Asal-Usul Pemikiran Wahabi (Serial Wahabi bagian 2)

Asal-usul Pemikiran Wahabi
Para pengikut sekte Wahabi ini memiliki dua ajaran dasar yang penting yang dibagi menjadi dua yaitu ajaran yang mereka tampakkan dan yang mereka sembunyikan. Ajaran yang mereka tampakkan ialah komitmen mereka terhadap tauhid atau keesaan Allah serta penentangan terhadap kemusyrikan, berhala atau agama paganism (bertuhan lebih dari satu). Akan tetapi nanti kita ketahui sendiri bahwa komitmen ini tidak terbukti di dalam sejarah perkembangan sekte Wahabi ini sendiri.

Sementara itu ajaran yang mereka sembunyikan ialah penyemaian bibit-bibit perpecahan di kalangan kaum Muslimin, penyebaran permusuhan dan pertentangan atau perang saudara di kalangan kaum Muslimin demi tujuan untuk memberikan keleluasaan bagi bangsa asing untuk menguasai kaum Muslimin (seperti yang terjadi di Indonesia—pen.). Inilah sebenarnya tujuan sebenarnya dari kaum Wahabi; tujuan yang mereka susun rapi sejak kelahiran sekte ini hingga sekarang ini. Ini artinya ialah bahwa ajaran yang mereka tampakkan itu hanyalah untuk meraih simpati dan merekrut sebanyak mungkin agar kelak mereka lebih mudah untuk mewujudkan tujuan sebenarnya.

Jadi tidak diragukan lagi bahwa slogan atau kata-kata manis mereka yang mengajak kaum Muslimin untuk menghidupkan kembali konsep ketauhidan dan menentang kemusyrikan hanyalah untuk meraih simpati dan para pengikutnya diharapkan bisa mendakwahkan ajaran ini dengan penuh semangat tanpa menyadari bahwa ini hanya kamuflase saja untuk menyembunyikan tujuan sebenarnya.

Para ahli sejarah yang meneliti ajaran Wahabi ini menegaskan bahwa ajaran atau gerakan Wahabi ini sebenarnya asal-usulnya dibentuk dan diwujudkan oleh pemerintah kolonial Inggris. Sumber-sumber otoritatif yang mendukung kesimpulan di atas banyak sekali dan daftarnya panjang sekali dan itu termasuk laporan dari Saint John Philpy, misalnya, dalam bukunya The History of Najd; atau dari Khairi Hamad dalam bukunya The Pillars of Colonialism, Hamaion Himayati dalam bukunya Al-Wahhabi Criticism and Analysis, dan yang terakhir yang bisa kita kemukakan di sini ialah dari Haiem Wiseman[1]di dalam memoarnya.

Sumber Pemikiran Wahabi
Sekte Wahabi ini mengelompokkan doktrin ajaran mereka kedalam dua kategori. Kategori pertama meliputi seluruh doktrin yang konon berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Mereka mengklaim bahwa doktrin ajaran mereka itu bersumber langsung dari kedua sumber tersebut tanpa melalui analisa dan pemikiran logis dari para Ulama untuk menafsirkan kedua sumber tersebut. Ini juga berlaku untuk sumber-sumber lainnya yang berasal dari para sahabat Nabi atau para Ulama terdahulu.

Kategori yang kedua meliputi seluruh doktrin ajaran yang tidak berdasarkan Al-Qur’an atau Hadits Nabi, dan untuk yang seperti ini sekte Wahabi mengklaim bahwa mereka mendahulukan ajaran-ajaran yang mereka dapat dari penafsiran Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taymiah. Akan tetapi sayangnya, mereka gagal untuk mempertahankan pemikiran atau pendapat mereka dan malah mereka membuat banyak sekali kekeliruan dan pertentangan yang sangat meresahkan seperti:

1. Mereka mendasarkan pemahaman agama mereka kepada apa-apa yang tertulis secara harfiah di dalam sumber-sumber yang mereka ambil dan oleh karena itu pemahaman mereka seringkali bertentangan dengan ajaran dasar atau ijma dari para Ulama shaleh terdahulu. Oleh karena itulah maka seorang Ulama dari Mesir di abad ini yang bernama Muhammad Abduh menggambarkan kaum Wahabi itu sebagai orang-orang yang lebih buruk daripada orang-orang yang mengikuti orang lain secara membabi-buta karena mereka itu “meyakini bahwa makna tersurat itu harus diiikuti dan dipatuhi secara apa adanya tanpa melihat atau mempedulikan penafsiran atau pemahaman dasar agama itu sendiri.”[2]

2. Mereka bertentangan dengan pendirian Imam Ahmad bin Hanbal dalam menetapkan kekafiran atau kesesatan seorang Muslim. Ahmad bin Hanbal sendiri menetapkan bahwa hanya Muslim yang menolak kewajiban shalat saja yang boleh disebut sebagai kafir atau sesat (sementara kaum Wahabi bisa menuduh siapa saja sebagai kafir atau sesat kalua mereka tidak sepakat atau berbeda pendirian dengan kaum Wahabi—pen.). Pendirian Wahabi ini juga tidak kita temui kitab-kitab karangan Ibnu Taymiah. Bahkan Ibnu Taymiah sendiri menentang pendirian atau pemikiran seperti itu. Ibnu Taymiah mengatakan, “Barangsiapa yang setuju dengan pemikirannya dan mengutuk siapa saja yang berbeda pendapat dengannya, kemudian menciptakan perpecahan di kalangan kaum Muslimin, menggelari orang-orang yang berbeda pendapat dengannya—tanpa melihat bahwa pendapat mereka itu logis dan masuk akal—sebagai orang-orang kafir, kemudian menetapkan peperangan atas mereka, maka dia sudah membelah-belah kaum Muslimin dan memutuskan silaturrahim.” Penggambaran dari Ibnu Taymiah itu sangat cocok dengan kaum Wahabi.[3]

Apabila kita mengikuti pendapat kaum Wahabi yang menyatakan bahwa mengunjungi makam-makam para wali itu sebagai kesesatan atau kekafiran, maka Imam Ahmad bin Hanbal dan para pengikutnya harus dinyatakan sebagai kaum Musyrikin atau penyembah berhala dimana mereka harus dilaknat dan halal nyawanya serta hartanya untuk diambil. Ibnu Taymiah sendiri sudah melaporkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal telah menulis sebuah risalah tentang mengunjungi makam atau berziarah ke makam Imam Husein bin Ali (cucu Nabi) di Karbala lengkap dengan tata cara ziarahnya untuk diamalkan para peziarah yang mengunjungi makam itu. Ibnu Taymiah mengomentari risalah ini dengan menyebutkan bahwa “Orang-orang pada masa hidup Imam Ahmad [bin Hanbal] seringkali melakukan itu [yaitu berziarah].”[4]

Meskipun begitu, ajaran Wahabi tetap menganggap bahwa perjalanan menuju sebuah situs pemakaman para wali dengan tujuan berziarah itu disebut sebagai salah satu bentuk penyembahan berhala yang para pelakunya patut dan layak untuk diberikan hukuman yang berat yaitu dihalalkannya harta dan nyawa bagi para pelakunya. Sebagai akibatnya, mereka juga melaknat Imam Ahmad, para pengikutnya yang hidup di jaman ini serta kaum Muslimin terdahulu yang juga mempraktekan ritual ziarah ini dan kaum Wahabi melaknat mereka itu sebagai para penyembah berhala yang harus dihukum mati dan hartanya disita dan mereka kuasai. Selain itu, ajaran sekte Wahabi ini harus juga kita kenakan kepada para sahabat Nabi yang menyepakati ziarah kubur dan malah mengamalkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan itu seluruh klaim kaum Wahabi bahwa mereka itu mengikuti madzhab Imam Ahmad bin Hanbal seluruhnya tidak ada dasar sama sekali.

Argumentasi yang sama mereka gunakan juga kepada orang yang bertawassul kepada NAbi. Menurut pemahaman mereka, barangsiapa meminta do’a kepada Rasulullah atau menjadikan Rasulullah sebagai wasilah setelah Rasulullah wafat, maka ia dihukumi sebagai orang yang telah melakukan pelanggaran berat yaitu setara dengan penyembahan berhala. Mereka bersikeras mengatakan bahwa dengan melakukan perbuatan seperti itu berarti pelakunya telah memperlakukan Rasulullah sebagai sesembahan atau sebagai berhala yang dipuji dan dipuja seperti Allah Ta’ala. Lalu, oleh karena itulah maka kaum Wahabi merasa pantas untuk membunuhi orang-orang seperti itu dan merampas harta kekayaannya sebagai bagian dari tugas dakwah—tugas religiusnya.[5]

Doktrin ajaran sekte Wahabi ini tentu saja bertentangan dengan praktek meminta do’a dan menjadikan Rasulullah sebagai wasilah (bertawassul) yang telah dilakukan oleh banyak sekali para sahabat Nabi yang terkemuka dan oleh kaum Muslimin awal sepanjang sejarahnya—yang mana setiap kali mereka bertawassul, setiap permohonan mereka selalu diperbolehkan oleh Rasulullah (SAW). Ibnu Taymiah sendiri sudah menyebutkan tentang hal ini di dalam kitabnya yang berjudul Al-Ziarah yang merujuk kepada keterangan yang berdasarkan riwayat dari Al-Baihaqi, Al-Tabarani, Ahmad bin Hanbal da Ibnu Abi al-Dunia.[6]
Akan tetapi, meskipun begitu, Ibnu Taymiah sendiri juga malah memilih untuk menentang seluruh riwayat yang ia telah kumpulkan itu dan memutuskan untuk menentang dan melarang tawassul meskipun ia tahu banyak riwayat yang menguatkannya. Akan tetapi berbeda dengan kaum Wahabi, Ibnu Taymiah tidak menyebut amalan Tawassul itu sebagai bentuk kemusyrikan yang mutlak.

Kesimpulan yang bisa kita ambil dari keterangan di atas ialah bahwa apabila kita menerima doktrin ajaran Wahabi yang menyebutkan bahwa Tawassul itu sebagai perbuatan musyrik yang mutlak dan besar, maka seluruh sahabat Nabi dan kaum Muslimin awal dalam sejarah Islam yang mengamalkan Tawassul itu harus dianggap sebagai para penyembah berhala yang hukumannya tidak lain ialah dihukum mati. Bahkan menurut kaum Wahabi, bukan saja mereka yang bisa disebutkan sebagai para penyembah berhala, akan tetapi juga seluruh kaum Muslimin yang mengetahui tentang perbuatan itu dan tidak mau menentang perbuatan itu dan tidak mau melaknat perbuatan itu sebagai perbuatan bid’ah yang sesat, semuanya tanpa kecuali akan dihukumi sebagai para penyembah berhala. Mereka semua harus dihukum mati dan harta bendanya disita dari mereka dan keluarganya. Jadi seluruh kaum Muslimin awal, tak seorangpun, bisa selamat dari kaum Wahabi ini. Innalillahi wa inna ilayhi rajiuun.



[1] Perdana Menteri yang pertama dari the Jewish Entity di Palestina
[2] Muhammad Abduh, Al-Islam wa al-Nasrania, Edisi ke-8, halaman 97.
[3] Ibn Taimia, Majmi'at Fatawa Ibnu Taymiah, vol. 3, halaman 399.
[4] Ibn Taimia, Ra's al-Hussain, halaman 209.
[5] Al-San'ani, Tat'hear al-I'tiqad, halaman 7.
[6] Ibn Taimia, Al-Ziara, vol. 7, halaman 101-106.





















Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta