WAHABI DAN MATA-MATA INGGRIS (bagian 2: CIKAL BAKAL TERORISME DALAM ISLAM)

IBN TAYMIYYAH

Pengepungan kota Baghdad oleh pasukan Mongol (1258)
Akhirnya, di atas segala keburukan yang dilakukan oleh Abdul Wahab terhadap kaum Muslimin, ia mengumumkan wajib hukumnya bari para pengikutnya untuk melancarkan “jihad” terhadap kaum Muslimin. Para pengikutnya diperbolehkan untuk memperbudak kaum wanita dan anak-anak dari kaum Muslimin. Abdul Wahab melakukan hal ini karena ia terpengaruh sekali dengan pandangan-pandangan Ibnu Taymiah—yang sampai hari ini, pandangan-pandangannya memberikan pengaruh yang besar sekali dan memberikan semangat dan bimbingan terhadap tumbuhnya terorisme di dalam Islam. (LIHAT: IBNU TAYMIAH: ULAMA TAKFIRI PENEBAR BENCI (berikut daftar para ulama Salafi Ahlu Sunnah yang menentang Ibnu Taymiah)).
Sungguh mengherankan sekali, dari seluruh Ulama sepanjang sejarah yang bisa dipilih sebagai panutan, kaum Wahabi dan kaum Muslimin modern yang merasa menjadi kaum reformis Islam malah memilih Ibnu Taymiah sebagai ulama panutan mereka. Padahal Ibnu Taymiah terkenal sebagai ulama yang ortodoks (kolot) yang ketika semasa hidupnya ia seringkali bertentangan dengan para ulama lainnya yang jauh lebih berilmu dan lebih shaleh serta lebih terkemuka dan lebih terpercaya.
Ibnu Taymiah hidupnya dipenuhi oleh pertentangan dalam melawan hukum. Pada tahun 1293—misalnya—ia menentang hukum dengan membela seorang Kristen yang jelas-jelas telah menghina Nabi. Orang Kristen itu sudah diputuskan bersalah lewat pengadilan agama, akan tetapi Ibnu Taymiah malah membelanya dengan memprotes hukuman yang sudah dijatuhkan kepada orang Kristen itu. Pada tahun 1298, ia dituduh mengkritik para ulama yang memiliki otoritas di jamannya. Kemudian ia juga dituduh memiliki paham anthropomorphism[1] walaupun paham itu jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Ibnu Battutah—seorang penulis dan musafir terkenal—melaporkan sebuah kejadian yang menarik. Ketika itu Ibnu Taymiah sedang berkhutbah di sebuah masjid. Ibnu Taymiah berkata, “Allah itu turun dari langit ke dunia ini seperti aku turun sekarang ini”; dan Ibnu Taymiah turun dari mimbarnya satu undakan tangga.[2]
Pendapat-pendapat mengenai sosok Ibnu Taymiah itu banyak sekali dan beragam. Selain banyak yang mengecam ada juga yang memujinya. Bahkan musuh-musuhnya pun seperti Taqiuddin al-Subki, misalnya, mau juga mengakui keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh Ibnu Taymiah. Ia pada suatu ketika berkata:
“Secara pribadi, aku sebenarnya mengagumi sifat kezuhudan dan kesalehan dari Ibnu Taymiah, yang mungkin sudah pemberian Tuhan dari sananya.”[3]
Akan tetapi di sisi lain, Ibnu Taymiah malah dicela oleh salah seorang muridnya sendiri--yang sudah barang tentu jauh lebih mengenalnya dibanding lawan-lawannya--yaitu Al-Dhahabi—seorang sejarawan dan ulama Sunni yang terkenal. Al-Dhahabi berkata:
“Beruntunglah dia yang memiliki kesalahan yang banyak sehingga ia terlalu sibuk dan tidak mempedulikan kesalahan-kesalahan orang lain! Dan celakalah ia yang terlalu sibuk meneliti kesalahan-kesalahan orang lain hingga lupa kesalahannya sendiri! Betapa terlalu lama ia memperhatikan debu yang ada di mata orang lain dan kemudian ia melupakan bahwa ada kerikil di matanya sendiri!”[4]
Karena sifat Ibnu Taymiah yang suka berlebih-lebihan dalam menilai dan mencela orang itulah maka Ibnu Battutah menyatakan bahwa Ibnu Taymiah itu salah satu “mur-nya lepas” (he had a screw loose)—ungkapan sindiran halus kepada Ibnu Taymiah.[5]
Selama penyerbuan bangsa Mongol antara tahun 1299 sampai dengan tahun 1303 dan juga selama penjajahan oleh bangsa Mongol di Damaskus, Ibnu Taymiah memimpin kelompok perlawanan. Ia juga mencela agama yang dianut oleh para penjajah itu walaupun mereka sudah pindah agama menjadi pemeluk Islam. Ibnu Taymiah tetap mencurigai mereka. Selama penjajahan Mongol, Ibnu Taymiah tetap tinggal di Harran—tempat kediaman orang-orang penganut Saba’iyah dan kemungkinan besar ia terpengaruh oleh pola pemikiran mereka.  
Pada tahun 1306, Ibnu Taymiah dipanggil untuk menjelaskan pemahaman dirinya akan Islam di depan dewan gubernur. Walaupun pada waktu itu dewan gubernur tidak sampai mengecam atau mengutuk dirinya akan tetapi Ibnu Taymiah tetap saja diusir ke Kairo. Di sana Ibnu Taymiah juga dipanggil oleh dewan lainnya yang menuduh dirinya memiliki paham Anthropomorfisme. Di sana ia akhirnya terbukti bersalah dan dipenjara selama 18 bulan lamanya.
Walaupun Ibnu Taymiah sangat meyakini paham itu—sepertinya halnya orang-orang Ismailiyyah pada waktu itu—ia tetap hanya menyebarkan pahamnya itu secara rahasia diantara para muridnya yang telah mencapai kelas tingkatan teratas. Abu Hayyan—salah seorang yang benar-benar mengenali Ibnu Taymiah secara pribadi—menghormatinya setinggi langit hingga akhirnya ia berkenalan dengan salah satu hasil karya tulis atau buku Ibnu Taymiah yang mana di dalamnya ia melihat Ibnu Taymiah menggambarkan Tuhan seolah-olah Tuhan itu manusia karena memiliki sifat-sifat dan karakter manusia (Anthropomorfisme)[6]
Buku Ibnu Taymiah tersebut didapatkan oleh seseorang dengan menggunakan tipuan tertentu. Orang itu berpura-pura menjadi salah seorang pengikut setianya supaya ia mendapatkan pelajaran khusus dari Ibnu Taymiah karena Ibnu Taymiah hanya memberikan ilmu-ilmu tertentu pada orang-orang tertentu. Ibnu Taymiah sengaja mengkhususkan ilmu tertentu hanya untuk orang-orang yang dianggap dekat dan setia kepadanya. Ini menunjukkan bahwa Ibnu Taymiah menganut sebuah doktrin tertentu yang ia sampaikan kepada masyarakat; tetapi dalam waktu yang sama, ia juga memiliki doktrin yang lain yang hanya dipahami oleh kalangan tertentu dan doktrin itu ia ajarkan hanya kepada orang-orang yang ingin menjadi pendukung setianya. Doktrin yang ia ajarkan itu lebih mirip dengan ilmu klenik.
Ketika Ibnu Taymiah melarang orang yang hendak bertabarruk atau bertawassul kepada para wali Allah, para pengikutnya menganggap bahwa Ibnu Taymiah sedang melakukan usaha pembersihan atau pensucian ajaran Islam agar tetap bertauhid (monoteisme). Tiang agama Islam itu adalah keesaan Allah (Tauhid atau monoteisme). Ketika Islam turun yang dilakukan pertama kali ialah melarang paganisme bangsa-bangsa Arab. Para pengikut Ibnu Taymiah menganggap diri mereka sebagai orang-orang suci yang mencoba untuk mengembalikan kaum Muslimin agar menyembah Tuhan yang satu—Tuhan yang sama yang disembah oleh para Nabi dalam kitab Perjanjian Lama. Oleh karena itu, “menyembah” selain Allah dianggap sebagai kesesatan yang paling utama. Di sinilah awal dari penyimpangan yang paling ekstrim dari paham Wahabi.

KELUARGA SAUDI, KELUARGA WAHABI SEJATI

Ruins of Dariyah
Segera Menteri Persemakmuran Inggris Raya berupaya untuk mendapatkan bantuan sebesar-besarnya dari Muhammad Ibnu Saud (Amir atau pemimpin Dariyah) untuk Abdul Wahab agar ia bisa mengembangkan dan menyebarkan “agama baru” itu kepada masyarakat. Dicapailah sebuah keputusan sejak saat itu dimana kekuasaan di jazirah Arabia itu akan dipegang oleh keturunan mereka: dimana keluarga Saudi (yang menjadi satu keluarga dengan keluarga Wahabi karena pernikahan) akan memegang kekuasaan politis; dan keluarga Wahabi yang akan mengurusi urusan keagamaan dan tata cara ibadah menurut mereka. 
Keluarga Saudi sendiri adalah keluarga Iluminati[7]Keluarga Saudi itu sebenarnya adalah keturunan Yahudi yang merahasiakan keturunannya sama persis seperti kawan-kawan mereka keturunan Donmeh (LIHAT: PERAN KELUARGA SAUDI DAN WAHABI DALAM PEMBENTUKAN NEGARAISRAEL) yang ada di Turki. Menurut Mohammad Sakher—keluarga Saudi memerintahkan pembunuhan terhadapnya karena tulisan-tulisannya yang berdasarkan penelitian yang ia lakukan terhadap keluarga Saudi—keluarga Saudi itu meskipun mereka mendukung gerakan pembaruan yang dilakukan oleh Abdul Wahab, mereka itu adalah keturunan Yahudi asli yang secara hakikat tidak pernah menyukai Islam dan kaum Muslimin. Pada abad ke-15, Sakher menuliskan, seorang pedagang Yahudi dari kota Basrah yang bernama Mordechai pindah ke jazirah Arab dan ia kemudian bermukim di Dariyah dimana ia mengaku (berpura-pura) sebagai seorang Arab yang berasal dari sebuah suku Arab Aniza. Ia mengaku bernama Markan bin Dariyah (LIHAT: KELUARGA SAUDI ….. SIAPAKAH MEREKA SEBETULNYA?)[8]
Suku Aniza (yang diklaim oleh nenek moyang keluarga Saudi sebagai suku mereka yang asli) sama halnya dengan keluarga Sabah di Kuwait yang dipercayai berasal dari Khaybar, Saudi Arabia. Dan menurut dokumen yang sangt dipercayai, di Khaybar itu tinggal orang-orang keturunan Yahudi[9] yang terpaksa masuk Islam pada waktu itu. Secara khusus menurut legenda modern, suku Aniza itu disebut-sebut sebagai asal-usul orang-orang pemuja setan dan para penyihir di Eropa dan tradisi itu sampai ke Eropa sana melalui Abu el-Atahiyya.[10] Legenda modern ini di populerkan oleh Gerald Gardner—orang yang mengenalkan kelompok pemuja setan yang bernama Wicca.[11] Gardner juga berteman baik dengan Aleister Crowley. Mereka sama-sama menjad aktifis Co-Freemason—sempalan dari French Masonry—yang ia didirikan bersama-sama dengan Annie Besant.
Gardner juga berteman dan sekaligus menjadi guru dari Charlatan Idries Shah—ia pernah menulis buku tentang Sufisme yang sebenarnya bukan tentang Sufisme melainkan tentang Luciferianisme[12].
Pada awal abad ke-18, suku Aniza sudah memasuki gurun pasir Syria dimana mereka membentuk diri mereka menjadi suku yang sangat kuat dan sangat berpengaruh. Seorang pengelana dari Jerman yang bernama Carlsten Niehbuhr menyebutkan bahwa suku Aniza itu (pada tahun 1761) sebagai suku yang paling kuat di gurun pasir Syria. Sekarang ini suku Aniza tetap menjadi suku yang paling besar diantara suku-suku Arab lainnya dan mereka tersebar di negara Yordan, Saudi   Arabia, dan Kuwait.
Keluarga Saudi sejak dulu memang dikenal sebagai keluarga bandit—keluarga para perampok. Ini pada akhirnya menyebabkan mereka harus berhadapan dengan kekuasaan Kekhalifahan Turki Utsmaniyyah.  Karena itulah maka—ujar Schwartz: “Arab Saudi memelihara hubungan baik dan bersekutu dengan Inggris yang kemudian mengambil alih kendali atas daerah-daerah kaya di seluruh jazirah Arabia: mulai dari daerah pesisir Arab Emirat dari Kuwait hingga ke Aden.”[13]
Pada tahun 1746, aliansi Wahabi-Saudi menyatakan seluruh umat Muslim yang tidak sepakat dan tidak sepaham dengan mereka sebagai “orang-orang sesat” dan oleh karena itu wajib hukumnya melancarka “jihad” atau perang suci terhadap mereka “orang-orang sesat”. Mulailah harta benda mereka dijarah dan dirampok tanpa ampun. Setiap nyawa dari kaum Muslimin yang tidak sepakat dengan mereka menjadi tidak aman dari gangguan mereka.
Di dalam Islam, sangat diharamkan untuk menuduh sesama Muslim itu dengan tuduhan bahwa ia kafir atau murtad atau sesat. Itu adalah tuduhan yang sangat serius. Sebuah hadits menyebutkan bahwa apabila seseorang telah menuduh bahwa seorang Muslim itu telah murtad atau kafir atau sesat, maka yang dituduh dan yang menuduh sama-sama sesatnya. Akan tetapi hadits yang berisi peringatan keras seperti itu rupanya sama sekali tidak membuat Abdul Wahab takut atau segan. Abdul Wahab tetap saja secara serabutan menyebutkan bahwa siapapun yang tidak suka atau tidak sepakat atau tidak setuju dengan pemahamannya akan Islam, maka ia akan dianggap sebagai orang kafir, murtad, atau sesat.
Pada tahun 1746, bahkan sebelum ia berkongsi dengan Ibnu Saud, Abdul Wahab pernah mengirimkan sebuah delegasi berjumlah 30 orang untuk bertemu dengan seorang Syarif di kota Mekah. Abdul Wahab ingin mendapatkan restu bagi dirinya dan para pengikutnya untuk melaksanakan ibadah haji di sana. Syarif itu merasakan ada motif tersembunyi yang lain di balik permohonannya itu. Syarif merasa bahwa Abdul Wahab sebenarnya ingin menyebarkan paham Wahabi-nya yang sesat itu di kota Mekah. Oleh karena itu, ia mengatur sebuah perdebatan antara mereka dengan para ulama di kota Mekah dan Madinah pada waktu itu. Para delegasi Abdul Wahab itu gagal total untuk mempertahankan keyakinan mereka yang sesat itu dan Qadi—atau hakim ketua—di kota Mekah menyebutkan bahwa mereka itu memang telah sesat karena mereka telah menuduh orang-orang lain—walaupun sesama Muslim—sebagai orang-orang sesat.[14]


Jazirah Arab

Mulai sejak tahun itulah gerakan Wahabi itu dikenal orang sebagai gerakan yang sangat membahayakan dan jahat terhadap kaum Muslimin. Selain itu di wilayah yang sama ada pelanggaran batas yang masif oleh “orang-orang kafir” Inggris. Didorong oleh keberhasilan mereka di India, pada tahun 1755 Inggris juga membuat usaha awal untuk mendongkel Kuwait dari kekuasaan Kekhalifahan Turki Utsmaniyyah, akan tetapi usahanya tidak berhasil. 10 tahun kemudian, Muhammad Ibnu Saud meninggal dan puteranya yang bernama Abdul Aziz mulai berkuasa di Dariyyah. Selama kurun waktu 2 dekade, kaum Wahabi memperluas daerah pengaruhnya seiring dengan infiltrasi yang dilakukan oleh Inggris. Inggris mulai lagi untuk mendongkel Kuwait pada tahun 1755—pada tahun yang sama. Masuknya Inggris ke Kuwait terutama untuk melindungi pelayanan surat menyurat yang melewati kawasan itu. Inggris untuk kedua kalinya juga tidak berhasil mencaplok Kuwait. Mereka dikalahkan oleh tentara Kekhalifahan Turki Utsmaniyyah.
Di tahun berikutnya, Abdul Wahab memproklamasikan dirinya sebagai penguasa dan pemimpin bagi kaum Muslimin di seluruh dunia. Ia sengaja melakukan itu untuk menantang kekuasaan Sultan di Istanbul—Turki. Abdul Wahab juga mengumumkan “Perang Jihad” menentang kekuasaan Kekhalifahan Turki Utsmaniyyah. Dan pada tahun 1788, Abdul Aziz Ibnu Saud dengan didukung oleh kekuatan militer Inggris,  berhasil mendongkel dan menguasai Kuwait.
Pada tahun 1792, Abdul Wahab mati dan Abdul Aziz mengambil alih kendali kepemimpinan gerakan Wahabi. Di bawah kendalinya, kaum Wahabi mulai melancarkan serangan-serangan selama tiga tahun berikutnya ke kota Madinah; dan kemudian ke daerah-daerah Syria dan Irak. Pada tahun 1801, kaum Wahabi menyerang kota suci kaum Syi’ah, Karbala, di Irak. Mereka membantai ribuan penduduknya. Mereka merusak dan menjarah makam Imam Husein—cucu dari Rasulullah Muhammad SAW. Sebagai akibatnya, Abdul Aziz ada yang membunuh pada tahun 1803—ada kemungkinan dilakukan oleh seorang Syi’ah yang merasa dendam terhadapnya. Putera dari Abdul Aziz ialah Saud Ibnu Abdul Aziz dan ia kemudian menjadi penggantinya. Setelah menyerang dan meluluh-lantakkan kota Karbala, kaum Wahabi kemudian mulai menyerang kota Mekah. Gubernur Mekah yang menjadi perwakilan dari Kekhalifahan Turki Utsmaniyyah gagal untuk mengadakan perundingan damai dengan mereka. Ia melarikan diri ke sebuah benteng yang terletak di kota Taif. Ia dikejar-kejar oleh sekitar 10,000 orang Wahabi untuk dibunuh.
Akhirnya kaum Wahabi berhasil menaklukan kota Taif. Mereka kemudian mulai merusak segala sesuatu yang ada di sana. Mereka menghancurkan makam-makam dan kompleks pekuburan. Mereka juga merusak masjid-mesjid dan sekolah-sekolah Madrasah. Bahkan mereka lebih gila lagi: mereka mencabuti jilid-jilid dan pembungkus Al-Qur’an yang terbuat dari bahan kulit bermutu tinggi dan menjadikan sandal-sandal yang kemudian mereka pakai. Al-Zahawi—seorang sejarawan Islam yang hidup pada waktu itu—menuliskan sebagai berikut:
“Mereka membunuh setiap orang yang tampak di hadapan mata mereka. Mereka membantai anak-anak dan orang dewasa; baik seorang pemimpin maupun seorang rakyat jelata; baik yang baru lahir maupun yang sudah tumbuh remaja. Mereka mulai membunuh para bayi yang sedang menyusu pada ibunya dan mereka juga membunuhi orang-orang yang sedang belajar Al-Qur’an. Mereka menyembelih orang-orang yang tak berdosa dan tak bersenjata hingga tak ada yang tersisa. Dan setelah mereka menyingkirkan semua orang-orang yang sedang berada di rumahnya masing-masing, mereka kemudian mulai keluar dan turun ke jalan-jalan. Mereka memasuki toko-toko dan pasar dan juga masjid-mesjid dan membunuhi siapapun yang ada di sana. Mereka bahkan tega sekali membunuh seseorang yang sedang melakukan ruku’ dalam shalatnya. Mereka akhirnya berhasil membunuhi semua Muslim yang tinggal di kota Taif. Hanya beberapa gelintir saja dari mereka yang masih sempat hidup. Kurang lebih hanya ada 20 orang yang selamat.”
“Mereka yang masih selamat tersudutkan di Bait al-Fitni dengan persenjataan atau amunisi mereka dan mereka aman dari ancaman kaum Wahabi. Ada satu kelompok orang lagi di Bait al-Far berjumlah 270 orang yang melawan pada hari itu; selain itu ada kelompok kedua dan ketiga. Kaum Wahabi mengirimkan seorang utusan untuk memberikan garansi kepada mereka bahwa mereka akan mendapatkan pengampunan. Akan tetapi ini sebenarnya hanya akal-akalan kaum Wahabi saja karena ketika kaum Wahabi itu memasuki daerah perlindungan mereka, kaum Wahabi itu mulai merampas senjata mereka dan membantai mereka satu per satu hingga tersisa satu orang saja. Kaum Wahabi juga membujuk yang lainnya agar bertekuk lutut dengan jaminan keamanan dan pengampunan. Yang menyerahkan diri kemudian dibawa ke lembah Waj dan kaum Wahabi itu kemudian meninggalkan mereka di sana kedinginan dalam salju dan bertelanjang kaki, telanjang bulat dan tidak bisa menyembunyikan diri mereka dari kaum wanita. Mereka biasanya sangat tertutup dan sopan sekali karena menjunjung aturan agama akan tetapi hari itu mereka harus menanggalkan itu semua. Kaum Wahabi itu kemudian merampas semua harta benda mereka—apapun bentuknya, juga merampas peralatan rumah tangga, perhiasan dan uang tunai”
“Mereka membuang buku-buku ke jalanan, ke gang-gang agar rusak dan sobek serta lembarannya berhamburan ke sana kemari oleh angin. Sebagian dari buku-buku yang dilemparkan ke jalanan itu ialah mushaf Al-Qur’an; kitab-kitab Bukhari dan Muslim atau kitab-kitab hadits shahih lainnya; juga kitab-kitab fikih yang jumlahnya ribuan kopi. Buku-buku atau kitab-kitab yang berharga itu tercampakkan di jalanan selama beberapa hari. Sebagian besar dikotori oleh kaum Wahabi itu dengan menginjak-injaknya. Tidak ada satupun dari mereka kaum Wahabi itu yang berusaha untuk memisahkan kitab Al-Qur’an dari kaki-kaki mereka. Mereka menganggap itu sama saja. Mereka menginjak-nginjaknya juga, tanpa ampun sama sekali. Setelah itu mereka menyasar rumah-rumah dan mengotori rumah-rumah itu dengan sampah dan kotoran. Sebelumnya tempat itu merupakan kota yang bersih; sekarang menjadi kota yang kumuh, kotor, penuh darah dan sampah.”


Mohammed Ali Pasha
Kemudian kaum Wahabi itu memasuki kota suci Mekah. Ghalib—penjaga dari kota itu—berusaha untuk mengusir mereka, akan tetapi kaum Wahabi itu berbalik menyerang kota lainnya yaitu kota Madinah. Saud Ibn Abdul Aziz berteriak kepada orang-orang di sana:
“Tidak ada kata lain bagi kalian selain menyerahkan diri. Aku akan buat kalian menangis keras dan kemudian lenyap seperti yang aku pernah lakukan kepada para penduduk kota Taif.”
Di kota Madinah, mereka menjarah harta Rasulullah termasuk kitab-kitab berharga; karya-karya seni; dan peninggalan-peninggalan bersejarah lainnya yang sangat berharga dan sudah dikumpulkan dan dilindungi selama seribu tahun lebih. Akhirnya setelah mereka berhasil menguasai dua kota suci ini, mereka memperkenalkan Islam versi baru (yang belum pernah dikenal dalam sejarah sebelumnya). Islam yang melarang orang-orang yang hendak melakukan haji; Islam yang menyuruh orang-orang untuk menutupi Ka’bah dengan kain hitam yang kasar; Islam yang memerintahkan untuk penghancuran kota-kota suci dan makam-makam suci bersejarah.
Kejahatan Wahabi terhadap kekhalifahan Turki Utsmaniyyah berlanjut. Mereka tetap menjadi pelayan pemerintah Inggris yang sejati. Selama masa ini, pemerintah Inggris memerankan diri sebagai rekanan di wilayah Arab Tenggara, di negara Oman, Zanzibar (Afrika), dan beberapa wilayah di Iran serta beberapa pesisir pantai di negara-negara tetangga. Inggris juga memperluas pengaruhnya ke sebelah utara ke wilayah Uni Emirat Arab. Pemerintah Inggris juga merampas kendali dari Aden yang terletak di pantai selatan Yaman. Meskipun Inggris itu benar-benar penjajah dan meskipun Inggris itu menjarah negara-negara atau wilayah-wilayah yang notabene merupakan wilayah kaum Muslimin, kaum Wahabi sama sekali tidak peduli. Mereka asyik sendiri. Mereka asyik dengan “Jihad”-nya sendiri. Jihad untuk memerangi kaum Muslimin yang menurut mereka sesat dan kafir walaupun pada kenyataannya hanya berbeda pendapat dengan kaum Wahabi atas pemahaman Islam.
Kaum Wahabi tetap melakukan tindak kekerasan yang teramat sadis di seluruh jazirah Arabia hingga tahun 1811—sampai saat Muhammad Ali Pasha—seorang raja muda dari Mesir—dimohon oleh Kekhaliafahan Turki Utsmani untuk menegur kaum Wahabi. Ia menunjuk puteranya Komandan Tosun Pasha akan tetapi tentaranya dikalahkan dan dihancurkan. Ali Pasha kemudian mengambil alih komando, dan di tahun 1812 ia berhasil menyapu seluruh jazirah Arabia menghapuskan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh kaum Wahabi. Dua orang Wahabi fanatis yang paling kejam yang bernama Utsman al-Mudayiqi dan Mubarak Ibn Maghyan dikirimkan ke Istanbul. Mereka berdua diarak di sepanjang jalan hingga kemudian mereka akhirnya dihukum mati.
Ali Pasha juga mengirimkan tentara dibawah komando putera keduanya, Ibrahim Pasha untuk mengusir kaum Wahabi dari Syria, Irak, dan Kuwait. Bangsa Arab yang sudah menderita di bawah kaki orang-orang Wahabi sekarang berontak dan bergabung dengan pasukan Ali Pasha. Pada tahun 1818, wilayah Dariyyah yang dikuasai oleh Kaum Wahabi berhasil direbut dan kemudian diluluh-lantakkan. Meskipun begitu, keluarga Saudi mendapatkan perlindungan dari pemerintah Inggris di kota Jeddah. Saud Ibn Abdul Aziz sendiri kemudian meninggal pada tahun 1814 karena demam akan tetapi putera mahkotanya Abdullah Ibn Saud dibawa ke Istanbul dan kemudian ia dihukum mati di sana bersama para begundal Wahabi lainnya. Sisa-sisa dari kaum Wahabi berhasil diusir dari kota Kairo.
Meskipun mereka mendapatkan kekalahan awal yang buruk, kaum Wahabi berhasil berkumpul lagi di Najd. Mereka membangun sebuah ibu kota yang baru di daerah Najd yang mereka berinama Riyad. Dalam beberapa dekade berikutnya, kaum Wahabi mulai untuk melakukan ekspansi wilayah lagi. Hamid Algar berujar, “Secara kebetulan hal itu menjadikan Keluarga Saud berhubungan erat dengan pemerintah Inggris yang bukan saja sedang mengkonsolidasi kekuatan di kawasan Teluk Persia melainkan juga sedang mencoba untuk mempreteli kekuasaan dan kekuatan Kekhalifahan Turki Utsmaniyyah.”



[1] Yaitu sebuah paham yang menyamakan Tuhan dengan manusia; atau mensifati Tuhan dengan sifat-sifat manusia yang jelas bertentangan dengan kemuliaan dan keagungan Tuhan menurut ajaran Islam.
[2] Rihla, mengutip dari tulisan Little, “Did Ibn Taymiyya Have a Screw Loose”, Studia Islamica xli (1975). Halaman 95.
[3] Dikutip dari tulisan Little, "Did Ibn Taymiyya Have a Screw Loose", halaman 100
[4] LIHAT: al Nasiha al Dhahabiyya li Ibn Taymiyya, dikutip dari tulisan Little, "Did Ibn Taymiyya Have a Screw Loose", halaman 100
[5] Rihla, dikutip dari Little, "Did Ibn Taymiyya Have a Screw Loose", halaman 95.
[6] Nuh Ha Mim Keller, The Re-Formers of Islam. “Question 3 Re-Forming Classical Texts”.
[7] Illuminati (bentuk plural dari bahasa Latin illuminatus, "tercerahkan") adalah nama yang diberikan kepada beberapa kelompok, baik yang nyata (historis) maupun fiktif. Secara historis, nama ini merujuk pada Illuminati Bavaria, sebuah kelompok rahasia pada Zaman Pencerahan yang didirikan pada tanggal 1 Mei tahun 1776.

Sejak diterbitkannya karya fiksi ilmiah postmodern berjudul The Illuminatus! Trilogy (1975-7) karya Robert Shea dan Robert Anton Wilson, nama Illuminati menjadi banyak digunakan untuk menunjukkan organisasi persekongkolan yang dipercaya mendalangi dan mengendalikan berbagai peristiwa di dunia melalui pemerintah dan korporasi untuk mendirikan Tatanan Dunia Baru. Dalam konteks ini, Illuminati biasanya digambarkan sebagai versi modern atau keberlanjutan dari Illuminati Bavaria.

Illuminati (bentuk plural dari bahasa Latin illuminatus, "tercerahkan") adalah nama yang diberikan kepada beberapa kelompok, baik yang nyata (historis) maupun fiktif. Secara historis, nama ini merujuk pada Illuminati Bavaria, sebuah kelompok rahasia pada Zaman Pencerahan yang didirikan pada tanggal 1 Mei tahun 1776.

Sejak diterbitkannya karya fiksi ilmiah postmodern berjudul The Illuminatus! Trilogy (1975-7) karya Robert Shea dan Robert Anton Wilson, nama Illuminati menjadi banyak digunakan untuk menunjukkan organisasi persekongkolan yang dipercaya mendalangi dan mengendalikan berbagai peristiwa di dunia melalui pemerintah dan korporasi untuk mendirikan Tatanan Dunia Baru. Dalam konteks ini, Illuminati biasanya digambarkan sebagai versi modern atau keberlanjutan dari Illuminati Bavaria.

[8] The Saudi Dynasty: From Where is it? And Who is the Real Ancestor of this Family?

[9] Mungkin mereka sisa-sisa keturunan Yahudi setelah perang Khaybar antara kaum Muslimin dan kaum Yahudi yang dimenangkan oleh Ali sendirian.

[10] Abū l-ʻAtāhiyya (أبو العتاهية, nama lengkapnya ialah Abu Isħaq Ismā'īl ibn Qāsim al-ʻAnazī إسماعيل بن القاسم (العنزي، بن سويد العيني)[1] Abu l-'Atahiyya (748-828) adalah penyair dari Arab yang lahir di 'Aynu t-Tamar, di gurun pasir Irak dekat al-Anbar. Kakek moyangnya berasal dari suku Aniza. Masa mudanya dihabiskan di kota Kufah dimana di sana ia berjualan peralatan dari tembikar. Setelah pindah ke Baghdad, ia melanjutkan bisnisnya di sana, akan tetapi ia menjadi orang yang terkenal karena ia suka menulis syair-syair yang terutama ia tujukan kepada ‘Utbah salah seorang selir dari Khalifah Abbasiyah, al-Mahdi. Cintanya tak pernah terbalas.

Ia pernah ditahan walaupun tidak lama karena ia dianggap telah menyerang kepribadian khalifah. Ia meninggal pada tahun 828M pada masa rezim pemerintahan Khalifah al-Ma’mun.

Semasa hidupnya, ia juga dikenal sebagai orang yang cenderung kepada hal-hal yang bid’ah atau sesat pada jamannya.

[11] Wicca adalah kelompok pemuja setan yang mempraktekan sihir. Sekarang menjadi agama Pagan gaya baru. Mula-mula dibuat atau dilembagakan di Inggris pada permulaan abad ke-20 kemudian diperkenalkan kepada masyarakat pada tahun  It was developed in England during the first half of the 20th century and was introduced to the public in 1954 by Gerald Gardner, a retired British civil servant. Wicca draws upon a diverse set of ancient pagan and 20th century hermetic motifs for its theological structure and ritual practice.
[12] Lucifer (alias Azazil) adalah nama yang seringkali diberikan kepada Iblis dalam keyakinan Kristen karena penafsiran tertentu atas sebuah ayat dalam Kitab Yesaya. Secara lebih khusus, diyakini bahwa inilah nama Iblis sebelum ia diusir dari surga.

[13] Two Faces of Islam, halaman 82.
[14] Algar, Hamid. Wahhabism: A Critical Essay, halaman 23.

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta