SERIAL UMAR BIN KHATTAB (episode 7)

Para Anggota Majelis Syuro

Umar, sambil terbaring menunggu sakaratul maut, telah menunjuk enam orang Muhajirin untuk duduk di dalam sebuah majelis yang ditugaskan untuk memilih diantara salah seorang diantara mereka sebagai Khalifah untuk kaum Muslimin. Para anggota Majelis Syuro itu ialah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaydillah, Zubayr bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Saad bin Abi Waqqas.

Selain Ali bin Abi Thalib, semua anggota Majelis Syuro itu semuanya adalah para kapitalis atau neo-kapitalis. Ketika mereka datang dari kota Mekah, mereka semuanya tidak memiliki uang sepeserpun dan mereka juga tidak memiliki rumah untuk tempat mereka berlindung. Akan tetapi dalam kurun waktu 12 tahun—yaiut sejak meninggalnya Muhammad al-Mustafa pada tahun 632 hingga kematian Umar di tahun 644—semuanya, kecuali Ali, sudah berubah menjadi orang kaya baru seperti Croesus. Dalam kurun waktu tersebut, mereka sudah mengumpulkan harta kekayaan yang sangat banyak sekali. Mereka (sekali lagi, kecuali Ali) sudah menjadi orang-orang terkaya di masanya.

Ali sendiri tidak masuk persyaratan sebagai anggota “klub ekslusif” ini akan tetapi Umar tetap memandangnya sebagai orang yang sangat penting. Selain Karena mata pencaharian Ali yang sangat sederhana (ia hanya seorang tukang kebun saja) sementara 5 orang anggota majelis syuro lainnya adalah orang-orang super kaya yang mendapatkan kekayaannya lewat hasil tanah pertanian mereka yang luas dan perumahan-perumahan yang mereka miliki; ada hal lain yang membuat Ali berbeda dari ke-5 orang lainnya itu. Hal yang membedakan Ali dari yang lainnya itu ialah keutamaan akhlak dan kemuliaan agamanya yang tidak bisa disamai oleh ke-5 orang lainnya. Ali adalah antitesa dari sifat-sifat ke-5 orang anggota majelis syuro lainnya.

Seorang pujangga bernama Keats dalam sebaris puisi terkenalnya menyebutkan:

“Beauty is Truth, and Truth Beauty”
“Keindahan itu ialah Kebenaran, dan Kebenaran itu Indah”

Dengan logika yang kurang lebih sama, kita bisa membuat sebaris puisi yang sama:

“Economic Power is Political Power; Political Power Economic Power.”
“Kekuatan Ekonomi itu mendatangkan Kekuatan Politik; dan Kekuatan Politik itu mendatangkan Kekuatan Ekonomi.”

Kekuatan ekonomi dan kekuatan politik itu keduanya saling membutuhkan.
Karl Mark pernah berkata:

“Apapun kelas sosialnya seseorang, asalkan ia memiliki kekuatan ekonomi, maka ia akan memiliki kekuatan sosial dan kekuatan politik sekaligus”

Dan George Wald—seorang Profesor dalam bidang Biologi di Havard University, juga pernah mengatakan hal yang kurang lebih serupa ketika ia berpidato di sebuah tempat di Tokyo pada tahun 1974. Ia mengatakan sebagai berikut:

“Kesejahteraan hidup seseorang dan kekuatan politis seseorang itu  bisa saling menggantikan.”

Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa kekuatan ekonomi itu adalah batu loncatan dari kekuatan politik. Ini dibuktikan oleh perjalanan sejarah manusia sebagai pola yang baku dan konsisten. Kalau seseorang memiliki harta yang berlimpah, maka ia otomatis memiliki kekuasaan politis yang ia bisa gunakan setiap waktu.

Presiden Abraham Lincoln mendefinisikan demokrasi sebagai “Pemerintahan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.

Sementara itu di dalam masa pemilihan presiden Amerika Serikat di tahun 1984, Presiden Ronald Reagan berhasil terpilih kembali. Orang-orang Rusia berujar seraya mengejek: “Pemerintah Amerika Serikat itu berasal dari kaum kaya, oleh orang-orang kaya, dan untuk orang-orang kaya.”

