(Serial Tujuh) PERBEDAAN ITU SEHARUSNYA MENDATANGKAN RAHMAT
“Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”
(QS. Al-Anbiyaa: 107)
"Mengapa sih orang-orang ini suka
sekali bikin keributan. Sepertinya gatal sekali tangan dan mulut mereka kalau
tidak berantem dan mencaci maki orang lain yang berbeda keyakinan dengan
mereka", keluh Timun sambil matanya memelototi TV di ruangan guru. Ia menghela
nafas panjang pertanda rasa prihatin yang berat memenuhi seluruh penjuru rongga
dadanya. Kemudian ia menjangkau lemari kabinet yang tidak jauh dari rak TV, dan
kemudian mengambil mug dari dalamnya.
Ia menyobek se-sachet kopi
instan dan memasukannya ke dalam mug
tadi. Air panas dari dispenser ia seduhkan dan kopi itu ia aduk sebanyak 25
kali. Itu kebiasaan Timun untuk menandai bahwa ia sangat mencintai bekas
sekolahnya dulu: SMPN 25. Tempat dimana ia pertama kali jatuh cinta dan
memiliki 4 orang sahabat setia. Ia menghirup udara kopi itu dengan nikmatnya.
Sangat kontras dengan ucapan dia tadi yang mengeluhkan kondisi bangsanya yang
tak pernah luput dan pulih dari petaka yang sebagian besar akibat ulah bangsa
itu sendiri.
"Itu karena mereka punya dalil dan
alasan yang kuat", Umar yang sedari tadi juga memandangi TV berkomentar;
seperti biasa selalu berseberangan dengan Timun. Umar terus menghirup kopinya
yang tinggal separuh sambil terus mengamati berita yang ada di televisi--berita
sore hari. Mereka berdua ada di ruangan guru karena mereka sedang jaga
piket. Selain mereka berdua masih ada Karim yang sedang sibuk
dengan laptop-nya. Ia sedang membuat soal-soal untuk ia berikan kepada
muridnya esok pagi. Sementara itu, guru-guru yang lain sudah sedari tadi
meninggalkan ruangan guru; mereka semua menunaikan tugas mulianya yaitu mencoba
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (ceeeeileeee.......!).
"Apanya yang kuat? Atas dasar apa
mereka membenci dan menyerang orang-orang yang mereka anggap sesat dan hina.
Tuhanpun berdiam diri dan tidak menghukumi mereka--paling tidak selama mereka
ada di dunia. Mengapa pula kita mesti coba-coba bermain sebagai Tuhan atau
bahkan ingin melebihiNya?", Timun berkata dengan nada sedikit meninggi.
"Mereka menyerang karena mereka merasa
terancam. Mereka menyerang karena mereka merasa agama mereka telah dilecehkan.
Kalau agama kamu dilecehkan, apa kamu mau berdiam diri?", lanjut Umar,
tegas.
"Tentu tidak! Tapi ngomong-ngomong
mengapa kamu merasa agama kamu merasa agama kamu dilecehkan oleh mereka,
sedangkan saya sama sekali tidak merasa agama saya dilecehkan oleh mereka.
Padahal agama kita berdua sama. Seharusnya saya juga merasakan hal yang sama.
Jadi jangan-jangan kamu dan mereka merasa dilecehkan karena kalian salah paham
saja. Karena sayapun membaca koran, juga majalah, dan saya tak luput juga
menyimak berita harian dari TV dan radio tentang hal yang sama. Saya juga yakin
kamu melakukan yang sama yaitu membaca koran, menonton TV dan lain-lain, tapi
mengapa kamu merasa dilecehkan; merasa takut; merasa resah dan risih karena ada
keyakinan lain yang menurutmu menjadi ancaman bagi agama kita? Sedangkan pada
saat yang sama, saya merasa tenteram dan asyik-asyik saja. Sekali lagi mungkin
kalian ini memberikan makna terlalu berlebih pada suatu peristiwa sehingga
reaksi yang kalian berikan tidak sesuai, tidak pas, tidak cantik, tidak elok;
cenderung berlebihan dan menimbulkan friksi yang tidak yang tidak perlu".
"Itu mungkin karena kamu sendiri
tidak sensitif terhadap permasalahan yang ada", kata Umar menyimpulkan
sambil menghabiskan kopinya hingga tak tersisa setetespun, maklum kopi instan.
Ia terpaksa untuk siap-siap menghadapi perkataan Timun selanjutnya yang
sepertinya tinggal menunggu waktu saja karena ia melihat Timun sedang menarik nafas
dalam-dalam, mengambil ancang-ancang. Sebelum berbicara Timun menghangatkan
mulutnya terlebih dahulu dengan satu hirupan kopi hangat yang tadi ia seduh.
"Bukankah agama itu mengajarkan
kita kedamaian dan bukan perpecahan atau pertikaian? Bukankah agama itu
seharusnya menjadi solusi dari suatu masalah bukan menjadi penyebab dari
masalah itu sendiri? Kamu kan pernah membaca suatu hadits yang berbunyi, 'sesungguhnya perbedaan pendapat di kalangan
umatku itu adalah rahmat'. Lihatlah hadits itu sekali lagi dan jangan
bilang padaku bahwa hadits itu tidak shahih. Kamu sendiri sering menggunakan
hadits itu. Jangan sampai ketika hadits yang sama aku gunakan tiba-tiba kamu
bilang hadits itu tidak shahih. Lihat kembali hadits itu. Kalau perbedaan
pendapat itu menjadi rahmat, maka itu disebabkan karena dengan perbedaan
pendapat-lah orang-orang akan terpacu untuk berpikir dan mencari pendapat yang
tepat. Sedangkan apabila perbedaan pendapat itu tidak ada, maka itu akhir dari
perkembangan ilmu. Ilmu itu bisa berkembang karena seringkali kita tidak setuju
atau tidak sepakat sepenuhnya dengan yang dikatakan orang. Oleh karena itu,
kita senantiasa mencari lagi bukti-bukti yang bisa menggiring kita ke pendapat
lain, yang kita anggap lebih mapan dan matang dan sukar untuk dipatahkan orang.
Sekali lagi, apabila perbedaan pendapat itu adalah rahmat, maka sebaliknya
kesamaan pendapat itu bisa jadi sebaliknya yaitu tidak mendatangkan rahmat.
Lalu kalau perbedaan pendapat itu mendatangkan kebaikan mengapa pula kalian
merisaukan sesuatu yang mendatangkan kemashlahatan", Timun menutup
pembicaraan dirinya dengan nafas megap-megap karena ia tidak sempat berhenti
berbicara.
"Tapi kalau perbedaan pendapat itu
mendatangkan rahmat mengapa yang terjadi sekarang sebaliknya", Karim yang
sedari tadi sibuk dengan laptop-nya di ruangan yang sama turut nimbrung.
Mungkin sedari tadi ia menyimak pembicaraan Timun dan Umar karena di ruangan
itu hanya ada mereka bertiga. Ketika ada dua orang yang sedang berbicara, maka
pastinya orang ketiga menjadi pendengar setia.
"Itu terjadi karena ada sekelompok
orang yang tidak bijak menyikapi perbedaan", kata Timun dengan tidak
bermaksud menyinggung Umar. Tapi Umar sangat merasakan pernyataan Timun itu
ditujukan kepada dirinya.
"Mereka tidak melihat bahwa mereka
itu manusia. Dan manusia itu diciptakan
oleh Allah dari lelaki dan perempuan. Kemudian
dari mereka diciptakan suku-suku dan bangsa-bangsa dengan satu tujuan yaitu
saling kenal mengenal", jelas Timun menggunakan ayat al-Qur'an
(QS. Al-Hujuraat: 13) sebagai dalih ucapannya.
"Mereka diciptakan berbeda karena
Allah ingin menguji mereka. Kalau mereka saling kenal mengenal; saling
hormat-menghormati; saling asah, saling asih, saling asuh; maka itu sesuai
dengan tujuan penciptaan. Lain lagi kalau mereka saling serang; saling
menyalahkan; saling caci dan maki; saling tonjok-saling tendang, bahkan saling
bunuh, jelas itu semua bertentangan dengan tujuan penciptaan. Masa mereka
tercipta untuk saling memusnahkan!? Yang tadinya diadakan oleh Tuhan sekarang
ditiadakan oleh manusia. Jelas itu bertentangan dengan tujuan penciptaan! Dan
yang bertentangan dengan perintah Tuhan itulah yang seharusnya layak
mendapatkan neraka dan sangsi berat dari Tuhannya".
"Tapi ayat itu kan tentang
suku-suku bangsa dan ras manusia? Bukan tentang perbedaan agama; bukan pula
tentang perbedaan madzhab dan aliran dalam Islam", Umar mencoba berkelit
sekenanya.
"Orang tidak perlu kecerdasan super
untuk memahami hal itu. Kalau kamu beli 5 ekor kambing, kamu tidak perlu bilang
pada si penjualnya: saya mau beli 5 ekor kambing lengkap dengan kepalanya,
badannya, kaki-kakinya, dan juga nyawanya. Cukup sebut saja 5 ekor kambing.
Titik".
"Allah tahu umatNya tidak
bodoh-bodoh amat. Ia hanya menyebut suku-suku atau bangsa-bangsa (syu'uban wa qaba'ilaan) saja sebagai
pembeda; Ia tidak perlu menyebutkan bahwa manusia itu akan diciptakan kedalam
berbagai golongan, kelompok etnis, partai
politik, aliansi keagamaan, madzhab, aliran, keyakinan yang berbagai ragam,
dan lain-lain, dan lain-lain".
"Allah tahu sebagian dari kita
cukup cerdas untuk memahami hal itu", kata-kata yang terakhir memang Timun
tujukan untuk sedikit menyindir temannya yang manggut-manggut dari tadi. Entah
mengerti, entah mengantuk.
Wallahu'alam
Comments