Oleh: Sayed Jamaluddin
Hejazi
Apakah Allah pernah
“mengutus” seseorang untuk umat ini setelah meninggalnya Rasulullah (SAW)?
Tampaknya pertanyaan ini harus dijabarkan dulu kedalam 3 buah pertanyaan
sebagai berikut:
- Apakah ada Nabi lain setelah Nabi Muhammad?
- Apakah Allah pernah “mengutus” orang-orang yang bukan Nabi untuk umat
ini?
- Apabila pertanyaan nomor 2 dijawab “YA”, maka siapakah orang-orang
yang bukan Nabi yang diutus untuk umat ini
setelah wafatnya Nabi?
Sungguh, tidak ada keraguan
lagi kalau Muhammad bin Abdullah itu adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak
ada lagi Nabi yang diutus Allah ke muka bumi ini hingga akhir jaman nanti[1]. Allah berfirman di dalam
Al-Qur’an:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara
kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup
nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab: 40)
Oleh karena itu, tidak akan
pernah lagi seseorang datang setelahnya dengan mengajukan nubuwwah yang baru;
atau risalah yang baru; atau syari’ah yang baru; atau kitab suci yang baru.
Nabi Muhammad telah diutus Allah sebagai penutup para Nabi dan Rasul bagi
seluruh umat manusia hingga akhir jaman nanti[2]. Jadi, Allah sama sekali
TIDAK PERNAH MENGUTUS NABI BARU untuk umat ini setelah Nabi Muhammad meninggal
dunia.
Akan
tetapi, meskipun begitu, setelah masa Nabi Muhammad, Allah “mengutus” paling
tidak satu orang utusan yang bukan Nabi dan bukan Rasul untuk umat ini. Prof.
Ibn Yasin mengutip hadits shahih berikut yang menjelaskan akan adanya orang
yang dimaksud:
“Al-Dhiya al-Maqdisi berkata: “Dari
Abu al-Majd Zahir b. Ahmad b. Hamid b. Ahmad al-Thaqafi –
Abu ‘Abd Allah al-Husayn b. ‘Abd al-Malik b. al-Husayn al-Khalal – Imam Abu
al-Fadhl ‘Abd al-Rahman b. Ahmad b. al-Husayn b. Bandar al-Razi al-Muqri – Abu
al-Hasan Ahmad b. Ibrahim b. Ahmad b. ‘Ali b. Faras – Abu Ja’far Muhammad b.
Ibrahim al-Duyali – Abu ‘Ubayd Allah Sa’id b. ‘Abd al-Rahman al-Makhzumi –
Sufyan b. ‘Uyaynah – Ibn Abi Husayn – Abu al-Tufayl yang mengatakan: “Aku dengar Ibn al-Kawa bertanya kepada ‘Ali bin Abi Thalib (as)
mengenai Dzulqarnayn[3], dan kemudian ‘Ali
menjawab: “Dia itu BUKAN seorang Nabi; dan ia bukan pula malaikat. Ia adalah
hamba Allah yang shaleh. Ia mencintai Allah; dan Allah mencintiainya juga. Ia
mencari petunjuk Allah; dan Allah membimbingnya. IA DIUTUS UNTUK UMATNYA. Akan
tetapi, mereka memukulnya pada QARN-nya[4] dan kemudian ia
meninggal dunia. Kemudian Allah membangkitkannya, dan oleh karena itu ia
diberinama Dzul-QARNayn.”[5]
Kemudian,
professor kita ini melanjutkan pembicaraannya:
“(Al-Mukhtarat 2/175,
#555) dan al-Hafiz Ibn Hajar menyatakannya sebagai hadits shahih setelah
menisbahkannya kepada kitab al-Mukhatarat-nya al-Hafiz al-Dhiya (al-Fath
6/383)”[6]
Kata-kata
tepatnya yang diucapkan oleh al-Hafiz di dalam kitab al-Fath-nya
ialah sebagai berikut:
“Sufyan
b. ‘Uyaynah mencatat
di dalam kitab Jami’-nya dari Ibn Abi Husayn dari Abu Tufayl, dan ia
menambahkan: “Ia memohon bimbingan dari Allah; dan oleh karena itu, DIA
membimbingnya.” Dan di dalam kitab itu juga disebutkan: “Ia itu bukan seorang
Nabi, dan ia juga bukan malaikat.” Rantai sanadnya shahih. Kami mendengarnya di
dalam Ahadith al-Mukhtarat-nya al-Hafiz al-Dhiya.”[7]
Al-Hafiz
menyatakan shahih rantai sanad lainnya yang lebih pendek dari Sufyan di dalam
kitab-nya Jami’. Akan tetapi kemudian ia menegaskan lebih jauh
bahwa apa yang kita temukan di dalam al-Ahadith al-Mukhtarat-nya
al-Dhiya sebenarnya sama dengan yang dicatat oleh Sufyan di dalam kitabnya.
Dzulqarnayn,
‘alaihi al-salam, itu
bukan seorang Nabi—dan ia juga bukan seorang Rasul.[8] Akan tetapi Allah
“mengutusnya” untuk umatnya. Menariknya, Imam ‘Ali bin Abi Thalib (as) juga
memproklamirkan dirinya sebagai seseorang yang “serupa” dengan Dzulqarnayn.
At-Tabari (meninggal tahun 310H) mencatat sebuah hadits sebagai berikut:
“Dari Muhammad b. al-Muthanna
– Muhammad b. Ja’far – Shu’bah – al-Qasim b. Abi Bazzah – Abu al-Tufayl, yang mengatakan: “Aku dengar ‘Ali ketika mereka menanyainya
tentan Dzulqarnayn: “Apakah ia itu seorang Nabi?” Ia menjawab: “Ia itu seorang
hamba Allah yang shaleh. Ia mencintai Allah dan Allah mencintainya. Ia memohon
bimbingan dari Allah dan DIA membimbingnya. Kemudian, Allah MENGUTUS nya kepada
kaumnya. Akan tetapi, mereka memukulnya dua kali di kepalanya. Oleh karena itu,
ia dinamai Dzulqarnayn. Dan diantara kalian SEKARANG ada seseorang yang seperti dia.”[9]
Mengenai
pemisalan tersebut di atas, Prof. Ibn Yasin mengatakan:
“Rantai sanadnya shahih”[10]
Imam
Ibn Salam (meninggal tahun 224H) juga menjelaskan tentang hadits itu seperti
ini:
“Aku lebih memilih penjelasan
ini dibandingkan dengan yang pertama karena sebuah hadits dari ‘Ali sendiri.
Hadits itu, menurut pendapatku, menjelaskan segala sesuatunya kepada kita. Di
dalam hadits itu, dia (‘Ali) menyebutkan Dzulqarnayn sambil berkata, “Ia
mengajak orang-orang untuk menyembah Allah, akan tetapi mereka memukulnya di
kepalanya (qarn) dua kali. Dan diantara
kalian sekarang adalah yang serupa dengannya.” Jadi, kita bisa lihat bahwa dia (‘Ali)
menunjuk kepada dirinya sendiri dengan pernyataannya—Aku akan mengajak
orang-orang kepada kebenaran hingga aku akan dipukul dua kali pada kepalaku.
Kematianku disebabkan oleh itu.”[11]
Keadaan
atau status ‘Ali yang “serupa” dengan Dzulqarnayn menyebabkan banyak sekali
kesamaan yang terjadi diantara mereka berdua—terutama di dalam hal “al-Raj’ah”
dan “Dakwah”. Akan tetapi di sini kami hanya akan menekankan kepada aspek
dakwah saja sebagai aspek yang sama antara diri mereka berdua. Diantaranya
ialah:
- Dzulqarnayn bukan
seorang Nabi, ‘Ali juga bukan seorang Nabi
- Dzulqarnayn itu memohon
bimbingan Allah dan Allah memberikan bimbinganNya; begitu juga ‘Ali yang
memohon bimbingan Allah, dan Allah memberikan bimbinganNya
- Dzulqarnayn “diutus”
kepada kaumnya oleh Allah. Begitu juga ‘Ali yang “diutus” kepada kaumnya
oleh Allah
Sementara
itu (kembali kepada pembahasan tentang 12 khalifah setelah Nabi—red.) selain
Amirul Mukminin, masih ada orang-orang yang bukan Nabi yang datang sepeninggal
Nabi Muhammad. Mereka juga sudah “diutus” untuk umat ini. Abu Daud (meninggal
tahun 275H) mencatat secara jelas sebuah hadits yang berkenaan dengan hal ini:
“Dari Sulayman b. Dawud al-Mahri – Ibn Wahb – Sa’id b. Abi Ayub – Sharahil b.
Yazid al-Ma’afiri – Abu ‘Alqamah – Abu Hurayrah, yang mengatakan: “Dari apa yang aku dengar dari Rasulullah (SAW), beliau mengatakan,
“Sesungguhnya Allah MENGUTUS untuk umat ini, setiap seratus tahun, seseorang
yang memperbaharui agama ini.”[12]
Al-Hakim (meninggal tahun 403 H) juga
memiliki hadits yang kurang lebih sama—akan tetapi malah jauh lebih jelas.
Haditsnya sebagai berikut:
“Dari Abu al-‘Abbas Muhammad b. Ya’qub – al-Rabi’ b. Sulayman b. Kamil al-Muradi
– ‘Abd Allah b. Wahb – Sa’id b. Abi Ayub – Sharahil b. Yazid – Abu ‘Alqamah –
Abu Hurayrah, semoga
Allah meridhoinya, yang mengatakan:
“Aku tidak mendapati ini kecuali dari Rasulullah (SAW) dimana beliau
berkata, “Sesungguhnya, Allah MENGUTUS untuk kaumnya, di awal setiap seratus
tahun, seseorang yang akan memperbaharui agama ini.”[14]
Al-Albani
memberikan pernyataan berkenaan dengan hadits ini di dalam kitabnya Shahihah.
Pernyataannya sebagai berikut:
“Rantai sanad dari hadits ini
shahih. Para perawinya semuanya tsiqah (bisa dipercaya); semuanya perawi yang
dikutip di dalam (Shahih) Muslim.”[15]
Siapakah
orang-orang ini yang sudah “DIANGKAT” dan “DIUTUS” untuk umat ini oleh Allah?
Saudara kita dari Ahlu Sunnah biasanya malah berdebat satu sama lainnya dan
kebingungan menentukan siapakah 12 orang khalifah yang disebutkan oleh Nabi
akan memimpin umat ini. Kaum Ahlu Sunnah tidak pernah sepakat mengenai
nama-nama orang-orang yang dimaksud. Itu sangat ironis mengingat ke dua belas
khalifah itulah yang nantinya akan membimbing kita semua di dalam kehidupan
ini. Lebih ironis lagi ketika para ulama ternama (seperti al-Ghazali (meninggal
tahun 505H); Syaikh Ibnu Taymiah (meninggal tahun 728H); al-Hafiz al-‘Asqalani
(meninggal tahun 852H); dan ‘Allamah al-Albani) menyebutkan beberapa nama
tetapi tidak seorangpun dari nama-nama yang disebutkan oleh mereka itu pernah
mengaku “DIANGKAT” dan “DIUTUS” oleh Allah. Jadi nama-nama itu bukanlah
termasuk 12 khalifah yang dimaksud oleh Nabi.
Apa
sebenarnya yang dimaksud dengan “diutus setiap seratus tahun” untuk
membersihkan Islam dari bid’ah-bid’ah dan kesalah-pahaman? Apakah memang
benar-benar tiap seratus tahun sekali? Ataukah hanya ungkapann metafora saja
untuk menunjukkan betapa seringnya kedatangannya itu. Selain itu, apakah
“seratus tahun” itu waktu yang tepat? Apakah itu waktu yang penting untuk
memulai sesuatu atau mengakhiri sesuatu? Apakah ada beberapa orang yang bisa
hidup hingga seratus tahun? Apa yang terjadi kalau salah seorang dari mereka
ternyata bisa hidup lebih dari seratus tahun? Apakah ia harus dibebas-tugaskan
dari tugas kekhalifahan? Apakah ia harus pensiun atau dipensiunkan? Atau apakah
ia akan diberi perpanjangan waktu untuk bertugas lebih lama? Lalu apa yang akan
terjadi kalau ia misalnya meninggal atau terbunuh sebelum seratus tahun? Atau
bagaimana kalau ia hanya berdakwah hingga satu tahun saja atau beberapa tahun
saja? Kalau itu terjadi, siapa yang akan menggantikannya? Apakah “orang-orang
seperti itu” pernah bertentangan satu sama lainnya dalam permasalahan agama? Karena
“DUA BELAS KHALIFAH” ini adalah utusan Allah (yang bukan Nabi); karena mereka
ini DIANGKAT dan DIUTUS oleh Allah, apa yang akan terjadi pada orang-orang yang
tidak mau mengikuti mereka? Apakah orang-orang itu tetap Muslim? Apakah mereka
menjadi kafir?
Pertanyaan-pertanyaan
di atas adalah pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang jelas.
SIAPAKAH 12 IMAM ATAU 12 KHALIFAH YANG DIMAKSUD DI DALAM
HADITS-HADITS SUNNI, TAMPAKNYA MASIH MISTERI UNTUK ORANG-ORANG SUNNI SENDIRI ……………..
[1] Qur’an
(QS. Al-Ahzab: 40)
[2] Qur’an
7:158, 34:28 and Qur’an 25:1
[3]
“Dzulqarnayn”, secara bahasa berarti: “Dia pemilik Dua Tanduk” . Dia adalah
seorang tokoh yang disebutkan oleh
Al-Qur’an. Ia digambarkan sebagai figur tokoh besar dan shaleh yang membangun
dinding panjang raksasa untuk melindungi umat manusia pada waktu itu dari
serangan Ya’juz dan Ma’juz
[4]
Kepalanya
[5]
Prof. Dr. Hikmat b. Bashir b. Yasin, Mawsu’at al-Sahih al-Masbur min al-Tafsir
bi al-Mathur (Madinah: Dar al-Mathar li al-Nashr wa al-Tawzi’ wa al-Taba’at;
1st edition, 1420 H), vol. 3, p. 322
[6] Ibid
[7] Shihab
al-Din Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari
(Beirut: Dar al-Ma’rifah li al-Taba’ah wa al-Nashr; Edisi Kedua), vol. 6,
halaman 271
[8]
Ada ijma’ atau kesepakatan diantara para ulama bahwa untuk
menjadi seorang Rasul itu, seseorang harus menjadi seorang Nabi terlebih
dahulu. Kalau ia bukan seorang Nabi, maka ia juga tidak mungkin menjadi seorang
Rasul. Akan tetapi tidak semua Nabi menjadi Rasul. Itulah sebabnya status
Muhammad sebagai seorang Nabi juga otomatis menjadi seorang Rasul.
[9] Abu
Ja’far Muhammad b. Jarir b. Yazid b. Kathir b. Ghalib al-Amuli al-Tabari, Jami
al-Bayan fi Tawil al-Qur’an (Dar al-Fikr; 1415 H) [pemberi catatan
kaki: Sidqi Jamil al-‘Aṭṭar], vol. 16, halaman 12-13
[10]
Prof. Dr. Hikmat b. Bashir b. Yasin, Mawsu’at al-Sahih al-Masbur min
al-Tafsir bi al-Mathur (Madinah: Dar al-Mathar li al-Nashr wa al-Tawzi’
wa al-Taba’at; Edisi Pertama, 1420 H), vol. 3, halaman 322
[11] Abu
‘Ubayd al-Qasim b. Salam al-Harwi, Gharib al-Hadith (Haydarabad:
Majlis Dairah al-Ma’arif al-‘Uthmaniyyah; Edisi Pertama, 1385 H), vol. 3,
halaman 80
[12]
Abu Dawud Sulayman b. al-Ash’ath al-Sijistani al-Azdi, Sunan (Dar
al-Fikr) [pemberi catatan kaki: Muhammad Nasir al-Din al-Albani], vol. 2,
halaman 512, # 4291
[13] Ibid
[14]
Abu ‘Abd Allah Muhammad b. ‘Abd Allah al-Hakim al-Naysaburi, al-Mustadrak
‘ala al-Sahihayn (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah; Edisi Pertama,
1411 H) [pemberi catatan kaki: Mustafa ‘Abd al-Qadir ‘Aṭa], vol. 4, halaman
567, # 8592
[15]
Abu ‘Abd al-Rahman Muhammad Nasir al-Din b. al-Hajj Nuh b. Tajati b. Adam
al-Ashqudri al-Albani, Silsilah al-Ahadith al-Sahihah wa Shayhun min
Fiqhihah wa Fawaidihah (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif li al-Nashr wa
al-Tawzi’; Edisi Pertama, 1415 H), vol. 2, halaman 148, # 599
Comments