Seluruh anggota Majelis Syuro yang dibentuk oleh Umar itu ialah orang-orang super kaya—kecuali Imam Ali bin Abi Thalib saja yang tidak kaya! Berikut ini adalah apa yang bisa digambarkan oleh para sejarawan tentang para anggota Majelis Syuro itu.


D. S. Margoliouth menuliskan:

“Utsman, putera dari Affan. Berusia 6 tahun lebih muda daripada Nabi. Ia adalah seorang saudagar kain yang kaya. Ia juga memiliki beberapa bisnis lainnya seperti peminjaman uang (riba atau rente), dan bisnis-bisnis lainnya yang ia mendapatkan bagi hasil darinya (Ibn Sa’ad, iii, 111). Dalam masalah uang ia menunjukkan rasa suka berlebihan (Wakidi W. 231). Saudarinya juga seorang miliarder. Ia menikah dengan seorang tukang cukur (Isabah, i. 714). Utsman bukan seorang pemberani yang bisa berkelahi; seperti yang sering dibuktikan di dalam sejarah, ia seringkali mengelak dari tugas jihad; atau ia malah kabur dari peperangan. Ia di kemudian hari mati terbunuh—dalam keadaan seperti seorang pertapa. Ketika ia dibunuh secara sengaja ia sedang membaca al-Qur’an.”

“Dalam kitab Tabaqat-nya, Ibnu Sa’ad berkata mengenai Utsman bin Affan: “Ketika ia meninggal, ia meninggalkan harta kekayaan sekitar 35 juta dirham, 150,000 dinar, 3000 ekor unta, dan banyak sekali kuda. Ia sendiri memiliki istana di kota Madinah yang terbuat dari batu pualam (marmer) dan kayu jati. Ia memiliki 1000 orang budak belian.”

(LIHAT: Mohammed and the Rise of Islam, London, 1931)



E. A. Belyaev menuliskan:

“Di masa mudanya, sebelum kedatangan Islam, Utsman sudah menjadi orang yang sangat kaya dan memiliki begitu banyak sekali uang dari hasil transaksi riba. Keserakahan Utsman dan bakat bisnis Utsman semakin menjadi-jadi ketika ia menjadi seorang Khalifah. Ia membangun sebuah istana dari batu mulia di kota Madinah dengan pintu-pintunya yang terbuat dari kayu mahal yang tidak ada duanya di kota itu. Istana itu memiliki taman-taman dengan sumber airnya sendiri.”

“Ia mendapatkan pendapatan yang besar sekali dari kebun buah-buahan yang dimilikinya di Wadi-ul-Qura, Hunayn, dan di beberapa tempat lainnya yang ditaksir harganya sekitar 100,000 dinar. Selain itu ada juga sekawanan besar kuda dan unta yang dipelihara di area istana yang luasnya luar biasa itu. Pada hari Utsman meninggal, kekayaan pribadinya itu ada sekitar 150,000 dinar, dan satu juta dirham. Ia melipat-gandakan harta kekayaannya itu dengan menggunakan harta yang ada di baytul mal (harta kekayaan yang dimiliki oleh kaum Muslimin). Utsman juga memberikan akses bagi orang-orang terdekatnya—yang juga sahabat Nabi—kepada baytul mal supaya ia bisa melegalkan atau memberikan pembenaran atas perbuatan ilegalnya dengan membandingkan perbuatan dirinya itu dengan perbuatan para sahabat lainnya. Para sahabat Nabi lainnya memuji-muji Utsman atas kemurah-hatiannya dan kedermawanannya itu. Mereka sama sekali tidak ragu atas kemurah-hatiannya itu.”

“Zubayr bin Awwam, misalnya, adalah salah seorang dari mereka itu. Ia membangun rumah-rumah mewah di Kufah, Basrah, Fustat, dan Alexandria. Harta kekayaannya diperkirakan sebesar 50,000 dinar, selain ia juga memiliki 1000 ekor kuda dan 1000 orang budak belian.”

“Sahabat lainnya yaitu Thalhah ibn Ubaydullah, membangun beberapa rumah mewah sekali juga di Kufah, dan beberapa rumah lagi yang disewakan di Irak yang memberikannya penghasilan sekitar 1000 dinar per hari. Ia juga membangun sebuah rumah istana yang mewah sekali yang terbuat dari batu-bata dan kayu mahal di kota Madinah.”

“Abdurrahman bin Auf—juga konon salah seorang sahabat terkemuka lainnya, juga membangun sebuah hunian yang luas sekali, mewah sekali. Hunian itu memiliki istal-istal yang bisa memuat 100 ekor kuda, 1000 ekor unta, dan 10,000 ekor domba beserta padang rumputnya yang mampu memberi makan mereka semua. Seperempat harta kekayaannya yang ia tinggalkan ketika ia meninggal dunia diperkirakan ada sekitar 84,000 dinar.”
“Keserakahan seperti itu menyebar secara merata di antara para sahabat Nabi dan  para begundal Utsman”

(LIHAT: Arabs, Islam and the Arab Caliphate in the Early Middle Ages, New York, 1969)


Bernard Lewis

Bernard Lewis menuliskan sebagai berikut:

Bernard Lewis
“Sa’ad bin Abi Waqqas itu membuat sebuah rumah di Al-Aqiq. Ia membuat rumah itu sangat tinggi dan sangat luas. Ia membuat balkon-balkon di sekeliling rumah itu di bagian atasnya. Sa’id bin al-Musayyib berkata bahwa ketika Zayd bin Tsabit meninggal dunia, ia meninggalkan bongkahan-bongkahan emas dan perak yang harus dipecahkan dengan menggunakan kapak-kapak besar. Selain properti dan rumah-rumah mewah yang harganya ditaksir sekitar 100,000 dinar.”

(LIHAT: Islam in History, New York, 1973)


Dr. Taha Husain

Dr. Taha Husain dari Mesir menuliskan di dalam bukunya yang berjudul al-Fitna-tul-Kubra (Kekacauan yang besar), yang diterbitkan oleh Darul Ma’arif, Kairo, tahun 1959, halaman 47:

“Ketika Utsman menjadi seorang Khalifah, ia tidak saja menanggalkan aturan larangan yang semula sudah diberlakukan oleh Umar terhadap para sahabat—yaitu larangan bagi para sahabat agar mereka tidak pergi keluar negeri, akan tetapi ia juga memberi para sahabat itu hadiah-hadiah yang banyak yang diambilnya dari baytul mal. Ia memberikan Zubayr 600,000 dirham hanya dalam satu hari saja. Ia juga memberi Thalhah 100,000 dirham dalam satu hari sehingga dengan uang itu Thalhah bisa membeli beberapa bidang tanah yang luas, rumah, dan budak-budak belian yang berasal dari berbagai negara lain.”

Abdurrahman bin Auf adalah salah seorang sahabat Utsman yang paling dekat. Mengenai dirinya, Sir William Muir menuliskan:

“Abdurrahman itu, selama betahun-tahun ia seringkali menghabiskan belanjanya untuk membeli roti enak-enak dan berbagai macam jenis daging yang lezat-lezat. Ketika sajian lezat itu ada di atas meja di hadapannya, ia akan menangis tersedu-sedu sambil melihat keatas hidangan yang tersaji di atas meja. Ia mengingat-ingat nasib dan keadaan Rasulullah yang susah.”

(LIHAT: The Life of Mohammed, London 1877)

Cinta yang dimiliki oleh Abdurrahman bin Auf terhadap tuannya yang sudah wafat—Muhammad—begitu menyentuh. Para isterinya dan para selirnya seringkali menyiapkan makanan yang enak-enak dan berwarna-warni baginya. Dan ketika ia duduk untuk makan, ia segera teringat masa-masa hidupnya yang pernah ia habiskan Bersama Rasulullah. Ia begitu “merindukannya” dan ia “begitu kehilangan” masa-masa penuh kenangan Bersama Rasulullah itu. Ia menangis keras dan setelah itu ia menyantap hindangan yang tersedia di hadapannya itu dengan lahapnya sampai tak ada satupun makanan yang tersisa di meja.

Sir William Muir merangkum kesan yang bisa ditangkap dari kelakuan para sahabat Nabi itu sebagai berikut:

“Ketika menelaah sejarah “para sahabat” dan para pengikut Muhammad maka kita terpaksa menggambarkan semangat keIslaman itu pertama dari jumlah isteri-isteri dan selir-selir yang mereka miliki, kemudian dari mudahnya mereka menceraikan isteri-isteri mereka; dan kemudian dari kekayaan mereka yang amat sangat melimpah. Ini berbeda sekali dengan para pemeluk Kristen awal.”

(LIHAT: The Life of Mohammed, London, 1877)

Sir William Muir sudah melakukan ketidak-adilan ketika menggambarkan para sahabat seperti itu. Mengelompokkan mereka sebagaimana yang ia gambarkan dan kemudian dikontraskan dengan para pemeluk Kristen awal yang miskin jelas tidak adil sama sekali.

Pertama pada kelompok pertama itu jumlahnya banyak sekali (ratusan ribu orang) yang memang ia gambarkan secara tepat. Akan tetapi di dalam kelompok pertama itu ada juga sekelompok orang yang sangat kecil jumlahnya. Kelompok yang tidak ia hiraukan sama sekali di dalam bukunya.

Yang kedua, Sir William Muir itu sudah menisbahkan sebuah bentuk “keserakahan dan ketamakan” kepada semua sahabat Nabi dan menyebut itu sebagai suatu bentuk semangat keIslaman (The Spirit of Islam); dan ini jauh lebih menjijikan lagi. Keserakahan dan ketakamakan sebagian besar sahabat Nabi itu hanyalah perbuatan mereka sendiri yang tidak usah dinisbahkan kepada Islam, apalagi disebut sebagai the Spirit of Islam. Karena itu jelas-jelas bertentangan dengan Islam sama sekali. Obsesi atau keinginan yang besar sekali terhadap sesuatu yang bersifat materialistik itu bertentangan dengan semangat Islam atau hakikat Islam. Al-Qur’an memberikan peringatan keras kepada siapa saja yang suka menimbun emas dan perak.

Apabila kita ingin melihat semangat Islam yang bena, maka kita bisa melihat bukan dari perbuatan atau kelakuan orang-orang kaya baru di kota Madinah, melainkan dari pribadi-pribadi para sahabat Nabi pilihan seperti Ali bin Abi Thalib, Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghifari, Ammar bin Yasir, Owais al-Qarni, dan atau Bilal bin Rabah. Kaum orientalis barat akan segera mengubah penilaian mereka terhadap apa-apa yang sudah mereka simpulkan sebelumnya apabila mereka melihat pribadi-pribadi pilihan dan unggulan ini.

Patut Anda camkan bahwa anggota Majelis Syuro bikinan Umar itu semuanya adalah orang-orang Mekah. Tidak ada satupun orang Madinah. Semuanya kaum Muhajirin. Tidak ada satupun orang Ansar. Umar sudah mengesampingkan secara seksama orang-orang Ansar itu. Ketika Umar menyapa seluruh anggota Majelis Syuro itu dan memberi tahu apa yang harus mereka kerjakan, Umar menyapa mereka dengan salam:

“Yaa, Muhajirin” “Wahai kaum Muhajirin”

Umar memberi tahu mereka bahwa Khalifah itu akan muncul dari salah seorang anggota Majelis Syuro itu, dan tidak mungkin orang Madinah akan menjadi seorang Khalifah.

Beberapa orang sahabat Nabi memaksa-maksa Umar agar segera menunjuk penggantinya sebagai seorang Khalifah. Umar malah menyebut sejumlah nama sahabat yang sudah meninggal dan ia mengatakan seandainya para sahabat yang sudah meninggal itu bisa hidup kembali, maka ia akan menunjuk salah seorang dari mereka untuk menjadi Khalifah berikutnya.



Dr. Taha Husain menuliskan:

“Nabi Islam itu sudah meninggal dunia, akan tetapi tidak selang sehari malahan hanya beberapa jam kemudian, Islam harus dihadapkan kepada sebuah krisis pertama—yaitu krisis kepemimpinan. Kaum Ansar berkata kepada kaum Muhajirin: ‘Kita pilih seorang pemimpin dari kami, dan seorang lagi dari kalian.’ Akan tetapi Abu Bakar tidak setuju dengan hal ini. Abu Bakar menguti hadits berikut dari Nabi: “Pemimpin itu akan datang dari kaum Qurays.” Kemudian Abu Bakar berkata lagi kepada kaum Ansar: ‘Kamilah yang akan menjadi para pemimpin, sedangkan kalian akan menjadi para menteri pembantu kami.’ Kaum Ansar akhirnya mau menerima ini (kecuali Saad ibn Ubadah).”

“Begitulah kira-kira proses kelahiran ‘aristokrasi’ lahir di dalam Islam.  Hak kepemimpinan itu dikaitkan dengan faktor kedekatan kepada Muhammad. Seluruh hak kepemimpinan itu berada di tangan suku Qurays. Kaum Ansar hanya mendapatkan jatah sebagai para penasehat atau pembantu. Setiap Muslim boleh-boleh saja memberikan nasehat. Akan tetapi kaum Qurays-lah yang memimpin dan mengatur. Kaum Ansar dan kaum Muslimin lainnya hanya bisa memberikan usul dan nasehat akan tetapi tidak boleh memimpin.”

“Ketika Umar sedang menjelang ajalnya, ia ditanya tentang siapakah yang akan menjadi penggantinya. Ia berkata: ‘Seandainya Abu Ubaidah bin al-Jarrah masih hidup, maka aku akan menjadikannya sebagai seorang Khalifah. Seandainya Khalid bin Walid itu masih hidup, aku tentu akan menjadikannya seorang pemimpin bagi kaum Muslimin. Dan seandainya Salim, yang ditolong oleh Abu Hudzaifah itu masih hidup hingga sekarang, maka aku akan menjadikannya pemimpin kalian.’ Salim adalah seorang budak yang datang dari Istakhar, Persia. Ia dididik dan menjadi ‘mawali’ (budak atau pembantu) dari Abu Hudzaifah. Ia terkenal karena kesalehannya. Banyak sekali Muslimin yang mengacu kepadanya dalam masalah keyakinan bahkan di jaman Rasulullah sekalipun. Kadang-kadang ia memimpin kaum Muslimin dalam shalat berjama’ah. Salim terbunuh di dalam perang Ridda selama masa kepemimpinan Abu Bakar. Salim adalah orang yang beriman dan bertakwa.”

(LIHAT: al-Fitna-tul-Kubra {The Great Upheaval}, diterbitkan oleh Darul-Ma'arif, Cairo, 1959).

Sungguh sayang sekali umat Islam ini karena Salim sudah meninggal dunia pada waktu itu. Kalau ia masih hidup, maka ia akan ditunjuk oleh Umar untuk menjadi pengganti dirinya dan ia akan menjadi seorang Khalifah yang hebat.

Perkataan Umar di atas sebenarnya sudah meruntuhkan “Hadits” yang disampaikan oleh Abu Bakar di Saqifah yaitu bahwa “Pemimpin itu akan datang dari kaum Qurays”, yang menunjukkan bahwa tidak seorangpun yang boleh atau berhak menjadi pemimpin atau Khalifah selain orang Qurays. Begitulah Umar—sebagai pendeta tingkat tingginya saudara kita dari Ahlu Sunnah (Sunni), siap, sedia, dan bersemangat sekali untuk memilih seorang Khalifah bagi kaum Muslimin, seseorang yang:

  1. Bukan orang Qurays
  2. Bukan orang Arab
  3. Bukan orang bebas, karena ia adalah seorang budak yang dididik oleh seorang Arab, dan ia masih berada dalam penguasaan tuannya itu.


Umar “membuktikan” di pembaringannya ketika ia menjelang ajalnya, bahwa “Hadits” yang berkenaan dengan “Koneksi Qurays” itu yang dianggap oleh kaum Muhajirin sebagai bukti bahwa mereka itu lebih “unggul” dibandingkan kaum Ansar di Saqifah, hanyalah hadits yang palsu saja. Umar “berhasil membuktikan” bahwa untuk menjadi seorang Khalifah bagi kaum Muslimin itu tidak perlu berasal dari kaum Qurays.

Akan tetapi, meskipun Umar tidak peduli apakah seseorang itu bekas seorang budak atau tidak; meskipun Umar tidak membeda-bedakan seseorang kecuali karena ketakwaannya saja untuk menduduki posisi tertinggi di dalam Islam, ia tetap saja tidak bersikap sama untuk kaum Ansar walaupun misalnya orang Ansar itu orang yang unggul baik dalam keadaan perang maupun damai. Kaum Ansar itu dianggapnya sama sekali tidak pantas bahkan untuk posisi yang tidak begitu penting di pemerintahan.

Di dalam bukunya, Al-Faruq, M. Shibli—seorang sejarawan India, menuliskan nama-nama para pejabat sipil dan militer yang diangkat selama masa pemerintahan Umar.  Dengan satu kekecualian (yaitu Utsman bin Hunaif), nama-nama yang diangkat Umar menjadi pejabat itu semuanya dikenal sebagai orang-orang yang memiliki sikap permusuhan dengan Ali, Bani Hasyim, dan dengan kaum Ansar.

Padahal orang-orang Ansar yang dibenci Umar ini adalah orang yang dulu pernah memberikan perlindungan kepada Umar di kota itu. Merekalah yang pernah memberikan makanan dan minuman serta pakaian dan tempat untuk bernaung ketika Umar sama sekali tidak memiliki itu semua ketika hijrah ke Medinah. Sekarang itulah bentuk balasan yang diberikan oleh Umar kepada kaum Ansar!!!

Sikap Umar terhadap kaum Ansar itu berbeda jauh dengan sikap yang ditunjukkan oleh Rasulullah kepada kaum Ansar. Rasulullah sangat mencintai kaum Ansar. Rasulullah menunjuk mereka dan mengangkat mereka menjadi gubernur-gubernur kota Madinah. Rasulullah juga pernah menunjuk kaum Ansar untuk menjadi komandan perang dalam sejumlah ekspedisi.

Di dalam sebuah kesempatan malah Rasulullah pernah berkata bahwa ia lebih suka berada bersama mereka (kaum Ansar) dibandingkan dengan kaum lainnya. Rasulullah juga menganggap bahwa kaum Ansar itu sangat mampu dan pantas untuk memimpin kaum Muhajirin.


Montgomery Watt

Montgomery Watt menuliskan:

William Montgomery Watt
“Perkataan Muhammad mengenai Sa’ad bin Mu’adz ketika ia hendak memutuskan perkara atas kasus yang menimpa Banu Qurayza, ia berkata, “Berdirilah untuk tuanmu (Sayyid)”. Ini menunjukkan bahwa kaum Ansar itu mampu untuk menjadi pemimpin atas kaum Qurays. Akan tetapi kisah itu dibelokkan sebegitu rupa agar kesan itu tidak tampak.”

(LIHAT: Muhammad at Medina, Oxford, 1966)


Kalau Rasulullah itu memanggil Sa’ad dengan sebutan Pemimpin orang-orang Qurays, maka itu artinya Sa’ad dianggap mampu untuk memimpin kaum Qurays. Lalu mengapa kaum Ansar tidak diberikan kesempatan? Jawabannya ialah karena “ajaran” yang ada di dalam masyarakat Qurays yang membatasi kaum Ansar; yang memasung hak politik kaum Ansar.

Kaum Ansar kehilangan hak politiknya; kaum Ansar kehilangan hak untuk memimpin kaum Qurays segera setelah Muhammad—tuannya—meninggal dunia. Selama masa rezim pemerintahan Abu Bakar dan Umar, kaum Ansar sama sekali tidak punya akses untuk masuk kedalam pemerintahan.



Laura Veccia Vaglieri menuliskan:

The Cambridge History of Islam
“Ketika ia terbaring di pembaringannya, Umar sangat cemas dengan suksesi kepemimpinan. Ia kemudian membuat sebuah panitia yang terdiri dari enam orang, semuanya orang Qurays; yang ditugaskan untuk memilih salah satu diantara mereka untuk menjadi seorang Khalifah. Para penduduk kota Madinah tidak diberikan kesempatan untuk memilih kepala negaranya sendiri.”

(LIHAT: Cambridge History of Islam, Cambridge, 1970)

Alih-alih punya hak untuk memilih kepala negaranya sendiri, mereka juga tidak punya kesempatan untuk menjadi kepala negara. Selain itu malah mereka tidak punya hak untuk menentukan apapun di negerinya sendiri. Mereka bisa saja memberikan “nasehat” kepada Abu Bakar dan Umar. Di pertemuan Saqifah sendiri Umar memberitahu mereka bahwa mereka bisa saja meminta nasehat dari mereka (Kaum Ansar) dalam segala urusan.

