Menurut
hadits-hadits yang shahih dari Ahlul Sunnah, setiap orang yang meninggal tanpa
mengetahui seorang Imam yang diutus oleh Allah di jamannya, maka kalau ia
meninggal, ia meninggal dalam keadaan jahiliyyah.
Dalam setiap
penggalan jaman, pastilah ada seseorang yang diutus sebagai seorang Imam.
Adalah penting sekali bagi setiap orang untuk mengenalinya, percaya kepada
IMAMAH-nya dan wajib bagi dirinya untuk mengikuti Imam yang sudah ia kenali
itu. Apabila seorang Muslim meninggal tanpa mengetahui Imam zamannya, maka ia
akan meninggal dalam keadaan jahiliyyah.
Hal ini sudah
dinyatakan dalam berbagai hadits dari berbagai rantai sanad dan dari berbagai
sumber perawi hadits yang terpercaya. Kami yakin tidak ada satupun yang ulama yang
berakal sehat yang berani meragukan “sanad” dan “matan” dari hadits-hadits ini.
Hadits-hadits tersebut terekam dengan baik di dalam kitab-kitab hadits Ahlus
Sunnah yang terkemuka seperti kitab Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Musnad, Sunan
dan beberapa kitab hadits lainnya. Hadits-hadits tersebut dipercayai dan
diyakini serta dipakai baik di kalangan Sunni maupun di kalangan Syi’ah.
Kaum Muslimin
semuanya sepakat bahwa Rasulullah pernah bersabda seperti:
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَعْرِفْ اِمَامَ زَمَانِه مَاتَ مِيْتَةً
جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang mati tanpa sempat mengetahui Imam zamannya, maka
ia mati dalam keadaan jahiliyyah.”
Hadits ini muncul
dengan redaksi kata-kata yang sama di dalam berbagai kitab referensi Ahlu
Sunnah. Syeikh Sa’ad al-Din Taftazani memusatkan perhatiannya untuk membahas
masalah IMAMAH di dalam kitabnya yang berjudul Sharh al-Maqasi. Ia mengutip
hadits tersebut di atas.[1]
Hadits ini juga
muncul di berbagai kitab hadits dengan redaksi kata-kata yang sedikit berbeda,
akan tetapi kami yakin bahwa hadits-hadits tersebut masih memiliki pesan yang
sangat identik satu sama lainnya. Rasulullah (SAW) bermaksud untuk menyampaikan
bahwa kaum Muslimin itu senantiasa memerlukan kehadiran seorang Imam di dalam
kehidupannya sehari-hari untuk membimbing mereka; selain itu memang itu sudah
kewajiban bagi seluruh kaum Muslimin untuk mengikuti seorang Imam dan meminta
petunjuk dan bimbingan darinya (karena Imam itu—seperti halnya Nabi dan
Rasul—adalah wakil Tuhan di bumi—red.).
Dalam kitab
Musnad-nya, Ahmab Ibn Hanbal mengutip sebuah hadits Rasulullah (SAW) yang
bersabda:
مَنْ مَاتَ بِغَيْرِ اِماَمَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة
“Barangsiapa yang meninggal padahal ia belum memiliki seorang Imam, maka
ia meninggal dalam keadaan jahilliyyah.”[2]
Hadits yang sama
juga direkam oleh Abu Daud Tiyalisi di dalam Musnad-nya dan oleh Tabarani di
dalam kitab al-Mu’ajam al-Kabir.
Ibn Hayyan di dalam
Sahih-nya menuliskan:
مَنْ مَاتَ وَ لَيْثَ لَه اِماَمَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang meninggal sebelum memiliki seorang Imam, maka ia
meninggal dalam keadaan jahilliyyah.”[3]
Ada juga beberapa
kitab yang menuliskan hadits tersebut dengan sedikit tambahan seperti misalnya
dalam hadits:
من مات ولم يعرف امام زمانه فليمت ان شاء يهوديا و ان شاء نصرانيا
“Barangsiapa
yang meninggal tanpa mengetahui Imam zamannya, maka ia akan meninggal sebagai
seorang Yahudi atau seorang Kristiani seperti yang ia inginkan”[4]
Sejumlah ulama
sudah melaporkan hadits ini dengan redaksi kata-kata seperti itu seperti yang
tertulis di dalam kitab al-Masail al-Khamsun yang ditulis oleh Fakhr Razi.
Meskipun hadits ini
juga muncul dengan redaksi kata-kata yang berbeda seperti yang terdapat di
dalam kitab-kitab hadits Ahlu Sunnah baik itu dalam Sahih, Sunan maupun Musnad,
kami sudah merasa cukup dengan beberapa hadits yang sudah kami paparkan di
sini. Sekarang, kami akan membahas “keunikan” atau “keanehan” dari kandungan
hadits-hadits tersebut.
Ungkapan ‘من مات ولم يعرف’ yang berarti BARANGSIAPA YANG
MENINGGAL TANPA SEMPAT MENGETAHUI …. Menunjukkan bahwa IMAM yang dimaksud di
dalam hadits-hadits tersebut, bukanlah sembarang Imam (atau pemimpin atau amir
atau khalifah). IMAM yang ada di dalam hadits-hadits tersebut menyiratkan
sebuah keyakinan akidah karena disangkut-pautkan dengan kematian (dan
kehidupan) seseorang segala. IMAM yang kalau kita tidak mengenalinya akan
menyebabkan kematian kita berakhir buruk.
BARANGSIAPA YANG
MENINGGAL TANPA MEYAKINI SEORANG IMAM DI ZAMANNYA itu jelas menyuratkan dan
menyiratkan bahwa IMAM di dalam hadits itu bukanlah Imam atau pemimpin yang
kita kenal selama ini. Imam di sana bukanlah sekedar pemimpin yang ada di dalam
masyarakat. Imam di sana bukanlah Imam hasil pemilihan PILKADA atau PILPRES.
Imam disana bukanlah Imam yang dituakan dan diidolakan oleh masyarakat
setempat. Imam yang dimaksud ialah Imam yang telah ditunjuk oleh Allah Ta’ala.
Oleh karena itu, kalau kita tidak kenal dia; tidak ikut dia; tidak bermakmum
padanya, kemudian kita mati ……. maka kita mati dalam keadaan tanpa petunjuk.
Mati jahiliyyah.
Imam yang dimaksud
bukan pemimpin politik atau pemimpin masyarakat yang wajib dikenali, dipatuhi,
dan diikuti teladannya. Karena kalau kita tidak mengenali mereka sekalipun,
kita tidak akan mati dalam keadaan jahiliyyah.
Imam yang dimaksud
di dalam hadits-hadits Ahlu Sunnah itu adalah Imam yang dipilih, diangkat, dan
ditugaskan oleh Allah (dan RasulNya). Imam yang seperti inilah yang wajib kita
kenali. Imam seperti inilah yang wajib kita yakini dan patuhi. Seorang Imam
yang ditelah ditunjuk dan diangkat secara hak lewat nash. Imam yang seperti
inilah yang akan menjadi wakil Tuhan di bumi. Ia akan menjadi perantara antara
kita dan Tuhan yang telah menciptakan kita semua.
Apabila seseorang
meninggal tanpa sempat mengenali Imam yang seperti ini; tanpa sempat meyakini
dan mengikuti teladan dari Imam yang seperti ini, maka wajarlah dan pantaslah
kalau ia mati dalam keadaan sepi petunjuk. Wajar kalau ia mati dalam keadaan
tanpa bimbingan suci dari Illahi. Wajar kalau ia mati dalam keadaan jahiliyyah.
Comments