Sebagian besar kaum Muslimin tidak tahu apa yang terjadi pada diri Bunda Fathimah (puteri Rasulullah) setelah ayahanda tercinta-nya wafat meninggalkan dirinya. Kaum Muslimin tidak banyak yang tahu derita dan perlakuan buruk yang terjadi pada diri puteri Nabi itu. Sebenarnya apabila kaum Muslimin mau meluangkan waktu mereka barang sedikit saja untuk menggali sumber-sumber sejarah dari kalangan Ahlu Sunnah maupun Ahlul Bayt, maka mereka akan melihat dengan jelas sekali bahwa kitab sejarah otentik yang ada di kalangan kedua kelompok itu mencatat dengan cukup rinci kejadian yang menimpa puteri Nabi sepeninggal ayahnya yang tercinta itu. Kitab-kitab sejarah itu menjelaskan bagaimana Bunda Fathimah (as) kerap kali mengeluhkan kedzaliman penguasa yang memerintah sepeninggal Nabi.
Misalnya, ketika Bunda Fathimah Az-Zahra mendengar hadits palsu yang disampaikan oleh khalifah pertama, ia marah sekali. Ia tahu betul bahwa hadits palsu itu (yang sengaja dibuat oleh khalifah pertama untuk mencegahnya menuntut haknya atas tanah Fadak. Beberapa perawi hadits dan sejarawan seperti Bukhari, Ahmad bin Hanbal, Ibn Sa’ad, Ibn Katsir dan lain-lain telah mencatat dan melaporkan bahwa Fathimah az-Zahra tetap marah kepada khalifah yang pertama hingga beliau wafat menemui ayahnya yang tercinta.
Ketika tubuh Rasulullah yang suci dibaringkan di liang lahat dan kemudian dikuburkan, terkubur juga kata-katanya tentang peran Imam Ali dan kepemimpinannya atas umat Islam. Dengan kepandaian berbicara yang fasih, Rasulullah menyebut Imam Ali sebagai “pemimpin orang-orang beriman” dan bukannya “pemimpin orang-orang Islam”. Dengan kata-kata itu, Rasulullah ingin menegaskan bahwa mereka yang menerima Islam dibawah tekanan politis tidak akan bisa menerima kepemimpinan Imam Ali (as). Sedangkan mereka yang menerima kepemimpinan dan kenabian Muhammad, akan bisa menerima kepemimpinan Imam Ali (as).
Fathimah Az-Zahra (as) melihat dengan jelas sekali bahwa tubuh ayahnya yang terbujur kaku di liang lahat akan segera tertutup tanah dan seiring dengan tubuhnya yang tertutup tanah, terkubur juga kata-katanya yang biasanya terngiang-ngiang di telinga menyampaikan nasehat bijak dari surga. Setiap kata-kata ayahnya sekarang ini digantikan oleh kata-kata para penguasa yang menggantikan kebajikan dengan doktrin kekuatan. Dengan segera Fathimah menyadari bahwa ia harus berbuat sesuatu sebelum segalanya terlambat. Ia harus menyampaikan sesuatu yang akan diingat orang sepanjang zaman. Ia harus menyampaikan sesuatu yang akan dicatat para pecintanya hingga akhir zaman.
Dengan segera dan dengan segenap keyakinan, ia bergegas menuju mesji Nabawi—mesjid Nabi—dan ia berkhutbah di sana. Ia menyampaikan kata-kata mutiaranya kepada khalayak yang baru saja berbai’at kepada kekuasaan yang baru berkuasa—kekuasaan yang telah menentang perintah dan kebijakan Nabi. Fathimah berkata, “Kami akan berdiri kukuh dan menentang kalian hingga tubuh kami luluh diterjang puluhan tombak dan pisau yang tajam berkilauan”. Fathimah, puteri Nabi mengumumkan penolakan bai’at kepada sang khalifah yang baru menjabat!
Kalau kita lihat sekilah khutbah Fathimah (Khutbah Fadakiyah/Khutbah Al-Fadakiyah yang dicatat dengan rinci baik oleh kelompok Sunni maupun Syi’ah) yang disampaikan di mesjid Nabi dan di hadapan kaum Muhajirin dan Ansar, kita akan segera melihat bahwa Fathimah mempertanyakan penguasa yang baru itu dan memberikan peringatan keras terhadapnya. Pertanyaan segera timbul terhadap kecaman Fathimah terhadap penguasa baru itu: Apakah khutbah yang disampaikan Fathimah itu dikarenakan oleh rasa marah yang dan sakit hati yang timbul karena telah diperlakukan kasar oleh penguasa baru dan para pengawalnya itu? Karena sebelum peristiwa ini terjadi Rasulullah sering berkata: “Rasa senang dan rasa marah Fathimah itu menyebabkan rasa senang dan rasa marah Allah.” Kesukaan dan kemarahan Fathimah itu menimbulkan kesukaan dan kemarahan Allah. Dengan mengacu pada hadits itu, maka kita akan bisa menyimpulkan bahwa Allah tentu saja marah pada orang yang pernah membuat Fathimah marah. Dan orang yang membuat Allah marah, tak pernah pantas untuk menduduki kursi khilafah.
Khutbah yang disampaikan oleh Fathimah itu jelah memberikan dampak yang dasyhat terhadap khalfah pertama beserta para begundalnya. Dengan khutbah itu, Fathimah memberikan pandangan yang baru di kalangan umat Islam terhadap tirani yang sedang berkuasa. Akan tetapi walaupun begitu, setelah Fathimah selesai memberikan khutbah di mesjid Nabawi itu serangkaian peristiwa menyedihkan yang terjadi pada keluarga Nabi tetap saja menghantui. Semua peristiwa itu menyebabkan Fathimah tergeletak lemah di pembaringannya yang resah.
Pada saat-saat terakhir kehidupan Fathimah, Ummu Salamah (salah satu isteri Rasulullah yang baik) menanyakan tentang keadaannya. Fathimah dengan gamblang berkata, “Saya merasa kehilangan Rasulullah yang amat sangat; dan kesedihan serta kepedihan saya itu ditambah dengan kenyataan pahit harus berhadapan dengan penguasa dzalim.” Dalam kesempatan yang lain, Fathimah menjelaskan dengan kata-kata yang hampir sama akan tetapi lebih rinci ketika kaum wanita datang menjenguk keadaannya yang sedang sakit dan terbaring lemah di ranjangnya. Kepada kaum wanita yang datang menjenguknya itu, Fathimah berkata: “Demi Allah, aku melalui hari-hari pertamaku dengan bertahan dari perbuatan buruk yang kalian lakukan padaku dan juga dari para suamimu. Celakalah kalian semua! Mengapa mereka menolak ketentuan Allah (dalam penunjukkan Imam Ali sebagai penerus Nabi), seperti yang sudah disampaikan oleh Rasulullah? Mengapa mereka rampas hak orang yang lebih mendatangkan manfaat bagi kalian; yang lebih mengetahui tentang urusan dunia dan akhirat kalian? Mengapa kalian sampai benci pada Ali? Demi Allah seandainya mereka membantunya dalam mengurus pemerintahan ini, Ali akan menjalankannya dengan baik sekali. Seandainya mereka melakukan itu, maka pintu-pintu keberkahan akan terbuka dari langit dan bumi.”
Fathimah Az-Zahra (as) seringkali menggunakan setiap kesempatan untuk memperingatkan dan memberitahu orang-orang tentang penyelewengan ketentuan Allah yang telah disampaikan oleh Rasulullah itu, akan tetapi mereka tidak menghiraukannya. Lalu kalau begitu bagaimana dengan masa depan nanti? Siapa lagi yang akan mengingatkan mereka dari penyelewengan ini? Bagaimana pesan suci dari Nabi ini bisa sampai pada generasi nanti? Sekarang saja sudah begini. “Ketika Rasulullah wafat, pesan sucinya langsung diinjak-injak oleh para pencari kekuasaan, yang menghendaki Islam karena ingin mendapatkan keuntungan duniawi darinya; dengan memanfaatkan kejahilan orang-orang yang ada di sekelilingnya.” Bagaimana bisa keberatan Fathiimah itu mencapai masa yang jauh? Bagaimana Fathimah bisa menyampaikan keberatannya kepada generasi yang akan datang yang terlahir jauh kemudian? Karena ……… dalam masa-nya saja Fathimah tak pernah memiliki kebebasan untuk menyampaikan rasa kehilangannya akan ayahandanya; ia tak punya kebebasan untuk menyampaikan apa yang pernah disampaikan ayahandanya.
KESYAHIDAN FATHIMAH DAN HARI-HARI TERAKHIR DARI KEHIDUPANNYA
Catatan dari hari-hari terakhir kehidupan Fathimah (as) menunjukkan secara jelas siapa sebenarnya wanita suci dari durriyyat Nabi ini. Hari itu tanggal 3 Jumadil Tsani tahun 11H. Hari itu Fathimah Az-Zahra berkata kepada seluruh anggota keluarganya bahwa sekarang merasa baikan. Rasa nyeri yang ada di beberapa tulang iganya dan di tangannya sudah jauh berkurang dan panas demam yang ditimbulkan oleh rasa sakitnya itu sudah menurun. Kemudian ia bangkit dari tidurnya dan mulai mengerjakan pekerjaan rumah tangganya. Ia memaksakan dirinya untuk memandikan anak-anaknya; akan tetapi kemudian muncul Bibi Fizzza dan Imam Ali untuk membantu dirinya memandikan anak-anak. Fathimah selesai memandikan anak-anak kemudian memakaikan pakaian dan memberikan makanan hingga kenyang. Setelah itu mengirimkan anak-anak itu kepada saudara sepupunya.
Imam Ali (as) merasa terkejut melihat isterinya yang tercinta bangkit dari ranjangnya dan sudah mulai pekerjaan rumah tangganya. Lalu Imam Ali bertanya kepada isterinya apa yang terjadi dengan dirinya. Fathimah (as) menjawab, “Hari ini adalah hari terakhir dari hidupku. Aku ingin memandikan anak-anakku dan memakaikannya baju untuk yang terakhir kalinya karena setelah ini mereka akan menjadi anak-anak piatu, tak beribu!”
Imam Ali (as) kemudian bertanya bagaimana Fathimah bisa tahu bahwa ini adalah hari terakhir hidupnya dan sebentar lagi akan datang hari kematiannya. Kemudian Fathimah Az-Zahra (as) menjawab bahwa ia melihat ayahanda tercintanya (Rasulullah) di dalam mimpinya. Rasulullah berkata bahwa Fathimah akan segera bergabung dengan Rasulullah pada malam itu. Kemudian Fathimah berwasiat kepada Imam Ali dan memohon agar wasiatnya itu dipenuhi.
IMAM ALI: “Sebutkanlah apa yang ingin engkau aku lakukan, wahai puteri Rasulullah”
(Imam Ali lalu meminta setiap orang untuk meninggalkan rumah itu agar bisa bicara tenang dengan isterinya. Imam Ali kemudian duduk di samping isterinya)
FATHIMAH: “Suamiku tercinta, engkau tahu benar apa yang telah aku lakukan dan untuk apa aku lakukan itu semua. Aku mohon agar engkau memaafkan kecerewetanku selama ini; mereka telah menderita terlalu banyak karena kecerewetanku ini selama aku sakit dan aku sekarang ingin melihat mereka bahagia di akhir hidupku ini. Aku bahagia sekaligus aku juga bersedih hati. Aku bahagia karena sebentar lagi aku terbebas dari segala kesulitan hidupku dan aku akan segera bertemu dengan ayahku; dan aku bersedih hati karena sebentar lagi aku akan berpisah dengan engkau, suamiku. Suamiku tercinta…………engkau tahu benar bahwa aku tak pernah berdusta; aku juga tetap setia dan berkhidmat padamu……………pernahkah aku membantahmu selama aku menjadi isterimu?”
IMAM ALI: “Masya Allah! Engkau adalah orang yang paling mengenal Allah'; isteri yang paling berbakti pada suaminya; isteri yang paling shalehah. Engkau lebih mulia dan lebih bertakwa sehingga takkan mungkin engkau membangkang kepadaku. Sungguh betapa beratnya aku harus berpisah denganmu dan harus kehilanganmu akan tetapi peristiwa ini memang takkan mungkin terelakan. Demi Allah! Engkau telah membuat kedukaanku kembali lagi. Baru saja aku bersedih hati karena ditinggalkan oleh Rasulullah, sekarang aku harus ditinggalkan olehmu. Sungguh kematianmu dan berpulangnya engkau itu adalah sebuah musibah yang sangat besar bagiku; akan tetapi kepada Allah-lah semua kita berpulang; semuanya ini milik Allah ta’ala, dan kepadaNyalah kita akan kembali (QS. 2: 156). Betapa pedihnya musibah ini. Musibah ini begitu besarnya hingga tak ada lagi bandingan yang sepadan dengannya.”
(Kemudian mereka berdua menangis bersama. Imam Ali memeluk isterinya yang tercinta seraya berkata)
IMAM ALI: “Suruhlah aku untuk melakukan apa yang engkau mau; engkau niscaya akan melihatku patuh dan setia pada apa yang engkau perintahkan. Akan aku utamakan segala apa yang engkau mintakan kepadaku. Akan aku utamakan kemauanmu itu diatas kemauanku.”
FATHIMAH: “Semoga Allah melimpahkan keberkahan kepadamu, suamiku. Sekarang, dengarlah wasiatku ini. Pertama, menikahlah segera sepeninggalku, akan tetapi engkau harus terlebih dahulu menikahi keponakanku Umamah. Umamah itu akan memperlakukan anak-anak kita seperti aku memperlakukan anak-anak kita. Selain itu, laki-laki itu tak bisa hidup layak tanpa adanya kehadiran seorang perempuan di sisinya. Umamah mencintai anak-anak kita dan Husein sangat dekat dengannya. Lalu biarkanlah Fizza (pembantu keluarga Imam Ali) tetap bersamamu hingga ia menikah, apabila ia masih mau bersamamu keluarga kita, biarlah ia tetap bersama. Fizza itu lebih dari sekedar pembantu bagiku. Aku mencintai Fizza seperti aku mencintai anak perempuanku sendiri.”
FATHIMAH: (kemudian melanjutkan pembicaraannya) “Aku mohon padamu agar nanti ketika aku dikuburkan jangan sampai ada satu orangpun yang pernah mendzalimiku hadir di pemakamanku, karena mereka telah menjadi musuhku; dan yang telah menjadi musuhku itu telah menjadi musuh Allah dan RasulNya. Jangan juga memberikan kesempatan kepada mereka untuk menshalatiku; jangan juga beri kesempatan yang sama kepada para pengikutnya. Aku ingin engkau memandikan jenazahku di malam hari; kafani aku juga di malam hari dan shalati aku dan kuburkan aku di malam yang sama ketika semua mata umat manusia sedang tertutup dan semua pandangan tak terjaga. Dan setelah penguburan selesai, duduklah di dekat kuburku dan bacakan AlQur’an untukku.”
“Jangan sampai kematianku ini membuatmu patah semangat. Engkau harus berkhidmat kepada Islam dan kemanusiaan dalam jangka waktu yang lama setelah kematianku. Jangan sampai penderitaanku ini menjadikan hidupmu susah, berjanjilah kepadaku wahai suamiku.”
FATHIMAH: “Aku tahu bagaimana rasa cintamu kepada anak-anak kita akan tetapi berhati-hatilah dengan anak kita Husein. Ia sangat mencintaiku dan ia akan merasa sangat kehilangan diriku. Jadilah seorang ibu utuknya. Hingga saat ini ia masih sukan tidur di dadaku, dan sekarang ia akan segera kehilangan itu.”
(Imam Ali membelai tangan Fathimah yang patah (akibat dari penyerangan yang dilakukan oleh para pengawal kekhalifahan ke rumah mereka—red) dan menyapu air matanya yang hangat. Fathimah memandang sendu kepada Imam Ali dan kemudian berkata:)
FATHIMAH: “Janganlah meratapiku, wahai suamiku. Aku tahu betul di balik wajahmu yang keras ada hati yang sangat lembut. Engkau sudah terlalu banyak menderita dan engkau akan menderita lagi lebih banyak.”
Fathimah Az-Zahra sudah siap menemui Tuhannya. Ia sekarang mandi membersihkan dirinya kemudian berpakaian lengkap dan sudah itu langsung berbaring di atas ranjangnya. Ia memintah Asma binti Umays untuk menunggu dirinya sebentar dan kemudian memanggil namanya. Apabila tidak ada jawaban ketika namanya dipanggil……………berarti Fathimah sudah meninggalkan dunia ini menemui Tuhannya.
Asma bint Umays menunggu beberapa waktu lamanya dan kemudian ia memanggil-manggil nama Fathimah akan tetapi tidak ada jawaban dari Fathimah. Asma binti Umays memanggil sekali lagi: “Wahai puteri terkasih Muhammad! Duhai puteri paling mulia yang pernah dilahirkan oleh wanita mulia! Duhai puteri terbaik dari orang-orang yang terbaik yang pernah berjalan di muka bumi ini! Duhai puteri Rasulullah yang kedekatannya sama dengan jarak dua busur panah bahkan lebih dekat lagi" (QS. 53: 9)
Tak ada jawaban sama sekali yang bisa terdengar dari puteri Nabi………; kebisuan mencekik ruangan sempit dimana jenazah suci sang puteri Nabi tergeletak tak bergerak. Asma binti Umays kemudian mendekat ke jenazah suci itu dan memang betul tubuh kurus puteri Nabi itu sudah tak bernyawa lagi. Ruh suci yang harum telah meninggalkan tubuh kuyu itu dan menjumpai ayahnya, Rasulullah, di hadapan sang maha lembut, maha kasih dan maha sayang.
Tepat pada saat itulah Imam Hasan (as) dan Imam Husein (as) yang masih kanak-kanak memasuki rumah dan bertanya pada Asma binti Umays: “Dimanakah ibu?” “Ibu kami tidak biasanya tidur pada saat siang hari seperti ini!”
Asma bint Umays menjawab: “Wahai putera Rasulullah! Ibumu itu tidak sedang tidur………ia telah mendahului kalian semua. Ia sudah meninggal dunia!”
Ketika Imam Hasan (as) mendengar kata-kata seperti itu, ia menjatuhkan dirinya ke tubuh ibunya yang sudah dingin dan ia menciumi pipi ibunya dan wajahnya seraya berkata kepadanya: “Ibuku yang kusayang! Berbicaralah kepadaku sebelum engkau meninggal dunia.”
Imam Husein (as) datang dan kemudian ia juga mendekati ibunya dan menciumi kaki ibunya dan berkata: “Ibuku sayang! Ini aku Husein, anakmu. Bicaralah kepadaku sebelum engkau meninggal.”
Kemudian, Imam Husein berpaling kepada Imam Hasan dan berkata: “Semoga Allah menghibur dirimu atas kepergian ibunda kita”
Ada dua hadits yang berbeda tentang keberadaan Imam Ali (as) ketika Fathimah meninggal dunia. Salah satunya menyebutkan bahwa Imam Ali ada bersama Fathimah pada saat kematian isterinya itu. Dan hadits yang lain adalah sebagai berikut:
(Imam Ali sedang berada di mesjid. Imam Hasan dan Imam Husein pergi ke mesjid dan menceritakan tentang wafatnya ibu mereka kepada ayahnya. Segera setelah Imam Ali mendengar berita itu, ia terjatuh pingsan. Ketika siuman, ia berkata: “Siapa lagi yang bisa menghiburku ketika aku sedih dan pilu, wahai puteri Muhammad? Engkau dulu selalu menghiburku dan sekarang siapakah yang bisa menggantikan kedudukanmu?” Fathimah Az-Zahra (sa) meninggal dalam usia yang masih muda dan Imam Ali senantiasa mengenang saat-saat indah bersamanya. Imam Ali senantiasa berkata: ““Sekuntum bunga tumbuh berkembang; bunga itu berasal dari surga dan kembali ke surga…………akan tetapi keharumannya yang ia tinggalkan, tetap bersemayam dalam ingatan”
Ketiak orang-orang di kota Madinah sadar bahwa Fathimah Az-Zahra itu sudah menemui kesyahidannya (syahid karena luka-luka—luka dalam dan luka luar—yang telah diderita olehnya karena serangan yang dilakukan oleh para pengawal khalifah pertama atas perintahnya—red). Mereka berkumpul di depan rumah Fathimah dan menunggu untuk melakukan upacara penguburan. Akan tetapi kemudian mereka mendengar bahwa upacara penguburannya akan ditunda. Pada malam hari, ketika orang-orang sudah tertidur dengan lelapnya, Imam Ali (as) mulai memandikan jenazah Fathimah dan mengkafaninya dengan rapi. Dan itu dilakukannya—sesuai dengan bunyi wasiat isterinya—dengan tanpa kehadiran orang-orang yang telah membenci dan dibenci oleh Fathimah. Orang-orang yang sudah melakukan penyerbuan ke rumahnya dan hendak membakar rumahnya. Setelah Imam Ali selesai memulasara jenazah Fathimah, Imam Ali menyuruh Imam Hasan dan Imam Husein yang waktu itu masih kecil untuk memanggil beberapa sahabat Nabi yang setia dan jujur yang juga disukai oleh Fathimah agar membantu proses penguburannya hingga selesai. Tidak lebih dari 7 orang saja yang dilaporkan oleh sejarah yang turut membantu dalam proses penguburan itu. Setelah mereka datang; Imam Ali melakukan shalat dan berdoa dan kemudian menguburkan jenazah isterinya yang tercinta itu. Sementara itu kedua putera tercintanya berdiri sedih tidak jauh dari liang lahat yang sebentar lagi akan ditutup memisahkan mereka berdua dengan ibunya yang tercinta. Mereka berdua menangis diam-diam menahan rasa pilu yang membuncah di dalam dada keduanya.
Ada dua hadits yang tentang wafatnya Fathimah. Yang satu mengatakan bahwa wafatnya itu terjadi 75 hari setelah wafatnya Rasulullah sementara hadits lainnya mengatakan bahwa wafatnya Fathimah itu terjadi setelah 95 hari dari wafatnya Rasulullah. Seperti yang kita ketahui, Rasulullah itu meninggal pada tanggal 28 Safar. Jadi 75 hari setelah bulan Safar itu kira-kira tanggal 13, 14, atau 15 Jumadil Awwal. Sedangkan kalau 95 hari maka para sahabat menghitungnya sampai tanggal 3 Jumadil Tsani. Karena kita tidak tahu persisnya kapan bunda Fathimah meninggal, maka kita menggabungkan tanggal 13, 14 dan 15 Jumadil Awwal itu dengan tanggal 3 Jumadil Awwal sebagai hari-hari bunda Fathimah atau dalam bahasa Parsi disebut Ayyame Fatimiyya.
taken and translated from : http://www.ezsoftech.com/stories/default.asp
Comments