
(Serial Dua) MELAYANI ISTERI? SIAPA TAKUT!
Suatu hari Supriyatna, sahabat karib Timun, menginap di rumah Timun karena ia harus mengerjakan sesuatu yang membutuhkan dirinya untuk duduk di depan komputer (bukan duduk saja tapi juga mengoperasikan komputer). Masalahnya Supriyatna (untuk selanjutnya dipanggil dengan nama julukannya saja: Nono) tidak memiliki komputer yang bisa dipakai sekarang. Satu-satunya komputer yang ia miliki sedang mengalami kerusakan yang cukup parah gara-gara ketumpahan wedang jahe yang sedang disruput-nya. Ia selalu menghirup minuman nikmat itu kalau ia harus begadang mengerjakan tulisan-tulisannya untuk dimuat di harian tertentu atau proyek terjemahan yang ia dapatkan secara serabutan. Nono memiliki kegiatan di luar jam kerja yang mirip dengan apa yang dilakukan Timun. Mungkin itu pula yang membuat mereka menjadi dua sahabat setia karena sama-sama memiliki hobi dan kegiatan hidup serupa. Jadi mereka berdua bisa bertukar pikiran sambil berbagi pengalaman (baca: berbagi orderan).
Nono malam itu terpaksa menginap di rumah Timun karena besok adalah deadline untuk hasil terjemahannya. Orang yang memberi dia orderan akan datang untuk menjemput itu terjemahan yang cuma 12 halaman. Harus selesai besok katanya. Orang yang memberikan ia orderan itu ialah seorang mahasiswa yang dibebani tugas menerjemahkan buku teks tertentu yang telah terlebih dahulu dibagi-bagi kedalam beberapa bagian. Setiap bagiannya dipasrahkan kepada seorang mahasiswa untuk diterjemahkan Baik Nono maupun Timun tahu itu hanya akal-akalan dosennya saja. Buku yang harus diterjemahkan itu tidak lain dari buku teks yang harus dibaca oleh dosen yang bersangkutan. Buku teks tersebut ialah buku teks yang digunakan dosen itu karena ia masih melanjutkan kuliah untuk mengejar gelar master. Sambil menyelam minum air. Sambil memberikan tugas pada mahasiswanya ia dapat juga terjemahan gratisan. Sekali pukul dua lalat mati.
Kembali
ke Nono. Nono jadi menginap. Sebenarnya bukan menginap dalam arti sebenarnya
karena hampir sepanjang malam ia tidak mengatupkan kedua belah kelopak matanya
yang tampak sayu. Dikatakan hampir karena sesekali Timun melihat kedua kelopak
mata sahabatnya itu dengan pelan menutup merindukan tidur karena sudah larut
malam menjelang tengah. Dan kemudian kedua belah mata itu terbuka tiba-tiba, setengah terperanjat, karena
sadar deadline adalah janji yang harus segera ditunaikannya.
"No, wedang
jahe-nya mau ditaruh dimana?", kata Timun.
"Weh,
baik nian dikau, Mun. Sini aku mau coba dulu. Enak enggak?"
"Pasti
enak. Soalnya itu ramuan dari pabriknya seperti itu. Aku tidak nambahin apa-apa
lagi", jawab Timun.
"Sruuuuuut.
Sruuuuuut", air jahe itu sedikit demi sedikit meluncur ke tenggorokan
Nono.
"Hebat
juga nih orang", bisik Timun di dalam hati (pasti di dalam hati)
membayangkan betapa pedas dan panas wedang jahe itu karena ia baru saja
membuatnya tidak kurang dari semenit yang lalu.
"Mungkin
Nono punya ilmu", Timun mengira-ngira, juga dalam hati.
"Nggak
panas No?", tanya Timun.
"Sudah
biasa. Lumayan menambah daya tahan dan kantukpun hilang", Nono bilang.
"Kok
wedang jahe bukannya kopi. Yang lain lebih suka kopi untuk begadang", sela
Timun.
"Yah,
lain lubuk lain ikannya. Lain orang, lain pula caranya. He..........he.....he.........", tawa Nono.
"Sudah
sana kamu tidur saja. Istrimu kan sudah tidur. Anakmu juga sudah tidur. Kau
susul sana", suruh Nono kepada Timun karena memang tidak ada orang lagi
selain mereka berdua.
"OK.
Huuuuaaaaaah (sambil menguap!). Tambah lagi aku sudah ngantuk berat. Kemarin
begadang nonton Emyu."
Nono
tidak bertanya siapa yang menang karena ia memang tidak suka bola. Ia lebih
suka nonton ceramah keagamaan yang ada di televisi atau di radio (kok di radio
ditonton, kurang kerjaan!).
...........................
Shubuh menjelang.
Timun
bangun dari tidurnya. Ia mendapati sahabatnya itu tidur telungkup di atas keyboard.
Untung ia bukan orang yang suka ngiler kalau lagi tidur. Kalau
iya bisa berabe. keyboard bisa rusak kena ilernya atau mungkin
terjadi hubungan pendek arus listrik yang akhirnya menyengat pipinya atau
bibirnya. Untung saja.
"No,
sudah shubuh", kata Timun sambil mengguncang-guncangkan pundak Nono. Nono
terbangun dari tidurnya. Ia seperti tidak bangun dari tidur. Tidak kelihatan ia
pusing-pusing atau menatap nanar orang yang membangunkannya. Dari dulu Timun
tahu memang mudah membangunkan sahabatnya yang satu ini. Ia memang terbiasa
bangun malam untuk shalat malam. Dalam beberapa kesempatan Timun juga pernah
menginap di rumah Nono atau di rumah kost-an Nono ketika mereka masih kuliah
bersama-sama dulu. Jadi Timun tahu benar bahwa temannya itu sering shalat
malam. Lain sekali dengan dirinya yang shalat malam itu sangat jarang
dilakukan. Kalau Timun shalat malam itu artinya ia sedang banyak masalah (baca:
banyak hutang).
"Alhamdulillah", syukur Nono. Lalu ia membaca do'a
bangun tidur sambil menyeka wajahnya dengan kedua tangannya. Setelah itu ia
bangkit dari kursi dan bergegas dengan semangat menuju kamar mandi untuk
mengambil wudhu.
Sama
sekali tidak kelihatan bahwa beberapa menit yang lalu ia masih ada di alam
mimpi.
-------------------------------------------------
Setelah
mereka berdua mengambil wudhu mereka berdua berdiri bersama di ruangan tengah
untuk shalat berjamaah shalat shubuh. Timun memang tidak punya ruangan khusus
untuk shalat di rumahnya. Terkadang ia shalat di ruangan tengah, terkadang di
kamar tidur, di perpustakaan mini di rumahnya, dan di tempat lainnya. Timun
bilang dengan shalat di berbagai tempat di rumahnya, ia yakin bisa meninggalkan
jejak keberkahan di setiap tempat yang ia gunakan untuk shalat. Begitu
katanya.
"Yuk.
Berjamaah. Kamu imamnya", kata Timun.
"Kamu
dong. Khan kamu yang tuan rumah", elak Nono.
"Ah,
kamu saja. Bacaanmu lebih fasih dan hapalan suratmu lebih banyak pula. Aku
kikuk kalau mengimami orang yang lebih alim daripada diriku
ini", kata Timun sambil tersenyum. Entah apa maksud dari senyuman itu: malu
atau sekedar sopan santun?
"OK.
Deh", kata Nono sukarela. Kemudian shalatlah mereka.
-----------------------------------------------------------
"By
the way, kamu sudah selesai dengan tugasmu itu?", tanya Timun sambil
membereskan sejadah yang mereka pakai shalat tadi. Tanpa menunggu jawaban
Timun ngeloyor ke dapur menyalakan kompor gas dan menaruh
panci yang sudah berisi air bersih.
Nono
menjawab pendek, "Alhamdulillah
sudah!". Ia langsung menuju ke air untuk buang air kecil. Setelah selesai
ia kemudian berwudhu lagi. Kemudian Nono kembali ke meja komputer untuk
memeriksa hasil kerjanya yang belum sempat ia baca ulang. Kembali ia tenggelam
dalam kesibukannya.
Dari
dapur setelah menjerangkan air, Timun lalu menuju kamar tidur untuk
membangunkan istrinya. Ia biasanya membangunkan istrinya dengan cara yang
khusus dan pribadi. Ia peluk istrinya. Diciuminya istrinya itu di leher dan
pipinya hingga kegelian. Atau kadang dilanjutkan dengan memencet hidung; tapi tidak sampai sakit; cukup
sampai istrinya megap-megap mencari secercah oksigen yang terhambat masuk ke
paru-parunya. Timun selalu seperti itu membangunkan istrinya. Ia anggap itu
cara yang paling baik; lebih baik daripada segelas air dingin yang dicipratkan
ke wajah (atau kemudian diguyurkan ke wajah,
setelah cara pertama tidak menemui hasil yang berarti). Dan istrinya sangat
tidak keberatan (dengan cara Timun, bukan
dengan cara lain yaitu dengan segelas air dingin tadi!).
Istrinya
biasanya balik memeluk Timun dan mencium Timun (tidak usah dilanjutkan apa lagi
yang dilakukan Timun karena memang tidak perlu diceritakan saking pribadinya.
Nanti malah terkena UU anti pornografi yang bisa saja dipakai untuk menghakimi
tulisan ini).
"Mi,
bangun Mi. Shubuh", imbuh Timun.
"Ya",
kata sang istri pendek.
"Airnya
kayaknya sudah panas. Bisa sekalian mandi kalau mau", kata Timun.
"Sisakan setengah untuk anak-anak".
"Ya",
istrinya menjawab terus menerus berjuang melawan kantuknya. Ia berjalan gontai
setengah terhuyung menuju kamar mandi. Lalu beberapa saat kemudian terdengar
percikan air di kamar mandi. Samar-samar juga terdengar batuk-batuk kecil.
"Aku
gorengkan nasi, ya", teriak Timun. Tanpa menunggu jawaban istrinya, Timun
kemudian sibuk mencari racikan bumbu
nasi
goreng instan buatan pabrik yang biasanya ia beli dalam jumlah cukup lumayan untuk memenuhi kebutuhan mendesak di pagi hari.
"Jangan
terlalu pedas, ya", istrinya juga berteriak.
"Abi
ingat ummi belum sembuh betul sakit perutnya. Kemarin habis setengah lusin obat
anti mencret".
Timun
dan Yuli saling memanggil satu sama lain dengan panggilan Abi dan Ummi walaupun
mereka sama sekali bukan keturunan Arab atau berbau Arab. Keduanya berlaku
begitu hanya untuk mengikuti sunnah tetangga sekitar yang
kebanyakan aktifis mesjid yang sangat senang menggunakan istilah-istilah dalam
bahasa Arab. Biar disebut soleh, mungkin. Karena bahasa Arab mencerminkan
identitas mereka sebagai pemeluk Islam, maka mereka juga ikutan tetangga saling
ber-Ummi-Abi; itu dilakukan tanpa melihat bahwa Abu Jahal pun berbahasa Arab
dan ia sudah jelas bukan seorang Muslim.
Timun
menggoreng nasi. Harum semerbak mewangi, memenuhi seluruh penjuru rumah mereka
yang bertipe 45. Nono datang dari ruangan tengah terpanggil oleh bau harum dan
suara kesibukan dapur.
"Lagi
apa, Mun", sapa Nono.
"Main
bola", kata Timun sekenanya, habis Nono sendiri iseng sich. Orang yang sedang jelas kelihatan kesibukannya; bisa dilihat,
bisa dicium baunya, masih bisa didengar kesibukannya masih juga ditanya sedang
apa.
"Mau
kopi?", kata Timun sambil mengacung-acungkan beberapa sachet kopi
instan berbagai merek. Timun memang paling suka ngopi dan ia
juga suka mencoba berbagai macam kopi yang ditawarkan di pasaran.
"Ah,
wedang jahe saja. Bikinanmu tadi malam enak sekali"
"OK",
jawab TImun singkat. Itu tidak masalah karena Timun juga mengoleksi beberapa
bungkus minuman tradisional termasuk bajigur dan bandrek Hanjuang.
Beberapa
saat ketika Timun, istrinya, dan Nono melahap nasi goreng, kedua anak mereka
(maksudnya anak Timun dan Yuli istrinya; Nono tidak punya andil apa-apa)
bangun.
"Bi,
Mi", seru mereka serempak. Kemudian mereka menggeletakkan kepala mereka di
pangkuan Timun dan di pangkuan Yuli. Yang besar, Akbar (7 tahun), meletakan
kepalanya di pangkuan Yuli. Sementara itu si kecil, Reza (3 tahun) di ayahnya.
Mereka berlima duduk di lantai beralas karpet karena memang di rumah mereka
tidak ada furniture yang ada adalah karpet tebal dan
bantal-bantal untuk duduk. Jadi mirip-mirip di timur tengah dalam cerita 1000
Arabian Nights, begitu (alasan sebenarnya sih mereka belum mampu beli
karena ada barang yang lain yang harus mereka dahulukan untuk dibeli).
Semua
minum minuman panas dan hangat di pagi hari yang cukup dingin menusuk tulang
dan buku-buku jari.
--------------------------------------------------------
Di
kantor, di sela-sela rutinitas mengajar (tepatnya di saat makan siang dimana
ruangan guru tidak begitu banyak orang--kadang-kadang malah tidak ada orang
sama sekali karena orang-orang sedang sibuk mencari sesuap nasi di luar sana),
Timun dan Nono duduk saling bercengkrama. Mereka membahas permasalahan hidup
sehari-hari ngalor-ngidul ngetan-ngulon hingga akhirnya sampai
pada suatu pertanyaan.
"Mun.
Kamu sangat baik terhadap istrimu", "Aku heran masih ada suami sebaik
dirimu"
"Ah,
kamu. Aku jadi malu", sebenarnya Timun tidak malu, ia malah bangga. Ia
hanya belagak malu saja, sambil menggigit jari-jarinya walaupun Timun tahu itu
tidak perlu.
"Kamu
mengapa melakukan semua itu?", tanya Nono.
"Maksudmu
aku masak, memandikan anak, membajui mereka. Atau terkadang aku juga
menyetrika, mengepel, dan mencuci pakaian?"
"Ya
itu. Istrimu sendiri melakukan apa?", tanya Nono, lagi.
"Istriku
juga masak, memandikan anak, membajui mereka dengan baju yang sudah ia cuci dan
setrika, dan lain-lain"
"Kalau
istrimu juga melakukan hal yang sama, mengapa tidak istrimu saja yang melakukan
itu semua. Itu kan semuanya pekerjaan rumah tangga yang sudah sewajarnya
dikerjakan oleh istri-istri kita".
"Tapi
juga nggak ada salahnya kan, kalau mengambil sebagian dari tugas itu ketika
saya memang bisa melakukannya", jelas Timun.
"Memang
enggak sih. Cuma aneh saja, pria lain biasanya akan menjadikan istrinya sebagai
'pembantu rumah tangga' (kata Nono
sambil membuat tanda kutip dengan jari telunjuk dan jari tengah di kedua
tangannya) yang melayani dirinya dalam segala hal mulai dari dapur hingga ke
tempat tidur karena itu tugas mereka. Sedangkan kita sebagai pria sudah
mendapatkan tugas lainnya yang juga berat yaitu mencari nafkah dan menghidupi
mereka", tambah Nono.
"Nabi
kita pernah berkata bahwa ‘sebaik-baiknya
laki-laki ialah ia yang sangat baik terhadap istrinya’. Aku ingin seperti itu. Lagi pula laki-laki itu diberi
kelebihan dalam kekuatan fisik dibandingkan dengan wanita. Dan kelebihan itu
harus kita gunakan dengan baik sesuai dengan kehendak yang memberikan kita
kelebihan itu. Selain itu dalam Islam itu ada yang dinamakan dengan
perkhidmatan. Kita mendedikasikan diri kita untuk sesuatu, misalnya kita
mendedikasikan atau mengabdikan diri kita untuk menghidupi keluarga kita. Atau
seorang istri mengabdikan dirinya untuk kebahagiaan suami dan anak-anaknya.
Atau seorang peneliti yang menghabiskan waktunya di hutan-hutan sendirian
meneliti binatang buas tertentu selama berhari-hari berbulan-bulan untuk
pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam hal perkhidmatan ini, kita melakukan itu
semua bukan untuk mendapatkan layanan atau mendapatkan timbal balik atau balas
jasa dari orang yang kita khidmati", Timun berdakwah agak panjang.
"Kita
berkhidmat kepada istri kita dengan melayani setiap kebutuhan dirinya bukan
untuk si istri itu saja melainkan juga untuk mendekatkan diri kita kepada sang
maha pengasih dan penyayang. Jadi apabila istri kita itu tidak memberikan balas
jasa kepada kita, kita tidak usah meminta balas jasa itu; cukuplah DIA yang
memberi kita balasan terhadap perkhidmatan yang kita lakukan".
"Kita
tidak boleh juga marah dan benci pada orang yang telah kita khidmati akan
tetapi dia tidak berbuat baik kepada kita sebagai balas jasanya. Sekali lagi
kita melakukan kebaikan itu bukan untuk mendapatkan kebaikan dari orang yang
kita baiki itu. Kita hanya mengharapkan Tuhan menjadi lebih dekat kepada kita
dengan menyalurkan kasih sayangNya kepada makhlukNya. Kita menjadi perantara
kasih sayang Allah, Tuhan sekalian alam yang kasih sayangnya sangat besar pada
makhluk yang diciptakanNya. Kita berharap bahwa dengan kebaikan yang telah kita
lakukan itu, dengan menjadi kran air yang memancarkan rahmat Tuhan, Tuhan akan
membukakan pintu rahmatNya kepada kita", Timun berhenti sejenak mengambil
nafas.
"Kita
melakukan perkhidmatan itu untuk menyampaikan atau meneruskan rasa kasih dan
sayang dari Tuhan kepada sesama. Kita menjadi agen-agen Tuhan yang memberikan
pelayanan dengan penuh rasa cinta yang tidak mengharapkan balasan. Sayangilah
yang di Bumi, maka akan sayang pada kita yang ada di langit. Itu kan
mirip-mirip cinta Tuhan. Tuhan sangat sayang pada kita dan terus memberikan
rizkiNya pada kita padahal setiap hari kita berbuat dosa. Selama kita ada dan
hidup di dunia ini, Tuhan tidak pernah sekalipun menghentikan suplai oksigen
yang kita hirup gara-gara kita berbuat dosa. Kalau saja itu dilakukan Tuhan
maka kita akan berhenti dari hidup dan menghadap Tuhan lebih awal. Tuhan tidak
pernah begitu", kata Timun lagi melanjutkan pembicaraannya yang panjang
lebar.
"Bagaimana
kalau istrimu itu bukan saja tidak berterimakasih kepada kamu tapi malah
melakukan kejahatan kepada kamu?", Nono bertanya lagi karena merasa ada
hal lain yang perlu penjelasan lebih jauh dari Timun.
"Sekali
lagi. Kita melakukan kebaikan itu bukan untuk mendapatkan kebaikan atau apapun
termasuk kejahatan dari orang yang telah kita khidmati. Jadi kalau ia berbuat
jahat pada kita ............... yaaa biarin aja", Timun berdiri di depan
jendela sambil melihat keluar. Hari mendung. Hujan sebentar lagi kan turun.
"Maksudmu?",
sela Nono.
"Ya
biarkan ia yang mendapatkan ganjaran atas perbuatannya itu nanti. Kita tidak
usah menghukumi dia karena dia telah berbuat jahat pada kita. Itupun kalau ia
memang berbuat jahat. Karena saya yakin kalau kita seringkali berbuat baik pada
seseorang, orang itu akan otomatis membalas kebaikan kita karena mereka
mestinya merasakan kebaikan yang kita lakukan padanya itu; dan pada akhirnya
akan merasa malu kalau ia tidak membalas dengan perbuatan yang serupa. Ia
niscaya akan berbuat baik pula pada diri kita", Timun melanjutkan sambil
duduk kembali ke tempat duduk dimana ia tadi duduk berhadapan dengan Nono.
"Coba
bayangkan", lanjut Timun, "kalau dalam sebuah rumah tangga ada
seorang suami yang berkhidmat pada istrinya, kemudian si istri juga melakukan
penghkhidmatan yang sama terhadap suaminya. Bayangkan kalau seumpama mereka
sedang marah satu sama lainnya pun mereka masih akan melakukan pengkhidmatan
satu sama lain. Karena mereka melakukannya hanya mengharapkan kedekatan dan
kasih sayang dari Tuhan bukannya balasan dari sesama pasangannya; sesama makhluk
Tuhan. Bayi yang menggigit tangan kita tidak mungkin kita pukul. Kita masih
saja memberikan belaian dan kasih sayang pada si bayi itu meski si bayi itu
telah menyakiti jari tangan kita. Istri kita yang telah membuat kita kesal akan
tetap kita sayangi meski mereka misalnya tidak berkata ma'af dan sebagainya.
Bisa lebih baik lagi kalau si istri itu melakukan hal yang sama kepada
suaminya. Mereka berdua saling berkhidmat satu sama lain".
"Kemudian
kalau seandainya nanti diperluas lagi cakupan perkhidmatan ini dimana setiap
satu orang berkhidmat pada satu orang lainnya di dunia ini, maka niscaya dunia ini akan penuh kebaikan dan
kedamaian", Timun mengatakan kalimat yang terakhir itu dengan pandangan
mata kosong ke depan seolah-olah dirinya pun tidak yakin bahwa hal itu bisa
terjadi. Kasih sayang yang tidak mengharapkan balasan itu biasanya hanya datang
dari Tuhan saja; dan untuk mewujudkan impian Timun itu setiap orang harus
menyerap sifat Tuhan yang maha-kasih dan maha-sayang untuk nantinya disalurkan
kepada makhluk-makhluk ciptaanNya dalam bentuk perkhidmatan.
Akan
halnya Nono, ia duduk termanggu. Ia sudah berumah tangga dan memiliki 4 orang
anak dari istrinya yang sangat ia sayangi. Tetapi demi mendengarkan penjelasan
Timun, ia merasakan bahwa dirinya tidak berarti. Ia memang telah berbuat baik
pada istrinya akan tetapi tidak seperti yang telah dijelaskan (dan juga
dipraktekan oleh Timun, sahabatnya). Nono telah banyak mempelajari apa yang
harus dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya lewat buku-buku agama yang
ia beli--atau pinjam--kemudian ia baca. Akan tetapi belum ada penjelasan yang
seindah penjelasan yang diberikan oleh Timun. Ia duduk termenung ditinggalkan
oleh Timun yang sekarang telah asyik sendiri memikirkan hal yang lain.
Comments