(Serial Enambelas) BUKA
PUASA BERSAMA
Timun mengajak temannya yang ia kenal di
mesjid Salman, ITB Bandung, untuk berbuka puasa bersama. Hadi, temannya itu,
setuju dan mereka menentukan lokasi yang baik bagi mereka berdua di sebuah kafe
di jalan Juanda. Sesampainya di sana waktu masih menunjukkan jam 5 tetapi kafe
itu sudah penuh sesak dijejali para penggila wisata kuliner yang terpaksa
menahan hasratnya sampai waktu berbuka tiba.
Motor dan mobil di parkir berjejer mirip
ikan asin di atas tempayan. Celah antara satu kendaraan dengan kendaraan
lainnya hanya beberapa senti saja. Perlu kemahiran khusus untuk masuk dan
keluar dari tempat itu dengan tanpa menyentuh kendaraan lainnya. Timun dan Hadi
beruntung datang ke sana pake angkot……..……jadi tak usah bersusah payah
menyelinapkan kendaraannya.
Hadi pesan nasi rames. Murah meriah dan
lengkap lauknya. Timun ikut serta memesan menu yang sama. Tiga puluh menit lagi
menjelang buka puasa mereka ngobrol ngalor ngidul ngetan ngulon. Banyak petuah
berharga yang disampaikan oleh sahabatnya itu yang terasa oleh Timun tidak
seperti petuah pada umumnya. Ia tahu betul bahwa Hadi tidak sekedar memberikan
petuah akan tetapi ia telah melaksanakannya terlebih dahulu. Timun tahu itu
walaupun ia tidak diberitahu dan tidak mencoba mencari tahu.
Adzan berkumandang dan untungnya pesanan
mereka datang tepat waktu seperti skenario sinetron yang sudah ditulis
sebelumnya. Segera Timun berdo’a buka puasa dan meminum air teh botol
kegemarannya nyaris dalam satu kali tegukan. Hadi tersenyum melihat Timun
begitu antusias dalam menuntaskan dahaganya. Ia juga mulai meminum teh botolnya
dalam beberapa kali tegukan diselingi shalawat setiap tegukannya.
Timun agak terheran-heran melihat
temannya itu. Bukan karena ia minum dengan diselingi shalawat akan tetapi ia
berbuka puasa bersama dengan dirinya. Setahu Timun, orang Syi’ah itu berbuka
puasanya lebih lambat sekitar 15 sampai 30 menit kemudian. Ia kemudian bertanya
kepada sahabatnya itu:
“Had, kamu buka puasanya sama dengan
aku?”
“Iya. Memangnya mengapa?”, Hadi
menyisakan teh botolnya hingga sepertiganya.
“Bukankah orang Syi’ah itu buka puasanya
itu lebih lambat daripada kita-kita orang-orang ahlussunnah?”
“Betul. Dan kami punya dalilnya dalam
al-Qur’an, tsumma atimush shiyyama illa
layl. Itu Al-Baqarah, ayat 187. Artinya “kemudian
sempurnakanlah puasamu hingga malam hari”. Jadi berbukanya malam hari dan
itu artinya ketika bintang sudah tampak di langit dan langit sudah tidak lagi
berwarna biru atau jingga.”
Timun bertanya: “Jadi kalau itu
dinyatakan al-Qur’an, maka hukumnya wajib bagi kamu untuk mematuhinya?”
“Betul. Persis,” Hadi menggeser duduknya
jadi condong ke depan. Ia sudah memulai suapan ketiga dari menu yang
dihidangkan. Timun sendiri entah sudah suapan keberapa karena ia makannya
sangat lahap dan cepat. Nasi di piringnya tinggal seperempat jalan. Ia
bersiap-siap untuk memesan piring yang kedua. Piring berikut makanan di
dalamnya, tentunya.
“Lalu mengapa kamu tidak menunda buka
puasa hingga datang waktunya seperti yang kamu yakini?”, Timun bertanya lagi di
sela-sela kunyahannya.
“Aku menjalankan wajib yang satunya
lagi.”
“Apa itu?”, Tanya Timun keheranan.
“Wajib untuk menghormatimu sebagai orang
yang tidak berbuka pada malam hari. Menghormatimu yang menjalankan fiqih yang
berlainan dengan fiqih yang aku jalankan. Menghormatimu sebagai sahabatku yang
baik. Menghormatimu sebagai manusia dan sebagai seorang Muslim.”
“Jadi aku tidak menjalankan fiqih itu
demi menjaga akhlak dalam pertemanan kita. Aku tidak ingin memaksakan kebenaran
yang aku yakini untuk dijalankan oleh orang lain yang sudah memiliki kebenaran
lain yang diyakininya. Laa iqroha fiddiin.
Tidak ada paksaan dalam agama.” Hadi menuntaskan penjelasannya dengan mengutip
surat al-Baqarah ayat 256.
Timun termanggu. Sendok berisi makanan
yang ia tadi hendak masukkan ke mulutnya tertahan di jalan. Ia berpikir betapa
bijaksananya temannya itu. Dan Timun berjanji untuk mengikuti jejak langkah
temannya itu.
Comments