereka itu tidak patuh kepada yang telah menciptakan mereka, maka mereka tidak akan memiliki kehidupan yang begitu teratur dan rapi.”

“Kita lihat bahwa tepat sebelum datangnya musim semi, burung-burung titmouse  senantiasa datang tepat pada waktu yang sama dan kemudian bernyanyi seakan-akan ia memberitahu kepada kita akan datangnya musim yang baru. Rencana perjalanan dari burung titmouse—yang suka bermigrasi—ini begitu teratur dan sangat tepat jadwal hingga bahkan kalau hari-hari terakhir di musim dingin itu masih dingin, kedatangan burung titmouse itu tetap tidak ditunda, misalnya, selama beberapa hari lagi ke depan.”

“Ketika burung chilchila  kembali dari perjalanannya setelah ia menempuh jarak ribuan kilometer, burung itu segera membuat sarangnya di tempat yang persis sama dimana dulu ia pernah membuat sarang di musim semi yang lalu. Apakah mungkin burung-burung kecil ini memiliki kehidupan yang begitu teratur apabila mereka tidak mematuhi aturan-aturan yang telah ditentukan oleh Allah? Apakah mungkin burung-burung ini mematuhi aturan Allah sedemikian patuh dan taatnya tanpa menyembahNya?”

“Abu Shakir, bahkan tanam-tanaman-pun semuanya mengikuti aturan-aturan yang sudah digariskan dan ditentukan oleh Allah. Tanaman-tanaman itu selain patuh dan taat kepada aturan Allah juga mereka menyembah Allah. Ada lebih dari 150 spesies tumbuhan yang nantinya akan dibagi lagi kedalam ratusan sub-spesies akan tetapi anda tidak akan mungkin melihat satupun dari spesies itu atau sub-spesies itu yang hidupnya berantakan dan tidak beraturan. Itu menunjukkan bahwa ada Sang Maha-Pengatur yang mengatur semua itu.”

“Abu Shakir, sama seperti halnya kita, tumbuhan juga tidak bisa melihat Sang Maha-Pencipta; akan tetapi mereka itu tetap menyembahNya dan mematuhi setiap aturanNya secara naluriah.”

“Saya tahu bahwa anda tidak akan menerima ini atau mungkin anda malah tidak mengerti apa-apa yang saya katakan tadi. Seorang manusia itu harus memiliki pengetahuan yang cukup untuk memahami masalah-masalah yang rumit.”

“Abu Shakir, bukan saja tumbuhan dan hewan yang menyembah Allah dengan menggunakan instingnya atau nalurinya melainkan juga barang-barang yang tidak bernyawa dan tidak bergerak semuanya menyembah Allah dengan insting-insting yang berbeda yang mereka miliki. Apabila benda-benda mati dan tak bergerak itu tidak menyembah Allah, maka mereka tidak akan patuh dan taat kepada aturan Allah . Dan kalau mereka tidak mengikuti sistem atau pola atau aturan yang tertentu maka benda-benda itu akan mengalami kerusakan dan kehancuran. Atom-atom dari benda-benda itu akan terpisah satu sama lainnya dan mereka akan mengalami kemusnahan.”

“Cahaya yang berasal dari matahari itu juga menyembah Allah dengan mentaati aturan yang sudah ditentukan olehNya. Dan aturan itu sangat kuat, akurat, dan mengikat. Cahaya matahari itu terdiri dari kombinasi dua kekuatan yang berlawanan. Kekuatan ini juga mematuhi hukum-hukum atau aturan Allah selain juga menyembah Allah. Kalau tidak, maka kekuatan itu tidak akan menghasilkan cahaya.

“Abu Shakir, apabila Allah itu tidak ada, maka takkan mungkin ada alam semesta. Tidak mungkin ada saya dan tidak mungkin ada anda. Kalimat “Tidak ada Allah” itu sama sekali tidak memiliki arti. Keberadaan Allah itu adalah keharusan dan keniscayaan. Apabila sedetik saja Allah tidak mempedulikan kita; apabila sejenak saja perhatian Allah itu teralihkan—misalnya Allah untuk sejenak beristirahat dan tidak memikirkan alam semesta—maka alam semesta ini akan hancur berkeping-keping. Segala sesuatu di alam semesta ini harus mematuhi hukum dan aturan Allah yang tetap dan abadi.  Allah itu membuat hukum dan aturan yang luar biasa itu sedemikian rupa dengan Kekuasaan-Nya dan Pengetahuan-Nya yang penuh dengan kasih sayang dan kemaha-bijaksanaan. Setiap hukum dan aturan Allah itu memiliki tugas yang khusus dan tujuan yang khusus.”

Ketika Imam menyimpulkan pembicaraannya yang panjang lebar dan berbobot, Abu Shakir jatuh kedalam lamunan yang dalam seolah-olah ia mendapatkan inspirasi yang hebat. 

Imam Ja’far (as) bertanya kepada Abu Shakir: 

“Apakah anda sekarang percaya bahwa Allah itu—yang tidak bisa anda lihat—benar-benar ada dan apa yang anda sembah itu seharusnya Allah Tuhan semesta alam?”

Abu Shakir menjawab:

“Aku belum benar-benar yakin. Aku sekarang sedang berada dalam kebingungan. Aku penuh dengan keraguan dan kekhawatiran terhadap keyakinanku dan pendirianku.”

Imam Ja’far (as) menjawab: 

“Keraguan terhadap penyembahan berhala adalah awal dari penyembahan Allah Ta’ala.”



Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta