“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS.
An-Nahl: 125)
Sudah menjadi pemahaman
umum bahwa seorang ulama itu seharusnya menjadi orang terbaik di dalam
masyarakat dan ia menjadi panutan orang-orang sekelilingnya. Mereka yang sudah
mencapai tingkat tertinggi dalam belajar agama memang harus dikagumi dan
dihormati, dan oleh karena itu seorang ulama memilliki kewajiban untuk
bertingkah-laku terbaik agar bisa ditiru oleh para pengikutnya atau orang-orang
yang mengaguminya. Apabila kita menengok sejarah, maka kita lihat bahwa
Rasulullah dengan ajarannya berhasil menundukkan hati-hati orang-orang Arab
yang kaku. Prilaku Rasulullah yang mulia
dan agung menjadikan bangsa Arab takluk di tangannya. Allah Ta’ala berfirman
dalam al-Qur’an:
“Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran:
159)
Prilaku yang lembut
membuat hati yang kasar mencair; prilaku yang kasar hanya akan mendatangkan
kekerasan dan perangai yang buruk.
Allah juga berfirman
tentang Musa (as):
“maka berbicaralah
kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia
ingat atau takut" (QS. Thaaha: 44)
Ulama itu ialah seseorang
yang membawa sebuah obor Islam untuk menerangi masyarakat yang berada dalam
kegelapan. Ia harus memberikan contoh dan suri teladan berupa akhlak yang baik
dan serta senantiasa menjaga moralitas. Kita mungkin akan beranggapan bahwa
ulama yang disebut sebagai Syeikhul Islam itu akan memberikan contoh
yang baik kepada setiap kaum Muslimin, akan tetapi pada kenyataannya ternyata
sangatlah bertolak belakang. Ibnu Taymiah semasa hidupnya seringkali
mengolok-olok orang lain yang berbeda dengan dirinya mulai dari orang awam
sampai kepada para ulama yang oleh kaum Ahlusunnah (SUNNI) sekarang ini
dianggap sebagai ulama terkemuka dan terutama.
Kita bisa lihat dalam kitab Sahih Bukhari, volume
1, Buku 2, Hadits nomor 46 sebagai berikut:
“Abdullah meriwayatkan: Rasulullah
bersabda: “Mengolok-olok seorang Muslim itu adalah perbuatan Fasik (perbuatan
setan) dan membunuhnya ialah perbuatan Kufr (tidak beriman)”
Komentar:
Hadits ini dengan jelas menyebutkan bahwa
mengolok-olok atau mencela kaum Muslimin itu adalah perbuatan fasik. Apabila
seorang Nawasib (pembenci Nabi dan keluarga Nabi) bertanya kepada kami mengapa
kami juga mencela musuh kami, maka kami akan menjelaskan bahwa yang tidak boleh
itu mencela seorang Muslim bukan seorang Kafir. Sementara para penulis yang ada
di belakang Ansar.Org atau kaum Salafi/Wahabi atau kaum Nasibi
yang berdebat dengan kami itu bukanlah kaum Muslimin dalam
istilah umum. Mereka adalah kaum Nasibi. Tulisan-tulisan yang mereka buat
banyak sekali yang menyudutkan atau menyerang kesucian Ahlul Bayt Nabi (as).
Mereka secara terus menerus berusaha untuk mengecilkan peran Ahlul Bayt Nabi
dalam perkembangan Islam. Mereka senang sekali meruntuhkan wibawa dan harkat
martabat Ahlul Bayt Nabi. Di sisi lain mereka malah memuji-muji musuh-musuh
Ahlul Bayt Nabi. Kaum Nawasib jelas tidak memiliki landasan hadits Nabi
secuilpun untuk membenarkan tingkah laku mereka. Mereka yang tidak menghormati
Ahlul Bayt Nabi jelas bukanlah seorang Muslim sejati. Mereka itu tergolong kaum
Munafik dan oleh karena itu, kami memiliki hak untuk mencela perbuatan mereka.
Itu bukan pendirian kami saja. Para ulama Ahlusunnah juga memiliki pandangan
yang sama. Seorang ulama seperti Shah Abdul Aziz Muhadits
Dehalwi—misalnya—memiliki cara yang sama ketika ia harus berhadapan dengan kaum
Salafi/Wahabi.
Sekarang, marilah kita lihat bagaimana Ibnu Taymiah menyerang kaum
Muslimin—saudara kita semua:
Kita bisa baca dalam kitab Risalah fi Tahqiq al-Shukr,
halaman 114:
وهؤلاء مخانيث
الجهمية وابن عربي من ذكورهم
“Mereka itu kaum
Jahami yang keperempuan-perempuanan sedangkan Ibn Arabi adalah yang
laki-lakinya”
Kita bisa baca dalam kitab Majmu’a al-Fatawa, volume
12, halaman 382:
وَصَارُوا مَخَانِيثَ
للجهمية الذُّكُورِ
“Mereka menjadi kaum wanitanya bagi para
lelaki kaum Jahami”
Dalam Majmu’a al -Fatawa, Volume 14, halaman 348:
فَالْمُعْتَزِلَةُ
فِي الصِّفَاتِ : مَخَانِيثُ الْجَهْمِيَّة .
“Kaum Mu’tazila itu adalah banci-banci bagi kaum Jahami”
Dalam Majmu’a al-Fatawa, Volume 14, halaman 349:
كَمَا قَالَ
الشَّيْخُ أَبُو إسْمَاعِيلَ الْأَنْصَارِيُّ – : الْجَهْمِيَّة الْإِنَاثُ .
وَهُمْ مَخَانِيثُ الْمُعْتَزِلَةِ .
“As-Sheikh Abu Ismail
al-Ansari berkata: “Kaum Jahami itu seperti perempuan, dan mereka adalah
pasangannya kaum Mu’tazila”
Kita bisa melihat di dalam Al-Fatawa al-Kubra, Volume
6, halaman 643:
كَمَا يُقَالُ:
الْأَشْعَرِيَّةُ مَخَانِيثُ الْمُعْتَزِلَةِ
“Seperti telah
dikatakan: “Kaum Asy-‘ariyyah itu adalah banci-banci untuk kaum Mu’tazila”
Kita bisa membaca dalam kitab Minhaj al-Sunnah,
Volume, halaman 331:
ما أسخف عقول الرافضة.
“Betapa tidak masuk akalnya otak kaum
Rafidhi”
Dalam Minhaj al-Sunnah, Volume 1, halaman 379:
وقول الرافضة خبر
كاذب وقول سفيه
“Perkataan-perkataan kaum Rafidhi itu
tidak lain berupa riwayat palsu dan pembicaraan bodoh saja”
Dalam Minhaj al-Sunnah, Volume 2, halaman 34:
والرافضة من أخبث
الناس كما أن اليهود من أخبث الناس
“Kaum Rafidah itu termasuk orang-orang
yang jahat seperti halnya orang-orang Yahudi yang termasuk orang-orang paling
jahat”
Dalam Minhaj al-Sunnah, Volume 2, halaman 34:
الرافضة من أجهل
الناس وأضلهم كما أن النصارى من أجهل الناس
“Rafidah itu orang-orang yang paling jahil dan
paling sesat, sama saja dengan orang-orang Kristiani yang termasuk orang-orang
jahat dan sesat”
Dalam Minhaj al-Sunnah, Volume 1, halaman 22:
ومن حماقتهم إظهارهم
لما يجعلونه مشهدا
“Salah satu dari kebodohan mereka ialah
mendirikan tempat-tempat suci”
Dalam Minhaj al-Sunnah, Volume 1, halaman 23:
ومن حماقتهم إقامة
المأتم والنياحة على من قد قتل من سنين عديدة
“Salah satu (diantara) perbuatan-perbuatan
bodoh mereka ialah diadakannya acara-acara peringatan dan menangisi orang yang
sudah terbunuh bertahun-tahun yang lalu.”
Dalam Minhaj al-Sunnah, Volume 1, halaman 8:
وهكذا معاونتهم
لليهود أمر شهير حتى جعلهم الناس لهم كالحمير
“Dan dukungan mereka terhadap kaum Yahudi
dikenal orang, sampai orang-orang
memandang orang Yahudi sebagai keledai”
Dalam Minhaj al-Sunnah, Volume 7, halaman 210:
و العامة معذورون في
قولهم الرافضي حمار اليهودي
“Masyarakat
boleh-boleh saja menyebut kaum Rafidhi tu sebagai keledai-keledai Yahudi”
Dalam Majmu’a al-Fatawa, Volume 3, halaman 153:
وَمَنْ طَعَنَ فِي
خِلَافَةِ أَحَدٍ مِنْ هَؤُلَاءِ الْأَئِمَّةِ فَهُوَ أَضَلُّ مِنْ حِمَارِ
أَهْلِهِ .
“Sesungguhnya
barangsiapa yang menyerang kekuasaan para khalifah, ia lebih buruk daripada seekor
keledai.”
Bukan hanya kaum Syi’ah yang dicaci maki oleh Ibnu Taymiah, akan
tetapi para ulama Ahlusunnah pun tidak luput dari caciannya. Beberapa ulama
yang terpandang dan terkemuka di kalangan kaum Sunni diserangnya dengan
kata-kata pedas.
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan tentang Ibnu Taymiah yang suka
mencela Imam Ghazali:
وكان لتعصبه لمذهب
الحنابلة يقع في الأشاعرة حتى أنه سب الغزالي
“Karena fanatismenya dengan madzhab
Hanbali, maka ia selalu mencela kaum Asy’ari, dan ia juga mencela al-Ghazali”
(LIHAT: al-Durar al-Kamina, Volume 1, halaman 49)
Al-Safadi menulis dalam kitabnya ‘Al-Wafi bil Wafiyat, Volume 7, halaman 14:
وسمعته يقول عن نجم
الدين الكاتبي المعروف بدبيران بفتح الدال المهملة وكسر الباء الموحدة وهو الكاتبي
صاحب التواليف البديعة في المنطق فإذا ذكره لا يقول إلا دبيران بضم الدال وفتح
الباء.
“Aku mendengarnya
(Ibnu Taymiah) menggunakan kata “anus ganda” (artinya, homoseksual) kepada
Najmuddin al-Kitabi, yang terkenal dengan Dabiran penulis kitab al-Tawalif
al-Badya, dan menghindar darinya kapanpun ia menyebutnya.”
Ibn Taimiyah juga mencela Ali bin Yaqub
al-Bakri (meninggal tahun 724 H). Kita bisa baca itu dalam kitab al-Rad ala al-Bakri, Volume 2, halaman 485:
إلا مثل هذا الأحمق
الضال
“Kecuali mereka
seperti orang bodoh sesat ini.”
Ibn Taimiyah mencela para
ulama Syi’ah dan kita bisa melihat ini dalam kitab Minhaj al-Sunnah,
Volume 7, halaman 206:
شيوخ الرافضة أما
جاهل و أما زنديق كشيوخ أهل الكتاب
“Para ulama Rafidhah itu jahil atau tidak
bertuhan sama seperti para rahib Ahlul Kitab.”
Kita juga bisa baca dalam kitab Minhaj al-Sunnah, Volume 7, halaman 209 bahwa Ibnu Taymiah berkata buruk tentang
Allamah al-Hilli:
أن هذا الحمار
الرافضي
“Orang Rafidhi ini seekor keledai.”
Al-Safadi menuliskan dalam kitabnya Al-Wafi bil Wafiyat, Volume 7, halaman 14:
وسمعته يقول ابن
المنجس يريد ابن المطهر الحلي
“Aku mendengarnya (Ibnu Taymiah) mengatakan “dasar anak kotoran” kepada Ibnu al-Mutahar al-Hilli.”
Kemudian kita baca dalam Minhaj al-Sunnah, Volume 3, halaman 261:
أن هذا المصنف
الرافضي الخبيث الكذاب المفتري
“Penulis Rafidhi ini orangnya jahat,
pembohong, dan suka mengada-ada.”
Kita baca juga dalam kitab Minhaj al-Sunnah, Volume 7, halaman 122:
أن هذا الرافضي
الجاهل الظالم
“Orang ini Rafidhi bodoh dan dzalim.”
Kita baca juga dalam kitab Minhaj al-Sunnah, Volume 2, halaman 139 bahwa Ibnu Taymiah berkata kotor tentang Mumin al-Taq, salah seorang murid dari Imam Jaffar al-Sadiq
(as):
أصحاب شيطان الطاق
“Ia sahabat Setan al-Taq”
Tentang Ibnu Sina—seorang ulama Syi’ah yang juga ahli
kedokteran—Ibnu Taymiah berkata:
ثم يقال لهذا الأحمق
: أن كل أمة فيها ذكي وبليد
“Kami katakan kepada orang bodoh ini: ‘Di
dalam setiap bangsa itu ada orang pandai dan orang bodohnya’”
(LIHAT: Dare Tanaqud al-Aqil
wa al-Naql, Volume 2, halaman 355)
Kita bisa baca dalam kitab Majmu’a al-Fatawa, Volume 10, halaman 208:
وَلَوْ تَدَبَّرَ
الْأَحْمَقُ مَا قَصَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ
“Andai saja orang bodoh ini berfikir
tentang apa yang Allah katakan dalam Kitab-Nya”
Kita juga bisa baca dalam Majmu’a al-Fatawa, Volume 5, halaman 8:
كَمَا قَدْ يَقُولُهُ
بَعْضُ الْأَغْبِيَاءِ
“Sama seperti apa yang dikatakan orang
bodoh.”
Lalu kita juga bisa baca dalam Majmu’a al-Fatawa, Volume 4, halaman 358:
وَقَدْ قَالَ بَعْضُ
الْأَغْبِيَاءِ
“Orang bodoh itu berkata.”
Kita baca dalam Majmu’a al-Fatawa, Volume 4, halaman 376:
وَلَيْسَ كَمَا
زَعَمَ هَذَا الْغَبِيُّ
“Itu tidak seperti yang diklaim orang
bodoh ini”
Dalam kitab Majmu’a al-Fatawa, Volume 23, halaman 292:
كَاَلَّذِي يَرْفَعُ
رَأْسَهُ قَبْلَ الْإِمَامِ فَإِنَّهُ كَالْحِمَارِ
“Orang yang mengangkat kepalanya di depan
seorang Imam ialah seekor keledai.”
Kita juga lihat dalam Majmu’a al-Fatawa, Volume 23, halaman 337:
فَإِذَا تَقَدَّمَ
عَلَيْهِ كَانَ كَالْحِمَارِ الَّذِي لَا يَفْقَهُ مَا يُرَادُ بِعَمَلِهِ
“Apabila ia melangkah di depan seorang Imam
maka ia seperti seekor keledai yang tidak tahu apa yang sedang ia lakukan.”
Kita lihat dalam kitab al-Jawab al-Sahih, Volume 1, halaman 89:
وتبين أن صاحبه
الأحمق كاذب مائق
“Terbukti sudah bahwa di penulis itu orang
yang sangat bodoh dan pendusta”
Kita tanyakan saja kepada para pembaca untuk mendapatkan kesimpulan
dari keterangan di atas. Orang macam apa yang memiliki kecenderungan untuk
menggunakan kata-kata yang tidak pantas diucapkan seperti di atas? Apakah
pantas seorang yang disebut ulama mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas
seperti itu? Apakah Bahasa seperti itu yang disukai kaum Salafi/Wahabi? Apakah
sikap sombong seperti itu yang dinikmati oleh kaum Salafi/Wahabi? Apakah karena
sikap sombong dan Bahasa buruk itukah yang mendorong kaum Salafi/Wahabi
memberikan gelar Syeikhul Islam kepada Ibnu Taymiah?
Kalau seandainya benar Ibnu Taymiah itu berdakwah dan ikhlas dalam
dakwahnya, maka kita bisa dan patut pula bertanya: “Apakah cara dakwahnya itu
ada contohnya dari Nabi? Apakah cara dakwahnya itu benar menurut Sunnah Nabi?”
Sementara itu cara dakwah yang dilakukan oleh Ibnu Taymiah itu lebih sering
mengejek daripada mengajak. Ibnu Taymiah seringkali:
- Menyerang sifat
seksualitas dari lawan bicaranya
- Menyebut lawan
debatnya dengan sebutan binatang
- Menyebut orang-orang beriman yang kurang pengetahuannya sebagai kaum keledai
Apakah yang seperti itu termasuk cara dakwah yang pernah
dicontohkan oleh Nabi? Seseorang yang sedang melakukan dakwah itu harus sopan
santun dan bijaksana. Ia tidak boleh mengkoreksi orang-orang yang tidak sepaham
dengannya itu dengan cara yang kasar dan tidak santun. Seorang pendakwah harus
mengkoreksi orang yang dianggapnya tidak benar dengan cara yang halus dan penuh
kelembutan (karena memang Nabi mencontohkan demikian). Seorang pendakwah tidak
boleh memakai kata-kata makian dan kata-kata umpatan dan celaan seperti yang
senantiasa digunakan oleh Ibnu Taymiah.
Apabila anda melihat sendiri kata-kata yang dilontarkan oleh Ibnu
Taymiah, maka jelas sekali bahwa kata-katanya itu kasar, penuh kejumudan
dan kesombongan yang mana kesemuanya itu
sama sekali tidak menarik hati kita ke dalam dakwahnya kecuali hanya menarik
bagi orang-orang Salafi/Wahabi. Kunci dari seorang pendakwah atau pembicara
yang sukses ialah kelembutan hati, kesabaran, kelapangan dada dalam menerima
perbedaan. Seorang pendakwah harus penuh dengan keceriaan, keramah-tamahan, dan
kebaik-hatian. Karena hanya dengan sifat-sifat utama dan baik itulah sebuah dakwah
bisa sangat berhasil untuk menarik simpati dan menimbulkan dampak yang dasyhat
di kalangan para pendengarnya. Apakah semua keluruhan budi yang disebutkan di
atas dimiliki oleh tokoh kita ini (Ibnu Taymiah)? Jelas sekali…. Tentu saja
tidak sama sekali! Sifat sombong dan degilnya itu menegaskan setegas-tegasnya
bahwa ia bukan orang yang penuh kelembutan dan kesopanan. Sementara itu kita
bisa lihat sifat Rasulullah sebagai seorang pendakwah di dalam kitab Sahih
Muslim, Kitab 007, Hadits nomor 2793:
“Jabir bin ‘Abdullah meriwayatkan bahwa …. Rasulullah (SAW)
itu adalah orang yang sangat lembut hatinya.”
Makanya tidak mengherankan
kalau kita lihat bahwa para pemuja dan pengikut Ibnu Taymiah itu melakukan hal
yang sama dengan yang pernah dilakukan oleh Ibnu Taymiah dulu. Ketika anda
berbicara dengan mereka (para pengikut Ibnu Taymiah di masa sekarang), maka
anda akan lihat betapa sombongnya dan betapa jumawanya mereka ketika berbicara
seolah-olah merekalah pemilik kebenaran dan surga. Siapapun yang tidak mau membenarkan
mereka; tidak mau ikut dengan mereka maka mereka tidak segan-segan akan
melecehkan anda dan memandang anda sebagai musuh mereka.
Comments