Peran kaum Ansar dianggap tidak penting bahkan hingga tahun ke-11 Hijriah. Ucapan Hubab ibn al-Mundzir—ketika terjadi hiruk pikuk di Saqifah—malah terbukti terjadi. Ia menyampaikan perasaan khawatirnya bahwa putera-putera Ansar di kelak kemudian hari akan mengemis-ngemis makanan di depan pintu-pintu rumah kaum Muhajirin. Dan kaum Muhajirin tidak memberikan makanan sedikitpun. Tapi yang paling buruk dan menyedihkan yang terjadi kepada kaum Ansar ialah pada masa rezim pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah.

Kaum Ansar itu sangat berjasa di masa rezim pemerintahan Abu Bakar dan Umar. Mereka ikut serta dalam berbagai peperangan walaupun mereka tidak pernah ditunjuk sebagai jenderal perang. Mereka hanya berperang sebagai prajurit biasa saja. Harta kekayaan hasil pampasan perang yang mengalir ke kota Madinah setelah berbagai penaklukan atas Persia dan Daerah Bulan Sabit Subur (the Fertile Crescent)[1] seolah-olah lewat begitu saja di hadapan mereka dan tidak singgah di rumah-rumah mereka kecuali di rumah-rumah beberapa gelintir orang Ansar saja yang pernah bekerja sama dengan pemerintahan yang dibentuk di Saqifah.


The Fertile Crescent

Diantara mereka kaum Ansar yang pernah bekerja sama dan menjadi mata-mata ialah dua orang mata-mata dari suku Aus (salah satu dari dua suku Ansar, yang lainnya suku Khazraj) yang pernah bertikai dengan suku Khazraj membela Umar dan Abu Bakar. Yang lainnya ialah Muhammad bin Maslama, Bashir bin Saad, dan Zayd bin Tsabit. Mereka sangat patuh dan setia setelah mereka memberikan bai’atnya kepada Abu Bakar di Saqifah.

Zayd bin Tsabit malah menjadi pengikut Utsman bin Affan yang sangat setia dan fanatik. Dan oleh karena itu ia mendapatkan banyak sekali hadiah dan pemberian yang diambil dari baytul mal. Zayd bin Tsabit itu putera dari orang-tua yang sangat miskin akan tetapi selama masa rezim pemerintahan Utsman bin Affan, ia menjadi salah seorang terkaya di kota Madinah.

Dua orang pejabat baytul mal di kota Madinah dan di kota Kufah yang ditunjuk oleh Abu Bakar, keduanya melemparkan kunci-kunci baytul mal di hadapan Utsman bin Affan. Keduanya melakukan hal itu untuk memprotes karena Utsman dan para gubernurnya sudah menjarah harta kekayaan milik umat islam. Utsman lalu memberikan kedua kunci baytul mal itu kepada Zayd bin Tsabit.

Zayd bin Tsabit adalah salah seorang dari kaum Ansar yang tidak ikut bersama Imam Ali di dalam Perang Basrah (Perang Unta), Perang Siffin, dan Perang Nahrawan. Hampir seluruh kaum Ansar berada di barisan Imam Ali ketika Imam Ali dan keluarga Nabi harus berhadapan dengan musuh-musuhnya.



[1] The Fertile Crescent adalah sebuah kawasan di Timur Tengah yang membentuk bentuk bulan sabit. Kawasan itu mencakup wilayah Teluk Persia, melewati beberapa negara seperti Irak, Syria, Lebanon, Yordania, Israel, dan Mesir bagian utara. Istilah The Fertile Crescent itu sendiri pertama kali diperkenalkan di tahun 1916 oleh seorang ahli Egyptologi yang bernama  James Henry Breasted di dalam bukunya Ancient Times: A History of the Early World, dimana di dalam buku itu ia menuliskan, “Daerah Fertile Crescent ini bentuknya kira-kira menyerupai setengah lingkaran dengan sisi terbuka di daerah selatan. Ujung baratnya ialah sudut tenggara Mediterania, pusatnya adalah daerah utara Arabia, dan ujung timurnya terletak di ujung utara Teluk Persia.” Frasa itu tersebar luas lewat berbagai tulisan hingga sekarang menjadi baku untuk menandai kawasan tersebut. The Fertile Crescent biasanya dihubung-hubungkan dengan sebuah lokasi yang subur seperti Taman Surga di bumi (dalam keyakinan agama Yahudi, Kristiani dan Muslim)

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta