Ajaran
sekte Wahabi mengenai para sahabat Nabi
1. Sebagaimana
yang telah kami paparkan dalam tulisan sebelumnya, kaum Wahabi itu menganggap
para sahabat Nabi sebagai kaum penyembah berhala dan pembuat bid’ah saja karena
sepeninggal Nabi mereka tetap saja memperbolehkan amalan Tawassul dan ziarah
kubur. Mereka juga melaknat orang-orang yang membiarkan praktek ini terjadi
atau orang-orang yang mengetahui tentang hal ini akan tidak tidak mau menyebut
dan menghukumi para pelakunya sebagai musyrikin dan para pembuat bid’ah yang
kepadanya diperbolehkan untuk dihukum mati dan dijarah harta kekayaannya.
Ajaran kaum Wahabi ini bertentangan dengan klaim mereka sendiri yang senantiasa
menyebutkan bahwa para sahabat Nabi itu adalah orang-orang yang mulia dan
tinggi kedudukannya.
2. Belum
puas dengan itu, kaum Wahabi malah dengan terang-terangan menyerang para
sahabat Nabi yang mengikuti setiap prilaku Nabi dengan penuh kepatuhan dan
ketaatan. Lihat saja misalnya, Muhammad bin Abdul Wahab—sebagai pendiri sekte
Wahabi ini, pernah mengemukakan sebagai berikut:
“ …………sekelompok sahabat Nabi yang pernah
berperang dengan Nabi, shalat di belakang Nabi, membayar zakat, berpuasa, dan
berhaji bersama Nabi, pada kenyataannya adalah orang-orang pembuat bid’ah dan
mereka telah menyimpang dari Islam.”[1]
3. Oleh
karena itu, sama sekali tidak mengherankan kalau para penulis Wahabi dan para
ulama Wahabi sangat ekstrim sekali ketika mereka membela Yazid bin Mu’awiyah[2]
yang perbuatannya menunjukkan permusuhan kepada para sahabat Nabi. Pasukan
Yazid-lah yang sudah meluluh lantakkan Madinah dalam sebuah perang yang
dinamakan dengan Perang al-Hara dimana banyak sekali para sahabat Nabi yang
masih hidup pada masa itu dibunuhi dan isteri-isteri serta puteri-puterinya
diperkosa beramai-ramai oleh mereka. Menurut riwayat dan catatan sejarah,
setelah peristiwa ini sebanyak satu ribu perempuan di sana mengandung tanpa
mengetahui siapa ayah dari bayinya itu. Sebelumnya, pasukan Yazid telah
melakukan kejahatan yang lebih keji lagi yaitu membantai 18 orang anggota
keluarga Nabi di sebuah lapangan bernama Karbala. Yang ikut dibunuh dan
dimutilasi dalam peristiwa tragi situ ialah cucu Nabi yang paling dikasihi Nabi
yaitu Imam Husein (as), juga saudara-saudaranya, putera-puteranya termasuk
seorang bayi mungil yang baru berusia beberapa bulan saja. Pada masa rezim
pemerintahan Yazid itulah—di bawah perintahnya, Mekah juga diserang dan Ka’bah
dibakar. Akan tetapi—sangat menakjubkan!—kaum Wahabi malah mengelu-elukan Yazid
dalam setiap tulisan mereka yang artinya bahwa para pengikut sekte Wahabi itu
menganggap perbuatan Yazid itu wajar saja dan bisa dimaklumi. Mereka juga
mengabaikan fakta-fakta yang menegaskan bahwa Yazid itu tidak pernah mendirikan
shalat wajib dan suka meminum minuman keras. Kalau memang para pengikut sekte
Wahabi itu mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal dalam fikihnya, maka seharusnya
fakta tersebut sudah sangat cukup untuk menghukumi Yazid sebagai seorang
pendosa. Akan tetapi, alih-alih menyebut Yazid sebagai pendosa, malahan kaum
Wahabi itu mengelu-elukan Yazid—mengkultuskan Yazid, sambal di sisi lain
melaknat orang-orang shaleh yang suka bertawassul kepada Nabi termasuk di
dalamnya para sahabat Nabi sendiri. Kaum Wahabi lebih senang menyebut para
sahabat Nabi itu sebagai pelaku dosa daripada menuduh Yazid dengan sebutan yang
sama.
Ajaran
sekte Wahabi mengenai sifat-sifat Allah
Ajaran sekte Wahabi tentang
sifat-sifat Allah sama saja dengan ajaran yang dibawakan oleh kaum al-Mujasima[3],
yaitu:
Mereka menyebutkan bahwa Allah
itu memiliki organ tubuh sama seperti makhluk lainnya yaitu memiliki tangan,
kaki, mata, dan wajah. Mereka juga menyebutkan bahwa Allah itu duduk, bergerak,
berpindah tempat, turun dan naik sama seperti makhluknya.[4]
Ajaran sesat ini mereka adopsi dari Ibnu Taymiah; sedangkan Ibnu Taymiah
mendapatkannya dari kaum Hasyawiah yang pengetahuannya tentang ajaran Islam
sangat dangkal sekali. Kaum Hasyawiah adalah orang-orang yang berpegangan pada
bentuk dhahir (bentuk luar). Mereka
meyakini tajsim yang mana ajaran itu
sama dengan yang ada pada kaum Yahudi.
Kaum Wahabi tidak bisa
mempertahankan keyakinan mereka ini karena mereka gagal untuk menunjukkan satu
buktipun dari riwayat para sahabat Nabi atau dari pendapat kaum Muslimin awal.
Akan tetapi, kaum Wahabi tetap ngotot untuk menyebutkan bahwa apa-apa yang
mereka yakini itu berdasarkan konsensus (ijma) dari para ulama atau kaum
Muslimin awal dalam sejarah Islam. Dalam berbagai kesempatan, ketika mereka
berargumentasi mempertahankan pendapatnya, kaum Wahabi ini seringkali kelimpungan
dan terdesak dengan sendirinya karena tidak bisa memperkuat pendapat mereka
dengan alasan-alasan dan bukti yang kuat. Oleh karena itu, keyakinan mereka itu
sangat tidak meyakinkan.
Untuk mempertahankan keyakinan
mereka, kaum Wahabi ini hanya mengandalkan kepada sebuah pernyataan Ibnu
Taymiah yang menyatakan bahwa setelah ia meneliti semua riwayat dari para
sahabat Nabi yang ada serta hadits-hadits yang diriwayatkan oleh mereka yang
disarikan dari berbagai sumber yang konon melebihi 100 kitab tafsir jumlahnya,
konon lagi Ibnu Taymiah tetap tidak dapat mendapatkan satu bukti pun yang
menyatakan bahwa satu orang (saja!) sahabat yang menafsirkan ayat-ayat tentang
sifat Allah yang berbeda dengan makna dhahir-nya.[5]
Tuduhan ngawur yang berulangkali
dinyatakan oleh Ibnu Taymiah ini jelas sekali salah arah dan sudah disangkal
oleh oleh sumber-sumber yang kredibilitasnya dan otensitasnya sudah diakui
bahkan oleh Ibnu Taymiah sendiri. Sumber-sumber yang dimaksud ialah diantaranya
al-Tabari, Ibnu Atia, dan al-Bagawi.[6]
Seluruh sumber ini menyebutkan
bahwa para sahabat Nabi itu memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang
menyebutkan sifat-sifat dan wujud Allah itu tidak seperti yang dinisbahkan
kepada makhluk-makhluknya. Para sahabat Nabi itu tidak menafsirkan ayat-ayat
tersebut secara harfiah seperti yang tertulis apa adanya di dalam kitab suci
tersebut. Ketika menafsirkan Ayat Kursi misalnya, Al-Tabari, Ibnu Atia, dan
Al-Badawi menukil dari Ibnu Abbas (salah seorang sahabat Nabi) yang menyebutkan
bahwa arti KURSI di sana tidak sama dengan “kursi” (tempat duduk). Kursi Allah
di sana artinya “Pengetahuan Allah”. Ibnu Atia tetap mempertahankan pendapatnya
dan menganggap yang menafsirkan kata itu apa adanya (dari makna “dhahir” nya
saja) sebagai orang Yahudi atau Hasyawi, dan oleh karena itu pendapatnya tidak
usah dianggap.[7]
Dengan cara yang sama, WAJAH
ALLAH itu ditafsirkan dalam berbagai ayat yang mengandung kata-kata tersebut
sebagai “tujuan”, “keridhoan Allah”, “pahala” atau yang lainnya tergantung
konteks kalimatnya. Siapapun bisa meneliti tafsir dari al-Baghawi ini yang mana
telah dipuji setinggi langit oleh Ibnu Taymiah sendiri dan dianggap sebagai
tafsir yang bisa dipercaya. Jadi klaim Ibnu Taymiah itu sendiri sama sekali
tidak berdasar.
Secara spesifik, anda bisa
meneliti sendiri tafsir Al-Bagawi menyangkut ayat-ayat berikut ini:
-
Al-Baqarah ayat 115 dan 272
-
Ar-Ra’d ayat 22
-
Al-Qashshas ayat 88
-
Ar-Rum ayat 38, 39
-
Al-Insaan ayat 9
-
Dll.
Dengan bukti yang sangat kuat
ini, kita bisa menegaskan bahwa para sahabat Nabi sendiri tidak sesuai dengan
ajaran kaum Wahabi. Mereka memiliki keyakinan yang sama sekali berbeda dengan
keyakinan kaum Wahabi mengenai sifat-sifat dan wujud Allah.
Kaum
Wahabi vs Kaum Muslimin:
Bid’ah
yang diada-adakan kaum Wahabi
Kaum Wahabi meyakini betul bahwa
mereka itulah yang disebut sebagai kaum Muslimin sejati karena mereka sangat
bertauhid (meng-esa-kan Allah) sementara kaum Muslimin lainnya dituduh sebagai
kaum Musyrikin yang halal harta dan nyawanya di hadapan mereka. Menurut mereka,
seseorang tidak bisa dianggap Muslim meskipun ia telah bersyahadat dan mengakui
Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu ialah Utusan Allah. Kalau ia juga
mempercayai bahwa ia bisa memperoleh keberkahan karena telah mengunjungi atau
berziarah ke makam Rasulullah, maka ia tetap dianggap sebagai seorang
Musyrikin. Orang yang bersyahadat tapi ia juga bershalawat dan mencari
keberkahan dengan bertawassul kepada Rasulullah tetap akan dianggap pendosa dan
dituduh sesat.
Mereka berkata bahwa setiap
Muslim yang memiliki keyakinan seperti itu sama saja dengan seorang penyembah
berhala—bahkan lebih buruk daripada penyembah berhala yang pernah hidup di
jaman sebelum Islam yang menyembah berhala-berhala secara langsung atau
menyembah benda-benda mati lainnya seperti matahari dan bulan, planet dan
bintang.
Di dalam kitabnya Kashful
al-Shubuhat, Muhammad ibn Abdul Wahab menyebut seluruh kaum Muslimin
yang hidup (kecuali para pengikutnya sendiri) sebagai kaum penyembah berhala.
Ia menyebut hal itu sebanyak 24 kali. Kaum Muslimin yang ada di dunia ini
diberi label seperti:
-
Orang-orang sesat pembuat bid’ah
-
Para penyembah berhala
-
Orang-orang ingkar
-
Anti tauhid
-
Musuh-musuh Allah
-
Para pengkhianat
-
Dll.
Dia melaknat kaum Muslimin
seperti itu di 20 bagian yang berbeda di dalam kitab yang sama. Para
pengikutnya mengikuti kebiasaan Ibnu Abdul Wahab secara patuh.[8]
Sampai di sini kita bisa bertanya
kepada mereka:
“Apakah ajaran mereka itu
benar-benar berdasarkan konsensus atau ijma
para ulama yang ‘alim atau itu hanya bid’ah yang diada-adakan oleh kaum Wahabi
saja?”
Ibnu Hazm—salah seorang ulama
Sunni terkenal—menyatakan bahwa:
“Seorang Muslim itu tidak bisa disebut sesat
atau pendosa dengan alasan perbedaan pendapat walaupun itu sudah dijadikan
sebuah bentuk doktrin atau keputusan ijtihad. Setelah menyebutkan sejumlah
ulama yang shaleh yang memiliki pandangan yang sama, kemudian ia menyimpulkan
bahwa itu sudah menjadi ijma para sahabat yang menafsirkan hal yang sama.”[9]
Menurut Ibnu Taymiah sendiri
hanya kaum Khawarij saja yang menghukumi kaum Muslimin sebagai orang-orang
sesat dengan alasan sudah berdosa karena memiliki pandangan yang berbeda atau
memiliki kesimpulan yang berbeda atas perkara agama.[10]
Oleh karena itu, kaum Wahabi
tidak memiliki sandaran hukum sama sekali atas sikap dan perbuatannya itu
kecuali menyandarkan prilakunya itu kepada orang-orang Khawarij yang terkenal
kejahatannya.
[1] Muhammad
ibn Abdul Wahab, Al-Ra'sal al-A'mlia al-Tisa', halaman 120.
[2]
Khalifah Kedua dari keluarga Bani Umayyah yang ditunjuk dan diangkat oleh
ayahnya sendiri Khalifah Mu’awiyah sebagai pelanjutnya—penerus tahta
kekuasaannya.
[3]
Kaum Al-Mujasima itu disebut juga sebagai anthropomorphist yaitu mereka yang
meyakini bahwa Allah itu memiliki sifat dan bentuk fisik seperti manusia.
[4] Abdul
Latif ibn Abdul Wahab [putera dari pendiri sekte Wahabi], Al-Hadia al- Sania, Bagian
Empat.
[5] Ibn
Taimia, Tafseer Sura al-Noor, halaman 178-179.
[6] Ibn
Taimia, Muqadima fi Usool al-Tafseer, halaman 51.
[7]
Dikutip oleh al-Shawkani dalam Fatih al-Qadeer, vol. 1, halaman
272.
[8]
Muhammad ibn Abdul Wahab, Al-Ra'sal al-A'mlia al-Tisa',
halaman 79; Ibid., Fatih al-Majeed, halaman 40-41; Ibid., Arba' al-Quaid; Ibid., Kashful
al-Shubuhat; al-San'ani, Tat'hear al-I'tiqad, halaman 7, 12,
25.
[9] Ibn
Hazim, Al-Fasil, vol. 2, halaman 247; Al-Sharani, Al-Yawaqeet wa al- Jawahir,
bab 58.
[10] Ibn
Taimia, Majmut Fatawa, vol. 13, halaman 20.
Comments