Sir John Glubb mengatakan:
“Ketika pasukan khalifah (Ali) mencapai kota Basrah, pasukan pemberontak segera menemui mereka dipimpin oleh Zubayr dan Thalhah. Tidak semua penduduk kota Basrah setuju dengan pasukan pemberontak itu. Bani Bakr, satu suku yang dulunya dipimpin oleh Muthanna yang sangat pemberani, ikut dengan pasukan Ali. Sementara itu Bani Tamim (sukunya Abu Bakar) memilih untuk bersikap netral. Pasukan Ali sekarang menjadi sedikit lebih kuat. Pada jaman jahiliyah, para wanita naik ke punggung-punggung unta untuk ikut serta dalam peperangan membantu para suaminya dengan menyemangatinya (lewat lagu dan nyanyian—red). ’Aisya (meniru perbuatan wanita jahiliyah—red) menunggangi seekor unta menemani pasukan pemberontak dari tandu yang ada di atas unta itu.” (The Great Arab Conquests, halaman 320, thn. 1967)
Ketika dua pasukan yang saling bertikai itu berhadapan, Ali keluar barisan dengan kudanya dan ia memanggil-manggil Thalhah dan Zubayr untuk keluar juga dari barisan mereka agar bisa bertemu muka dengannya. Dr. Taha Husain dari Mesir menggambarkan bahwa kedua jenderal perang pasukan pemberontak itu serentak keluar dari barisan dengan mengenakan pakaian perang dari besi yang sangat lengkap—begitu lengkapnya hingga bagian yang masih bisa terlihat ialah hanya kedua belah mata mereka saja. Ketika ‘Aisyah melihat keduanya keluar dari barisan, dengan segera ia merasa khawatir sekali akan nasib dari kedua orang itu. ‘Aisyah tahu benar apa yang akan terjadi seandainya mereka berdua bertarung dengan Ali. Akan tetapi segera ‘Aisyah merasa lega ketika mengetahui bahwa Ali sama sekali tidak bersenjata. Ali bahkan sama sekali tidak mengenakan pakaian perangnya. Ali betul-betul tidak bersenjata sama sekali. Ali bertanya kepada mereka berdua mengapa mereka menarik kembali bai’at yang telah mereka ucapkan secara sukarela dan tanpa ada paksaan. Ali juga bertanya kepada mereka mengapa mereka ingin memeranginya dan membunuhnya.
Sebagai jawabannya, Thalhah dan Zubayr kembali menguraikan tuduhan-tuduhan usangnya bahwa Ali telah melindungi para pembunuh Utsman dan mereka ini sekarang sedang mencari keadilan dengan mengadili para pembunuh Utsman itu. Ali menjawab kepada mereka bahwa mereka sendiri tahu betul bahwa Ali sama sekali tidak melindungi para pembunuh Utsman. Kemudian Ali menambahkan, “Karena kalian sama sekali tidak mau mendengarkan semua alasan yang aku kemukakan, maka aku sarankan bahwa kita akan memulai sesuatu yang baru untuk memecahkan masalah ini yang sulit kita rundingkan. Kalian pasti ingat bagaimana Rasulullah yang mulia, pemimpin kita semua, memecahkan masalah dengan mubahalah dengan para pemuka Nasrani dari kota Najran? Marilah kita contoh dan kita ikuti kembali apa yang telah beliau lakukan pada masa lalu itu. Mari kita ber-mubahalah dengan memanjatkan do’a sebagai berikut:
“Ya, Allah. Tuhan maha pencipta!Aku memohon perlindungan dan ampunanmu. Engkau maha mengetahui apa yang aku rasakan dan aku pikirkan dan aku lakukan. Tidak ada satupun yang luput dari perhatianmu, ya Allah! Kalau aku terlibat—baik secara langsung maupun tak langsung—terhadap pembunuhan Utsman, atau aku telah melindungi orang-orang yang telah membunuh Utsman, atau aku telah bergembira dengan kematian Utsman, maka tunjukkanlah kemurkaanMu kepadaku. Akan tetapi kalau aku tidak berdosa dan tidak terlibat atas pembunuhan Utsman, maka tunjukkanlah kemurkaanMu kepada mereka yang telah menuduhku telah bersekutu dengan para pembunuh Utsman”
Thalhah dan Zubayr sama sekali tidak menanggapi undangan mubahalah yang diajukan oleh Imam Ali, dan secara terbuka mereka berkata: “Kami tidak pernah menganggap anda cocok untuk menjadi khalifah. Dan kami ini sama sekali tidak kurang mulianya dibandingkan dengan dirimu untuk menjabat menjadi seorang khalifah.” (Lihat: Tabari, History, volume III, halaman 519).
Satu-satunya yang harus dilakukan oleh Thalhah dan Zubayr untuk menutup-nutupi kepura-puraan mereka bahwa mereka peduli dengan Utsman dan akan menuntut balas darah Utsman adalah dengan membunuh Ali yang mereka sebut-sebut sebagai orang yang melindungi para pembunuh Utsman. Dan setelah itu mereka bermaksud menggantikan Ali dengan dirinya sebagai khalifah.
Satu cara terakhir untuk menghindarkan peperangan rupanya telah gagal total. Akan tetapi Ali tetap tidak mau melihat kaum Muslimin membunuh kaum Muslimin lainnya. Oleh karena itu, Ali memanggil Zubayr yang masih sepupunya itu ke pertemuan empat mata yang bersifat pribadi. Ia mengingatkan Zubayr akan masa-masa dimana mereka masih bersama di bawah panji Islam bersama Rasulullah. Di hari-hari yang indah itu mereka bersama melawan musuh yang sama—musuh yang nyata. Sekarang mereka berdua harus saling berhadapan, bermusuhan, berlawanan dan saling membunuh?! Bukankah itu buruk sekali? Bagaimana mungkin kedua saudara sepupu harus berbunuhan seperti itu? Ali mencoba mengingatkan Zubayr agar tidak melangsungkan peperangan dengannya.
Ali juga mencoba mengingatkan Zubayr akan ramalan yang telah diucapkan oleh Rasulullah. “Apakah engkau masih ingat akan suatu peristiwa,” Ali bertanya kepada Zubayr. “Ketika itu Rasulullah berkata kepadamu sedangkan aku ada di sana. Rasulullah mengingatkanmu bahwa engkau akan berdiri memerangiku; sedangkan dirimu berada ada di dalam kesalahan. Ingatkah dirimu tentang hal itu?” “Ya. Aku ingat tentang hal itu, “ kata Zubayr. “Aku ingat bahwa Rasulullah memang berkata seperti itu. Akan tetapi aku telah lupa tentang ramalan itu, dan sekarang aku berjanji untuk tidak berperang melawan dirimu.” Zubayr juga ingat ramalan Rasulullah yang lainnya. Rasulullah mengatakan bahwa Ammar bin Yasir (saudara sesusu dari Zubayr) akan dibunuh oleh orang-orang yang jahat. Zubayr merasakan bulu kuduknya berdiri karena ia segera sadar bahwa Ammar bin Yasir ada di pihak Ali dan bukan di pihak dirinya.
Zubayr segera menarik tali kekang kudanya dan kembali ke barisan pasukannya. Kelihatan sekali wajahnya menggambarkan keraguan dan perasaan khawatir; hatinya penuh dengan dialog bathin yang mencekam dan ia diliputi perasaan stress yang berat sekali. Zubayr kembali ke pasukannya ditatap oleh empat pasang mata yang penuh kekhawatiran dari ‘Aisyah dan putera Zubayr (Abdullah bin Zubayr—red.). Zubayr berkata kepada keduanya bahwa ia teringat kepada ramalan Rasulullah dimana ia akan berperang melawan Ali dan ia sedang berada dalam kelompok yang sesat. Ia juga mengatakan bahwa ia telah memberikan bai’at sekali lagi kepada Ali dan berjanji untuk tidak memeranginya. Abdullah bin Zubayr (puteranya) menyindir ayahnya dengan mengatakan bahwa ayahnya itu bukan teringat kepada ramalan Rasulullah sehingga ia takut berperang melainkan karena lawan perangnya ialah Ali bin Abi Thalib. Abdullah bin Zubayr menuduh ayahnya pengecut karena tidak mau melawan Ali.
Zubayr tidak terpengaruh oleh kata-kata yang penuh ejekan dari anaknya dan ‘Aisyah. Ia berkata bahwa ia akan tetap pada pendirianya dan tidak akan melawan Ali. Zubayr menambahkan bahwa pilihan yang telah ia ambil itu jelas dan terang benderang. Ia dihadapkan kepada dua pilihan. Pilihan pertama ialah tidak berperang melawan Ali dan untuk itu ia akan kehilangan muka di hadapan seluruh suku Arab di jazirah Arabia. Orang-orang Arab akan memperolok dia karena telah meninggalkan medan peperangan tanpa berperang sama sekali. Pilihan kedua ialah tetap berperang dan untuk itu ia akan dikenal dalam sejarah sebagai orang yang salah dan akan dikutuk orang di generasi yang akan datang. Dan Zubayr lebih memilih yang pertama yaitu dikenal orang sebagai pengecut karena ia lihat itu lebih ringan daripada dikutuk orang dari generasi yang akan datang.
Zubayr meninggalkan medan perang dan ia bermaksud untuk kembali ke kota Madinah. Kira-kira beberapa mil jauhnya dari medan perang itu, Zubayr merasa bahwa ada seseorang yang mengikuti dirinya dari belakang. Orang yang membuntutinya itu ia kenali sebagai orang dari Basrah yang bernama Amr bin Jermoz. Meskipun Zubayr merasa curiga dengan orang itu, ia tetap menunggangi kudanya hingga ia sampai ke sebuah desa. Di sana ia turun dari kudanya dan ia mengambil air wudhu untuk kemudian ia mendirikan shalat dan beristirahat sejenak. Akan tetapi ternyata istirahat yang dilakukan oleh dirinya itu ialah istirahat yang terakhir. Setelah selesai shalat ia diserang oleh Amr bin Jermoz yang kemudian berhasil membunuhnya.
Zubayr telah gugur dan tidak sempat berperang dalam peperangan Jamal. Akan tetapi Thalhah bin Ubaydillah dan ‘Aisyah binti Abu Bakar tetap bersikukuh untuk berperang walaupun tanpa Zubayr sekalipun. Di sisi lain Ali masih saja dengan paket perundingan damainya. Walaupun Ali diliputi oleh perasaan ragu akan usahanya itu, ia tetap berusaha untuk yang terakhir kalinya. Ali sekali lagi mengirimkan seorang pemuda belia bernama Muslim bin Abdullah yang terkenal karena keshalehannya. Ia dengan sebuah al-Qur’an ditangannya berusaha untuk membujuk musuhnya itu agar mengembalikan persoalan yang ada antara mereka kepada Allah. Muslim bin Abdullah berkata bahwa ia ingin darah kaum Muslimin tidak tertumpah sedikitpun.
Muslim bin Abdullah berdiri dekat sekali dengan pasukan musuh. Kemudian ia membuka al-Qur’an yang dibawanya seraya berkata:
“Aku akan membacakan satu halaman dari al-Qur’an supaya kalian tahu apa yang DIA perintahkan dan apa yang DIA larang.”
Sebelum ia sempat membaca satu katapun dari al-Qur’an, beberapa anak panah sudah ditembakkan oleh pasukan pemberontak kepada al-Qur’an yang dibawanya. Sementara itu si pemuda belia itu mencoba melindungi al-Qur’an itu sebisa mungkin. Salah seorang budak dari ‘Aisyah binti Abu Bakar mendekati diri pemuda itu dengan hati-hati dan kemudian menyerang pemuda belia itu dan kemudian membunuhnya.
Jasad dari Muslim bin Abdullah itu kemudian dibawa kehadapan Ali dan diletakkan di atas tanah. Ali menangisi jasad suci dari pemuda belia itu. Tidak lama kemudian dibawakan lagi kehadapannya satu jasad lagi. Ia adalah salah seorang prajuritnya yang dibunuh oleh beberapa buah anak panah yang dilontarkan oleh pasukan dari Basrah. Ali berusaha untuk mencabuti anak panah yang ada di kedua jasad yang ada dihadapannya itu akan tetapi ketika ia melakukan itu semua sudah ada lagi beberapa jasad yang dibawa kehadapannya……..semuanya terpanggang oleh beberapa anak panah di tubuhnya. Tumpukkan jasad itu seolah-olah dipersembahkan untuk Ali oleh pasukan para pemberontak. Pasukan pemberontak itu seolah-olah sedang berlatih memanah dan sasarannya ialah pasukan Ali yang kalah dalam jumlah dan persenjataan.
Thabari (seorang sejarawan Sunni) menulis dalam kitab Tarikh-nya (volume III, halaman 522) bahwa ketika Ali melihat semua jasad ini ia berkata:
“Sekarang sudah halal bagiku untuk memerangi mereka.”
Kemudian Ali mengangkat kedua tangannya ke langit sambil berdo’a:
“Ya Illahi! Saksikanlah bahwa aku tidak bisa lagi mempertahankan kedamaian diantara kaum Muslimin. Sekarang tinggal ada satu pilihan lagi yang tersisa yaitu mengijinkan pasukanku untuk mempertahankan dirinya dari serangan musuh. Kami ini hambaMu yang lemah. Berikanlah kepada kami Kemuliaan dan PengampunanMu. Anugerahkanlah kepada kami kemenangan atas musuh kami akan tetapi apabila Engkau menghendaki kemenangan ada di pihak lawan, maka izinkanlah kami untuk meraih mahkota kesyahidan.”
Ali menutup do’anya dan kemudian ia berbalik kepada pasukannya. Kemudian ia berkata dulu kepada mereka sebelum akhirnya memberikan sinyal untuk memulai peperangan demi mempertahankan diri mereka:
“Wahai kaum Muslimin! Janganlah jadi orang yang pertama yang menyerang musuhmu. Biarkanlah mereka menyerangmu terlebih dahulu. Apabila musuh telah menyerangmu, maka baru kalian boleh menyerang balik terhadap musuhmu. Janganlah kalian membunuh orang yang sudah terluka diantara pasukan musuhmu. Apabila mereka melarikan diri dari peperangan, janganlah kalian kejar; biarkanlah mereka menyelamatkan diri mereka sendiri. Apabila kalian berhasil menangkap beberapa orang musuh, maka janganlah kalian bunuh mereka. Jangan kalian potong-potong tubuh mereka. Jangan kalian ambil baju perang mereka; jangan kalian ambil perhiasan atau benda berharga yang melekat di tubuh mereka. Jangan kalian jarah tenda-tenda mereka; jangan kalian ganggu perempuan-perempuan mereka meskipun mereka melontarkan sumpah serapah dan memaki-maki diri kalian. Akan tetapi di atas itu semua…………….janganlah kalian sejenakpun melupakan DIA. Janganlah kalian lupa akan kehadiran sang pencipta dalam kehidupan kalian. Kalian senantiasa ada dalam pengawasanNya setiap waktu.”
Setelah itu dimulailah pertempuran. Kedua pasukan berbalas serangan dengan ratusan anak panah dan lembing. Pasukan pemberontak telah kehilangan Zubayr bin Awwam—salah seorang dari dua (atau tiga dengan ‘Aisyah) jenderal perang karena Zubayr mundur dari peperangan sebelum perang itu dimulai. Jenderal kedua yaitu Thalhah bin Ubaydillah akhirnya bernasib kurang lebih sama seperti yang diderita oleh Zubayr bin Awwam. Abul Fida (seorang sejarawan) berkata bahwa Marwan meminta seorang budaknya untuk melindungi dirinya sehingga ia tidak terlihat dari orang-orang. Ketika ia sudah dekat dengan sasaran yang diingininya (yaitu Thalhah) ia segera melesatkan sebuah anak panah kea rah Thalhah dan tepat mengenai Thalhah. Ia berkata kepada budaknya:
“Aku lihat orang ini (yaitu Thalhah) ketika Utsman dikepung di rumahnya. Ia menghasut orang-orang agar masuk ke rumah Utsman untuk membunuh Utsman. Akan tetapi sekarang ia ingin membalas darah Utsman?! Betul-betul mengherankan?! Ia benar-benar mencintai Utsman (diucapkan dengan nada sinis). Aku akan berikan ganjaran untuknya atas ‘kecintaannya’ kepada Utsman. Ia benar-benar berhak atas ini. ‘Kecintaan’ seperti itu harus kita balas dengan sebaik-baiknya.”
Marwan melepaskan anak panahnya dan tepat mengenai paha Thalhah dan ia langsung limbung dan lumpuh di kakinya. Kelumpuhan yang membawanya kepada kematian…………………………………………
CATATAN SEJARAWAN:
1. Ibn Sa’ad: “Dalam perang Unta, Thalhah ada di atas kudanya di samping ‘Aisyah ketika pada waktu yang bersamaan Marwan menembakkan sebuah anak panah yang melesat dan mengenai sasarannya…….. tepat di paha Thalhah.” Kemudian Marwan berkata: “Demi Allah. Sekarang aku tidak usah mencari lagi siapakah yang telah membunuh Utsman.” (LIHAT: Tabaqat, volume III, halaman 223)
2. Hakim: “Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah berkata bahwa Marwan bin Hakam telah membunuh kakek buyutnya (Thalhah) dengan sebuah anak panah di dalam perang Unta” (LIHAT: Mustadrak)
(Marwan bin Hakam menuduh Thalhah bin Ubaydillah sebagai pembunuh Utsman bin Affan. Kalau itu benar, maka itu artinya seorang sahabat Nabi telah membunuh sahabat Nabi lainnya. Seorang sahabat Nabi telah membunuh seorang khalifah dan kemudian ia dibunuh oleh orang yang akan menjadi khalifah di kemudian hari. Marwan menjabat khalifah selama 9 bulan 18 hari—dari tahun 64 sampai 65 Hijriah—dan kemudian dibunuh (dicekik beramai-ramai) oleh isterinya—Ummu Khalid, janda dari Yazid bin Mu’awiyyah—beserta para dayangnya)
Masih bersambung lagi ke…………………….
Comments