Perang Siffin
Untuk mencegah
Mu’awiyah melancarkan peperangan terhadap kaum Muslimin, Imam Ali menggunakan
argumen yang sama yang ia pernah gunakan ketika membujuk ‘Aisyah, Thalhah, dan
Zubayr agar mereka tidak memerangi kaum Muslimin meskipun mereka tetap saja
ngotot untuk berperang dan akhirnya perang Unta[1] terjadi juga. Sama halnya
dengan perang Unta, perang antara Imam Ali dan Mu’awiyah ini akhirnya terjadi
juga meskipun Imam Ali sudah membujuk Mu’awiyah agar tidak berperang. Di mata
musuh Imam Imam Ali, perdamaian itu hanyalah akan menambah masalah kepada
masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh umat Islam. Mereka hanya melihat
sebuah jawaban atau pemecahan dari masalah itu yaitu melalui peperangan.
Kali ini, Imam Ali
dihadapkan dengan seorang musuh yang jauh lebih licin, cerdik, kejam, jahat dan
jauh lebih berbahaya dibandingkan tiga orang musuhnya yang terdahulu (‘Aisyah,
Thalhah, dan Zubayr). Malahan apabila dibandingkan ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubayr
itu tidak ada apa-apanya dibanding dengan Mu’awiyah.
Di kota Basrah, kelompok
pemberontak yang ada di dalam perang Unta (perang antara para sahabat Nabi yang
dikobarkan oleh ‘Aisyah) ini terdiri dari kelompok yang memiliki kepentingan
yang berbeda-beda akan tetapi dipersatukan dengan satu kesamaan yaitu kebencian
terhadap Imam Ali. Tujuan atau kepentingan mereka tidak sama dan tidak bisa
dipersatukan. ‘Aisyah memerangi Imam Ali dengan tujuan bahwa ia kelak bisa
mengusung keponakannya yaitu Abdullah bin Zubayr ke tampuk kekuasaan
kekhalifahan. Akan tetapi Thalhah dan Zubayr tidak memiliki tujuan yang sama
dengan ‘Aisyah. Mereka berdua juga menginginkan tampuk kekhalifahan itu bagi
mereka sendiri (meskipun Zubayr adalah ayah dari Abdullah bin Zubayr—keponakan
‘Aisyah). Itu menjadikan koalisi yang mereka bangun menjadi rapuh dan tidak
bisa menjadi suatu kekuatan yang satu dan solid seperti yang diinginkan oleh
para pengikutnya.
Kelompok tiga
serangkai kota Basrah (‘Aisyah, Thalhah, Zubayr) dipusingkan oleh tujuan dan
impian mereka yang berbeda-beda sedangkan Mu’awiyah tidak sama sekali.
Mu’awiyah mencari nasehat dari penasehatnya yang sangat licik yaitu Amr bin Aas
dan kawan-kawan. Akan tetapi Mu’awiyah sendiri yang akhirnya memutuskan segala
sesuatunya.
Imam Ali sendiri
sedang berusaha sekuat tenaga untuk mempersatukan umat Muhammad. Persatuan umat
Muhammad sedang dilanda kekacauan dan ketegangan, dan ia ingin mempersatukan
umat Muhammad itu seperti dulu di bawah kepemimpinan sepupunya itu. Di sisi
lain, musuh Imam Ali sama sekali tidak peduli. Ia tidak peduli umat Muhammad
bertikai dan berselisih. Ia tidak peduli umat Muhammad kacau balau dan hancur.
Tujuan mereka malah menghancurkan umat Muhammad dan kemudian menguasai mereka
di bawah kaki kekuasaannya.
Pada musim semi
tahun 657, Mu’awiyah meninggalkan kota Damaskus bersama pasukannya untuk
memperluas perang ke wilayah Irak. Ia melintasi daerah perbatasan dan kemudian
ia berhenti di sebuah desa yang disebut dengan Siffin—Siffin terletak di tepian
sungai Efrat. Yang mula-mula ia lakukan pada waktu itu ialah menguasai mata air
untuk kepentingannya sendiri.
Demi mendengar
kabar tentang pergerakan tentara Syria (tentaranya Mu’awiyah), Imam Ali
menunjuk Aqaba Ibn Amr Ansari sebagai gubernur kota Kufah. Setelah itu Imam Ali
memanggil Abdullah Ibn Abbas dari kota Basrah untuk menemaninya. Kemudian
mereka meninggalkan kota Kufah bersama pasukannya ke desa Siffin pada bulan
April 657. “Sebanyak 70 orang veteran perang Badar dan sebanyak 250 orang
sahabat Nabi yang pernah berbai’at di bawah pohon merangsek maju di bawah panji
Imam Ali. Mereka berjalan di tepian sungai Efrat menuju desa Siffin.” (LIHAT: Mustadrak,
vol 3).
[1]
Perang antara keluarga Abu Bakar (‘Aisyah binti Abu Bakar—puteri Abu Bakar,
Thalhah bin Ubaydillah—sepupu Abu Bakar, Zubayr bin Awwam—menantu Abu Bakar,
Abdullah bin Zubayr—cucu Abu Bakar, dll) melawan keluarga Nabi Muhammad (Ali
bin Abi Thalib—sepupu Nabi, Hasan dan Husain—cucu Nabi, dll). Untung perang
dimenangkan oleh keluarga Nabi Muhammad, karena kalau dimenangkan keluarga Abu
Bakar, maka itu akhir dari Islam itu sendiri. Islam akan hilang sebagai agama
para Nabi.
Comments