Kaum Wahabi vs Kaum Muslimin (Serial Wahabi bagian 3)

Ajaran sekte Wahabi mengenai para sahabat Nabi

1.       Sebagaimana yang telah kami paparkan dalam tulisan sebelumnya, kaum Wahabi itu menganggap para sahabat Nabi sebagai kaum penyembah berhala dan pembuat bid’ah saja karena sepeninggal Nabi mereka tetap saja memperbolehkan amalan Tawassul dan ziarah kubur. Mereka juga melaknat orang-orang yang membiarkan praktek ini terjadi atau orang-orang yang mengetahui tentang hal ini akan tidak tidak mau menyebut dan menghukumi para pelakunya sebagai musyrikin dan para pembuat bid’ah yang kepadanya diperbolehkan untuk dihukum mati dan dijarah harta kekayaannya. Ajaran kaum Wahabi ini bertentangan dengan klaim mereka sendiri yang senantiasa menyebutkan bahwa para sahabat Nabi itu adalah orang-orang yang mulia dan tinggi kedudukannya.

2.       Belum puas dengan itu, kaum Wahabi malah dengan terang-terangan menyerang para sahabat Nabi yang mengikuti setiap prilaku Nabi dengan penuh kepatuhan dan ketaatan. Lihat saja misalnya, Muhammad bin Abdul Wahab—sebagai pendiri sekte Wahabi ini, pernah mengemukakan sebagai berikut:
“ …………sekelompok sahabat Nabi yang pernah berperang dengan Nabi, shalat di belakang Nabi, membayar zakat, berpuasa, dan berhaji bersama Nabi, pada kenyataannya adalah orang-orang pembuat bid’ah dan mereka telah menyimpang dari Islam.”[1]

3.       Oleh karena itu, sama sekali tidak mengherankan kalau para penulis Wahabi dan para ulama Wahabi sangat ekstrim sekali ketika mereka membela Yazid bin Mu’awiyah[2] yang perbuatannya menunjukkan permusuhan kepada para sahabat Nabi. Pasukan Yazid-lah yang sudah meluluh lantakkan Madinah dalam sebuah perang yang dinamakan dengan Perang al-Hara dimana banyak sekali para sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu dibunuhi dan isteri-isteri serta puteri-puterinya diperkosa beramai-ramai oleh mereka. Menurut riwayat dan catatan sejarah, setelah peristiwa ini sebanyak satu ribu perempuan di sana mengandung tanpa mengetahui siapa ayah dari bayinya itu. Sebelumnya, pasukan Yazid telah melakukan kejahatan yang lebih keji lagi yaitu membantai 18 orang anggota keluarga Nabi di sebuah lapangan bernama Karbala. Yang ikut dibunuh dan dimutilasi dalam peristiwa tragi situ ialah cucu Nabi yang paling dikasihi Nabi yaitu Imam Husein (as), juga saudara-saudaranya, putera-puteranya termasuk seorang bayi mungil yang baru berusia beberapa bulan saja. Pada masa rezim pemerintahan Yazid itulah—di bawah perintahnya, Mekah juga diserang dan Ka’bah dibakar. Akan tetapi—sangat menakjubkan!—kaum Wahabi malah mengelu-elukan Yazid dalam setiap tulisan mereka yang artinya bahwa para pengikut sekte Wahabi itu menganggap perbuatan Yazid itu wajar saja dan bisa dimaklumi. Mereka juga mengabaikan fakta-fakta yang menegaskan bahwa Yazid itu tidak pernah mendirikan shalat wajib dan suka meminum minuman keras. Kalau memang para pengikut sekte Wahabi itu mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal dalam fikihnya, maka seharusnya fakta tersebut sudah sangat cukup untuk menghukumi Yazid sebagai seorang pendosa. Akan tetapi, alih-alih menyebut Yazid sebagai pendosa, malahan kaum Wahabi itu mengelu-elukan Yazid—mengkultuskan Yazid, sambal di sisi lain melaknat orang-orang shaleh yang suka bertawassul kepada Nabi termasuk di dalamnya para sahabat Nabi sendiri. Kaum Wahabi lebih senang menyebut para sahabat Nabi itu sebagai pelaku dosa daripada menuduh Yazid dengan sebutan yang sama.

Ajaran sekte Wahabi mengenai sifat-sifat Allah

Ajaran sekte Wahabi tentang sifat-sifat Allah sama saja dengan ajaran yang dibawakan oleh kaum al-Mujasima[3], yaitu:

Mereka menyebutkan bahwa Allah itu memiliki organ tubuh sama seperti makhluk lainnya yaitu memiliki tangan, kaki, mata, dan wajah. Mereka juga menyebutkan bahwa Allah itu duduk, bergerak, berpindah tempat, turun dan naik sama seperti makhluknya.[4] Ajaran sesat ini mereka adopsi dari Ibnu Taymiah; sedangkan Ibnu Taymiah mendapatkannya dari kaum Hasyawiah yang pengetahuannya tentang ajaran Islam sangat dangkal sekali. Kaum Hasyawiah adalah orang-orang yang berpegangan pada bentuk dhahir (bentuk luar). Mereka meyakini tajsim yang mana ajaran itu sama dengan yang ada pada kaum Yahudi.

Kaum Wahabi tidak bisa mempertahankan keyakinan mereka ini karena mereka gagal untuk menunjukkan satu buktipun dari riwayat para sahabat Nabi atau dari pendapat kaum Muslimin awal. Akan tetapi, kaum Wahabi tetap ngotot untuk menyebutkan bahwa apa-apa yang mereka yakini itu berdasarkan konsensus (ijma) dari para ulama atau kaum Muslimin awal dalam sejarah Islam. Dalam berbagai kesempatan, ketika mereka berargumentasi mempertahankan pendapatnya, kaum Wahabi ini seringkali kelimpungan dan terdesak dengan sendirinya karena tidak bisa memperkuat pendapat mereka dengan alasan-alasan dan bukti yang kuat. Oleh karena itu, keyakinan mereka itu sangat tidak meyakinkan.

Untuk mempertahankan keyakinan mereka, kaum Wahabi ini hanya mengandalkan kepada sebuah pernyataan Ibnu Taymiah yang menyatakan bahwa setelah ia meneliti semua riwayat dari para sahabat Nabi yang ada serta hadits-hadits yang diriwayatkan oleh mereka yang disarikan dari berbagai sumber yang konon melebihi 100 kitab tafsir jumlahnya, konon lagi Ibnu Taymiah tetap tidak dapat mendapatkan satu bukti pun yang menyatakan bahwa satu orang (saja!) sahabat yang menafsirkan ayat-ayat tentang sifat Allah yang berbeda dengan makna dhahir-nya.[5]

Tuduhan ngawur yang berulangkali dinyatakan oleh Ibnu Taymiah ini jelas sekali salah arah dan sudah disangkal oleh oleh sumber-sumber yang kredibilitasnya dan otensitasnya sudah diakui bahkan oleh Ibnu Taymiah sendiri. Sumber-sumber yang dimaksud ialah diantaranya al-Tabari, Ibnu Atia, dan al-Bagawi.[6]

Seluruh sumber ini menyebutkan bahwa para sahabat Nabi itu memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang menyebutkan sifat-sifat dan wujud Allah itu tidak seperti yang dinisbahkan kepada makhluk-makhluknya. Para sahabat Nabi itu tidak menafsirkan ayat-ayat tersebut secara harfiah seperti yang tertulis apa adanya di dalam kitab suci tersebut. Ketika menafsirkan Ayat Kursi misalnya, Al-Tabari, Ibnu Atia, dan Al-Badawi menukil dari Ibnu Abbas (salah seorang sahabat Nabi) yang menyebutkan bahwa arti KURSI di sana tidak sama dengan “kursi” (tempat duduk). Kursi Allah di sana artinya “Pengetahuan Allah”. Ibnu Atia tetap mempertahankan pendapatnya dan menganggap yang menafsirkan kata itu apa adanya (dari makna “dhahir” nya saja) sebagai orang Yahudi atau Hasyawi, dan oleh karena itu pendapatnya tidak usah dianggap.[7]

Dengan cara yang sama, WAJAH ALLAH itu ditafsirkan dalam berbagai ayat yang mengandung kata-kata tersebut sebagai “tujuan”, “keridhoan Allah”, “pahala” atau yang lainnya tergantung konteks kalimatnya. Siapapun bisa meneliti tafsir dari al-Baghawi ini yang mana telah dipuji setinggi langit oleh Ibnu Taymiah sendiri dan dianggap sebagai tafsir yang bisa dipercaya. Jadi klaim Ibnu Taymiah itu sendiri sama sekali tidak berdasar.

Secara spesifik, anda bisa meneliti sendiri tafsir Al-Bagawi menyangkut ayat-ayat berikut ini:
-          Al-Baqarah ayat 115 dan 272
-          Ar-Ra’d ayat 22
-          Al-Qashshas ayat 88
-          Ar-Rum ayat 38, 39
-          Al-Insaan ayat 9
-          Dll.

Dengan bukti yang sangat kuat ini, kita bisa menegaskan bahwa para sahabat Nabi sendiri tidak sesuai dengan ajaran kaum Wahabi. Mereka memiliki keyakinan yang sama sekali berbeda dengan keyakinan kaum Wahabi mengenai sifat-sifat dan wujud Allah.

Kaum Wahabi vs Kaum Muslimin:
Bid’ah yang diada-adakan kaum Wahabi

Kaum Wahabi meyakini betul bahwa mereka itulah yang disebut sebagai kaum Muslimin sejati karena mereka sangat bertauhid (meng-esa-kan Allah) sementara kaum Muslimin lainnya dituduh sebagai kaum Musyrikin yang halal harta dan nyawanya di hadapan mereka. Menurut mereka, seseorang tidak bisa dianggap Muslim meskipun ia telah bersyahadat dan mengakui Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu ialah Utusan Allah. Kalau ia juga mempercayai bahwa ia bisa memperoleh keberkahan karena telah mengunjungi atau berziarah ke makam Rasulullah, maka ia tetap dianggap sebagai seorang Musyrikin. Orang yang bersyahadat tapi ia juga bershalawat dan mencari keberkahan dengan bertawassul kepada Rasulullah tetap akan dianggap pendosa dan dituduh sesat.

Mereka berkata bahwa setiap Muslim yang memiliki keyakinan seperti itu sama saja dengan seorang penyembah berhala—bahkan lebih buruk daripada penyembah berhala yang pernah hidup di jaman sebelum Islam yang menyembah berhala-berhala secara langsung atau menyembah benda-benda mati lainnya seperti matahari dan bulan, planet dan bintang.

Di dalam kitabnya Kashful al-Shubuhat, Muhammad ibn Abdul Wahab menyebut seluruh kaum Muslimin yang hidup (kecuali para pengikutnya sendiri) sebagai kaum penyembah berhala. Ia menyebut hal itu sebanyak 24 kali. Kaum Muslimin yang ada di dunia ini diberi label seperti:
-          Orang-orang sesat pembuat bid’ah
-          Para penyembah berhala
-          Orang-orang ingkar
-          Anti tauhid
-          Musuh-musuh Allah
-          Para pengkhianat
-          Dll.

Dia melaknat kaum Muslimin seperti itu di 20 bagian yang berbeda di dalam kitab yang sama. Para pengikutnya mengikuti kebiasaan Ibnu Abdul Wahab secara patuh.[8]

Sampai di sini kita bisa bertanya kepada mereka:
“Apakah ajaran mereka itu benar-benar berdasarkan konsensus atau ijma para ulama yang ‘alim atau itu hanya bid’ah yang diada-adakan oleh kaum Wahabi saja?”

Ibnu Hazm—salah seorang ulama Sunni terkenal—menyatakan bahwa:
“Seorang Muslim itu tidak bisa disebut sesat atau pendosa dengan alasan perbedaan pendapat walaupun itu sudah dijadikan sebuah bentuk doktrin atau keputusan ijtihad. Setelah menyebutkan sejumlah ulama yang shaleh yang memiliki pandangan yang sama, kemudian ia menyimpulkan bahwa itu sudah menjadi ijma para sahabat yang menafsirkan hal yang sama.”[9]

Menurut Ibnu Taymiah sendiri hanya kaum Khawarij saja yang menghukumi kaum Muslimin sebagai orang-orang sesat dengan alasan sudah berdosa karena memiliki pandangan yang berbeda atau memiliki kesimpulan yang berbeda atas perkara agama.[10]

Oleh karena itu, kaum Wahabi tidak memiliki sandaran hukum sama sekali atas sikap dan perbuatannya itu kecuali menyandarkan prilakunya itu kepada orang-orang Khawarij yang terkenal kejahatannya.



[1] Muhammad ibn Abdul Wahab, Al-Ra'sal al-A'mlia al-Tisa', halaman 120.
[2] Khalifah Kedua dari keluarga Bani Umayyah yang ditunjuk dan diangkat oleh ayahnya sendiri Khalifah Mu’awiyah sebagai pelanjutnya—penerus tahta kekuasaannya.
[3] Kaum Al-Mujasima itu disebut juga sebagai anthropomorphist yaitu mereka yang meyakini bahwa Allah itu memiliki sifat dan bentuk fisik seperti manusia.
[4] Abdul Latif ibn Abdul Wahab [putera dari pendiri sekte Wahabi], Al-Hadia al- Sania, Bagian Empat.
[5] Ibn Taimia, Tafseer Sura al-Noor, halaman 178-179.
[6] Ibn Taimia, Muqadima fi Usool al-Tafseer, halaman 51.
[7] Dikutip oleh al-Shawkani dalam Fatih al-Qadeer, vol. 1, halaman 272.
[8] Muhammad ibn Abdul Wahab, Al-Ra'sal al-A'mlia al-Tisa', halaman 79; Ibid., Fatih al-Majeed, halaman 40-41; Ibid., Arba' al-Quaid; Ibid., Kashful al-Shubuhat; al-San'ani, Tat'hear al-I'tiqad, halaman 7, 12, 25.
[9] Ibn Hazim, Al-Fasil, vol. 2, halaman 247; Al-Sharani, Al-Yawaqeet wa al- Jawahir, bab 58.
[10] Ibn Taimia, Majmut Fatawa, vol. 13, halaman 20.

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta