(Serial Delapanbelas) TIMUN
DALAM WAWANCARA TV
Timun pernah dipanggil oleh Parahyangan
TV--stasiun televisi lokal dengan muatan lokal yang sangat melimpah. Seringkali
stasiun televisi itu menayangkan acara-acara yang bernuansakan budaya lokal
dengan sangat kental. TV itu tidak risih menayangkan semua itu meski hampir
semua stasiun televisi lain, baik yang lokal apalagi yang
nasional, rame-rame berlomba-lomba menjadi menjadi agen-agen perubahan
sosial yang menawarkan budaya asing sebagai budaya alternatif menggantikan
budaya lokal yang belum sepenuhnya mengakar di dalam jiwa-jiwa generasi muda
kita. Itu semua menjadikan generasi kita kehilangan jati diri yang akut. Tingkah amrik dengan wajah melayu.
Timun ada di ruangan tunggu dengan
hati--tepatnya sih jantung--berdebar-debar kencang. Maklum ia belum pernah
tampil di depan televisi sebelumnya; apalagi menjadi pembicara tamu yang setiap
kata-katanya itu akan direkam dan ditayangkan ke seluruh pelosok pasundan,
ditonton dan didengar oleh jutaan orang. Ia tidak boleh ngomong salah. Karena
salah-salah ia akan memalukan dirinya; kakek-neneknya; rekan-rekan kerjanya;
juga tetangga dan sanak kerabat jauh maupun dekat. Semua akan menanggung malu
dengan tingkatan malu yang berbeda-beda tergantung dari faktor kedekatan dirinya
dengan Timun. Makin dekat dengan Timun, makin malu dia. Maka dari itu semampu
mungkin Timun mencoba untuk menenangkan dirinya dan tampaknya ia kurang
berhasil. Timun membayangkan dirinya dan tampaknya ia kurang berhasil. Timun
membayangkan dirinya dihadapkan dengan seorang Ustadz ternama di kota kembang--Al-Ustadz Usep Rohayat al-Bandungi. Ia
lebih dikenal dengan nama panggilan yang unik yaitu pak ustadz Usro (mungkin
diambil dari akronim namanya USep ROhayat), mirip temannya si Unyil dengan
wajah berbeda tentunya.
Ustadz Usro sangat terkenal kegigihannya
dalam dakwah di Bandung Raya. Belakangan ini ia sangat sibuk memerangi SEPILIS (mirip-mirip nama penyakit
menular yang menyerang--ma'af--kelamin) singkatan dari Sekularisme, Pluralisme,
dan Liberalisme. Dulu sich, Ustadz Usro memiliki lawan yang lain yang juga
sama tangguhnya dengan SEPILIS itu tadi. Lawan yang dimaksud ialah TBC (juga
mirip nama penyakit yang menyerang paru-paru dan sekitarnya) singkatan dari Tachjoel, Bid'ah, dan Churafat (semua
dalam ejaan lama--Timun tidak yakin dengan singkatan ini karena ketika Timun
lahir ejaan yang disempurnakan atau EYD sudah diberlakukan, jadi Timun tidak
tahu pasti ejaan yang benar).
Ustadz Usro dan ustadz-ustadz lainnya
yang sehaluan dengannya kelihatan kurang berhasil dalam memberantas
"penyakit" keagamaan yang bernama TBC ini karena hingga detik ini
masih banyak orang yang melakukan praktek yang disebut oleh dirinya sebagai
praktek tahayul, bid'ah dan khurafat.
Masih banyak orang yang melakukan tahlilan
ketika ditinggalkan meninggal oleh salah seorang kerabatnya--atau tetangganya.
Masih banyak orang yang melakukan ziarah kubur dan memanjatkan do'a di kuburan
baik siang maupun malam. Masih banyak orang yang menghadiahkan bacaan
al-Fatihah maupun surah Yasin kepada seseorang baik yang masih hidup maupun
yang sudah dipanggil Tuhan. Masih banyak orang yang mempercayai karomah dari orang-orang tertentu yang
darinya keberkahan akan mengalir laksana air. Masih banyak yang pergi ke dukun
baik dukun yang sudah tua maupun yang masih cilik dengan sebuah batu yang
menawarkan kesembuhan instan bagi orang-orang yang percaya. Masih banyak yang
begini dan begitu.
Semua "penyakit" itu masih ada
dalam diri masyarakat kita dan belum pernah "tersembuhkan" secara
tuntas. Sudah banyak waktu dan tenaga juga uang yang dihabiskan untuk
memberantas semua praktek yang dianggap penyakit ini akan tetapi melihat hasil
yang dicapai maka Ustadz Usro terpaksa harus menghela nafas dalam-dalam dan
mengurut dada (dadanya, bukan dada orang lain!).
Sekarang Ustadz Usro melihat ada
"penyakit" lain yang ada di masyarakat; "penyakit" yang
juga harus secepatnya "disembuhkan" karena takut ia menular dan
menyebar cepat di tubuh masyarakat muslimin Indonesia. Ustadz Usro sekarang
memiliki dua musuh lainnya yang tidak kalah sakti. Ini semua menyebabkan
dirinya makin militan. Di usianya yang kian menyenja ia tampak makin garang dan
gagah--segagah karang. Itulah yang ditakutkan Timun. Timun sekarang akan
berhadapan dengan lawan diskusi yang bukan saja melebihi dirinya dalam ilmu
agama, juga dalam hal usia, pengalaman, dan agresifitas. Inilah yang membuat
dirinya was-was.
Berulangkali Timun menenangkan dirinya
dengan bernyanyi kecil. Suaranya lirih bergetar. Makin lama malah ia makin
gugup, gugup karena mengingat diskusi yang akan ia hadapi, ditambah gugup
karena mendengar suara lirih yang dikeluarkan oleh mulutnya. Ia kemudian
mencoba untuk menenangkan dirinya dengan membaca. Juga tidak berguna, tidak
mendatangkan hasil yang bisa diandalkan untuk menenteramkan hatinya. Akhirnya
Timun berdo'a di dalam hati karena ia tidak ingin do'anya didengar orang lain
(nanti siapa tahu dicontek!). Cukup Tuhan dengan dirinya saja yang bisa
mendengarkan do'a itu.
Ia berdo'a agar diberikan
kekuatan hujjah dan ketajaman logika dalam diskusi nanti; tidak lupa
juga ia memanjatkan do'a bagi gurunya--ustadz Rahmat--sekaligus meminta do'a
dari gurunya yang sudah lama meninggal itu. Timun yakin ustadznya bisa
mendengarkan do'a dirinya dari jauh dan ia juga yakin ustadznya akan mendo'akan
yang terbak bagi dirinya. Biar orangnya sudah meninggal tapi kan arwahnya masih
hidup. Orang yang sepanjang hidupnya dihabiskan untuk berbakti dan beribadah,
memberi makan orang-orang miskin, memberi pakaian pada orang-orang yang
setengah telanjang karena tidak memiliki pakaian, selalu membela orang-orang
tertindas yang tak berdaya untuk melawan orang-orang kuat atau melawan
orang-orang yang dekat atau memiliki kekuasaan, orang yang sepanjang hidupnya
berjuang di jalan Allah seperti itu Timun yakin setelah kematiannya ia akan
tetap mendapatkan rizki dari Tuhannya seperti yang telah dijanjikan dalam
al-Qur'an:
"Janganlah
kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan
mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki" (QS. Ali Imran: 169)
"Pak Timun, acaranya akan dimulai.
Mari masuk ke studio 2", suara lembut mengejutkan Timun yang telah selesai
memanjatkan do'a pribadinya. Suara lembut itu berasal dari seorang perempuan
kecil dengan tinggi sedang, berjilbab putih berpakaian serba biru yang rupanya
merupakan seragam hariannya di stasiun TV itu. Ketika mereka berdua berjalan
melalui lorong-lorong yang cukup lapang untuk lewat tiga orang sekaligus, Timun
sekali lagi membayangkan wajah pak ustadz Usro. Wajahnya sudah menua karena
memang sudah tua; dipenuhi kerut marut di sana-sini. Cambang dan janggutnya
sudah memutih bagai salju. Pandangannya tajam namun terlihat penuh
wawasan--bukan pandangan tajam yang dimiliki oleh polisi satlantas yang sedang menunggu mangsa pengendara motor yang
sering melakukan kesalahan—kecil maupun desar. Secara keseluruhan wajah dan
tubuh pak Ustadz Usro itu memancarkan aura aneh, aura magis. Timun sekali lagi
bergidik. Tapi ia jauh lebih tenang sekarang setelah memanjatkan do'a cukup
panjang berulang-ulang.
"Mari pak Timun! Presenternya dari
tadi sudah menunggu", lanjut si embak-embak tadi. Ia berjalan
dengan cepat dan gesit, sangat khas orang lapangan. Timun agak sedikit heran
karena sedari tadi ia tidak menemukan Ustadz Usro. Ia tadi sendirian saja di
ruang tunggu dan ia sudah menunggu setengah jam yang lalu.
Timun didudukkan di kursi yang
berhadapan dengan kursi presenter.
Singkat kata sekarang mereka sudah on air. Timun terlihat agak tenang
dibandingkan tadi di dalam ruang tunggu. Ia sudah memasrahkan sepenuhnya apa
yang akan terjadi kepada sang maha kasih, sang maha sayang. Ia hanya akan
mengandalkan apa yang ia miliki yaitu akal sehat dan kecerdikan dalam berdebat.
Tapi sesuatu telah terjadi. Sesuatu yang
ada di luar perkiraan Timun. Pak Ustadz Usro ternyata batal hadir. Salah
seorang santrinya datang ke stasiun Parahyangan TV menyampaikan permohonan
ma'af secara tertulis mengatakan bahwa al-ustadz Usep Rohayat al-Bandungi batal
hadir karena sakit jantungnya mendadak kumat. Ia terpaksa berbaring di rumah
sakit.
Tapi, the show must go on with or without al-ustadz.
TV HOST : "Permisa, kita
berjumpa lagi dalam acara mingguan yang sering anda tunggu-tunggu: POLEMIKITA, polemik diantara kita.
Sebuah acara yang mengetengahkan kasus-kasus yang lagi hangat diperbincangkan
di pelbagai media di seluruh nusantara. Di sini telah hadir diantara kita
seorang narasumber, yaitu bapak Timun Laut, assalamu'alaykum
pak Timun”
TIMUN : "Wa'alaykum salam"
TV HOST : "Terimakasih
atas kedatangannya. Pemirsa, seperti anda ketahui, beliau adalah seorang guru
bahasa Inggris yang mengajar di sebuah kursus terbesar di Indonesia. Beliau
juga dikenal khalayak ramai lewat tulisan-tulisannya yang menghiasi berbagai
media masa di tanah air ini. Beliau sering menulis tentang ukhuwwah islamiyyah atau
persaudaraan antara kaum muslimin. Beliau juga sering menulis tentang
perbandingan agama atau madzhab. Karena tulisan beliaulah maka beliau selain
dikenal orang banyak, juga terkadang sering diserang orang baik itu lewat
tulisan lagi di surat kabar atau majalah; atau secara lebih pribadi lewat pesan
singkat lewat hape. Bukan begitu pak Timun?"
TIMUN : "Persis sekali
he.......he.......he......."
TV HOST : "Banyak orang
yang telah atau sedang berpolemik dengan beliau ini, diantaranya ialah
al-mukarromah al-ustadz Usep Rohayat al-Bandungi yang lebih kita kenal sebagai
ustadz Usro yang beberapa hari ini sering menulis di surat kabar dan juga
memberikan pandangannya dalam acara televisi serta dalam ceramah-ceramahnya
dimana beliau sering mengemukakan ketidak setujuannya atas tulisan-tulisan pak
Timun ini. Sedianya, pak ustadz akan hadir bersama kita kali ini akan tetapi
beliau mendadak sakit dan sekarang ada di rumah sakit. Jadi dengan sangat
menyesal kami kali ini tidak bisa memberikan kepuasan kepada anda lewat
perbincangan yang sudah tentu sangat menarik antara mereka berdua. Akan tetapi
seperti kata pepatah mengatakan "tidak ada rotan akar pun jadi" maka
kami tetap menyiarkan acara ini kepada anda secara live.”
“Eh ............. pak Timun. Kita
langsung saja ke pokok permasalahan. Pak ustadz Usep Rohayat al-Bandungi sering
menyerang pendapat pak Timun ini dalam berbagai kesempatan. Pak Timun sering
disebutnya terlalu memberikan kelonggaran dalam pandangannya terhadap mereka
yang berasal dari agama lain atau mereka yang beragama Islam tapi dianggap
sudah menyimpang terlalu jauh dari Islam walau mereka sudah mengemukakan kepada
umum bahwa mereka itu juga kaum muslimin seperti kita-kita ini. Pak ustadz
mengatakan bahwa ada sebagian dari kaum muslimin ini ada yang hendak
mengubah-ubah syari'at; sehingga mereka sampai berani bukan saja mengubah-ubah
penafsiran dari al-Qur'an melainkan juga berani membuat yang seumpama
al-Qur'an. Mereka telah berhasil memalsukan al-Qur'an dan memberikan pelajaran
dari al-Qur'an palsu yang mereka buat itu untuk pengajaran di dalam
pengajian-pengajian yang dilakukan di kalangan internal mereka. Bagaimana
menurut pak Timun atas klaim yang diajukan oleh pak Ustadz itu?"
TIMUN : "Alhamdulillah. Sebelumnya saya ucapkan
syukur tak terhingga atas dipanggilnya saya ke dalam acara ini. Sungguh saya
ini bukan orang yang pas untuk acara seperti ini. Saya bukan seorang
intelektual bukan pula seorang ulama atau ustadz yang memiliki ilmu yang
tinggi, jadi sebenarnya saya merasa sedikit rendah diri untuk tampil dalam
acara seperti ini. Tapi karena saya sudah diundang dan ini merupakan kebanggaan
tersendiri bagi saya, maka saya akan menggunakan kesempatan emas ini untuk
menjelaskan posisi saya. Sejujurnya saya akui bahwa saya bukanlah orang
satu-satunya yang memiliki pendapat atau keyakinan atas pluralisme. Sama
seperti halnya pak ustadz Usro yang juga memiliki pendapat yang diyakini orang
banyak, saya juga memiliki pendapat yang diyakini oleh orang banyak pula,
bahkan mungkin lebih banyak lagi karena pendapat yang saya yakini ini juga
diyakini oleh orang-orang lain dari madzhab yang lain dan atau dari agama yang
lain.”
“Akan halnya tadi menanggapi pernyataan
al-ustadz tentang orang-orang Islam yang berusaha menyimpangkan kita dari
ajaran asli mungkin itu tidak sepenuhnya benar. Kalau kita tempatkan diri kita
dalam posisi berbaik sangka, maka kita akan lihat bahwa orang-orang yang
memiliki keyakinan lain dengan kita itu sebagai orang-orang yang sedang mencari
kebenaran. Cuma mungkin yang mereka temukan berbeda dengan yang kita temukan.
Jadinya begitu. Kita memiliki perbedaan dengan mereka. Tapi saya yakin mereka
tidak berkehendak untuk membuat suatu penyimpangan. Apabila mereka kelihatan
menyimpang dari sisi penglihatan kita, maka itu tidak lebih karena mereka telah
tiba pada suatu kesimpulan yang berbeda dengan kita. Tidak perlu kita terlalu
khawatir dan curiga kepada mereka apalagi kalau kita sendiri sudah merasa bahwa
kita sudah sampai pada suatu kebenaran yang hakiki. Untuk apa merepotkan diri
sendiri untuk memikirkan orang lain yang kita anggap belum sampai pada
kebenaran yang sebenarnya.”
“Kita sebenarnya berangkat dari titik
awal yang sama yaitu mencari keridloan Allah. Dan dalam perjalanan kita untuk
sampai kepadaNya kita menempuh jalan yang berbeda. Ada yang lurus dan ada pula
yang berkelok-kelok. Ada yang mendatar dan penuh keindahan ada juga yang terjal
dan mendaki penuh onak dan duri. Yang ditempuh oleh pak ustadz mungkin yang
lurus dan datar, sedangkan yang ditempuh oleh orang lain, mungkin itulah yang
berkelok-kelok, terjal dan mendaki. Sedangkan untuk al-Qur'an palsu saya kira
mungkin kita telah salah paham. Saya pikir mereka telah membuat tafsir dari
al-Qur'an itu sendiri karena saya yakin bahwa al-Qur'an palsu itu tidak pernah
ada. Jadi yang kita sangka al-Qur'an palsu itu, mungkin saja itu hanya berupa
tafsir dari al-Qur'an atau kumpulan ajaran yang disarikan dari al-Qur'an persis
seperti kitab-kitab fiqih kita yang merupakan penjabaran dari hukum-hukum Allah
yang ditulis secara garis besar dalam al-Qur'an. Jadi, sekali lagi, al-Qur'an
palsu itu sangat kemungkinan besar tidak ada dan tidak akan pernah ada sampai
kapanpun".
TV HOST : "Bagaimana
anda sampai pada kesimpulan seperti itu? Bukankah mereka yang telah dituduh
sesat itu memang memiliki kitab suci lain? Kalau tidak salah kita juga pernah
melihat bersama-sama dalam salah satu tayangan kami dimana seseorang
menunjukkan sebuah kitab yang diyakini sebagai al-Qur'an palsu"
TIMUN : "Seperti yang
saya sebutkan tadi, saya tidak percaya mereka memiliki al-Qur'an yang lain.
Bukankah al-Qur'an memiliki keunikan sendiri dibandingkan dengan kita suci
lainnya. Al-Qur'an itu satu-satunya kitab yang memberikan jaminan bahwa tidak
mungkin ada lagi yang seumpamanya. Al-Qur'an malah menyebutkan bahwa apabila manusia dan jin bersekutu untuk
membuat al-Qur'an tandingan maka niscaya mereka tidak bisa membuatnya meskipun
mereka saling membantu satu sama lainnya (QS. Al-Israa': 88). Selain itu
juga ada jaminan dari Allah terhadap al-Qur'an ini seperti yang terdapat dalam
al-Qur'an itu sendiri yaitu dalam ayat:
"Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar
menjaganya" (QS. Al-Hijr: 9)”
“Jadi karena itulah saya sama sekali
tidak percaya bahwa saudara-saudara kita dari aliran lain itu memiliki
al-Qur'an yang lain.”
“Itu juga sekaligus menerangkan bahwa
apabila kita meyakini ada al-Qur'an lain selain dari yang telah kita sepakati
bersama, maka itu adalah keyakinan yang bathil. Mengapa? Karena dengan meyakini
bahwa ada al-Qur'an yang lain, artinya kita menyangsikan penjagaan yang telah
dilakukan oleh Allah terhadap al-Qur'an. Kita menyangsikan al-Qur'an itu
sendiri karena salah satu ayatnya, yaitu ayat tentang penjagaan al-Qur'an, kita
ragukan. Demikian".
TV HOST : "Jadi kalau
ada orang yang percaya bahwa ada al-Qur'an lain selain dari al-Qur'an yang
telah kita sepakati maka orang itu memiliki keyakinan yang bathil.
Begitu?"
TIMUN : "Persis. Karena
Allah sendiri lewat al-Qur'an telah menjamin bahwa al-Qur'an itu tidak mungkin
dipalsukan".
TV HOST : "Baiklah.
Sebelum kita melanjutkan pembicaraan ke tahap selanjutnya, kita tunda dulu
sejenak untuk memberikan kesempatan pada commercial break berikut ini. Pemirsa, kita lanjutkan lagi
perbincangan yang menarik ini, setelah ini".
(Commercial
Break dulu; Timun dan TV Host bersama-sama bersantai dulu sejenak sambil
minum secangkir teh hangat dan sejumput roti bakar yang dipesan dari warung
roti bakar di sebelah stasiun TV. Maklum televisi lokal budget-nya pun tidak begitu banyak.
Timun menikmati rotinya dengan tergesa-gesa karena iklan yang lewat tidak
begitu banyak)
TV HOST : "Permisa,
kita lanjutkan lagi acara kita, POLEMIKITA,
polemik diantara kita. Pak Timun, ada sedikit ganjalan bagi sebagian dari kami
untuk memberikan toleransi kepada paham pluralisme
yaitu sebagian dari kami berpendapat bahwa pluralisme
itu sejenis paham moderen yang dibuat oleh orang moderen. Mereka yang sudah
muak dengan pertikaian yang ada antara orang yang berbeda agama atau antara
orang-orang yang ada dalam satu agama yang sama kemudian membikin-bikin suatu
ajaran baru, paham baru, yang kira-kira bisa mempersatukan perbedaan yang ada.
Untuk menghilangkan pertikaian itu maka dibuatlah paham pluralisme untuk menjadi jembatan semua agama dan semua keyakinan
yang ada. Istilahnya ini bisa dijadikan agama dunia atau global religion oleh sebagian orang
tadi. Yang ditakutkan oleh kita ialah hilangnya agama kita sendiri karena agama
kita telah dileburkan menjadi satu dengan agama-agama lainnya. Ketika kita
menyebutkan semua agama itu benar maka untuk apalagi ada agama-agama yang
berbeda-beda, karena toh semuanya sama walau tidak sebangun. Bagaimana menurut
pak Timun?"
TIMUN : "Ini pertanyaan
yang menarik yang menurut saya mungkin merupakan esensi keseluruhan dari
perbedaan saya dari pak Ustadz Usro, tanpa mengurangi rasa hormat saya pada
beliau; sejujurnya ini saya katakan dalam kesempatan ini karena ini bagian dari
sifat orang yang menjunjung tinggi rasa pluralistik. Untuk menjawab ini
sepertinya saya harus memilah-milah terlebih dahulu.”
“Pertama, apakah benar paham pluralisme itu berasal dari jaman
sekarang dan bukan dari jaman Nabi? Kalau ini berasal dari jaman sekarang, maka
ini mungkin juga merupakan suatu bid'ah
yang dibuat-buat orang pada jaman ini. Sebelum menjawab itu perkenankanlah saya
menceritakan suatu riwayat yang berasal dari jaman Nabi. Pada jaman dahulu,
jaman ketika Rasulullah masih hidup bersama kita, ada kebiasaan yang sangat
menarik di kalangan masyarakat Arab.”
“Misalnya, apabila dalam sebuah keluarga
di masyarakat Arab jahiliyyah itu memiliki anak banyak akan tetapi anak-anaknya
itu satu per satu mati, mungkin karena kurang gizi atau adanya suatu penyakit,
maka keluarga itu akan memaksa satu anak mereka untuk pindah agama menjadi
pemeluk agama Yahudi. Mereka
melakukan itu, yaitu me-Yahudi-kan
anaknya itu agar anaknya itu terus hidup dan tidak mati seperti anak-anaknya
yang lain. Ketika Islam datang, orang-orang tua dari anak-anak itu masuk Islam
dan mereka ingin pula memaksa anak-anak mereka menjadi beragama Islam. Dan
berkenaan dengan peristiwa itu turunlah ayat:
"Tidak
ada paksaan dalam agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada
jalan yang sesat"
“Itu ayat al-Qur'an, surah Al-Baqarah,
ayat ke-256. Pada waktu itu Rasulullah bersabda: "Allah memberikan
kebebasan memilih kepada sahabat-sahabatmu. Kalau mereka memilih kamu, maka
mereka termasuk kamu. Kalau mereka memilih mereka (Yahudi), mereka termasuk
Yahudi" (lihat S.R. Ridha, Al-Manar 3: 36). Ayat itu sendiri turun
setelah perang bani Nadhir yang terjadi pada bulan Syawwal, tahun ketiga
Hijriyyah. Dan itu juga terjadi setelah ada kejadian percobaan pembunuhan
terhadap Nabi oleh orang-orang Yahudi.”
“Nah, sekarang anda bayangkan. Nabi yang
pernah hampir dua kali dibunuh orang-orang Yahudi saja masih memperlihatkan
rasa hormatnya pada agama lain. Ia tidak memperkenankan sahabat-sahabatnya dari
golongan Anshar untuk memaksa anak-anak mereka memeluk Islam setelah mereka
me-Yahudi-kan anak-anaknya itu. Bandingkan dengan yang kita lakukan terhadap
orang-orang yang kita anggap sesat itu. Kita dengan pongahnya meminta mereka
untuk masuk kembali kepada Islam. Kalau kita mengaku sebagai pengikut Nabi
Muhammad yang suci, maka kita juga hendaknya tidak memaksa orang-orang yang
kita anggap sudah keluar dari Islam itu dengan ancaman, paksaan, intimidasi,
serta perlakuan sadis lainnya.”
“Satu lagi riwayat akan saya ketengahkan
di sini. Menurut riwayat, pada suatu ketika ada seorang sahabat dari golongan
Anshar yang bernama Abu Hushayn. Dua orang anak dari Abu Hushayn ini murtad dan
memeluk agama Nasrani setelah keduanya didakwahi oleh para pedagang dari Syam.
Bapak keduanya, yaitu Abu Hushayn, ingin memaksa mereka untuk kembali kepada
Islam. Rasulullah melarangnya dan turunlah ayat seperti yang sudah saya
sebutkan tadi (lihat At-Thabarsi, Majma' al-Bayan fi tafsir
al-Qur'an 1: 630; dan lihat juga S R Ridha, Al-Manar 3: 36).”
"Tidak
ada paksaan dalam agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan
yang sesat" (QS. Al-Baqarah: 256)”
“Rasulullah bersabda: "Jangan paksa dia, karena orang yang
terpaksa masuk satu agama, pasti beragamanya dengan cara munafik"
“Kita harus masuk kepada satu agama itu
dengan seluruh keyakinan kita, tidak boleh setengah-setengah. Dalam Al-Qur'an
disebutkan:
"Masuklah
kedalam Islam secara keseluruhan" (QS. Al-Baqarah: 208)”
“Bagaimana seseorang itu masuk Islam
secara keseluruhan, sedangkan ketika mereka masuk ke dalam Islam, mereka
masuknya dengan cara terpaksa? Ini juga menyiratkan bahwa kita tidak boleh
memaksa orang kedalam Islam karena itu tadi, masuk kedalam Islam itu harus
dengan seluruh keyakinan.”
“Nah, itulah aksi pluralistik yang terjadi pada masa Rasulullah. Rasulullah tidak
pernah memaksa orang-orang untuk masuk menjadi pemeluk Islam. Sekarang, sekali
lagi, coba anda lihat apa yang dilakukan oleh sebagian dari kita. Kita memaksa
orang-orang yang telah kita anggap sesat untuk kembali ke ajaran Islam yang
kita amalkan. Kita memaksa mereka untuk bertaubat dan kembali pada Islam. Ini
jelas berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah yang tidak pernah
memaksa orang untuk masuk kedalam Islam. Lagipula kalau mereka kita paksa masuk
atau masuk kembali kepada Islam itu sama dengan merendahkan Islam itu sendiri.
Kok, Islam kita tawarkan begitu murahnya. Kok kita meski maksa orang. Kok kita
tidak berhasil membuat mereka pasrah dan berserah diri masuk Islam. Kok kita
tidak bisa membuat mereka membutuhkan Islam sehingga ketika mereka masuk Islam,
itu karena mereka butuh dengan Islam, bukan karena paksaan.”
“Kalau mereka itu akhirnya kembali ke
Islam setelah kita paksa, setelah kita ancam, setelah kita bakar mesjid atau
tempat peribadatannya, maka saya yakin ke-Islam-an mereka itu hanya karena
mereka takut saja dan bukan karena sukarela. Mereka terpaksa karena takut
binasa. Islam itu seharusnya diajarkan dengan penuh kedamaian, bukan dengan
paksaan. Dengan kata lain mereka boleh mengajak orang-orang yang mereka anggap
sesat itu agar mereka kembali kepada Islam akan tetapi caranya harus santun dan
penuh toleransi serta tetap pada pesan perdamaian seperti yang terkandung dalam
ajaran Islam. Akan tetapi apabila mereka menolak kita setelah kita mengajak
mereka, maka kita tidak boleh memaksa mereka baik dengan ancaman apalagi dengan
praktek-praktek kekerasan. Itu tidak diajarkan Islam.”
“Sekarang tentang sebagian orang yang
menganggap bahwa pluralisme itu sama
dengan mencampur-adukan agama. Itu jelas keliru. Dari namanya saja jelas
PLU-RA-LIS-ME artinya banyak, plural.
Bukankah arti dari plural itu jamak atau banyak. Kalau mempersatukan semua
agama kedalam satu wadah atau mencampur-adukan agama menjadi sebuah agama
global seperti yang anda katakan tadi, maka itu artinya menyatukan, menjadikan
satu. Itu seharusnya diberinama SINGULARISME bukan PLURALISME. Pluralisme itu
sendiri menganggap bahwa agama-agama lain itu, atau keyakinan-keyakinan lain
itu, atau aliran-aliran lain itu mungkin memiliki kebenarannya masing-masing
tanpa kita harus tunduk pada kebenaran itu karena kita sendiri telah tunduk
pada satu kebenaran yang telah kita yakini.”
“Imam Syafi'i pernah berkata: “Madzhab saya ini benar tapi ada kemungkinan
salah, dan madzhab orang lain itu salah tapi ada kemungkinan benar.”
“Lalu anda misalnya bertanya: 'Kalau
begitu ia tidak yakin dong dengan ajaran agamanya'. Bukan, bukan begitu
permasalahannya. Imam Syafi'i itu berkata demikian karena beliau itu rendah
hati. Imam Syafi'i itu orang yang sangat tawadhu
dan tenggang rasa sekaligus. Ia tidak ingin menyakiti perasaan orang lain yang
memiliki keyakinan berbeda. Sudah sering saya katakan bahwa perbuatan sombong
atau tinggi hati atas keutamaan yang kita miliki itu merupakan perbuatan Iblis.
Iblis diusir dari surga karena merasa lebih baik daripada Adam. Nah, kita yang
mempercayai sebuah madzhab atau sebuah agama sebagai kebenaran yang sangat kita
yakini tidak boleh memandang bahwa orang lain dari agama atau madzhab lain
sebagai orang aneh, sesat, kafir, dan pantas masuk neraka. Kita yakini saja
kebenaran yang kita yakini tanpa usah meributkan keyakinan orang yang tidak
kita yakini. Itulah esensi dari paham pluralisme.
Demikian".
TV HOST : "Alhamdulillah. Sudah terang sekarang.
Seterang mentari pagi di hari yang cerah di musim kemarau. Kiranya tidak ada
lagi ganjalan di hati setelah mendengar penjelasan dari pak Timun. Tadinya saya
menganggap paham pluralisme ini
datangnya dari jaman sekarang dan dibuat-buat orang untuk merukunkan seluruh
kelompok keagamaan atau afiliasi aliran yang bermacam-macam bentuknya. Dengan
melihat sejarah sudah jelaslah bahwa Islam memiliki cara yang jitu untuk
merukunkan seluruh kelompok keagamaan dan keyakinan itu. Tidak salah kalau
agama Islam itu disebut Islam karena ternyata ia mendatangkan kedamaian
bukan saja bagi pemeluknya tetapi juga bagi orang yang tidak memeluknya. Akan
tetapi masih ada satu yang masih mengganjal pikiran saya. Kalau Islam itu
sedemikian tolerannya terhadap agama dan keyakinan orang lain, mengapa sekarang
ada beberapa kelompok orang yang secara notabene
merupakan pemeluk Islam tapi tidak toleran terhadap perbedaan. Apa itu artinya
karena mereka kurang paham dengan Islam atau bagaimana? Tapi sebelum menjawab
pertanyaan itu kita potong dulu dengan commercial
break berikut ini.”
“Pemirsa yang budiman, yang sejak tadi
menonton acara ini, kita lanjutkan perbincangan kita yang makin menarik saja
setelah ini.”
(Commercial
break berlangsung dengan iklan yang juga tidak terlalu banyak--sama seperti
commercial break pertama. Maklum
acaranya kurang peminat dan ditayangkan oleh televisi lokal. Ketika commercial break berlangsung Timun
meneruskan makan roti bakar rasa coklat keju dan minum teh hangat yang sekarang
sudah kehilangan kehangatannya--dengan tergesa-gesa)
TV HOST : "Pemirsa yang
budiman dan dirahmati Allah, kita kembali kepada perbincangan kita dengan
mendengarkan jawaban dari pak Timun. Silahkan pak Timun".
TIMUN : "Islam
menawarkan kedamaian kepada seluruh pemeluknya dan juga kepada bukan pemeluknya
karena Islam itu rahmatan lil 'alamin,
rahmat bagi sekalian alam. Lalu mengapa sebagian dari pemeluknya ada yang tidak
ramah dan cenderung galak terutama kepada orang yang berada di luar
lingkungannya? Mengapa mereka bertindak anarkis terhadap orang yang berbeda
dengan dirinya? Terus terang. Sebenarnya pertanyaan ini seharusnya ditujukan
kepada mereka yang dianggap bertindak anarkis itu. Merekalah yang paling tahu
mengapa mereka melakukan itu semua. Merekalah yang paling tahu mengapa mereka
melakukan tindak kekerasan untuk membuat orang lain kembali kepada Islam, itu
menurut istilah mereka. Mereka-lah seharusnya yang menjawab pertanyaan ini.
Saya sendiri tidak tahu persis mengapa mereka melakukan itu. Akan tetapi kalau
mengira-ngira saja mungkin bisa. Tapi sekali lagi karena saya tidak tahu dengan
persis maksud mereka, maka kemungkinan saya keliru dalam menduga-duga maksud
mereka pasti besar sekali.”
“Saya berpendapat bahwa mereka melakukan
itu karena merasa terancam, itu satu. Terancam karena ada aliran lain,
keyakinan lain yang tumbuh berkembang. Mereka merasa itu sebagai saingan.
Seharusnya mereka memandang orang-orang yang berbeda dengan dirinya itu sebagai
mitra tanding. Mereka bertanding untuk sama-sama melakukan kebaikan ...... fastabiqul khairat (QS.
Al-Baqarah: 148). Mereka harus melakukan perbuatan baik yang sebanyak-banyaknya
hingga orang-orang lain melihat bahwa golongan mereka-lah yang melakukan
kebaikan yang jauh lebih banyak. Saya kira itu lebih positif apabila dilakukan
oleh mereka. Sama-sama berkonsentrasi kepada kebaikan diri sendiri, amalan
sendiri. Daripada memusingkan diri memikirkan amalan orang lain dan melupakan
amalan diri sendiri karena saking sibuknya memikirkan amalan orang lain.”
“Kedua, mereka merasa rendah diri dengan
yang ada di luar diri mereka. Mereka melihat dengan jelas kelompok keagamaan
yang lain hidup berkecukupan, berpendidikan tinggi, memiliki akses terhadap
kekuasaan yang juga cukup lumayan. Mereka melihat itu semua dan merasa rendah
diri.”
“Yang ketiga, sebagian dari mereka
sangat yakin bahwa dengan Islam-lah setiap permasalahan hidup di dunia ini bisa
dipecahkan.....'”
TV HOST : "Ma'af pak
Timun. Bukankah itu baik adanya. Mereka merasa bahwa Islam bisa menjadi
pemecahan terhadap setiap masalah hidup mereka. Lalu apanya yang salah?"
TIMUN : "Anda benar.
Sebenarnya memang tidak ada yang salah dengan itu. Yang salah ialah mengira
bahwa Islam versi mereka saja yang bisa menjadi pemecah dari setiap persoalah
hidup. Mereka lupa bahwa ada banyak sekali aliran dalam Islam. Dan itu mungkin
sudah takdir Allah. Baginda Nabi berwasiat bahwa sepeninggalnya umat Islam itu
akan pecah menjadi beberapa golongan. Semua golongan itu akan mengira bahwa
golongannya saja yang sahih dan benar. Yang lain sesat semua. Anda bisa
bayangkan kalau Allah mencabut sedikit saja perasaan cinta dari mereka. Mereka
jadi tidak memiliki rasa cinta, rasa kasih dan sayang. Mungkin sudah sejak dulu
umat Islam musnah dari planet Bumi ini karena saling bunuh membunuh, karena
setiap orang akan merasa diri paling benar dan paling merasa berhak untuk
memaksa orang lain supaya ikut kepada kebenaran yang telah diikutinya. Yang
satu memaksa yang lain; yang dipaksa akan balik menyerang dan kalau menang akan
balik memaksa atau membunuh apabila tidak dituruti. Itu benar-benar bayangan
yang amat menyeramkan. Setiap orang saling meniadakan hanya karena merasa diri
paling benar.”
“Tidak ada yang salah apabila kita
melihat Islam sebagai jawaban terhadap masalah kehidupan. Yang salah ialah
apabila kita memaksakan pendapat kita tentang Islam kepada orang lain yang
tidak memiliki pendapat yang sama. Jadi yang tidak boleh ialah fanatisme buta
terhadap madzhab kita dan perasaan lebih dari orang lain yang pada akhirnya
melihat orang lain dengan pandangan merendahkan dan menghinakan. Ini yang
salah.”
“Terakhir, saya kira mereka melakukan
itu karena perasaan dengki terhadap orang lain. Ini ada dalam al-Qur'an dalam
surat al-Baqarah ayat ke-213, yang berbunyi:
"Manusia
itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus
para Nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah
menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara
manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih
tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab,
yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena
dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk
orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan
itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang
dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus".
“Kedengkian-lah yang telah menjadi sebab
pertentangan itu timbul; bukan agamanya yang membuat mereka bertikai satu sama
lain. Sebenarnya ini juga cukup mengherankan kita. Mengapa mereka harus merasa
dengki kepada orang-orang yang sudah mereka anggap sesat? Kalau mereka merasa
benar dan akan masuk surga karenanya, maka apa gunanya mereka mendengki
orang-orang yang mereka anggap sesat dan hina? Kita kan tahu bahwa perasaan
dengki dan hasad itu akan memakan
setiap amalan kita laksana api membakar kayu bakar. Itu kerugian yang sangat
nyata. Kerugian pertama, kita terlalu memusingkan keyakinan dan amalan orang
lain. Jadi kita lupa akan amalan kita sendiri, kita lupa untuk melakukan amal
baik dan shaleh. Kita terlalu sibuk dan larut memikirkan amalan orang lain yang
menurut kita salah. Itu satu. Yang kedua, amalan kita yang sedikit itupun
nantinya habis juga dimakan rasa dengki dan hasad.
Ketika kita menghadap Allah, amalan apa lagi yang kita miliki untuk
mengharapkan ridho Illahi? Amalan
baik apa yang kita punya, yang bisa membentengi kita dari api neraka?”
TV HOST : "Alhamdulillah, sekarang segala
sesuatunya lebih jelas lagi. Sekarang pertanyaan terakhir sebelum kita menutup
acara ini. Dalam sebuah tulisan, pak Timun menjelaskan bahwa setiap
permasalahan yang ada diantara setiap pemeluk agama dan setiap orang yang
berbeda pendapat dalam satu perkara dalam hal agama, akan diselesaikan di
akhirat kelak apabila mereka tidak sanggup menyelesaikannya di dunia ini dengan
baik. Jadi penyelesaian dari kasus-kasus ini akan dan harus menunggu hingga ada
pengadilan akhirat kelak.”
“Sekarang pertanyaan saya ialah: Apa
dasar dari pernyataan pak Timun ini? Apa pernyataan ini hanya dibuat untuk
menenteramkan setiap orang yang berbeda pendapat saja, atau bagaimana? Atau
mungkin pak Timun memang tidak memiliki jawaban terhadap masalah ini. Karena
pak Timun tidak sanggup mendamaikan mereka yang bertikai lalu pak Timun
menyuruh mereka untuk menunggu hingga datangnya hari penghisaban. Padahal
mereka mungkin butuh penyelesaiannya sekarang, secepatnya kalau bisa. Supaya
tidak ada lagi darah yang tertumpah. Tidak ada lagi pertikaian yang melelahkan.
Bagaimana? Silahkan pak Timun".
TIMUN : "Anda benar.
Saya memang tidak punya jawaban atas hal itu. Kalau ada dua orang yang bertikai
dalam satu perkara keagamaan, kalau itu pelik dan susah didamaikan, susah
diselesaikan, susah dicari pemecahannya, maka kemungkinan besar saya akan
memberikan jawaban yang serupa, yaitu: saya tidak punya jawabannya. Saya
mungkin akan menyuruh mereka untuk menangguhkan pertikaian mereka, hingga hari
penghisaban. Untuk sementara mereka tidak usah bertikai. Cukup dengan saling
membiarkan saja. Mereka toh bisa hidup berdampingan dengan tidak saling
menyerang. Dengan tidak memusingkan perbedaan yang ada diantara mereka, mereka
tetap bisa tersenyum dan bertegur sapa. Toh mereka masih manusia. Harimau saja
kalau tidak sedang lapar, ia hanya melihatnya saja di kejauhan karena perutnya
masih kenyang".
TV HOST : "Ada dalil naqli yang menguatkan
pendapat anda, selain dalil aqli yang
anda sampaikan?"
TIMUN : "Ada. Tentu
saja ada. Saya tidak akan asal berbicara kecuali ada dasarnya"
TV HOST : "Apa
dalilnya?"
TIMUN : "Al-Qur'an.
Dalam surat An-Nisa ayat ke-59 disebutkan: "......Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya".
“Jadi kalau ada dua orang yang
berselisih paham hendaknya mereka kembalikan saja perbedaan paham itu kepada
Allah dan RasulNya. Nah, sekarang masalahnya ialah kapan kita bertemu Allah dan
RasulNya untuk mengadukan perselisihan itu, yaaaaaaa nanti di akhirat kelak.
Kalau bisa diselesaikan di sini dan kedua belah pihak sepakat itu lebih baik.
Mereka berdua bisa rukun lagi dan bersahabat lagi tanpa menyimpan dendam
kesumat satu sama lainnya. Tapi apabila permasalahannya terlalu rumit dan susah
dicari titik temunya, yaaaa itu tadi, kita kembalikan saja pada Allah dan
RasulNya".
TV HOST : "Bukankah
kita bisa mengambil dari al-Qur'an tanpa harus bertemu Allah langsung; dan kita
juga bisa mengambil hukum dari hadits tanpa usah menemui Rasulullah secara
langsung. Dengan itu kan kita bisa menyelesaikan setiap permasalahan yang ada
di dunia ini juga".
TIMUN : "Bisa saja.
Seperti yang saya sebutkan mereka bisa berdamai di dunia ini juga kalau
keduanya sepakat dalam perkara yang mereka perselisihkan itu. Mereka puas akan
hukum yang telah mereka rujuk. Mereka berdamai dan selesai. Tidah usah
memperpanjang masalah, tidak usah ribut satu sama lain.”
“Tapi untuk kasus tertentu, misalnya,
ada dua orang yang berdebat mengenai suatu perkara dan salah satu dari mereka
merujuk kepada al-Qur'an dan hadits untuk memperkuat posisinya akan tetapi ia
dibantah oleh orang yang kedua juga dengan menggunakan al-Qur'an dan hadits,
yang tentu saja berbeda. Atau bisa juga begini, dua-duanya menggunakan ayat
yang sama akan tetapi kesimpulannya berbeda karena mereka mengambil dari para
penafsir al-Qur'an yang berbeda. Itu bisa terjadi. Dan kalau itu terjadi,
mengembalikan perkara itu kepada al-Qur'an dan hadits menjadi kehilangan makna
karena mereka sudah melakukannya dan tetap saja tidak bisa bersepakat. Untuk
contohnya banyak sekali dalam kehidupan ini dimana ada orang yang memaknai ayat
yang sama tetapi hasilnya berbeda".
TV HOST :
"Misalnya?"
TIMUN : "Misalnya
ayat: 'Sesungguhnya orang-orang
mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa
saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan
beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati" (QS.
Al-Baqarah: 69)”
“Dengan tidak mengubah-ubah arti dari
ayat itu. Kita biarkan ayat itu apa adanya. Bagi saya ayat itu menegaskan bahwa
orang Islam, orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang lain yang memiliki keyakinan
yang berbeda-beda semua akan mendapatkan pahala dari Allah asal mereka beriman
kepada Allah, hari kemudian, dan mereka juga suka beramal shaleh, berbuat baik
kepada sesama makhluk ciptaan Allah. Jadi ayat itu jelas-jelas mengandung nilai
pluralitas di dalamnya.”
“Tapi ayat yang sama oleh orang lain
ditafsirkan berbeda. Mereka menafsirkan berbeda. Mereka menambahkan arti lain
kedalam ayat itu yang tadi saya kutip tanpa menambah-nambah penafsiran apapun
lagi. Mereka menyebutkan bahwa Yahudi dan Nasrani serta Shabiin yang dimaksud
dalam ayat itu ialah mereka yang sudah masuk Islam dengan alasan Allah itu nama
Tuhan-nya orang Islam. Jadi beriman kepada Allah itu artinya sudah masuk Islam.
Ayat yang tadinya berbicara tentang pluralitas
tiba-tiba berubah menjadi sangat sektarian
dan tidak mengenal belas kasihan. Nah, dengan itu jadi sulit kita mencapai kata
sepakat karena dua-duanya menggunakan ayat yang sama dengan penafsiran berbeda.
Lihatlah! Dua-duanya mengembalikan perselisihan mereka kepada al-Qur'an akan
tetapi masih saja mereka berselisih pendapat satu sama lainnya. Untuk kasus
seperti itu, kedua belah pihak harus menahan diri. Nanti saja kita kembalikan
kepada Allah dan RasulNya di akhirat kelak".
TV HOST : "Terakhir,
sekali lagi, sebagai kata penutup. Adakah ayat yang lain dalam al-Qur'an yang
menunjukkan bahwa perselisihan seperti itu akan diselesaikan nanti di akhirat'.
TIMUN : "Ada. Ayat itu
berbunyi, "Dan orang-orang
Yahudi berkata: 'Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan', dan
orang-orang Nasrani berkata: 'orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu
pegangan', padahal mereka (sama-sama) membaca al-Kitab. Demikian pula
orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka itu. Maka
Allah akan mengadili diantara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang
mereka perselisihkan" (QS. Al-Baqarah: 113)
Di dalam ayat itu dengan jelas
disebutkan bahwa perselisihan yang ada antara kaum Yahudi dan Nasrani akan
diselesaikan di akhirat kelak pada hari kiamat. Tolong jangan katakan bahwa
ayat itu hanya untuk kaum Yahudi dan Nasrani saja dan tidak untuk kaum
Muslimin. Sekali-kali tidak. Ayat itu sebagaimana ayat-ayat lainnya juga
menjadi pelajaran bagi kita semua. Itu juga akan terjadi pada diri kita.
Soalnya al-Qur'an sendiri kan bilang, "Kitab
(al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertakwa" (QS. Al-Baqarah: 2). Jadi, kalau kita merasa sebagai
orang yang bertakwa atau kita ingin menjadi orang yang bertakwa, maka kita juga
harus terikat dengan ayat tadi yang mengatakan bahwa setiap perselisihan yang
terjadi dalam masalah agama itu akan diselesaikan di akhirat kelak".
TV HOST : "Alhamdulillah. Terimakasih sekali pak
Timun. Bapak sudah memberikan banyak sekali keterangan yang berguna pada sore
hari ini. Saya pribadi merasakan adanya titik terang yang makin lama makin
membesar. Sebenarnya, saya sendiri dan mungkin juga pemirsa di rumah masih
ingin melanjutkan pembicaraan kita, tapi apa mau dikata waktu jualah yang
menjadi pemisah kita semua. Sekali lagi saya ucapkan terimakasih dan semoga
kita berjumpa lagi pada acara yang sama atau acara yang lainnya.”
“Pemirsa, demikianlah pembicaraan kita
kali ini di dalam acara POLEMIKITA, polemik diantara kita. Saya, Abdurrahman
Subandi, mengucapkan terimakasih atas atensi anda sekalian. Sampai jumpa minggu
depan dengan topik lain. Wassalamu'alaykum
Warrahmatullahi Wabarakatuh."
(Musik penutup dimainkan, Timun duduk
sambil menghabiskan minumannya. Salah seorang kru televisi mencopot microphone yang tadi ditempelkan di pinggang
Timun. Acara selesai. Lighting
dipadamkan).
Setelah selesai mengisi acara
POLEMIKITA, Abdurrahman Subandi, pembawa acara barusan, membimbing Timun
melalui lorong-lorong yang tadi ia lewati. Abdurrahman sekali lagi mengucapkan
terimakasih. Ia juga menyampaikan salam dari pihak direksi televisi yang tidak
bisa menemui Timun karena masih sibuk dengan acara selanjutnya. Acara
selanjutnya ialah siaran langsung pandangan mata dari stadiun Jalak Harupat.
PERSIB Bandung akan main melawan kesebelasan PERSIK Kediri.
Ketika Timun pamitan kepada Abdurrahman,
ia diserahi sebuah amplop yang cukup tebal. Timun terperanjat tetapi senang bukan
main. Ia memang menunggu itu; amplop itu. Timun punya nadzar kepada isterinya
bahwa kalau ia mendapatkan honor dari televisi, ia akan membawa isterinya dan
kedua anaknya ke restoran cepat saji. Sebenarnya Timun tidak begitu suka
makanannya, tapi kedua anaknya dan isterinya yang tercinta sangat suka makanan
itu. Jadi Timun menerima amplop itu dengan hati sumringah. Selain amplop itu, Timun juga diberikan sepucuk surat
yang katanya dari pak Ustadz Usep Rohayat al-Bandungi. Setelah menyerahkan
amplop dan surat itu, Abdurrahman berpamitan karena ia harus memandu acara lain
yaitu acara kuis televisi yang akan disiarkan esok hari.
Sepeninggal Abdurrahman, Timun penasaran
ingin membuka amplop tadi dan surat tadi. Ketika membuka amplop, ia menghitung
uang yang ada di dalam amplop warna putih itu. Jumlahnya satu bulan gaji Timun
hasil mengajar di kursus tempatnya mengajar. Wah, gede sekali! Timun tidak
menyangka akan mendapatkan uang sebesar itu untuk obrolan yang hanya 30 menit
diseling iklan di sana-sini. Terus Timun membuka surat yang katanya dari pak
ustadz Usro itu. Surat itu berbunyi:
"Assalamu'alaykum warrahmatullahi
wabarakatuh.”
“Nak Timun yang bapak hormati sepenuh
hati. Ma'afkan bapak. Bapak tidak bisa menghadiri acara di televisi hari ini.
Pada saat surat ini dituliskan, bapak sedang terbaring di ranjang rumah sakit.
Surat inipun bukan bapak yang menulis. Bapak cuma mendiktekan kepada isteri
bapak yang setia menunggu dan melayani.”
“Nak Timun, mungkin lain waktu kita bisa
bertemu dalam acara yang sama atau acara yang lainnya. Akan halnya perbedaan
diantara kita yang sepertinya susah dirukunkan, itu janganlah menjadi
penghalang silaturrahmi diantara kita. Janganlah perbedaan antara kita itu
menyebabkan kita enggan bertegur sapa dan enggan hormat-menghormati.”
“Terakhir, bapak ucapkan selamat
memperjuangkan keyakinanmu walau keyakinanmu itu berbeda dengan keyakinanku.”
“Wassalamu'alaykum warramatullahi
wabarakatuh".
Timun terkejut membaca surat pak ustaz
Usro itu. Gugur sudah bayangan Timun tentang pak ustadz Usro yang tadinya ia
bayangkan sangat galak dan tidak mengenal kompromi. Gugur sudah bayangan Timun
akan sosok ustadz yang tidak mengenal toleransi dan basa-basi. Kini bayangan
lain menggantikan sosok tadi. Timun membayangkan pak ustadz Usro seperti
seorang kakek yang bijaksana dan penuh pengertian. Sedangkan dirinya seperti
seorang cucu yang nakal yang memiliki pendirian yang berbeda dengan si kakek
tua bijaksana itu.
Timun tersenyum; tapi matanya basah.
Beberapa tetes air mata keluar dari pelupuk matanya. Tidak deras memang, tapi
sangat sarat makna. Timun naik ke atas motor matiknya, kemudian menyalakan
mesinnya dan mulai melaju perlahan meninggalkan kompleks stasiun televisi.
Timun memacu motornya menuju ke rumah sakit.
Ya, rumah sakit!
Timun memiliki teman yang dulu pernah
mengaji pada pak ustadz Usro. Ia sedikit banyak sudah mengetahui keadaan
keluarga pak ustadz. Keluarga pak ustadz Usro bukan keluarga berada walaupun ia
termasuk orang yang terkenal di mana-mana. Ia berbeda dengan ustadz-ustadz lain
yang juga sama terkenalnya. Ustadz-ustadz lainnya, ada yang bergaul dengan
artis dan mendapatkan undangan yang banyak dengan jumlah honor ceramah yang
juga banyak. Ada lagi yang ikut parpol tertentu dan dijadikan jurkam (juru kampanye) penarik masa juga
sekaligus dijadikan simbol oleh parpol tersebut agar memberikan kesan relijius
dan kemudian nantinya bisa menarik masa dari kantong-kantong pemilih yang
memiliki sentimen keagamaan yang kuat.
Pak ustadz Usro walaupun banyak
penghasilan dari sana-sini, ia lebih banyak menghabiskan uangnya itu untuk
menghidupi anak yatim yang jumlahnya sekitar 2000 orang. Ia juga mendirikan
berbagai rumah singgah untuk menampung anak jalanan. Uang pak ustadz Usro habis
di jalan Allah. Sementara itu, Ustadz-ustadz sejawatnya menyimpan uangnya di bank-bank
tertentu. Sebagian dibelikan mobil mewah dan rumah mewah atau dihabiskan untuk
menikah (lagi!).
Timun akan mengunjungi si kakek tua itu.
Timun akan mengunjungi pak ustadz Usro bukan sebagai lawan debat tapi sebagai
seorang sahabat. Timun berkeputusan untuk memberikan seluruh honornya yang baru
ia terima hari itu untuk sekedar meringankan beban biaya rumah sakit yang Timun
yakin jumlahnya selangit. Timun yakin, pak ustadz pasti membutuhkannya.
Timun akan bicara pada isterinya nanti
bahwa uang yang akan mereka pakai untuk makan-makan di restoran cepat saji,
akan diambil dari sisa gaji bulanannya.
Wassalam.
Comments